Home / Romansa / Jodoh Kesasar / Jurus Cakra Angin

Share

Jurus Cakra Angin

last update Last Updated: 2025-08-15 23:33:50

Lidahku mulai bergerilya, mengitari mulut siapa tahu ada sisa makanan yang terselip di sela-sela gigi. Kawatir nanti kalau tertawa ada cabe atau sayur ijo yang nempel di gigi, kan malu. Setelah kejadian nasi nangkring di bibir, masa ditambah cabe nyempil di gigi.

"Gayanya sok cuek, waktu Gue inpoh bakal kedatengn dosen ganteng, nyatanya paling terseponah sampe nggak kedip gitu matanya," ucap Pinkan saat kami tengah beristirahat di kantin.

Aku hanya diam saja, sambil mengaduk es jeruk. Nggak ada gairah buat ladeni si emping. Kalau dia tahu istrinya Pak Abyan itu aku ... Kira-kira gimana ya tanggapannya. Apa dia mau menajuhiku atau ....

"Btw istrinya Pak Abyan secakep apa yak?" gumamnya sambil mengetukkan jarinya ke dagu. Tu kan? Baru saja diomongin.

"Beruntung banget deh dia, punya suami dosen ganteng," lanjutnya lagi.

"Biasa ajah." Devi berkomentar sambil mulutnya sibuk mengunyah tahu bakso hingga ludahnya sedikit muncrat.

"Elo mah nggak pernah nyambung kalo diajak bahas cogan, gue jadi parno deh jangan-jangan Lo nggak doyan cowok."

"Emang gue kagak doyan cowok. Gue doyannya ini nih, yang kaya beginian," jawab Devi sambil menunjuk beberapa makanan di atas meja. 

"Eh, Bil. Lo kan habis balik kampung, mana nih oleh-olehnya, bawain Carica kan?" Devi mengganti topik, mungkin dia jengan dengan Pinkan yang suka bahas cowok.

"Ada kok, cuma buat Lo berdua pokoknya," jawabku singkat.

"Yes! Nanti kita pulang ngampus auto mampir kosan Lo." 

Byur ....!

Mendengar ucapan Devi, tiba-tiba es jeruk yang baru mau lewat kerongkongan tersembur tepat di wajah Pinkan.

"Bilaaa ...!" Pekik Pinkan.

"Oh My God, ini muka bukan wastafel! Ya ampuun ... Bedak gue huwaaa ... Nggak sopan Lo ya!" bentaknya sambil menghentakkan kaki di bawah meja.

"So-sori sori ... Gak sengaja." Aku mengambil beberapa tisyu lalu memberikan padanya, dia pun mengusap wajahnya dengan wajah bersungut-sungut. Sementara Devi malah tertawa, lebih tepatnya menertawakan nasib Pinkan.

"Jahat Lo, Dev, malah ketawa, muka gue tuh pakenya skincare malah! Skin care air wudhu!"

"Wow ...!" Aku dan Devi berdecak kompak.

"Yang mengandung ekstrak air surga itu?" tanyanya antusias, tapi antusias mengejek.

"Woiya dong!" jawab Pinkan pongah.

"Surga dunia," lanjutnya lagi, membuatku dan Devi berebut menoyor kepalanya.

.

"Langsung cuss ke kosan Nabila yups," ucap Pinkan saat kami selesai kuliah. Devipun segera mengiyakan ajakannya.

Waduh gawat! Gimana cara ngelesnya.

"Eee ... Besok aja deh gue bawain oleh-oleh buat Lo berdua, sekarang gue buru-buru nih, gue udah gak tinggal di kosan juga lama."

"Kenapa?" tanya Devi dan Pinkan serempak.

"Dah diusir, gak bisa bayar!"

"Sian amat, terus Lo tinggal dimana?"

"Di ... Di ...." Aduh! Mesti jawab dimana ya. Masa iya bilang di rumah Pak Abyan, belum saatnya mereka tahu, sebaiknya memang nggak tahu. Jadi kalau nanti aku dan dia bercerai, aku masih tetap bisa hidup normal seperti biasa, tanpa ada embel-embel janda.

