LOGINTega sekali Abyan main pecat-pecat saja. Padahal kerja baru berapa bulan, dan disini lumayan buat tambahan uang jajan. Ternyata begitu tabiatnya. Dia pasti tipe bos sombong yang semena-mena dengan karyawan. Huh!
Aku melangkah lemas menuju kos-kosan. Satu poin penting selain upah lumayan, di sini juga dekat dengan kosan, jadi irit bensin, atau bisa jalan kaki saja kalau sedang mode pelit. "Eeh ... Nabila udah balik ya." Sampai di kosan, Bu Santi--si Ibu kos menyanbutku. Ini aneh, biasanya rada jutek karena masih punya tunggakan. Tapi ini .... "Sini-sini!" Dia menarik lenganku, mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Di sana ada sebuah tas besar teronggok di samping meja. "Itukan tasku," batinku heran. "Nabila, Ibu minta maaf ya, kamarmu udah ada yang nempatin, bukan maksud ibu mau ngusir, tapi kamu kan masih ada tunggakan dua bulan, sedangkan Ibu sedang butuh sekali uang, jadi ... Ya ... Tapi Ibu bebasin kok uang kosan kamu yang dua bulan, nggak apa-apa udah ibu iklasin," tuturnya sambil senyum canggung. Entah kesialan macam apa lagi ini. Sudah dipecat dari tempat kerja, sekarang diusir dari kos-kosan. Nasib ... Nasib. "Sebagai permintaan maaf, motor kamu udah diisiin bensin full," lanjutnya lagi masih dengan senyuman canggung. Aku? Bagaimana lagi, mau apa kalau tidak terima nasib. Marah-marah juga tak bergairah. Cari kosan barupun, tidak mampu, dahlah nasib. Aku melajukan motor ke rumah Abyan, bukankah suami adalah tempat pulang? Ya ... Setidaknya aku punya tempat berteduh meski masih asing dengan tempat dan penghuninya. . Sampai rumah aku hanya berdiri di depan pintu yang terkunci. Oh ... Apa aku akan bernasib jadi gembel setelah ini. "Mau kemana?" Baru membalikkan badan, Abyan sudah berada di depanku. "Ya mau masuk rumah, lah!" jeritku dalam hati. Dia melirik tas besarku sekilas lalu membuka pintu kemudian masuk rumah tanpa mengajakku masuk, atau memberi kode dengan anggukan kepala minimal. Tapi ini .... Apa ini artinya aku memang tidak diperkenankan masuk ke rumahnya. Oh tolonglah, masa iya aku akan menjadikan langit sebagai atap rumahku dan bumi sebagai lantainya ... "Kamu ngapain komat-kamit di depan pintu kaya gitu? Oh saya tahu ... kamu pasti habis dari dukun dan lagi membaca mantra supaya saya jatuh cinta sama kamu kan?" Yungalah! Saking kesal menggerutu sendiri, aku sampai tidak sadar kalau dia memperhatikanku. Duh! Mana nuduh aku yang enggak-enggak lagi. "Masuk!" perintahnya, dan akupun menurutinya. Sampai di dalam, aku bingung. Mau meletakkan tasku dimana. Kamar cuma ada satu, itupun sudah dimasuki oleh pemiliknya. Masa iya aku ikutan masuk kamar juga, kan belum dipersilahkan. "Permisi." Terdengar suara ketukan diiringi salam. Abyan keluar kamar lalu membukakan pintu. Dia lalu menenteng beberapa plstik dan membawanya masuk setelah membayar ojek. "Bisa minta tolong bawakan ke dapur?" ucapnya sambil menyerahkan beberapa kresek ke arahku. "Ini ...?" Aku menerima plastik itu dengan heran. Banyak banget. "Kamu belum makan kan? Jangan sampe asam lambungmu kambuh." Dia tahu aku punya riwayat asam lambung? Pasti Mamak atau Bapak yang kasih tahu. "Nanti dikira saya nggak becus jagain kamu!" lanjutnya lagi. Okelah, buang jauh-jauh rasa Ge-eR, apalagi sampai meningkat jadi baper, jangan sampai. Selesai makan dan menata buah dan sayur ke dalam kulkas, aku lalu membersihkan dapur dan membersihkan diri. Karena kamar mandi