"Dari mana?" Suara dingin menyapa saat aku sedang mengendap-endap masuk ke dalam rumah. Aku sampai terlonjak karena kaget. Kayaknya dia termasuk jenis mahluk setengah gaib deh, tiba-tiba berada di depanku, apa jangan-jangan dia punya teleportasi ya. Padahal tadi waktu aku tengak-tengok sepi, kaya nggak ada kehidupan.
"Eee ... Dari ...." Aku menggaruk kepala yang terbungkus scarf motif. Kenapa mendadak gatal ya, ini pasti karena jadi duta shampo lain. "Dari tadi saya udah pulang, tapi pintu dikunci, sudah nunggu lama, Bapak nggak pulang-pulang, jadi saya pergi lagi lah," lanjutku mendapat alasan dadakan. "Kenapa nggak nelepon?" "Nelpon siapa? Satpol PP atau petugas Damkar? Saya kan nggak punya nomor Bapak." "Berarti kamu tadi nggak catat nomor saya ya." Lah memangnya dia kapan kasih nomor telepon "Kamu tahu ini jam berapa?" tanyanya menginterogasi. "Tau! jam sembilan lebih dua puluh menit," jawabku santai sambil menengok jam di dinding. "Jam sembilan lebih, kamu baru pulang? Apa memang sudah kebiasaan kamu kelayapan sampe malem?" Dia melipat tangannya di dada, nada suaranya rendah, tapi menekan. Meski begitu aku tidak merasa terintimidasi. "Maaf ya, Pak. Saya nggak kelayapan, saya baru pulang kerja." Tak terima dibilang kelayapan, enak aja emangnya gue cewek apapun. Dia melebarkan mata, menatapku tidak percaya. "Berhubung saya sudah dipecat dari loundry tanpa alasan konkrit, jadi ya sebisa mungkin lah cari kerjaan lagi, biar bisa nyambung hidup. Jadi anak rantauan itu nggak mudah, Pak. Jauh dari orang tua jauh sanak saudara, ngandelin kiriman dari orang tua aja kadang lama, kalo pas akhir bulan sering makan nasi sama tempe doang, masih mending itu, nasi kecap aja sering, makanya kalo sambil kerja kan jadi bisa nyambung hidup--" Eh. Kenapa malah curhat ya. Ah biarin, biar dia tahu gimana rasanya jadi aku, biar tidak semena-mena sama kaum bawah. "Jadi jangan seenaknya nuduh saya kelayapan, Pak, jangan semena-mena, udah dipecat dari tempat kerja, masih dituduh kelayapan," lanjutku lagi masih bersungut-sungut, biarlah keluarin saja semua unek-unek, kalau perlu soal hubungannya dengan Nadia yang masih lancar kaya jaringan 5G LTE. "Makanlah! Saya sudah orderin, ambil saja di meja makan, setelah itu istirahat di kamar," ujarnya sambil membalikkan badan. Loh, kok jadi baik ya, kena sawan mesti dia. . "Waahh, ayam bakar!" Setelah bebersih, aku menuju meja makan, sesuai yang diperintahkan Abyan untuk makan, dan saat membuka tudung saji, air liurku langsung berkumpul melihat boks berisi dua potong ayam bakar lengkap dengan sambal tomat dan lalapannya. Segera kuraih piring, dan mengambil nasi, lalu melahap sedikit demi sedikit makanan yang paling kusukai ini. Kucuil paha ayam, lalu memasukkan ke dalam mulut setelah mencocokkan dengan sambal. Biasanya makan ayam bakar sebulan sekali, saat baru gajian saja. Setelah itu, lanjut nasi tempe goreng atau mie instan yang jadi langganan. "Enak?" Abyan sudah duduk di sebelahku. Saking menikmatinya makanan enak, aku sampai tidak menyadari kehadirannya. Duh! Mana aku pas mangap lagi. "Emmm ... Iya." Berusaha tetap cuek meski sebenarnya grogi parah. Aku paling tidak bisa diperhatikan kalau sedang makan, rasanya kaya pengen 'nih buat kamu aja' gitu. "Punya saya mana?" Lah. Emang ada punya diakah? "Oh sudah habis ya," ujarnya setelah menilik isi box yang tinggal tulang. "Yasudah makan yang kenyang, ya," ujarnya lagi kemudian