"Dah nggak penting Lo tinggal dimana, mau dimana pun asal ada makanan gratis, kita ikut. Ke kolong jembatan pun kita samperin!" ujar Devi semangat. Dasar otak 'Badogan' kalau urusan makaan paling cepet responnya. Apalagi makanan gratisan.

"Kaya nggak pernah makan aja, Lo," cibir Pinkan.

"Tapi Lo juga mau kan? Yuk ah cuss!" Dia menggandeng lenganku. 

"Lo kenapa si, Bil, kebelet?" tanya Devi saat aku menahan langkah. Repot juga punya teman yang suka sekali 'Ngintil'. Kalo dulu mereka bebas keluar masuk kosan kaya di rumah sendiri, tapi sekarang ....

"Kalian gak usah ikut lah, besok aja gue bawain, gue tuh sekarang di rumah ... Rumah om gue! iya, iya--Om." Aku akhirnya menemukan ide, tapi sepertinya mereka malah nggak percaya.

"Sejak kapan Lo punya Om disini?" Pinkan menatapku curiga. Mampus!

"Ya ... Punya lah, Lo berdua nggak ngerti." Aku kembali berkelit. Ternyata sulit juga bukan bakat ku bersilat lidah.

"Gue curiga, jangan-jangan Lo sekarang punya om-om simpanan?" tuduh Pinkan.

"Gilak! Seenak udel Lo nuduh gue!" Aku berlari meninggalkan mereka menuju parkiran. Kesal banget dituduh begitu. Ah tapi dengan begitu aku bisa kabur dari mereka.

.

Sampai rumah, aku bingung lagi karena rumah dikunci. Mirip gelandangan banget nggak si hidupku.

Aku duduk di bangku kayu depan rumah. Mau ngapain, sudah dipecat dari tempat kerja, diusir dari kosan, sekarang ....

"Butuh job nggak?" Pesan singkat dari mbak Ratna, jadi obat kegalauanku. Mungkin ini yang dimaksud bersama kesulitan pasti ada kemudahan.

"Butuh banget ,Mbak," jawabku diiringi emotikon wajah penuh harap.

"Ke butik ya, karyawanku ada yang cuti."

"OK," balasku singkat tanpa lupa membubuhkan emotikon wajah berbunga.

.

"Mbak Bilaaa ...." Sampai di Butik aku disambut Alika--anak Mbak Ratna yang pernah kuasuh selama tiga tahun. Sebelum kuliah, aku bekerja sebagai Baby Sitter di tempat Mbak Ratna.

Sebenarnya pekerjaan asliku mengasuh orang tuan Mbak Ratna, tapi beliau meninggal saat aku baru satu tahun bekerja. Karena kata Mbak Ratna sudah cocok denganku, dia lalu memintaku mengasuh Alika.

Dia majikan yang sangat baik, saat aku berpamitan untuk berhenti kerja karena mau melanjutkan kuliah, dia malah mendukung dan masih tetap memberiku pekerjaan meski sekedar antar-jemput Alika, atau jadi kurir di butiknya. Atau apapun yang bisa kulakukan di waktu senggang.

Hari ini tugasku serabutan, pokoknya apa aja dikerjain. Nyapu, merapikan baju, sampai mbak kasirpun ikut aku kerjain.

.

Kali ini aku cosplay menjadi kurir. Mengirim beberapa helai pakaian ke rumah pelanggan butik. Kulajukan roda duaku dengan santai. Sesekali melirik pasangan muda-mudi yang berboncengan mesra. Atau pengamen jalanan yang beraksi di bawah lampu merah sambil membawa peralatan musik seadanya.

Selesai mengirim pesanan, aku kembali lagi ke butik. Kuparkirkan motor dengan rapi di pelataran butik, lalu memasuki butik setelah meletakkan helm dan kunci motor di tempatnya. 

