Home / Romansa / Jodoh Jebakan Dari Opa / Bab 1 ~ Kesan Pertama

Share

Jodoh Jebakan Dari Opa
Jodoh Jebakan Dari Opa
Author: Pelangi Jelita

Bab 1 ~ Kesan Pertama

last update Last Updated: 2025-09-24 09:49:49

“Pakailah gaun itu. Jangan bikin malu keluarga.”

Suara Mama terdengar tajam dari balik pintu kamar. Anaya memandangi gaun merah marun yang tergantung di depan lemari. Bahannya mengilap. Bahunya terbuka.

"Belahannya… ya ampun, sampai paha. Aku mau makan malam, atau mau kemana sih. Aneh ...padahal bukan mau tampil di red carpet ma,” gumamnya pelan, nyaris seperti mengutuk nasib.

Namun wajah Papanya seketika langsung terbayang di benaknya. Wajah lelah yang makin hari makin tirus. Mama bilang , hutang menumpuk dan cicilan rumah macet.

Sekarang, Mama menyuruhnya ikut jamuan makan bersama, katanya, ada seorang pria kaya yang bisa ‘menolong’ mereka.

" Nolong? Tidak...…. Ini bukan pertolongan. Ini perangkap. zaman sekarang mana ada yang mau nolong cuma cuma. pasti ada pambrihnya."

Sementara itu, di sebuah restoran mewah. Begitu melihat Anaya dan mamanya masuk ke restoran Opa Hartono tersenyum sumbringah dan menyambut mereka dengan senyum termanisnya.

“Cantik sekali. Persis seperti yang Opa bayangkan.”

Anaya nyaris mundur selangkah saat pria tua itu menyambutnya di depan pintu restoran.

Usianya mungkin di atas enam puluh, tapi wajahnya tampan dipulas rapi dengan senyum lebar, rambut disisir licin ke belakang, dan parfum yang aromanya terlalu tajam untuk hidungnya.

“Selamat malam, Anaya. Nyonya Herlambang” Pria tua itu meraih tangannya dan menciumnya pelan. Seperti di film-film lama. Tapi alih-alih merasa terhormat, Anaya merasa… jijik.

“Selamat malam… Pak Hartono,”

“Panggil aku Opa saja,” katanya sambil berkedip nakal.

Anaya ingin lari. Mama mencubit pelan lengannya dari belakang.

"Jangan bikin masalah, bertahanlah sebentar saja." sambil terus melangkah mengikuti Opa menuju meja yang sudah di reservasi.

Meja makan sudah disiapkan di sudut restoran mahal itu. Mewah. Tenang. Tapi Anaya merasa seperti duduk di ranjau yang siap meledak.

Sepanjang makan malam, Sang Opa terus berbicara tentang bisnis, keluarganya dan cucu kesayangannya serta rencana hidupnya yang tidak ingin kesepian di masa tuanya.

Sesekali tatapannya meluncur turun, ke arah dada Anaya. Senyumnya tetap ramah. Anaya merasa ingin muntah.

“Terima kasih sudah mau menemani Opa malam ini. Jarang ada gadis muda sebaik kamu" ucapknya sopan.

Terlihat si Opa mengedarkan pandangannya ke sekeliling restoran.

"Sebentar lagi cucu Opa yang kurang ajar datang” katanya sambil ingin menyentuh tangan Anaya di atas meja.

Anaya buru-buru menarik tangannya, berusaha tetap sopan.

“Kalau boleh tahu… Bapak eh, Opa, sebenarnya mau apa?”

Pria tua itu tersenyum lebar, terlalu lebar malah..

“Opa ingin melamarmu.”

Dunia Anaya seakan berhenti.

“Apa?”

“Opa serius. Opa suka kamu dan Opa yakin, kamu bisa membuat hari-hari tuaku lebih cerah dan berwarna.”

“Tidak, saya ….saya masih muda, dan…”

“Kalian butuh bantuan Opa, kan?”