berlalu. Aduh, Bila! Kupikir itu ayam buatku semua. Ada dua paha di dalam satu box, lalu kuhabiskan semuanya, mana sampai tulang-tulangnya juga kukunyah buat dimakan sumsumnya. Berasa kaya psikopat nggak si. Ketahuan kan jarang makan enak. . Pagi ini, aku beraktivitas sedikit lebih awal, sedikit saja kalau kebanyakan takut sombong. Semalam sudah bisa tidur nyenyak, karena kamar tamu sudah dibereskan oleh Abyan dan aku tidur di sini sekarang. Jadi tidak ada rasa 'nggak enak' karena dia tidur di sofa sementara aku di kamarnya. Tidur berkualitas memang membuat badan lebih segar, aktivitas pagipun lancar. Seperti hari ini, jam enam pagi kerjaan sudah beres. Sarapan juga sudah siap di meja makan. Meski hanya sepiring nasi goreng dan telur dadar untukku saja. Untuk Abyan, aku tidak memikirkan. Orang berduit mana doyan makanan seperti itu. Aku berjalan menuju meja makan untuk sarapan. Setelah mandi dan bersiap, bayangan nasi goreng yang kumasak tadi membuat perut keroncongan. "Pagi, Pak," sapaku pada Abyan saat berpapasan. Dia baru meletakkan piring di atas watafel, sementara aku akan mencuci tangan karena mau sarapan. Tapi sampai di meja makan, sepiring nasi goreng sudah hilang entah kemana. Masa ilang, batinku kebingungan. Kucari di kolong meja, kosong. Di atas lemari, siapa tahu lupa waktu jalan dan meletakkan sembarangan, tapi bersih. Kucari lagi di ruang tengah, hanya ada Abyan yang sedang duduk sambil minum teh. Apa mungkin dia yang makan, tapi apa doyan masakanku. Ah iya, dari gelas yang sedang dia pegang, sepertinya itu teh yang kubuat tadi. Tidak salah lagi, itu memang tehku, gelas mama papa yang kugunakan cuma ada satu di dapur. "Pak," sapaku hati-hati. "Ya," jawabnya sambil menikmati teh manis, enak banget ya, padahal yang buat sedang keroncongan. "Eee ... Nasi goreng yang di atas meja--" "Oh iya, sudah saya makan, terimakasih ya buat sarapannya. Kamu pandai masak ternyata." "Oooh, Alhamdulillah kalo Bapak suka," ucapku basa-basi, padahal aslinya perut sudah meronta minta diisi. Aduh! Semoga di jalan ketemu mamang buryam atau nasi uduk, atau apalah buat ganjal perut, asal tidak diganjal dengan batu saja. "Saya mau berangkat." Aku mengulurkan tangan, bermaksud Salim sama suami, belajar jadi istri yang baik ceritanya. Tapi Abyan terlihat heran, dia lalu mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompetnya dan memberikan padaku "Bukan itu, maksud saya." "Kurang?" Dia mengerutkan dahi, lalu mengambil selembar lagi. Aku terpaku, niatnya bukan minta uang, tapi melihat lembaran merah, kok sayang kalau dilewatkan. "Makasih." Kusambar uang itu dan mencium tangannya singkat. Lalu cepat-cepat keluar rumah, tapi kembali ke dalam karena kunci motor tertinggal. "Kunci rumah ada di mini bar, kamu bawa satu, jangan lagi ada alesan nggak bisa masuk rumah dan kelayapan," ujarnya saat aku mengambil kunci motor. "Oke!" jawabku singkat. Kertas merah bergambar proklamator memang bisa jadi obat. Buktinya, tidak ada rasa ingin mendebatnya meski dia bilang kelayapan lagi. . "Kirim pesenan ke alamat ini ya, Bil." Mbak Lia menyerahkan paperbag padaku. Sepulang kuliah, aku kembali ke butik Mbak Ratna. "Oke," jawabku singkat lalu melesat menuju alamat tujuan sambil mendengarkan lagu 'Alamat Palsu'. Semoga saja alamat yang dituju tidak palsu. Kubaca lagi alamat tujuan, memastikan aku tidak salah alamat. Tepat di depan Kost aku berhenti. Pas, ini alamatnya Kost Putri--Dewi Sri No.20 