"Silahkan Mas Abyan, lama nggak mampir." Terdengar suara Mbak Ratna menyambut tamu. Aku segera menemuinya untuk laporan, tapi langkahku berhenti melihat Abyan sedang berkunjung. Dia datang bersama ... Nadia.

"Mbak mbak, Mas itu sering kesini?" tanyaku pada Mbak Kasir yang bernama Lia,sambil mengarahkan pandangan pada pasangan yang sedang memilih pakaian.

"Ya ... Lumayan, dia pelanggan tetap, udah punya member card juga, tapi yang sering belanja ceweknya si, jarang-jarang masnya beli pakaian disini," jawabnya cukup panjang.

"Ooow." Aku membulatkan mulut. 

Kembali memperhatikan mereka, Nadia sedang memilih beberapa pakaian sementara menungguinya sambil duduk dan membaca majalah.

"Udah." Nadia melapor pada Abyan sambil membawa beberapa helai pakaian. Mereka lalu berjalan menuju kasir.

Mampus!

Aku kelabakan mencari tempat persembunyian. 

"Aku harus sembunyi dimana ini?" tanyaku pada diri sendiri.

"Kamu tuh kenapa?" 

"Aduh, Mbak, aku tuh nggak boleh sampe ketemu Mas itu," ucapku pada Mbak Lia. 

"Kamu kenal?" tanyanya heran.

"Enggg ... Aku ... Punya utang gede sama dia, belom bisa bayar, makanya kalo ketemu harus ngindar biar nggak ditagih di depan umum," ujarku padanya, tapi cocok nggak sih alasan itu.

Aku menunduk lalu masuk ke kolong meja karena mereka semakin dekat. Kupegangi perut yang tiba-tiba mulas. Semoga nggak kentut di sini.

"Ini, Mbak," ucap Nadia yang kutebak sedang menyerahkan belanjaannya pada Mbak Lia.

"Jadi, berapa?" Kali ini suara Abyan terdengar. Pasti dia yang mau bayarin.

Terdengar suara ketikan keyboard. "semuanya empat juta dua ratus ribu, sudah dipotong sepuluh persen," jawab Mbak Lia. 

Mataku melotot mendengar jumlah yang disebutkan. Empat juta cuma buat beli baju? Royal banget si Abyan, ya maklum dia kan berduit, pastinya juga sangat cinta pada Nadia jadi apapun itu pasti diberikan.

Aku menjulurkan kepalaku, mengintip Mbak Lia yang masih berdiri. 

"Udah?" tanyaku setengah berbisik. Dia menoleh kebawah sambil mengarahkan telunjuknya di bibir. Okelah berarti belum selesai transaksinya, mereka pasti belum pergi. Aku kembali menunduk, tapi gerakanku kurang hati-hati sehingga kepalaku terantuk meja.

"Suara apa itu? Kayaknya di bawah meja deh" tanya Nadia sama Mbak Lia. Mati aku, bakalan ketahuan ini. 

"Ooohh ...eee itu ... Maaf itu kucingnya Alika lepas deh kayaknya, jadi ngumpet di kolong meja," jawab Mbak Lia bohong.  

"Meeooww ...." Demi mempercantik drama, aku rela nyamar jadi kucing.

"Iihhh kucingnya pasti cantik banget deh, dimana sih aku mau lihat."

Aduh!

"Puus ...." Nadia mulia memanggil, dan sepertinya sedang menunduk ke kolong meja.

"Lah, kok bauk," ujarnya lagi.

"Jangan-jangan kucingnya berak di sini," sahut Mbak Lia.

"Masa berak disini sih, nanti pelanggan pada jijik lho, Mbak, dah ah aku gak jadi liat ipusnya yuk, Mas pulang aja!"

Aman.

