LOGIN“Jadi, kamu mau bagaimana” Raka bersandar santai di kursinya, lalu melirik Anaya tajam.
“Sekarang tinggal pilih. Mau menikah kontrak denganku, atau jadi istri sah dari Aki-aki gaul ini?” Kata-katanya meluncur tanpa beban, seolah-olah ini hal biasa yang bisa diputuskan sambil ngobrol santai. "Dasar OM Om aneh." gumamnya kesal. Anaya masih membeku di tempat. Jari-jarinya mencengkeram ujung gaunnya, matanya berpindah-pindah antara dua pria di depannya. " Ya tuhan, kenapa aku harus bertemu orang orang aneh ini. yang satu, Opa Gaul, dengan senyum genitnya, ih ....sorot mata itu , ngeri banget, buat punggungnya panas dingin. Nggak mauuuuuu" batinnya. Satu lagi, Ia melihat Raka, yang dari tadi bicara seenaknya seolah tahu dia tak akan ditolak. Di mata Anaya, keduanya sama-sama aneh. "Ih ..ampun deh. Yang satu nggak sadar umur. Yang satu lagi kelewat pede, seolah yakin dirinya hadiah Tuhan untuk para perempuan. eee ... parahnya, sekarang aku harus memilih salah satu." nurani Anaya berontak. Dari sudut meja, Mama melotot padanya. Pandangan penuh tekanan, seolah berkata : " Pilih.... Sekarang. Jangan buang kesempatan. mereka yang akan membantu hidup kita " Anaya menarik napas dalam-dalam. Mencoba menimbang apa yang harus ia putuskan dalam waktu yang singkat ini.. " Aki tua ini mungkin tajir melintir, tapi membayangkan aku hidup serumah dengan pria yang cukup tua yang pantas menjadi kakek aku… nggak kebayang deh bakal mules terus tiap hari ". Anaya masih melamun sambil mikir, apa yang jadi pilihannya, sekali lagi ia melihat ke arah Om Om yang tak jauh darinya. " Om ini terlihat dingin dan menyebalkan, mulutnya juga tajam, tapi... dia menawarkan batas. Kontrak. tapi bolehlah, aku rasa, pria itu masih punya sisi manusia. " Akhirnya, Anaya mengangkat kepala. “Saya pilih… Om saja ,” ucapnya pelan, tapi tegas. Wajah Mama langsung lega. Opa mengedipkan mata. Sedangkan Raka… tersenyum miring karena yakin pasti dia yang dipilih. “Bagus,” katanya santai. “Berarti otakmu masih berfungsi.” Anaya mencelos. Kata-kata Pria songong barusan sukses membuat darahnya naik ke kepala. “Ih, nyebelin banget!” geramnya dalam hati. Raka tidak berhenti sampai di situ. Ia memutar tubuh, menghadap Opanya, lalu berkata dengan nada mengejek. “Sudah dengar kan, Opa? Tajir saja nggak cukup buat beli cinta gadis muda. sudah aku bilang, Opa fokus saja menikmati hari tua” Opa Gaul tersenyum... tapi kali ini, senyum itu tidak semanis tadi. “Hah ... kamu tu juga sadar nggak , Anaya saja manggil kamu om om, itu artinya kamu juga sudah tua Raka...” sindir kakeknya sambil mengejek cucu bandelnya. "Dasar Aki Aki tua keladi. Aku ini masih muda Opa ...belum om om. Gadis ini saja terlalu berlebihan menilai" sambil memandang muka Opanya kesal. Opa tidak menunjukkan kemarahan, justru ia menyenderkan punggung, menyilangkan tangan di dada. "Belum tentu juga, Raka. Siapa tahu...Anaya hanya terpaksa memilih kamu. pokoknya sebelum janur kuning melengkung, dia masih akan berubah pikiran.” Wajah Opa tetap kalem, dan senag rasa di hati. skenario yang ia rancang kali sedikit berhasil. ibarat mancing, ikan sudah menangkap umpan. “Kalau mereka benar-benar menikah… ya bagus. Toh itu tujuanku. Sudah capek aku menyuruh cucu satu ini menikah, nggak pernah nurut. Harus pakai jebakan dulu.” ujar Opa Hartono dalam hati sambil senyum di kulum. Ia mengangkat gelas anggurnya, lalu tersenyum pada keduanya. “Selamat atas rencana mendadak kalian. Opa yakin kalian nggak akan cocok,” ucapnya. Raka hanya mendengus, Anaya makin geram dan meminta mamanya untuk pulang sekarang. "Dasar Kakek aneh, Doain cocok kek, eh malah doain yang jelek..sebel" geram Anaya. Anaya beranjak bangkir dari kursinya, lalu langsung mengajak mamanya pulang. "Ayo.ma, kita pulang " ajak Anaya sambil menarik tangan mamanya. Nafa Anaya masih belum stabil, pipinya panas menahan emosi. mama Anaya terlihat tak enak hati, lalu berbicara singkat. "Pak Hartono, terima kasih makan malamnya..semuanya enak. salam dari suami saya pak, maafkan putri saya ya pak, mau buru buru pulang" Sementara, Anaya masih gondok. " Apa sebetulnya maunya mereka. aku sudah memilih, tapi cara mereka memperlakukan aku kayak barang dagangan. Sebeellllll ... " teriaknya dalam hati. Belum sempat mencapai pintu, suara berat dan datar itu