Lidahku mulai bergerilya, mengitari mulut siapa tahu ada sisa makanan yang terselip di sela-sela gigi. Kawatir nanti kalau tertawa ada cabe atau sayur ijo yang nempel di gigi, kan malu. Setelah kejadian nasi nangkring di bibir, masa ditambah cabe nyempil di gigi.
"Gayanya sok cuek, waktu Gue inpoh bakal kedatengn dosen ganteng, nyatanya paling terseponah sampe nggak kedip gitu matanya," ucap Pinkan saat kami tengah beristirahat di kantin. Aku hanya diam saja, sambil mengaduk es jeruk. Nggak ada gairah buat ladeni si emping. Kalau dia tahu istrinya Pak Abyan itu aku ... Kira-kira gimana ya tanggapannya. Apa dia mau menajuhiku atau .... "Btw istrinya Pak Abyan secakep apa yak?" gumamnya sambil mengetukkan jarinya ke dagu. Tu kan? Baru saja diomongin. "Beruntung banget deh dia, punya suami dosen ganteng," lanjutnya lagi. "Biasa ajah." Devi berkomentar sambil mulutnya sibuk mengunyah tahu bakso hingga ludahnya sedikit muncrat. "Elo mah nggak pernah nyambung kalo diajak bahas cogan, gue jadi parno deh jangan-jangan Lo nggak doyan cowok." "Emang gue kagak doyan cowok. Gue doyannya ini nih, yang kaya beginian," jawab Devi sambil menunjuk beberapa makanan di atas meja. "Eh, Bil. Lo kan habis balik kampung, mana nih oleh-olehnya, bawain Carica kan?" Devi mengganti topik, mungkin dia jengan dengan Pinkan yang suka bahas cowok. "Ada kok, cuma buat Lo berdua pokoknya," jawabku singkat. "Yes! Nanti kita pulang ngampus auto mampir kosan Lo." Byur ....! Mendengar ucapan Devi, tiba-tiba es jeruk yang baru mau lewat kerongkongan tersembur tepat di wajah Pinkan. "Bilaaa ...!" Pekik Pinkan. "Oh My God, ini muka bukan wastafel! Ya ampuun ... Bedak gue huwaaa ... Nggak sopan Lo ya!" bentaknya sambil menghentakkan kaki di bawah meja. "So-sori sori ... Gak sengaja." Aku mengambil beberapa tisyu lalu memberikan padanya, dia pun mengusap wajahnya dengan wajah bersungut-sungut. Sementara Devi malah tertawa, lebih tepatnya menertawakan nasib Pinkan. "Jahat Lo, Dev, malah ketawa, muka gue tuh pakenya skincare malah! Skin care air wudhu!" "Wow ...!" Aku dan Devi berdecak kompak. "Yang mengandung ekstrak air surga itu?" tanyanya antusias, tapi antusias mengejek. "Woiya dong!" jawab Pinkan pongah. "Surga dunia," lanjutnya lagi, membuatku dan Devi berebut menoyor kepalanya. . "Langsung cuss ke kosan Nabila yups," ucap Pinkan saat kami selesai kuliah. Devipun segera mengiyakan ajakannya. Waduh gawat! Gimana cara ngelesnya. "Eee ... Besok aja deh gue bawain oleh-oleh buat Lo berdua, sekarang gue buru-buru nih, gue udah gak tinggal di kosan juga lama." "Kenapa?" tanya Devi dan Pinkan serempak. "Dah diusir, gak bisa bayar!" "Sian amat, terus Lo tinggal dimana?" "Di ... Di ...." Aduh! Mesti jawab dimana ya. Masa iya bilang di rumah Pak Abyan, belum saatnya mereka tahu, sebaiknya memang nggak tahu. Jadi kalau nanti aku dan dia bercerai, aku masih tetap bisa hidup normal seperti biasa, tanpa ada embel-embel janda. "Dah nggak penting Lo tinggal dimana, mau dimana pun asal ada makanan gratis, kita ikut. Ke kolong jembatan pun kita samperin!" ujar Devi semangat. Dasar otak 'Badogan' kalau urusan makaan paling cepet responnya. Apalagi makanan gratisan. "Kaya nggak pernah makan aja, Lo," cibir Pinkan. "Tapi Lo juga mau kan? Yuk ah cuss!" Dia menggandeng lenganku. "Lo kenapa si, Bil, kebelet?" tanya Devi saat aku menahan langkah. Repot juga punya teman yang suka sekali 'Ngintil'. Kalo dulu mereka bebas keluar masuk kosan kaya di rumah sendiri, tapi sekarang .... "Kalian gak usah ikut lah, besok aja gue bawain, gue tuh sekarang di rumah ... Rumah om gue! iya, iya--Om." Aku akhirnya menemukan ide, tapi sepertinya mereka malah nggak percaya. "Sejak kapan Lo