Cassie menunggu Bisma mengatakan apa yang ingin ia katakan. Setelah pada akhirnya mengalah dan menghabiskan seporsi sup kikil sapi yang lezat, Cassie sekarang justru diserang kantuk yang hebat. Sepertinya, akan berbahaya kalau ia tidak fokus saat diajak bicara nanti.“Mas Bisma masih lama, ya? Aku ngantuk,” keluh Cassie yang tubuhnya mulai melorot, rebahan di atas sofa.“Tunggu! Jangan tidur dulu! Lagian kamu katanya mau ketemuan sama sahabat kamu. Jam berapa? Biar saya antar sekalian,” ujar Bisma, melirik benda berbentuk persegi yang tergantung di dinding.Cassie tampak menguap beberapa kali, bahkan matanya sudah tampak sayu.“Gak jadi aja, deh. Aku ngantuk beneran. Belum juga Mas Bisma ngomong, aku udah merem, kayaknya. Lama banget dari tadi aku tungguin, malah ngurusin kerjaan!” rengeknya.Cassie tak sabar. Ia kemudian bangkit dan mengayun langkah menuju kamarnya.“Entar kalau udah selesai, panggil aku atau miss ca
Bisma dan Cassie terdiam di ruangan itu, hanya dirinya berdua dengan perempuan muda yang sudah menjadi istrinya, cukup sukses membuat Bisma gugup. Ia mencari cara agar keberadaannya di ruangan ini tidak membuatnya salah tingkah, persetan dengan Cassie.Bukankah gadis itu yang meminta dirinya tetap di sana menemaninya? Sampai kapan? Bisma pun tak tahu.“cas, saya keluar sebentar buat beli makanan. Gak lama. Kamu harus minum obat lagi,” ujar Bisma yang kemudian hendak bangkit. Namun, Cassie memaksakan diri untuk ikut turun dari ranjangnya bersamaan dengan Bisma.“Aku juga ikut, Mas. Aku gak mau ditinggal sendirian di rumah.”“Kamu masih sakit.” Bisma sekali lagi memegang kening Cassie. “Tuh lihat. Kamu masih demam. Saya ajak ke dokter juga gak mau.”“Gak mau tahu, pokoknya aku ikut.” Dan tanpa menunggu persetujuan Bisma, Cassie sudah meraih cardigan dan melangkah menuju ke mobil. Ia masuk dan duduk dengan nyaman sementara Bisma menggeleng heran menghadapi istrinya yang bandel itu.Bisma
Bisma mengucek mata karena cahaya matahari yang mulai tinggi menyorot masuk melalui celah tirai. Ia tertidur di ruang TV sejak semalam karena berniat menjaga Cassie kalau-kalau gadis itu membutuhkan sesuatu. Namun, yang terjadi justru dirinyalah yang bangun kesiangan.Hidungnya mengendus aroma sedap yang entah dari mana asalnya dan dalam hati ia berpikir kalau Bi Sumi sudah datang dan sedang memasak sarapan untuk dirinya dan Cassie. Bisma mendesah lega. Setidaknya Cassie akan ada yang menjaga selama dia bekerja. Terlebih kalau kondisi Cassie masih lemah, ia pasti tidak akan konsen bekerja kalau Cassie seorang diri.Bisma bangkit, hendak mengambil air mineral di lemari pendingin dan terbelalak kala melihat siapa yang tengah berkutat di depan kompor sembari sesekali mengintip ponselnya yang menampakkan gambar makanan di sana.“Cassie? I-ini Cassie istri saya, kan?” tanya Bisma mengucek matanya, tak percaya dengan apa yang ia lihat.Cassie yang tengah sibuk dan sudah menghancurkan rumah
Cassie mengerjap, wajah mereka sekarang begitu dekat dan bahkan nyaris tanpa jarak andaikan Bisma sedikit saja bergerak. Namun, alasan lelaki itu berada di atas Cassie sekarang bukan karena ia ingin melakukan itu dengan sang istri, melainkan hanya sebuah gertakan.Bisma lantas bangkit saat Cassie sudah menunjukkan gejala gugup dan salah tingkah. Malam unboxing yang Cassie harapkan ternyata hanya sebuah ancaman untuk membuatnya takut.“Yah ... gak jadi nih unboxingnya? Ternyata segitu doank nyalimu, Mas,” ejek Cassie yang enggan memakai kembali pakaiannya melainkan langsung merebahkan tubuh di atas ranjang. “Aku tidur duluan, besok pagi mau bangun pagi, masak, terus ketemuan sama sahabat-sahabat aku.”Mendengar perkataan Cassie, Bisma urung memejamkan mata, melainkan justru menarik tubuh sang istri agar menghadap padanya. “Ketemuan sama sahabat kamu? Besok? Kamu kan masih belum sembuh betul.”“Kata siapa? Aku udah bisa masak, beberes rumah, dan aku bosen kalau di rumah terus.”“Ya kala