dalam sedang dipakai, aku memakai kamar mandi dekat dapur. Entah apa yang sedang dilakukan Abyan di dalam kamar, sampai lama begini dia belum keluar. Mungkin dia tertidur, ingin menengoknya, tapi sungkan, nanti dikira mau apa. Akhirnya aku hanya duduk-duduk di sofa sambil membaca buku. Beberapa kali menguap karena lelah, akupun merebahkan diri. . Suara gemercik air, membuatku terjaga. Rupanya semalam aku ketiduran. Mataku sedikit menyipit karena lampun kamar yang terang. Kamar? Kenapa aku di kamar, bukannya terakhir aku berada di sofa sampai mengantuk. Aku melompat dari kasur, berlari ke depan toilet dan menggedornya kencang. "Nggak bisa sabar sedikit, atau kalo memang kamu kebelet kan bisa di kamar mandi luar," ucap Abyan sambil tersungut. Dia keluar dengan rambut basah. Keramaskah? Jangan-jangan .... "Bapak yang mindahin saya semalem?" tanyaku sedikit ngegas. Sedangkan dia hanya berdehem. "Terus Bapak ngapain saya semalem," tanyaku semakin ngegas. "Ngapain kamu?" tanyanya heran. "Jujur aja deh, Pak. Bapak pasti ngapa-ngapain saya kan, cari kesempatan waktu saya nggak sadar, buktinya sekarang udah keramas!" cecarku dengan jeda kalimat yang minim. "Memangnya kenapa kalau saya keramas, ini rambut, rambut saya suka-sukalah mau diapain." Dia berlalu sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk. "Terus ngapain Bapak mindahin saya dari sofa kesini." Aku membuntuti langkahnya, hampir saja kami bertabrakan saat dia tiba-tiba berhenti dan berbalik badan. "Saya nggak mindahin kamu, kamu sendiri yang tidur sambil jalan-jalan terus ngusir saya." Masa sih? Masa aku tidur sambil jalan ke kamar dan mengusir dia. Tapi melihat lantai yang digelari kasur bulu ... Sepertinya dia tadi malam tidur di sana. "Kayaknya otak kamu perlu disikat," ucapnya sambil meninggalkanku di kamar. Memangnya otakku ada noda mombandel sampai harus di sikat. . "Bedak mana bedak?" Di kelas, Pinkan yang baru saja sampai heboh mencari mekap di dalam tasnya. Padahal dandanannya sudah cukup wow pagi ini. "Kesambet Kunti Lo? Dateng-dateng langsung heboh?" tanya Devi heran melihat tingkah sabatnya itu. "Enak aja kesambet Kunti, mana ada Kunti kecantik gue?" belanya tak terima." "Eh betewe ya, dosen pengganti Pak Komar tuh masih muda, ganteng lagi, kan gue mesti tampil cantik ulala di pertemuan pertama ini," ucap Pinkan antusias. Sedangkan Devi langsung memalingkan muka mendengar ocehan Pinkan. Kalau bicara tentang cowok ganteng, Pinkan yang paling semangat, sedangkan Devi malas meladeni. Aku tak menggubris mereka berdua, karena sibuk dengan sarapan yang tertunda. Nasi uduk yang dibelikan Abyan tadi terpaksa kumakan di kelas agar tidak terlambat. "Sepuluh menit lagi," ucap Pinkan sambil menyapukan Blush On di pipinya. "Pokoknya gue harus tampil maksimal," ucapnya lagi. "Selamat pagi, semuanya ...." Selang beberapa menit, dosen masuk ke kelas. Untung aku sudah selesai dengan sarapanku, tinggal membungkus sampah ke dalam plastik dan memasukkan ke tas untuk kubuang nanti. "Saya Muhammad Abyan Syahputra, pengganti Pak Komar." Dari suara dan namanya seperti tidak asing. Aku lalu mendongak, kenapa dia lagi? Saking kagetnya aku melongo, sambil spontan berdiri. "Naksir si naksir, tapi nggak gitu juga kali, ndeso!" desis Pinkan sambil menarik lenganku sampai aku terduduk di kursi. "Sebelum belajar dimulai, ada pertanyaan?" tanyanya yang langsung mendapat respon dari dari cewek-cewek, tak