Setelah gagal melakukan penarikan, Raka hanya mempunyai sebuah ide. Menjual jam tangannya. Benda yang selama 2 tahun selalu ia pakai kemanapun ketika melihat waktu.
"Aku akan menjualnya di sosial mediaku," Raka tersenyum bangga. Lebih cepat dan praktis. Namun, suara hatinya tiba-tiba berkata jangan melakukan itu."Ya ampun! Aku baru ingat kalau aku menyembunyikan identitasku. Jika aku menjual jam ini sekarang di sosial media, semua orang akan tau keberadaanku dimana termasuk ayah," ucap Raka, ia mengurungkan niatnya dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana."Apa ... aku jualnya di pasar saja ya?" Tanya Raka, tidak ada tempat lain kecuali pasar, mengenai ia sekarang berada di sebuah desa perkampungan tentunya tidak sama dengan perkotaan yang beberapa di antaranya ada supermarket dan Mall.Dan Raka menuju ke sebuah pasar.Tiba di pasar Raka mencari penjual jam tangan. Ia melangkah mengelilingi sekitar pasar.Setelah menemukan penjual jam tangan, Raka mulai berbicara dan bernegoisasi kepada penjual jam tangannya ia menawarkan harga 3 juta rupiah."Aku ingin menjual jam tanganku ini seharga 3 juta,apakah bisa? Dan aku harap jam tanganku ini terjual hari ini juga," Raka melepaskan jam tangannya dan menunjukkannya kepada penjual tersebut."Apa ini mereknya?" Ia mengamati jam tangan Raka. Tapi menurutnya dari segi desain terlihat cukup elegan dan mewah."Seiko automatic. Tolong aku benar-benar butuh uang," Raka memohon. Dan uang itu untuk membeli cincin kebaya dan mahar untuk Maya.Penjual itu mengangguk. "Tentu saja bisa. Tunggu sebentar ya."Raka menghela napas lega. ' Lihatlah, aku sanggup membelikanmu semuanya sesuai permintaanmu,' batin Raka.Beberapa saat kemudian, penjual itu membawa sebuah amplop dan memberikannya kepada Raka. "Ini uang 3 juta milikmu. karena sebelumnya ada orang yang ingin memesan jam tangan Seiko automatic."Raka mengangguk. "Terima kasih," ia membuka isi amplop itu dan menghitung jumlah uangnya. Benar, 3 juta sesuai apa yang di harapkannya.Sekarang, saatnya Raka membeli cincin. Ia kembali melangkah mengelilingi pasar dan mencari toko emas. Ia yakin pasti ada.Setelah menemukan toko emas, Raka melihat-lihat perhiasan yang di pajang. Beberapa diantaranya ada cincin, gelang, dan kalung. Matanya terfokus pada cincin.Seorang pramuniaga toko menghampiri Raka. "Ada yang bisa saya bantu?" Ia bertanya ramah dan tersenyum."Maaf, apakah ada cincin yang tidak terlalu mahal harganya?" Bukannya Raka tidak membelikan cincin emas berharga mahal, tapi ia perlu menghemat uang 3 jutanya untuk beberapa hari ke dapan."Ada, tapi design cincinnya sederhana. Sayangnya, tersisa 2 cincin saja yang harganya murah," ujanya dengan raut wajah merasa bersalah. Selama melayani pelanggan, ia mengerti berbagai macam alasan ketika pelanggan membeli perhiasan. Dari harga yang mahal dan murah."Tidak apa-apa. Aku memang menginginkannya," Raka tersenyum samar. Ia harap Maya tidak mempermasalahkan harga dan designnya. Seharusnya ia bisa membeli cincin yang mahal, seperti berlian atau emas putih, tapi kondisinya saat ini tidak mempunyai uang banyak.Pramuniaga toko itu memberikan dua cincin kepada Raka, ia menunjukkan cincin yang berkualitas sedang, tentunya di bandrol dengan harga murah.Raka mengamati dua cincin itu. Salah satunya memiliki ukiran garis-garis sederhana. Satunya lagi tidak ada design ukiran, hanya cincin emas yang polos. Dan ia bisa menebak harganya jika yang cincin berukir harganya lebih tinggi daripada cincin yang polos."Aku membeli yang ini saja," Raja menunjukkan cincin polos itu kepada pramuniaga toko."Baiklah, mohon di tunggu sebentar."Selanjutnya, Raka memikirkan harga kebaya, semuanya tidak mudah dan hanya kepikiran uang dan harga. Dulu, ia tidak peduli