Anaya menggigit bibirnya. Tidak bisa menjawab.

Tiba tiba, dari arah belakang, terdengar suara berat yang membuat semua mata di ruangan menoleh.

“Opa, sugguh keterlaluan.”

Seorang pria tinggi bersetelan hitam berdiri di sana, matanya tajam menatap mereka. Usianya mungkin 30-an.

Wajahnya tegas, sorot matanya dingin. dari aura tubuhnya, jelas bukan orang sembarangan.

“Sudah kukatakan, jangan main-main dengan gadis muda Opa.”

Anaya memandang pria itu. Napasnya tercekat. Ia bahkan belum tahu siapa dia.

Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa sedikit… aman dan sedikit penasaran.

Anaya tidak tahu harus berdiri atau tetap duduk.

Pria yang baru datang itu, yang tadi memanggil Sang Opa dengan nada setengah menghardik berjalan mendekat, matanya mengunci ke arah laki-laki tua di seberang meja.

“Opa, kau masih saja pakai cara kotor seperti ini?” ucapnya dingin.

Opa hanya tersenyum tenang.

“Raka, tidak usah ganggu dengan suara berisik kamu itu. Kami sedang menikmati makan malam. Malu tau sama Calon Ibu Mertua”

“Dengan gadis yang bahkan lebih dari setengah umurmu?” Raka memutar mata.

Lalu menoleh pada Anaya.

“Kau baik-baik saja?”

Anaya hanya mengangguk pelan. Meski masih bingung siapa pria ini, instingnya berkata, ia berada di pihak yang benar.

Tanpa berkata apa-apa, Raka menarik kursi dan duduk di samping Anaya.

"Kau mengerikan, Opa,” katanya pelan, namun tajam.

“Ini sudah kelewatan.”

Sang Opa menyenderkan tubuh di kursinya. Wajahnya masih tersenyum tapi kali ini, ada sinar licik di balik matanya.

"Kau itu selalu anti kalau opa ajak bicara soal pernikahan. Opa mau bahagia. Masa begini aja marah?”

Raka menghela napas.

“Opa pikir aku bakal tinggal diam lihat Opa... menggoda gadis seumuran keponakanku?”

“Kalau kamu mau dia lepas dariku, ya nikahi dia. Nggak berani kan”

Anaya membeku.

Raka terdiam sejenak. Lalu matanya kembali menatap Anaya. Tatapannya tajam, seperti sedang menilai.

“Namamu siapa?” tanyanya tiba-tiba.

“A....Anaya…”

“Anaya.” Raka mengulang pelan, lalu mengangguk kecil.

“Oke, dengarkan baik-baik.”

Anaya menelan ludah. Deg-degan. Ia tidak suka nada suara laki-laki ini. Terlalu tenang, datar dan berbahaya.

“Kau tidak usah menikah dengan Opa,” katanya,

“Nikah saja denganku.”

Anaya dan mamanya mematung. Apa yang baru saja dia bilang... menikah?!

“Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris berbisik.

“Kontrak tiga tahun,” lanjut Raka santai.

“Aku butuh status untuk menghentikan Opa. Kamu butuh uang. Win-win.”

Opa tertawa kecil. “Gila. Raka, kau akhirnya juga main kotor, ya?”

“Lebih baik aku main kotor, daripada melihat Opa benar-benar menikahi gadis ini,” balas Raka dingin.

Anaya menggeleng. “Tunggu... Ini keterlaluan. Aku bahkan tidak kenal kalian.”

Raka menyandarkan tubuh, matanya menatap lurus padanya.

“Kau bisa tolak. Tapi setelah ini, Opa nggak akan berhenti. Dia akan mengirim bunga ke rumahmu, jemput kamu pakai mobil mewah, merayu keluargamu dengan uang. Kamu mau”

Anaya mencelos. Ia tahu itu mungkin terjadi.

“Kalau kamu jadi istriku, maksudnya istri palsu, tentu saja Opa akan menyerah. Tiga tahun, kita jalanin kontrak, lalu cerai. Nanti aku kasih kompensasi uang di akhir.”