terkecuali Pinkan. Dia paling semangat mengangkat jarinya. "Ya." Dia mempersilahka Pinkan untuk bertanya. "Bapak udah nikah belom?" tanyanya centil. Aduh! Dia yang ditanya kenapa aku yang deg-deg si. Dia diam sejenak sambil melirikku. "Sudah." "Yaahh ... " Beberapa cewek merasa kecewa. "Kenalin dong, Pak," celetuk salah seorang cewek. Nggak ada kerjaan banget batinku. Abyan lalu mendekat ke arahku, dari tatapannya, dia seperti ingin menyampaikan sesuatu. Aku jadi deg-deg an. Jangan-jangan mau ngaku. "Kamu bawa cermin?" tanyanya pada Pinkan yang langsung diiyakan. "Boleh saya pinjam?" tanyanya lagi. Pinkan pun dengan antusias memberikan cermin kecil itu. Dia lalu meletakkan cermin di mejaku. Bingung tak ada ucapan apa-apa, akupun mengambil cermin itu dan melihat pantulan wajahku di sana. Dan ... Astaga! Sebutir nasi nangkring di ujung bibir.Allah punya cara sendiri dalam menjodohkan ummatnya. Ada banyak cara unik Allah dalam menemukan jodoh, seperti halnya aku dan Mas Abi, yang berjodoh dengan cara nyasar.Kalau dipikir-pikir memang tidak nalar. Tapi beginilah jalannya. Dan meski begitu, pada akhirnya kami bisa saling mencintai dan saling melengkapi.***“Papa ....” Bocah kecil itu tertatih menghampiri Mas Abi yang baru pulang kerja.“Hay Putri.” Mas Abi menyambutnya dengan membuka kedua tangannya dan Faza langsung meraih tubuhnya dengan langkah tertatih karena belum lancar berjalan.“Sini sama mama dulu, Papa baru pulang, masih capek.” Aku bermaksud memindahkan Faza ke gendonganku tapi dia menggeleng cepat malah bersembunyi di leher Mas Abi.“Udah nggak apa-apa, bikinin teh aja ya,” pinta Mas Abi. Dia lalu mengangkat tubuh Faza tinggi-tinggi membuatnya tertawa.Aku segera membuatkan teh dan menyiapkan air untuk Mas Abi. Setelah air siap, aku membawakan secangkir teh ke ruang tengah, tapi di sana tidak ada. Kuletakkan sa
Sudah tiga hari aku kembali ke rumah, selama itu pula aku tidak pernah menyentuh Faza kecuali saat memberinya ASI, itupun karena Mas Abi yang meminta, memerah ASI-pun karena bengkak dan sakit sehingga terpaksa aku melakukan pumping...“Kamu kenapa?” Mas Abi merebahkan diri di belakangku, tangan besarnya melingkar di perutku.“Nabila,” panggilnya lagi karena aku masih bergeming.Dia lalu mengangkat tubuhku membuatku duduk dan berhadapan dengannya.“Sini cerita sama saya,” ucapnya sambil menatapku dalam. Bahkan saking dalamnya, aku sampai takut tenggelam.“Hey!” Dia mengangkat daguku karena tetunduk.“Aku ... Aku ... Huwaaa ....” Bukannya berbicara, aku malah gegerungan persis anak kecil minta mainan. Entah kenapa perasaanku begitu aneh. Seperti ada sesuatu yang menghimpit di dada.Dia menarikku ke dalam pelukannya, membuatku merasa nyaman dan semakin menumpahkan tangis di sana.“Sudah bisa cerita?” tanyanya setelah aku puas menangis. Dia merenggangkan pelukan dan mengusap air mataku
Aku membuka mata perlahan, memandang ruangan yang di dominasi warna putih.“Nabila, kamu sudah sadar?” Mas Abi yang berada di sampingku mendekatkan wajahnya.“Memangnya aku pingsan?” tanyaku balik dengan lirih. Entah kenapa tenagaku seperti habis terkuras.“Alhamdulillah,” lirihnya. Dia lalu menghujaniku dengan ciuman.“Terimakasih sudah berjuang,” ucapnya lagi sambil mengecup jemariku.Berjuang? Apa aku habis perang melawan penjajah?“Sebentar saya panggilkan dokter.” Dia lalu keluar dan kembali lagi dengan seorang dokter laki-laki.“Alhamdulillah, sudah bisa pindah ke ruang perawatan,” kata dokter muda itu setelah memeriksaku.“Alhamdulillah,” ucap Mas Abi masih tetap menggenggam erat jemariku.Aku lalu pindah ruangan. Brankar di dorong oleh beberapa petugas. Selama perjalanan, Mas Abi tidak melepas genggamannya. “Nabila ... Alhamdulillah, Nduk.” Mamak tergopoh-gopoh memasuki ruanganku. Dia memelukku penuh haru. Begitupun Bapak, yang tak henti mengusap kepalaku.“Laper, Mak,” renge