punya Om disini?" Pinkan menatapku curiga. Mampus! "Ya ... Punya lah, Lo berdua nggak ngerti." Aku kembali berkelit. Ternyata sulit juga bukan bakat ku bersilat lidah. "Gue curiga, jangan-jangan Lo sekarang punya om-om simpanan?" tuduh Pinkan. "Gilak! Seenak udel Lo nuduh gue!" Aku berlari meninggalkan mereka menuju parkiran. Kesal banget dituduh begitu. Ah tapi dengan begitu aku bisa kabur dari mereka. . Sampai rumah, aku bingung lagi karena rumah dikunci. Mirip gelandangan banget nggak si hidupku. Aku duduk di bangku kayu depan rumah. Mau ngapain, sudah dipecat dari tempat kerja, diusir dari kosan, sekarang .... "Butuh job nggak?" Pesan singkat dari mbak Ratna, jadi obat kegalauanku. Mungkin ini yang dimaksud bersama kesulitan pasti ada kemudahan. "Butuh banget ,Mbak," jawabku diiringi emotikon wajah penuh harap. "Ke butik ya, karyawanku ada yang cuti." "OK," balasku singkat tanpa lupa membubuhkan emotikon wajah berbunga. . "Mbak Bilaaa ...." Sampai di Butik aku disambut Alika--anak Mbak Ratna yang pernah kuasuh selama tiga tahun. Sebelum kuliah, aku bekerja sebagai Baby Sitter di tempat Mbak Ratna. Sebenarnya pekerjaan asliku mengasuh orang tuan Mbak Ratna, tapi beliau meninggal saat aku baru satu tahun bekerja. Karena kata Mbak Ratna sudah cocok denganku, dia lalu memintaku mengasuh Alika. Dia majikan yang sangat baik, saat aku berpamitan untuk berhenti kerja karena mau melanjutkan kuliah, dia malah mendukung dan masih tetap memberiku pekerjaan meski sekedar antar-jemput Alika, atau jadi kurir di butiknya. Atau apapun yang bisa kulakukan di waktu senggang. Hari ini tugasku serabutan, pokoknya apa aja dikerjain. Nyapu, merapikan baju, sampai mbak kasirpun ikut aku kerjain. . Kali ini aku cosplay menjadi kurir. Mengirim beberapa helai pakaian ke rumah pelanggan butik. Kulajukan roda duaku dengan santai. Sesekali melirik pasangan muda-mudi yang berboncengan mesra. Atau pengamen jalanan yang beraksi di bawah lampu merah sambil membawa peralatan musik seadanya. Selesai mengirim pesanan, aku kembali lagi ke butik. Kuparkirkan motor dengan rapi di pelataran butik, lalu memasuki butik setelah meletakkan helm dan kunci motor di tempatnya. "Silahkan Mas Abyan, lama nggak mampir." Terdengar suara Mbak Ratna menyambut tamu. Aku segera menemuinya untuk laporan, tapi langkahku berhenti melihat Abyan sedang berkunjung. Dia datang bersama ... Nadia. "Mbak mbak, Mas itu sering kesini?" tanyaku pada Mbak Kasir yang bernama Lia,sambil mengarahkan pandangan pada pasangan yang sedang memilih pakaian. "Ya ... Lumayan, dia pelanggan tetap, udah punya member card juga, tapi yang sering belanja ceweknya si, jarang-jarang masnya beli pakaian disini," jawabnya cukup panjang. "Ooow." Aku membulatkan mulut. Kembali memperhatikan mereka, Nadia sedang memilih beberapa pakaian sementara menungguinya sambil duduk dan membaca majalah. "Udah." Nadia melapor pada Abyan sambil membawa beberapa helai pakaian. Mereka lalu berjalan menuju kasir. Mampus! Aku kelabakan mencari tempat persembunyian. "Aku harus sembunyi dimana ini?" tanyaku pada diri sendiri. "Kamu tuh kenapa?" "Aduh, Mbak, aku tuh nggak boleh sampe ketemu Mas itu," ucapku pada Mbak Lia. "Kamu kenal?" tanyanya heran. "Enggg ... Aku ... Punya utang gede sama dia, belom bisa bayar, makanya kalo ketemu harus ngindar biar nggak ditagih di depan umum," ujarku padanya, tapi cocok nggak sih alasan itu. Aku menunduk lalu masuk ke kolong meja karena mereka semakin dekat. Kupegangi perut yang tiba-tiba mulas. Semoga nggak kentut di sini. "Ini, Mbak," ucap Nadia yang kutebak sedang menyerahkan belanjaannya pada Mbak Lia. "Jadi, berapa?" Kali ini suara Abyan terdengar. Pasti dia yang mau