dengan berapapun harga yang tertera. Tapi sekarang keadaan seolah berbanding terbalik."Ini, terima kasih telah berbelanja di toko kami," pramuniaga toko itu memberikan sebuah bingkisan paper bag berwarna coklat kepada Raka."Aku ... ingin mencari toko kebaya. Apa disini ada? Maaf, karena ini untuk pertama kalinya aku ke pasar," daripada ia kelelahan jalan kaki mengelilingi pasar, lebih baik ia bertanya lebih dulu.Pramuniaga toko tersenyum dan mengangguk. "Kalau toko kebaya, anda bisa jalan lurus terus dan belok ke kiri. Dan disana anda bisa menemukan toko kebaya.""Ok, sekali lagi, terima kasih," Raka mengingat rute yang di tunjukkan oleh pramuniaga tadi, lurus terus kemudian belok ke kiri.Namun, Raka merasakan tubuhnya mulai lelah. Perutnya berbunyi keroncongan, ia lapar."Aku sama sekali belum makan. Bahkan di rumah tadi setelah di usir sama ayah," Raka mengusap perutnya.Raka tidak peduli, ia harus membeli kebaya dan terakhir adalah mahar.***Hari mulai sore, Raka tidak bersemangat. 2 paper bag yang ia bawa itu hanyalah kebaya dan cincin Maya.Mahar, ia tidak bisa mendapatkannya walaupun hanya 1 juta tapi karena design dan kerapiannya menjadi 1 juta 500 ribu. Sedangkan uangnya tersisa 1 juta 700 ribu saja. Jika di totalkan, cincin polos tanpa ukiran yang di beli serhaga 500 ribu, kemudian kebaya 800 ribu. Uang awal Raka sebelumnya 3 juta rupiah, walaupun hanya membeli mahar yang di dalamnya tertata uang 1 juta dengan rapi, harganya hampir sedikit lagi menguras uangnya."Maafkan aku," Raka menunduk, matanya menatap dua paper bag itu sedih. 1 juta 700 ribu akan ia simpan baik-baik. Dengan terpaksa, ia memberikan Maya mahar 200 ribu."Entah mengapa baru kali ini aku merasa tidak pantas untuk seorang wanita," Raka menatap pemandangan langit yang berwarna orange, hari mulai senja.Tiba di rumah Maya, Raka kembali pulang. Sesuai janji dan kesepakatannya bersedia menuruti permintaan Maya.Maya dan Manda duduk di ruang tamu menunggu kepulangan Raka."Nak Raka? Ohh, syukurlah kamu tau jalan pulang. Ibu takut kamu tersesat lagi, soalnya pasar di desa ini selalu berdesakan, ramai begitu," Manda terkekeh, matanya melihat Raka membawa 2 paper bag."Itu, apa nak Raka? Cincin, kebaya sama mahar ya?" Tanya Manda. Sudah ia duga Raka pasti sanggup membeli semua itu. Tapi, ia tidak tau jika Raka sebenarnya anak dari Hartono, seorang Bos di perusahaan industri manufaktur terbesar di sebuah kota."Kamu, beli semua itu? Uangmu sendiri?" Maya ragu dan tidak yakin. Raka saja sekarang tidak bekerja, entab bagaimana nanti nasibnya setelah berumah tangga dan menjadi istri Raka."Iya," Raka mengangguk, "Apakah kamu bersedia aku pasangakan cincin?" Raka mengeluarkan sebuah kotak kecil dari paper bag coklat. Cincin seharga 500 ribu tanpa ukiran apapun."Iya! Maya bersedia kok. Ayo sana, tangamu di pasangkan cincin. Jangan biarkan jari-jari tanganmu itu kosong," suruh Manda, ia mendorong Maya perlahan agar lebih dekat dengan Raka.Raka meraih tangan kiri Maya. Ia memasangkan cincin itu di jari manis Maya.Ekspresi Maya tidak bahagia sama sekali, ia menatap Raka datar. "Apa aku saja yang pakai cincin? Seharusnya kamu beli dua cincin, Raka. Bukan satu," protesnya kesal.Raka terdiam. Ia sampai tidak kepikiran hal itu, ia lupa membeli dua cincin. Ia terlalu memikirkan jumlah uangnya. Ia takut uangnya habis. "Maaf. Aku lupa beli dua cincin, karena saat membeli, aku hanya mengingat namamu saja," ucap Raka merasa bersalah. Sekarang, Maya marah dan ia gagal membuat Maya bahagia. Biasanya jika wanita manapun setelah di belikan sebuah cincin lamaran, pasti bahagia dan tersenyum senang, tapi reaksi Maya berbeda justru marah-marah hanya masalah kecil saja. "Lalu, dimana maharku? Apa kamu sudah dapat mahar yang aku minta? Mahar satu juta, ya," desaknya tidak sabaran. "Kalau mahar, maaf banget. Uangku habis," Raka menjawabnya dengan lesu. Ia terpaksa berbohong kepada Maya. Uangnya belum habis, ia sengaja agar Maya tidak semakin curiga jika ia sebenarnya memiliki uang yang cukup untuk mahar Maya. "Lihat sendiri kan, ibu? Dia saja tidak memberikanku mahar. Dan ibu memaksaku menikah sama dia?" Maya menunjuk Raka yang hanya diam. "Tapi, aku membelikanmu kebaya