Pak Santoso, adalah driver taksi yang sudah disiapkan Mas Abi untuk keadaan darurat. Akhir-akhir ini Mas Abi sering tugas di luar kampus, jadi dia mem-booking Pak Santoso agar siap siaga kapanpun dibutuhkan..."Baru pemukaan tiga, sabar dulu ya, Mbak. Nanti setengah jam lagi kita cek lagi. Tidurnya miring ke kiri," ucap seorang bidan yang menanganiku."Masih lama nggak?""Nanti tunggu pembukaan sepuluh, sabar ya."Haduh. Pembukaan sepuluh, sedangkan ini baru pembukaan tiga saja sudah sesakit ini. Bagaimana kalau sampai sepuluh, apa aku akan kuat."Mak, panggilin Mas Abi. Aku mau Mas Abi sekarang!""Iya-iya." Mamak mengambil ponsel dan menelepon Mas Abi."Maakk ...." Setengah menjerit aku memanggil Mamak karena perut rasanya seperti ditekan."Sabar, Bila. Banyakin berdoa biar bayi kamu keluar dengan selamat dan kamu juga selamat--""Argggh ...." Aku mengerang, saat ini aku tidak butuh nasehat, aku cuma butuh Mas Abi di sampingku."Jangan ngeden dulu ya, Mbak, ini sudah pembukaan tuju
"Kamu kenapa cengar-cengir gitu, Bil?" Mamak menatapku khawatir menyadariku bertingkah tidak biasa. Sejak pagi, aku merasa perutku mengencang, rasanya mau buang air besar, tapi saat ke kamar mandi rasa mulas hilang."Nggak apa-apa, Mak. Perut Bila cuma agak kenceng aja," jawabku. Aku tidak mau membuat Mamak khawatir, apalagi sekarang Mas Abi sedang mengisi seminar, jadi aku tidak bisa bermanja-manja.Tetap kupaksakan diri ke laundry, meski perut sebentar kencang sebentar tidak. Aku tetap mau pergi agar tidak terlalu merasakan sakit. Tapi sepertinya Mamak bisa menangkap gelagatku yang sering menahan sakit."Kami tetap mau ke Loundry, Bil? Rumah aja lah, Mamak kuwatir kamu lairan di sana.""Ya kalo kerasa nanti kan tinggal berangkat ke rumah sakit, Mak," elakku."Nggak-nggak! Kamu tetep rumah aja, udah siapin keperluan yang mau dibawa buat lahiran?" tanya Mamak seolah-olah aku sudah mau lahiran."Udah si, Mak.""Baju ganti kamu, terus perlengkapan bayi udah belom?""Udah." Aku ingat nas
"Ya sama kampungku, Mas, emang sama siapa?" "Bukan sama seseorang yang ada di kampung?""Mas apaan, sih posesif gitu." Aku merengut. Padahal kan aku benar-benar rindu dengan suasana kampung...Sesuai perkiraan Mas Abi, hari ini Mamak dan Bapak sampai. Jam lima sore, mereka sudah sampai di rumah. Aku menyambutnya dengan pelukan hangat. Rindu sekali dengan Mamak yang bawel, dan Bapak yang apa adanya."Nabila, kamu tuh udah hamil segede itu malah jingkrak-jingkrak, nyeri Bapak lihat perutmu mentul-mentul," ucap Bapak. "Ho'oh, weteng wes gede ngono, egen pecicilan wae, Bil Bil." Mamak turut menimpali. "Kangen banget, Mak. Kan Bila seneng, akhirnya Mamak nemenin Bila disini, besok Bila ajakin jalan-jalan ke Mall, Mak." Aku memeluk Mamak lagi. Bapak melihatku sambil geleng-geleng kepala.Aku lalu mengajak mereka ke kamar yang sudah di persiapkan. Ruangan kosong yang sebelumnya dijadikan gudang, disulap jadi ruang kerja, sedangkan ruang kerja yang awalnya memang kamar tamu, dijadikan ka