bayarin. Terdengar suara ketikan keyboard. "semuanya empat juta dua ratus ribu, sudah dipotong sepuluh persen," jawab Mbak Lia. Mataku melotot mendengar jumlah yang disebutkan. Empat juta cuma buat beli baju? Royal banget si Abyan, ya maklum dia kan berduit, pastinya juga sangat cinta pada Nadia jadi apapun itu pasti diberikan. Aku menjulurkan kepalaku, mengintip Mbak Lia yang masih berdiri. "Udah?" tanyaku setengah berbisik. Dia menoleh kebawah sambil mengarahkan telunjuknya di bibir. Okelah berarti belum selesai transaksinya, mereka pasti belum pergi. Aku kembali menunduk, tapi gerakanku kurang hati-hati sehingga kepalaku terantuk meja. "Suara apa itu? Kayaknya di bawah meja deh" tanya Nadia sama Mbak Lia. Mati aku, bakalan ketahuan ini. "Ooohh ...eee itu ... Maaf itu kucingnya Alika lepas deh kayaknya, jadi ngumpet di kolong meja," jawab Mbak Lia bohong. "Meeooww ...." Demi mempercantik drama, aku rela nyamar jadi kucing. "Iihhh kucingnya pasti cantik banget deh, dimana sih aku mau lihat." Aduh! "Puus ...." Nadia mulia memanggil, dan sepertinya sedang menunduk ke kolong meja. "Lah, kok bauk," ujarnya lagi. "Jangan-jangan kucingnya berak di sini," sahut Mbak Lia. "Masa berak disini sih, nanti pelanggan pada jijik lho, Mbak, dah ah aku gak jadi liat ipusnya yuk, Mas pulang aja!" Aman. Nafasku terasa lega, juga perut ikut lega setelah keluar jurus angin yang mematikan."Jadi sekarang kerjaan kamu jadi pengitai?" tanya Abyan sedikit mengejek. Setelah ketahuan menguntit, aku dipaksa pulang bersamanya, padahal masih mau jalan sama Genk Cilok."Enggak.""Nggak salah kan?" "Saya tuh nggak bermaksud ngikutin Bapak, tapi mereka yang ngajakin." Aku berusaha membela diri, kan memang benar aku hanya ikut-ikutan."Ya ya, besok masih mau ngikutin lagi?" "Nggak lah! Ngapain.""Sebaiknya memang diikutin, supaya tidak diambil orang," ucapnya lagi, aku hanya meliriknya malas. Diambil siapa? Kan memang dia milik Nadia, aku hanya numpang iklan.Aku melangkah menuju kamar, bersiap merebahkan tubuh yang lelah, tapi kamar sudah berubah. Barang-barangku tidak ada."Saya butuh ruangan yang lebih besar untuk ruang kerja dan meletakkan buku-buku, dan ... sepertinya kamu juga butuh tempat untuk belajar jadi kamar ini saya jadikan ruang kerja, sekaligus ruang belajar untukmu, nanti kalau ada tugas yang kamu nggak ngerti bisa tanya saya." Seperti mengerti isi kepalaku, dia
"Butik dah mau tutup, kamu nggak mau siap-siap pulang, apa mau nginep disini jadi penjaga Butik?"tanya Mbak Lia yang sedang merekap penjualan."Kalo boleh si mau tidur sini aja, Mbak," jawabku sambil merapikan baju-baju."Kenapa ini, kaya anak yang lagi ngambek sama orang tuanya aja." Mbak Lia terkekeh.Bukan ngambek sama orang tua, tapi malas tinggal dengan orang asing. Apalagi sejak kemarin melihat dia nempel sama Nadia, aku jadi semakin merasa tidak diinginkan. Bukannya aku cemburu, tapi ... merasa tidak berharga, jadi bukankah sebaiknya aku pergi.Pokoknya hari ini juga aku mau cari kos-kosan baru, tekatku sudah bulat. Kalau memang belum dapat, aku mau tidur saja di rumah Emping atau Devi."Mbak, saya mau ketemu perempuan yang tadi mengirim pesanan ke tempat Nadia." Terdengar suara seorang lelaki di depan butik. Aku segera ke depan, pasti yang dimaksud itu aku. Jangan-jangan aku punya kesalahan."Nah, itu dia orangnya!" Dia menunjukku yang baru keluar,sementara aku terpaku karena