Nafasku terasa lega, juga perut ikut lega setelah keluar jurus angin yang mematikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodoh Kesasar   Ending

    Allah punya cara sendiri dalam menjodohkan ummatnya. Ada banyak cara unik Allah dalam menemukan jodoh, seperti halnya aku dan Mas Abi, yang berjodoh dengan cara nyasar.Kalau dipikir-pikir memang tidak nalar. Tapi beginilah jalannya. Dan meski begitu, pada akhirnya kami bisa saling mencintai dan saling melengkapi.***“Papa ....” Bocah kecil itu tertatih menghampiri Mas Abi yang baru pulang kerja.“Hay Putri.” Mas Abi menyambutnya dengan membuka kedua tangannya dan Faza langsung meraih tubuhnya dengan langkah tertatih karena belum lancar berjalan.“Sini sama mama dulu, Papa baru pulang, masih capek.” Aku bermaksud memindahkan Faza ke gendonganku tapi dia menggeleng cepat malah bersembunyi di leher Mas Abi.“Udah nggak apa-apa, bikinin teh aja ya,” pinta Mas Abi. Dia lalu mengangkat tubuh Faza tinggi-tinggi membuatnya tertawa.Aku segera membuatkan teh dan menyiapkan air untuk Mas Abi. Setelah air siap, aku membawakan secangkir teh ke ruang tengah, tapi di sana tidak ada. Kuletakkan sa

  • Jodoh Kesasar   Obat Hati

    Sudah tiga hari aku kembali ke rumah, selama itu pula aku tidak pernah menyentuh Faza kecuali saat memberinya ASI, itupun karena Mas Abi yang meminta, memerah ASI-pun karena bengkak dan sakit sehingga terpaksa aku melakukan pumping...“Kamu kenapa?” Mas Abi merebahkan diri di belakangku, tangan besarnya melingkar di perutku.“Nabila,” panggilnya lagi karena aku masih bergeming.Dia lalu mengangkat tubuhku membuatku duduk dan berhadapan dengannya.“Sini cerita sama saya,” ucapnya sambil menatapku dalam. Bahkan saking dalamnya, aku sampai takut tenggelam.“Hey!” Dia mengangkat daguku karena tetunduk.“Aku ... Aku ... Huwaaa ....” Bukannya berbicara, aku malah gegerungan persis anak kecil minta mainan. Entah kenapa perasaanku begitu aneh. Seperti ada sesuatu yang menghimpit di dada.Dia menarikku ke dalam pelukannya, membuatku merasa nyaman dan semakin menumpahkan tangis di sana.“Sudah bisa cerita?” tanyanya setelah aku puas menangis. Dia merenggangkan pelukan dan mengusap air mataku

  • Jodoh Kesasar   Baby Blues Syndrome

    Aku membuka mata perlahan, memandang ruangan yang di dominasi warna putih.“Nabila, kamu sudah sadar?” Mas Abi yang berada di sampingku mendekatkan wajahnya.“Memangnya aku pingsan?” tanyaku balik dengan lirih. Entah kenapa tenagaku seperti habis terkuras.“Alhamdulillah,” lirihnya. Dia lalu menghujaniku dengan ciuman.“Terimakasih sudah berjuang,” ucapnya lagi sambil mengecup jemariku.Berjuang? Apa aku habis perang melawan penjajah?“Sebentar saya panggilkan dokter.” Dia lalu keluar dan kembali lagi dengan seorang dokter laki-laki.“Alhamdulillah, sudah bisa pindah ke ruang perawatan,” kata dokter muda itu setelah memeriksaku.“Alhamdulillah,” ucap Mas Abi masih tetap menggenggam erat jemariku.Aku lalu pindah ruangan. Brankar di dorong oleh beberapa petugas. Selama perjalanan, Mas Abi tidak melepas genggamannya. “Nabila ... Alhamdulillah, Nduk.” Mamak tergopoh-gopoh memasuki ruanganku. Dia memelukku penuh haru. Begitupun Bapak, yang tak henti mengusap kepalaku.“Laper, Mak,” renge