Keesokan harinya, Maya bersiap-siap dan sarapan sebelum ia pergi Kantor Urusan Agama. Ia akan menikah dengan Raka hari ini. "May, kenapa kamu belum ganti kebaya juga?" Tanya Manda heran, ia menatap Maya masih memakai kaos biasa. Raka menatap Maya yang belum dandan atau memoles wajahnya. "Kamu mau ganti kebaya, atau aku yang gantiin?" Tanya Raka dingin. Maya yang sedang memakan mie instan dengan lahap pun tersedak. "O-oh tidak perlu. Aku bisa ganti kebaya sendiri," ia jadi salah tingkah sendiri. Kenapa Raka se-gamblang itu mengucapkan kalimat sedikit mesum tadi? Pipi Maya terasa panas, ia segera menunduk dan berlari ke kamarnya. Bisa gawat jika Raka benar-benar yang memakaikan kebaya di tubuhnya. Manda tersenyum, ternyata Raka semudah itu mengambil hati Maya. "Sampai Maya salah tingkah begitu, gara-gara nak Raka.""Sebaiknya Maya memakai kebaya dari rumah. Agar saat tiba di Kantor Urusan Agama, aku tidak perlu menunggu terlalu lama. Dan pernikahan segera di langsungkan oleh penghu
Raka mendengar omelan Maya hanya tersenyum. 'Maaf, aku buru-buru dan ingin segera sah menjadi suamimu. Aku tidak tau apakah nanti aku bertemu dengan ayah atau wanita itu. Aku tidak mau di jodohkan dengan wanita yang gila harta,' batin Raka dalam hatinya. Karena menikah itu seumur hidup, ia ingin mempunyai istri yang menerima apapun keadaannya dan bersyukur. Saat tiba di Kantor Urusan Agama yang dekat dengan warung pecel lele, Maya langsung turun dan memeriksa sobekan rok batiknya yang melebar sampai lutut. Sobek dari menyamping. "Raka! Kamu lihat? Rok batikku sobek! Masa iya aku nikah roknya sobek?" Bibir Maya cemberut. Ia menghentakkan kedua kakinya kesal. "Sini," Raka meraih tangan Maya dan ia beralih di posisi kiri untuk menutupi sobekan rok."Tidak perlu malu, aku akan berada di sampingmu. Tenang saja, sobekanmu tidak terlihat oleh siapapun," Raka berkata tanpa menoleh menatap Maya. 'Astaga, kenapa dia se-perhatian ini?' Batin Maya bertanya-tanya. Ia menatap wajah tampan Raka
Disinilah Raka mengajak Maya makan di warung pecel lele. Tapi, selama Maya makan, wajah istrinya itu murung dan seperti tidak selera makan. "Kamu masih kepikiran sama yang tadi?" Raka bertanya hati-hati, ia mengerti bagaimana perasaan Maya. Ia merasa bersalah telah membuat Maya dan Manda di permalukan masalah mahar. Maya meletakkan sendok dengan sedikit membantingnya. "Kamu sengaja ya mempermalukan aku? Kamu pura-pura tidak ingat?" Maya menoleh dan menatap Raka dengan tajam. Raka mengernyit, kenapa Maya tiba-tiba marah? "Kamu mempermalukanku, Raka. Apa kamu pura-pura lupa dengan apa yang aku katakan kemarin? Kamu lupa berapa mahar yang aku minta? " Maya memberikan rentetan pertanyaan kepada Raka. Tidak mungkin Raka lupa. Tapi Raka berpura-pura lupa. Raka mengangguk mengerti. Ia tau berapa jumlah mahar yang diminta oleh Maya. "Mahar satu juta kan?" Tapi ia tidak memberitahu Maya yang sebenarnya jika ia langsung memberi mahar sebanyak itu ke Maya, uangnya dari hasil menjual jam tan