menyusulnya. “Hei… kemasan saset.” Anaya berhenti. Perlahan menoleh dengan tatapan tak percaya. “Besok kamu ke rumah. Kita harus bahas pernikahan kontrak ini. ada beberapa hal yang harus kita sepakati” "SASET? Dia manggil aku begitu. Memanh benar-benar cowok gila." Anaya hampir berbalik dan menyumpal mulut pria itu dengan sendok sup. Melihat reaksi itu, Raka dengan wajah menyebalkan dan sikapnya yang seperti bos perusahaan, Ia menatap Anaya datar, seolah dia tidak sadar kalau kalimatnya barusan membuat gadis cantik waras berubah jadi harimau. “Kemasan saset? Enak aja. Dasar kadal buntung, nggak laku!” ucap Anaya sambil mengepalkan tangan. Dari meja makan, terdengar suara cekikikan pelan. Opa Hartono, sang biang kerok dari semua kekacauan ini menyandarkan tubuhnya ke kursi, tertawa geli melihat interaksi cucunya dan calon cucu menantunya yang keras kepala. “Hahaha… seru juga ya kalian ini. Semoga kalian tiap hari nggak perang atau jangan sampai UFO bakal datang ke rumah kalian,” ejek Opa sambil mengangguk-angguk puas. Anaya cuma memaksakan senyum sopan. Dalam hati… ingin mengganti keputusan. "Dasar Opa yang aneh." Sebelum ia benar-benar pergi, suara Opa kembali terdengar. Kali ini dengan nada dibuat buay yang tak sesuai umur. “Dek Anaya, kesukaan kamu apa? Opa akan belikan, mau apa sayang. Apa akan turuti semua mau kamu?” Anaya nyaris tertawa. Bukan karena lucu, tapi karena geli campur ngeri. "Opa ini kenapa sih, labil banget. bikin geli plus takut ...hiiiiii ...?" ucapnya dalam hati, tapi dia tetap membungkuk sopan. “Terima kasih, tapi maaf ya Opa, saya nggak biasa minta-minta.” Di sampingnya, Raka tampak mulai gerah. Rahangnya mengeras, tangannya menyentuh pelipis. Seolah sedang menahan diri untuk tidak memanggil satpam dan meminta menyeret Opanya pulang. “Opa, bisa nggak… jangan lebay kayak ABG TikTok?” desis Raka akhirnya. Opa tertawa semakin keras. “Lho, Opa ini cuma mau akrab sama calon cucu menantu. Dulu kamu yang ogah menikah, sekarang sudah Opa siapkan calon, malah jutek.” Raka menghela napas panjang. Anaya? Ia sudah benar-benar lelah dan sudah kehabisan energi untuk melanjutkan pekerjaan. “Besok jam berapa?” tanyanya singkat ke Raka. “Jam sembilan pagi. Jangan telat. Aku nggak suka buang waktu,” jawab Raka singkat. Anaya hanya mengangguk tanpa menatap wajahnya. Ia melangkah pergi dengan fikirannya penuh gejolak. Besok, ia akan membahas pernikahan palsu dengan pria paling menyebalkan yang pernah ia temui dan ia baru sadar... Ini baru permulaan. "Ayo ma, Kita pulang, tambah pusing kalau lama di sini." ***Halaman rumah keluarga besar Raka dipenuhi aroma bunga kamboja dan kopi hangat. Opa duduk santai di teras, membaca koran sambil sesekali tertawa kecil melihat headline berita yang tidak penting sama sekali.Di sisi lain, Anaya sedang menyiram tanaman, sementara Jay dengan santainya berdiri di sampingnya, untuk melindungi Anaya dari sinar matahari.Pemandangan itu seolah biasa saja kecuali bagi seseorang yang berdiri diam di dekat pagar, memperhatikan dari kejauhan.Lara.Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak menegang. Matanya tajam, tapi kali ini bukan karena amarah melainkan rasa yang bahkan ia sendiri sulit mengartikan.Ada perasaan aneh yang mengaduk dadanya melihat Jay, tersenyum selembut itu pada Anaya.“Jay, kamu nggak pernah sehangat itu sama aku,” gumamnya lirih.Lara datang dengan alasan klasik, mengantar dokumen ke
Rumah besar itu kini seperti medan perang dingin tanpa suara.Bukan karena Opa marah, bukan juga karena ada masalah besar di perusahaan, semuanya berawal dari satu hal kecil yang makin hari makin mengusik Raka adalah cara Jay memandang Anaya.Jay, dengan pesona khasnya yang flamboyan, seolah tak kenal batas. Tatapannya yang dulu diarahkan pada Lara, kini entah kenapa lebih sering singgah pada sosok polos yang selalu membuat seisi rumah tertawa. Anaya, tanpa sadar, jadi pusat gravitasi baru di rumah itu.Pagi itu, Anaya sibuk menata bunga di ruang tamu. Rambutnya dikuncir asal, kaus oversize milik Raka menggantung longgar di bahunya, pemandangan yang bagi Raka seharusnya eksklusif hanya untuk dirinya.Entah dari mana Jay muncul dengan secangkir kopi di tangan, menyandarkan bahunya di pintu sambil tersenyum.“Wah, pagi-pagi udah kayak bunga matahari aja. Cerah banget,” godanya.