  • Jodoh Kesasar   Lelah

    Pak Santoso, adalah driver taksi yang sudah disiapkan Mas Abi untuk keadaan darurat. Akhir-akhir ini Mas Abi sering tugas di luar kampus, jadi dia mem-booking Pak Santoso agar siap siaga kapanpun dibutuhkan..."Baru pemukaan tiga, sabar dulu ya, Mbak. Nanti setengah jam lagi kita cek lagi. Tidurnya miring ke kiri," ucap seorang bidan yang menanganiku."Masih lama nggak?""Nanti tunggu pembukaan sepuluh, sabar ya."Haduh. Pembukaan sepuluh, sedangkan ini baru pembukaan tiga saja sudah sesakit ini. Bagaimana kalau sampai sepuluh, apa aku akan kuat."Mak, panggilin Mas Abi. Aku mau Mas Abi sekarang!""Iya-iya." Mamak mengambil ponsel dan menelepon Mas Abi."Maakk ...." Setengah menjerit aku memanggil Mamak karena perut rasanya seperti ditekan."Sabar, Bila. Banyakin berdoa biar bayi kamu keluar dengan selamat dan kamu juga selamat--""Argggh ...." Aku mengerang, saat ini aku tidak butuh nasehat, aku cuma butuh Mas Abi di sampingku."Jangan ngeden dulu ya, Mbak, ini sudah pembukaan tuju

  • Jodoh Kesasar   Welcom Baby

    "Kamu kenapa cengar-cengir gitu, Bil?" Mamak menatapku khawatir menyadariku bertingkah tidak biasa. Sejak pagi, aku merasa perutku mengencang, rasanya mau buang air besar, tapi saat ke kamar mandi rasa mulas hilang."Nggak apa-apa, Mak. Perut Bila cuma agak kenceng aja," jawabku. Aku tidak mau membuat Mamak khawatir, apalagi sekarang Mas Abi sedang mengisi seminar, jadi aku tidak bisa bermanja-manja.Tetap kupaksakan diri ke laundry, meski perut sebentar kencang sebentar tidak. Aku tetap mau pergi agar tidak terlalu merasakan sakit. Tapi sepertinya Mamak bisa menangkap gelagatku yang sering menahan sakit."Kami tetap mau ke Loundry, Bil? Rumah aja lah, Mamak kuwatir kamu lairan di sana.""Ya kalo kerasa nanti kan tinggal berangkat ke rumah sakit, Mak," elakku."Nggak-nggak! Kamu tetep rumah aja, udah siapin keperluan yang mau dibawa buat lahiran?" tanya Mamak seolah-olah aku sudah mau lahiran."Udah si, Mak.""Baju ganti kamu, terus perlengkapan bayi udah belom?""Udah." Aku ingat nas

  • Jodoh Kesasar   Love sekebon

    "Ya sama kampungku, Mas, emang sama siapa?" "Bukan sama seseorang yang ada di kampung?""Mas apaan, sih posesif gitu." Aku merengut. Padahal kan aku benar-benar rindu dengan suasana kampung...Sesuai perkiraan Mas Abi, hari ini Mamak dan Bapak sampai. Jam lima sore, mereka sudah sampai di rumah. Aku menyambutnya dengan pelukan hangat. Rindu sekali dengan Mamak yang bawel, dan Bapak yang apa adanya."Nabila, kamu tuh udah hamil segede itu malah jingkrak-jingkrak, nyeri Bapak lihat perutmu mentul-mentul," ucap Bapak. "Ho'oh, weteng wes gede ngono, egen pecicilan wae, Bil Bil." Mamak turut menimpali. "Kangen banget, Mak. Kan Bila seneng, akhirnya Mamak nemenin Bila disini, besok Bila ajakin jalan-jalan ke Mall, Mak." Aku memeluk Mamak lagi. Bapak melihatku sambil geleng-geleng kepala.Aku lalu mengajak mereka ke kamar yang sudah di persiapkan. Ruangan kosong yang sebelumnya dijadikan gudang, disulap jadi ruang kerja, sedangkan ruang kerja yang awalnya memang kamar tamu, dijadikan ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status