“Tapi…”

“Pilihannya cuma dua.” Raka mencondongkan tubuh ke depan, suaranya menurun, nyaris seperti bisikan.

“Jadi istri kakek kakek bau minyak angin ini atau istri kontrak pria seperti aku, yang nggak akan menuntut lebih darimu.”

Anaya menatapnya. Wajah dingin, tatapan tajam, tapi ada satu hal yang bisa ia lihat di mata pria itu, ketulusan yang tidak pura-pura.

Ia tidak percaya dengan laki-laki itu, tapi lebih tidak percaya lagi dengan Opa Gaul.

Anaya yakin keluarganya… tak akan bisa menolak jika pria seperti ini datang membawa ‘solusi’.

Anaya menarik napas panjang.

“Boleh kutanya satu hal?”

“Tanya apa ???.”

“Kenapa aku? Kenapa kau yakin aku bakal setuju?”

Raka tersenyum tipis. Kali ini, senyuman yang membuat jantung Anaya berdebar.

"Karena kamu perempuan pertama... yang berhasil bikin Opa serius mau nikah lagi.”

Anaya nyaris tertawa sekaligus nyaris menangis juga.

Karena ini mungkin gila, tapi gila kadang... lebih baik daripada menyerah.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodoh Jebakan Dari Opa   Bab 120 - Cemburu

    Halaman rumah keluarga besar Raka dipenuhi aroma bunga kamboja dan kopi hangat. Opa duduk santai di teras, membaca koran sambil sesekali tertawa kecil melihat headline berita yang tidak penting sama sekali.Di sisi lain, Anaya sedang menyiram tanaman, sementara Jay dengan santainya berdiri di sampingnya, untuk melindungi Anaya dari sinar matahari.Pemandangan itu seolah biasa saja kecuali bagi seseorang yang berdiri diam di dekat pagar, memperhatikan dari kejauhan.Lara.Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak menegang. Matanya tajam, tapi kali ini bukan karena amarah melainkan rasa yang bahkan ia sendiri sulit mengartikan.Ada perasaan aneh yang mengaduk dadanya melihat Jay, tersenyum selembut itu pada Anaya.“Jay, kamu nggak pernah sehangat itu sama aku,” gumamnya lirih.Lara datang dengan alasan klasik, mengantar dokumen ke

  • Jodoh Jebakan Dari Opa   Bab 119 - Tatapan Yang Mulai Terbaca

    Rumah besar itu kini seperti medan perang dingin tanpa suara.Bukan karena Opa marah, bukan juga karena ada masalah besar di perusahaan, semuanya berawal dari satu hal kecil yang makin hari makin mengusik Raka adalah cara Jay memandang Anaya.Jay, dengan pesona khasnya yang flamboyan, seolah tak kenal batas. Tatapannya yang dulu diarahkan pada Lara, kini entah kenapa lebih sering singgah pada sosok polos yang selalu membuat seisi rumah tertawa. Anaya, tanpa sadar, jadi pusat gravitasi baru di rumah itu.Pagi itu, Anaya sibuk menata bunga di ruang tamu. Rambutnya dikuncir asal, kaus oversize milik Raka menggantung longgar di bahunya, pemandangan yang bagi Raka seharusnya eksklusif hanya untuk dirinya.Entah dari mana Jay muncul dengan secangkir kopi di tangan, menyandarkan bahunya di pintu sambil tersenyum.“Wah, pagi-pagi udah kayak bunga matahari aja. Cerah banget,” godanya.