"Dari mana?" Suara dingin menyapa saat aku sedang mengendap-endap masuk ke dalam rumah. Aku sampai terlonjak karena kaget. Kayaknya dia termasuk jenis mahluk setengah gaib deh, tiba-tiba berada di depanku, apa jangan-jangan dia punya teleportasi ya. Padahal tadi waktu aku tengak-tengok sepi, kaya nggak ada kehidupan. "Eee ... Dari ...." Aku menggaruk kepala yang terbungkus scarf motif. Kenapa mendadak gatal ya, ini pasti karena jadi duta shampo lain."Dari tadi saya udah pulang, tapi pintu dikunci, sudah nunggu lama, Bapak nggak pulang-pulang, jadi saya pergi lagi lah," lanjutku mendapat alasan dadakan."Kenapa nggak nelepon?" "Nelpon siapa? Satpol PP atau petugas Damkar? Saya kan nggak punya nomor Bapak." "Berarti kamu tadi nggak catat nomor saya ya."Lah memangnya dia kapan kasih nomor telepon"Kamu tahu ini jam berapa?" tanyanya menginterogasi. "Tau! jam sembilan lebih dua puluh menit," jawabku santai sambil menengok jam di dinding. "Jam sembilan lebih, kamu baru pulang? Apa
Lidahku mulai bergerilya, mengitari mulut siapa tahu ada sisa makanan yang terselip di sela-sela gigi. Kawatir nanti kalau tertawa ada cabe atau sayur ijo yang nempel di gigi, kan malu. Setelah kejadian nasi nangkring di bibir, masa ditambah cabe nyempil di gigi."Gayanya sok cuek, waktu Gue inpoh bakal kedatengn dosen ganteng, nyatanya paling terseponah sampe nggak kedip gitu matanya," ucap Pinkan saat kami tengah beristirahat di kantin.Aku hanya diam saja, sambil mengaduk es jeruk. Nggak ada gairah buat ladeni si emping. Kalau dia tahu istrinya Pak Abyan itu aku ... Kira-kira gimana ya tanggapannya. Apa dia mau menajuhiku atau ...."Btw istrinya Pak Abyan secakep apa yak?" gumamnya sambil mengetukkan jarinya ke dagu. Tu kan? Baru saja diomongin."Beruntung banget deh dia, punya suami dosen ganteng," lanjutnya lagi."Biasa ajah." Devi berkomentar sambil mulutnya sibuk mengunyah tahu bakso hingga ludahnya sedikit muncrat."Elo mah nggak pernah nyambung kalo diajak bahas cogan, gue ja
Tega sekali Abyan main pecat-pecat saja. Padahal kerja baru berapa bulan, dan disini lumayan buat tambahan uang jajan. Ternyata begitu tabiatnya. Dia pasti tipe bos sombong yang semena-mena dengan karyawan. Huh!Aku melangkah lemas menuju kos-kosan. Satu poin penting selain upah lumayan, di sini juga dekat dengan kosan, jadi irit bensin, atau bisa jalan kaki saja kalau sedang mode pelit."Eeh ... Nabila udah balik ya." Sampai di kosan, Bu Santi--si Ibu kos menyanbutku. Ini aneh, biasanya rada jutek karena masih punya tunggakan. Tapi ini ...."Sini-sini!" Dia menarik lenganku, mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Di sana ada sebuah tas besar teronggok di samping meja. "Itukan tasku," batinku heran."Nabila, Ibu minta maaf ya, kamarmu udah ada yang nempatin, bukan maksud ibu mau ngusir, tapi kamu kan masih ada tunggakan dua bulan, sedangkan Ibu sedang butuh sekali uang, jadi ... Ya ... Tapi Ibu bebasin kok uang kosan kamu yang dua bulan, nggak apa-apa udah ibu iklasin," tuturnya sambil
Hari ini aku bangun lebih pagi. Tidurku tidak nyenyak karena sekamar dengan orang asing. Pergerakanku jadi terbatas, aku tidak bisa buang angin dengan bebas.Kubenahi kamar yang berantakan, kasur lipat yang digelar dilantai segera kusimpan lagi. Saat tengah berbenah, mataku memicing, melihat dompet tergeletak di bawah kasur. Aku mengambil dompet itu untuk menyimpannya. Tidak ada niat kepo dengan isi dompet itu, tapi aku penasaran karena terlanjur melihat foto seorang gadis yang sepertinya tidak asing.Gadis itu memakai jilbab Navy, wajahnya berminyak dan sedikit kusam. Tangannya tengah memegang boneka tangan, untuk bercerita. Dalam hati aku membatin, kucel amat ini cewek, tapi setelah dilihat lagi ternyata itu wajahku.Ya ampun, jelek sekali ternyata aku. Eh tapi tunggu, kenapa dia menyimpan fotoku di dompetnya? Jangan-jangan dia sudah mengenalku sejak lama. Jangan-jangan lamaran itu tidak kesasar tapi memang dia sengaja mencariku, buktinya dia tetap melanjutkan pernikahan meski sud