atas Nama Nadia Sasmita. Tunggu! Kok namanya .... Saat baru menyadari satu nama yang tidak ingin kusebut, saat itu juga aku melihat Abyan keluar dari kamar kost. Mau balik arah, tapi sialnya dia sudah melihatku. "Ini baju pesenan Nadia," ucapku ketus sambil menyerahkan paparbag padanya. "Kamu kerja di Alika Boutiqe?" tanyanya diplomatis. "Iya," jawbaku singkat, lalu berbalik arah. Buat apa dia masuk kamar kost Nadia kalau bukan .... Ah! Kenapa pikiranku jadi begini, ya terserah mereka mau apa toh mereka pacaran. 'tapi kan kamu istrinya!' ada satu sisi hati yang berteriak. "Nabila, tunggu!" Setengah berlari dia mengejar langkahku. Pasti mau bilang, 'ini nggak seperti yang kamu lihat', basi! Sebaiknya aku jawab apa ya, terserah kamu, bukan urusanku, atau .... "Nabila!" Lagi, dia memanggilku. "Apa!" Sentakku. "Kenapa paperbagnya kamu bawa lagi?" Haistagh!"Jadi sekarang kerjaan kamu jadi pengitai?" tanya Abyan sedikit mengejek. Setelah ketahuan menguntit, aku dipaksa pulang bersamanya, padahal masih mau jalan sama Genk Cilok."Enggak.""Nggak salah kan?" "Saya tuh nggak bermaksud ngikutin Bapak, tapi mereka yang ngajakin." Aku berusaha membela diri, kan memang benar aku hanya ikut-ikutan."Ya ya, besok masih mau ngikutin lagi?" "Nggak lah! Ngapain.""Sebaiknya memang diikutin, supaya tidak diambil orang," ucapnya lagi, aku hanya meliriknya malas. Diambil siapa? Kan memang dia milik Nadia, aku hanya numpang iklan.Aku melangkah menuju kamar, bersiap merebahkan tubuh yang lelah, tapi kamar sudah berubah. Barang-barangku tidak ada."Saya butuh ruangan yang lebih besar untuk ruang kerja dan meletakkan buku-buku, dan ... sepertinya kamu juga butuh tempat untuk belajar jadi kamar ini saya jadikan ruang kerja, sekaligus ruang belajar untukmu, nanti kalau ada tugas yang kamu nggak ngerti bisa tanya saya." Seperti mengerti isi kepalaku, dia
"Butik dah mau tutup, kamu nggak mau siap-siap pulang, apa mau nginep disini jadi penjaga Butik?"tanya Mbak Lia yang sedang merekap penjualan."Kalo boleh si mau tidur sini aja, Mbak," jawabku sambil merapikan baju-baju."Kenapa ini, kaya anak yang lagi ngambek sama orang tuanya aja." Mbak Lia terkekeh.Bukan ngambek sama orang tua, tapi malas tinggal dengan orang asing. Apalagi sejak kemarin melihat dia nempel sama Nadia, aku jadi semakin merasa tidak diinginkan. Bukannya aku cemburu, tapi ... merasa tidak berharga, jadi bukankah sebaiknya aku pergi.Pokoknya hari ini juga aku mau cari kos-kosan baru, tekatku sudah bulat. Kalau memang belum dapat, aku mau tidur saja di rumah Emping atau Devi."Mbak, saya mau ketemu perempuan yang tadi mengirim pesanan ke tempat Nadia." Terdengar suara seorang lelaki di depan butik. Aku segera ke depan, pasti yang dimaksud itu aku. Jangan-jangan aku punya kesalahan."Nah, itu dia orangnya!" Dia menunjukku yang baru keluar,sementara aku terpaku karena
"Dari mana?" Suara dingin menyapa saat aku sedang mengendap-endap masuk ke dalam rumah. Aku sampai terlonjak karena kaget. Kayaknya dia termasuk jenis mahluk setengah gaib deh, tiba-tiba berada di depanku, apa jangan-jangan dia punya teleportasi ya. Padahal tadi waktu aku tengak-tengok sepi, kaya nggak ada kehidupan. "Eee ... Dari ...." Aku menggaruk kepala yang terbungkus scarf motif. Kenapa mendadak gatal ya, ini pasti karena jadi duta shampo lain."Dari tadi saya udah pulang, tapi pintu dikunci, sudah nunggu lama, Bapak nggak pulang-pulang, jadi saya pergi lagi lah," lanjutku mendapat alasan dadakan."Kenapa nggak nelepon?" "Nelpon siapa? Satpol PP atau petugas Damkar? Saya kan nggak punya nomor Bapak." "Berarti kamu tadi nggak catat nomor saya ya."Lah memangnya dia kapan kasih nomor telepon"Kamu tahu ini jam berapa?" tanyanya menginterogasi. "Tau! jam sembilan lebih dua puluh menit," jawabku santai sambil menengok jam di dinding. "Jam sembilan lebih, kamu baru pulang? Apa