  • Jodoh Jebakan Dari Opa   Bab 118 - Protektif atau Posesif

    Sejak kejadian beberapa hari terakhir, Raka berubah menjadi suami versi “bodyguard profesional.”Setiap kali Anaya ke dapur, Raka ikut.Setiap kali Anaya mau belanja ke minimarket dekat rumah, Raka bilang, “Aku anter.”Setiap kali ponsel Anaya berdering, Raka refleks menoleh seperti sedang dalam misi rahasia.Awalnya, Anaya merasa lucu, lama-lama menyebalkan juga.Pagi itu, di meja makan, Anaya sedang menulis daftar belanja mingguan.“Aku mau ke supermarket siang ini, ya Mas. Sekalian beli bahan buat masak malam nanti.”Raka, yang sedang menyeruput kopi, langsung menaruh cangkirnya pelan. “Mas ikut.”Anaya mendesah. “Aku cuma ke supermarket, Mas. Lima belas menit aja.”“Ya Mas temenin. Lima belas menit kan nggak lama.”“Mas kan ada m

  • Jodoh Jebakan Dari Opa   Bab 117 - Tatapan yang Tak Seharusnya

    Pagi itu, aroma kopi hitam dan roti panggang memenuhi ruang makan besar keluarga Hartono. Sinar matahari menembus jendela lebar, menyoroti meja kayu panjang tempat semua orang biasa sarapan bersama. Raka baru turun dari tangga, masih mengenakan kemeja kasual biru muda, sementara Anaya sudah duduk lebih dulu, sedang menyusun roti isi kesukaannya. Jay, seperti biasa, datang paling belakangan. kali ini, begitu matanya jatuh pada Anaya yang sedang mengoleskan selai, ia berhenti sesaat di ambang pintu. Ada senyum kecil yang terbit di bibirnya, senyum yang seharusnya tidak muncul untuk istri orang lain. “Pagi, semuanya,” sapa Jay santai. “Pagi, Jay,” jawab Anaya ramah tanpa sadar bahwa sejak ia mengangkat wajahnya, pandangan Jay tidak berpaling. Opa Hartono yang duduk di kursi ujung meja menurunkan korannya perlahan. Ia menatap Jay sejen

  • Jodoh Jebakan Dari Opa   Bab 116 - Permainan Hati Lara

    Sore itu, langit mulai berwarna jingga. Dari balkon rumah besar keluarga Raka, semilir angin berhembus lembut membawa aroma teh melati yang baru saja diseduh Anaya.Di halaman bawah, suara tawa Lara terdengar begitu renyah, sesuatu yang bahkan Opa Hartono sampai menoleh dan mengerutkan kening.“Sejak kapan si Lara itu bisa tertawa selepas itu?” gumam Opa, separuh heran, separuh waspada.Raka yang duduk di sebelahnya hanya menatap sekilas. Di bawah sana, Lara tampak tertawa bersama Jay, sepupunya sendiri yang belakangan ini terlalu menikmati peran ‘penjaga rumah sementara’.Jay, dengan gaya khasnya yang flamboyan, sedang menceritakan kisah lucu sambil memainkan ekspresi dramatis. Lara menepuk bahu Jay sambil menahan tawa, matanya berbinar.Raka menghela napas pendek. “Sepertinya strategi Opa berhasil.”Opa tersenyum samar.

  • Jodoh Jebakan Dari Opa   Bab 115 - Tatapan yang Mulai Menunggu

    Pagi di rumah keluarga Hartono selalu ramai. Burung-burung di taman bersahut-sahutan, aroma roti panggang memenuhi udara, dan suara Opa dari ruang tengah sudah terdengar sejak jam enam. Tapi pagi ini, Anaya terlihat sedikit... gelisah.Ia duduk di meja makan sambil memainkan sendok, wajahnya murung. Biasanya ia lah yang paling cerewet, tapi kali ini cuma diam.Raka yang duduk di seberang memperhatikan diam-diam.“Kenapa, Sayang? Roti gosong, ya?”Anaya menatap suaminya, lalu menggeleng.“Nggak...”“Terus? Kamu lagi mikirin skripsi lagi? Padahal udah lulus loh, Bu Sarjana,”Raka menggoda sambil tersenyum tipis.Anaya menghela napas. “Bukan skripsi... Jay.”Raka berhenti mengunyah.“Jay?” ulangnya pelan, alis naik sedikit.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status