Saat Raka baru saja masuk ke dalam kamar, Maya mengambil tikar dan melemparkannya di lantai. "Kamu tidur disitu saja ya? Jangan coba-coba tidur di sebelahku," ketus Maya. Ia tidak peduli Raka kedinginan, padahal udara di kamarnya terasa hangat. "Kenapa di lantai lagi?" Raka merasa bosan, tidak bisakah ia tidur di samping Maya? Ia tidak akan memeluk wanita itu, ia akan tidur dengan posisi yang membelakangi Maya. "Aku cuma tidak mau kamu bertindak lebih seperti menyentuhku. Kamu harus tau, aku belum siap punya anak," Maya naik diatas kasur, ia merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. "Kasih aku bantal dan selimut," pinta Raka cuek. Tidak mungkin ia tidur tanpa bantal dan selimut. Tidur di lantai membuat kepalanya tidak terasa empuk. "Kamu lihat? Bantalku cuma satu. Dan selimut juga punyaku. Maaf, kamu bisa tidur dengan tikar itu saja sudah cukup," seakan tak mempedulikan Raka, Maya menghadap ke tembok dan memejamkan matanya. Lebih baik ia tidur daripada berbicara terus dengan Raka. S
"Aku berangkat dulu ya bu, daripada telat sampai toko," Maya melihat jam tangannya, sudah pukul 6 pagi. Ia harus segera sampai di tempat kerjanya. "Kamu carikan suamimu pekerjaan dong. Kalian kan bisa kerja bareng," Manda tidak tega Raka mencari pekerjaan di desa dengan luntang lantung tanpa mengenal siapapun. Maya menggeleng. "Maaf, bu. Belum ada lowongan. Raka bisa cari pekerjaan di tempat lain saja," tolak Maya mentah-mentah. Ia langsung bergegas pergi. Ia mengambil sepeda dan mengayuhnya. Hanya sepeda menjadi kendaraan satu-satunya untuk berangkat dan pulang kerja. "Maya! Kamu kenapa tidak peduli dengan suamimu?" Manda berdiri dan melangkah ke halaman rumah. Ia sampai lupa tidak menggunakan sandal. Tapi Maya sudah mengayuh sepedanya cukup jauh. Manda tidak bisa mengejar Maya. "Tidak apa-apa, bu. Aku bisa cari pekerjaan sendiri," hati Raka sedikit kecewa saat Maya mengabaikannya dan tidak peduli dengan hidupnya. Ia mengerti kenapa Maya bersikap seperti itu. Mahar yang tidak se
Maya menggeleng. "Kenapa? Kamu iri ya?" Maya menanggapinya dengan santai. Salsa terbelalak. "Aku tidak iri! Aku juga bisa nikah sepertimu," ia tidak terima. Ia sudah mempunyai pacar, namun ia belum tau apakah hubungannya serius atau sebatas pacaran saja. Maya tersenyum menyeringai. "Buktikan kalau kamu bisa menikah sepertiku. Apakah pacarmu itu pernah memperkenalkanmu ke orang tuanya?" Jedak sejenak, Maya kemudian melajutkan mengucapkan. "Tanyakan itu ke pacarmu, hubungan juga perlu ada tujuannya," perasaannya lega setelah membalas cibiran Salsa yang meremehkannya. Salsa mengira ia tidak akan pernah menikah seumur hidup. Tapi, karena suatu keberuntungan, ia kedatangan Raka dan langsung menikah dalam waktu dekat. Walaupun umur Raka dan dirinya berjarak, Raka tetap mencoba berani hubungan yang lebih serius dalam ikatan pernikahan. "Kamu!" Salsa menunjuk Maya dengan kesal. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Maya membalas cibirannya. Maya tak peduli. Yang terpenting saat ini adalah ia tid
Raka yang merasakan Maya seperti ingin marah, ia mundur beberapa langkah. Ia sedikit takut. Maya mengambil piring itu, ia menyendok nasi dan menyuapkannya pada Raka. "Kamu saja yang makan. Aku belum lapar."Raka yang tidak siap menerima suapan dari Maya pun terbatuk-batuk. "Berhenti, aku tersedak. Tolong jangan memaksaku," pinta Raka memelas, ia menepuk dadanya, ia menelan paksa nasi suapan dari Maya. "Eh ... maaf," Maya dengan sigap meletakkan piring itu di meja nakas. Ia memijat tengkuk Raka. "Maaf banget ya?" Ia merasa bersalah. Melihat raut wajah Maya yang khawatir, hati Raka sedikit senang. Disaat ia sakit, Maya khawatir, tapi jika tidak sakit Maya bersikap ketus. Dengan ini, Raka memanfaatkan keadaan. "Pijat di pundak juga, ya? Aku masih capek. Tadi angkat-angkat semen dan genteng.""Hmm," Maya hanya bergumam. Ia memijat pundak Raka walaupun merasa tidak ikhlas. Ia tau pasti Raka modus dan ingin mencuri kesempatan romantis. "Aku tadi di tanya teman-teman kerjaku. Mereka tan