Sejak kejadian beberapa hari terakhir, Raka berubah menjadi suami versi “bodyguard profesional.”Setiap kali Anaya ke dapur, Raka ikut.Setiap kali Anaya mau belanja ke minimarket dekat rumah, Raka bilang, “Aku anter.”Setiap kali ponsel Anaya berdering, Raka refleks menoleh seperti sedang dalam misi rahasia.Awalnya, Anaya merasa lucu, lama-lama menyebalkan juga.Pagi itu, di meja makan, Anaya sedang menulis daftar belanja mingguan.“Aku mau ke supermarket siang ini, ya Mas. Sekalian beli bahan buat masak malam nanti.”Raka, yang sedang menyeruput kopi, langsung menaruh cangkirnya pelan. “Mas ikut.”Anaya mendesah. “Aku cuma ke supermarket, Mas. Lima belas menit aja.”“Ya Mas temenin. Lima belas menit kan nggak lama.”“Mas kan ada m
Pagi itu, aroma kopi hitam dan roti panggang memenuhi ruang makan besar keluarga Hartono. Sinar matahari menembus jendela lebar, menyoroti meja kayu panjang tempat semua orang biasa sarapan bersama. Raka baru turun dari tangga, masih mengenakan kemeja kasual biru muda, sementara Anaya sudah duduk lebih dulu, sedang menyusun roti isi kesukaannya. Jay, seperti biasa, datang paling belakangan. kali ini, begitu matanya jatuh pada Anaya yang sedang mengoleskan selai, ia berhenti sesaat di ambang pintu. Ada senyum kecil yang terbit di bibirnya, senyum yang seharusnya tidak muncul untuk istri orang lain. “Pagi, semuanya,” sapa Jay santai. “Pagi, Jay,” jawab Anaya ramah tanpa sadar bahwa sejak ia mengangkat wajahnya, pandangan Jay tidak berpaling. Opa Hartono yang duduk di kursi ujung meja menurunkan korannya perlahan. Ia menatap Jay sejen
Sore itu, langit mulai berwarna jingga. Dari balkon rumah besar keluarga Raka, semilir angin berhembus lembut membawa aroma teh melati yang baru saja diseduh Anaya.Di halaman bawah, suara tawa Lara terdengar begitu renyah, sesuatu yang bahkan Opa Hartono sampai menoleh dan mengerutkan kening.“Sejak kapan si Lara itu bisa tertawa selepas itu?” gumam Opa, separuh heran, separuh waspada.Raka yang duduk di sebelahnya hanya menatap sekilas. Di bawah sana, Lara tampak tertawa bersama Jay, sepupunya sendiri yang belakangan ini terlalu menikmati peran ‘penjaga rumah sementara’.Jay, dengan gaya khasnya yang flamboyan, sedang menceritakan kisah lucu sambil memainkan ekspresi dramatis. Lara menepuk bahu Jay sambil menahan tawa, matanya berbinar.Raka menghela napas pendek. “Sepertinya strategi Opa berhasil.”Opa tersenyum samar.
Pagi di rumah keluarga Hartono selalu ramai. Burung-burung di taman bersahut-sahutan, aroma roti panggang memenuhi udara, dan suara Opa dari ruang tengah sudah terdengar sejak jam enam. Tapi pagi ini, Anaya terlihat sedikit... gelisah.Ia duduk di meja makan sambil memainkan sendok, wajahnya murung. Biasanya ia lah yang paling cerewet, tapi kali ini cuma diam.Raka yang duduk di seberang memperhatikan diam-diam.“Kenapa, Sayang? Roti gosong, ya?”Anaya menatap suaminya, lalu menggeleng.“Nggak...”“Terus? Kamu lagi mikirin skripsi lagi? Padahal udah lulus loh, Bu Sarjana,”Raka menggoda sambil tersenyum tipis.Anaya menghela napas. “Bukan skripsi... Jay.”Raka berhenti mengunyah.“Jay?” ulangnya pelan, alis naik sedikit.