Bisma menyaksikan bagaimana perubahan ekspresi Cassie saat itu. Dan seketika lelaki itu melepaskan cekalan Tamara, lantas mengejar Cassie yang sudah ambil langkah seribu menjauh dari ruangan itu. Ia lantas masuk ke rest room dan berdiam di sana untuk beberapa waktu setidaknya sampai suasana hati dan degup jantungnya normal kembali.Cassie memejamkan mata beberapa lama, menenangkan diri, tetapi perasaannya makin tak karuan. Ia lihat dengan mata kepalanya, suaminya berciuman dengan wanita lain. Apakah perempuan itu yang pernah ia lihat melakukan hal yang sama di apartemen Bisma sebelum mereka menikah?Dan tadi ... apakah Bisma memang masih menyimpan rasa pada perempuan itu, ataukah ....“Cas ... keluar, Cas. Saya tahu kamu di dalam. Apa pun yang kamu lihat dan dengar, itu semua gak seperti yang kamu pikirkan. Saya bisa jelasin.”Bisma menanti Cassie keluar dari persembunyiannya, tetapi gadis itu tak juga muncul, yang tentu saja membuat Bisma begitu gelisah. Ia kemudian mengetuk sekali l
Cassie masih mengurung diri di kamarnya meski pagi sudah tiba. Ia bahkan tidak terpejam sama sekali. Ia masih ingat bagaimana Bisma dengan ringannya mendaratkan bibirnya pada bibir perempuan itu. Mungkin Bisma begitu cinta pada perempuan itu, atau karena sejak ia menikah dengan Cassie, ia tidak bisa menyalurkan hasrat biologisnya, jadi ketika Tamara datang, lelaki itu tak bisa menahan diri.Cassie tak bisa mengusir bayang-bayang itu dari kepalanya.“Gak mungkin aku cemburu. Udah jelas kalau pernikahan ini cuma sementara. Aku gak boleh sampai jatuh cinta sama mas Bisma. Gak boleh!” ucapnya bermonolog. Apalagi untuk saat ini ia masih muda dan harus memikirkan kuliahnya.Cassie kemudian mengambil ponsel dari nakas dan menggulir sebentar. Bryan mengirimkan pesan hingga belasan dan ia tidak tertarik untuk membalasnya sama sekali. Apalagi Bisma tidak berusaha mengiriminya pesan chat atau apa pun demi merayunya. Fix, Bisma hanya menjadikan dirinya sebagai alat untuk menunjukkan bakti pada sa
Bisma didera kegalauan selama beberapa hari. Ia tidak bernafsu makan, tidak bersemangat untuk bekerja, dan selalu memikirkan masalahnya dengan Cassie. Gadis kecil yang dulu begitu imut, kini sudah menjadi dewasa dan bersikap semau gue ketika berhadapan dengan Bisma yang dominan. Nyatanya, tetap saja Bisma kalah kali ini.Biasanya Cassie menurut perkataannya, tetapi sejak keributan itu, Cassie berubah seratus delapan puluh derajat. Ia tak lagi bersikap manis dan absurd yang terkadang membuat Bisma geleng kepala. Gadis itu lebih banyak diam, bahkan ketika makan, ia memilih untuk membawa makanan ke kamarnya. Tentu saja, rumah terasa begitu sepi tanpa tingkah konyol dan menggemaskan dari Cassie.“Cas ... ayo makan di bawah sama saya. Atau temani saya makan. Saya gak biasa makan sendiri,” ujar Bisma, mengetuk pintu untuk ke sekian kalinya. Namun, tetap saja tak ada jawaban sedikit pun. Dan ketika ia mengetuk kembali, barulah Cassie membuka pintu.“Apa, sih? Bisanya kan Mas Bisma makan send
Cassie memberengut dan mengurung diri dalam kamar. Meski Bisma mengetuk pintu berulang kali tetap saja gadis itu tidak berinisiatif untuk membuka pintu. Bahkan yang membuat Bisma geleng kepala, gadis itu melemparkan barang-barang ke pintu sehingga menimbulkan kegaduhan.“Pergi! Aku gak mau ketemu kamu! Aku benci sama kamu!”Bisma hanya mengelus dada mendengar perkataan Cassie. Dirinya kini tak ubahnya seperti mengasuh anak gadis, padahal bukan seperti ini pernikahan yang ia bayangkan. Namun, apa boleh buat. Bukankah dia sendiri yang membuat masalah dengan memberlakukan poin-poin dalam sebuah surat kontrak yang kini justru menjadi bumerang baginya.Ia tidak menyangka niat baiknya terhadap Cassie, terhadap pernikahan ini justru berakhir penuh masalah. Apalagi kalau berurusan dengan sikap manja Cassie. Wajar saja, gadis itu baru berumur dua puluh satu sementara dirinya tiga puluh lima tahun, bukan hal yang mengherankan kalau pada akhirnya, dirinya harus bersikap ngemong terhadap Cassie.