Lidahku mulai bergerilya, mengitari mulut siapa tahu ada sisa makanan yang terselip di sela-sela gigi. Kawatir nanti kalau tertawa ada cabe atau sayur ijo yang nempel di gigi, kan malu. Setelah kejadian nasi nangkring di bibir, masa ditambah cabe nyempil di gigi."Gayanya sok cuek, waktu Gue inpoh bakal kedatengn dosen ganteng, nyatanya paling terseponah sampe nggak kedip gitu matanya," ucap Pinkan saat kami tengah beristirahat di kantin.Aku hanya diam saja, sambil mengaduk es jeruk. Nggak ada gairah buat ladeni si emping. Kalau dia tahu istrinya Pak Abyan itu aku ... Kira-kira gimana ya tanggapannya. Apa dia mau menajuhiku atau ...."Btw istrinya Pak Abyan secakep apa yak?" gumamnya sambil mengetukkan jarinya ke dagu. Tu kan? Baru saja diomongin."Beruntung banget deh dia, punya suami dosen ganteng," lanjutnya lagi."Biasa ajah." Devi berkomentar sambil mulutnya sibuk mengunyah tahu bakso hingga ludahnya sedikit muncrat."Elo mah nggak pernah nyambung kalo diajak bahas cogan, gue ja
Tega sekali Abyan main pecat-pecat saja. Padahal kerja baru berapa bulan, dan disini lumayan buat tambahan uang jajan. Ternyata begitu tabiatnya. Dia pasti tipe bos sombong yang semena-mena dengan karyawan. Huh!Aku melangkah lemas menuju kos-kosan. Satu poin penting selain upah lumayan, di sini juga dekat dengan kosan, jadi irit bensin, atau bisa jalan kaki saja kalau sedang mode pelit."Eeh ... Nabila udah balik ya." Sampai di kosan, Bu Santi--si Ibu kos menyanbutku. Ini aneh, biasanya rada jutek karena masih punya tunggakan. Tapi ini ...."Sini-sini!" Dia menarik lenganku, mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Di sana ada sebuah tas besar teronggok di samping meja. "Itukan tasku," batinku heran."Nabila, Ibu minta maaf ya, kamarmu udah ada yang nempatin, bukan maksud ibu mau ngusir, tapi kamu kan masih ada tunggakan dua bulan, sedangkan Ibu sedang butuh sekali uang, jadi ... Ya ... Tapi Ibu bebasin kok uang kosan kamu yang dua bulan, nggak apa-apa udah ibu iklasin," tuturnya sambil
Hari ini aku bangun lebih pagi. Tidurku tidak nyenyak karena sekamar dengan orang asing. Pergerakanku jadi terbatas, aku tidak bisa buang angin dengan bebas.Kubenahi kamar yang berantakan, kasur lipat yang digelar dilantai segera kusimpan lagi. Saat tengah berbenah, mataku memicing, melihat dompet tergeletak di bawah kasur. Aku mengambil dompet itu untuk menyimpannya. Tidak ada niat kepo dengan isi dompet itu, tapi aku penasaran karena terlanjur melihat foto seorang gadis yang sepertinya tidak asing.Gadis itu memakai jilbab Navy, wajahnya berminyak dan sedikit kusam. Tangannya tengah memegang boneka tangan, untuk bercerita. Dalam hati aku membatin, kucel amat ini cewek, tapi setelah dilihat lagi ternyata itu wajahku.Ya ampun, jelek sekali ternyata aku. Eh tapi tunggu, kenapa dia menyimpan fotoku di dompetnya? Jangan-jangan dia sudah mengenalku sejak lama. Jangan-jangan lamaran itu tidak kesasar tapi memang dia sengaja mencariku, buktinya dia tetap melanjutkan pernikahan meski sud