Share

3. Kartu ATM Terbatasi?

"Kamu, sampai kapan fokus kerja terus? Kamu juga butuh menikah, di nafkahi, di bimbing sama laki-laki. Dan punya anak. Kamu menolak laki-laki pilihan ibu ini?" Manda sedikit kesal, padahal menurutnya Raka ini cukup tampan dan gagah, tapi Maya tidak tertarik sama sekali.

Maya menghela napas lelah. "Aku bukan menolak, tapi aku tidak mengenal siapa dia dan darimana asalnya. Menikah itu seumur hidup dengan orang yang sama. Memangnya, ibu mau aku salah pilih laki-laki?" Maya seakan tidak mau kalah dalam berdebat. Ia mempertahankan alasan terkuatnya agar Manda tidak memaksakanya lagi untuk membahas soal pernikahan.

Manda berdiri dan menghampiri Maya. "Kalau begitu, kamu kenalan sama dia. Bukan marah-marah sama ibu begini. Kenal baik-baik, cocok, menikah. Mudah kan?" Ia berusaha sabar dengan sifat keegoisan Maya. Ia juga ingin melihat Maya di perlakukan romantis dan spesial oleh seorang suami.

Maya menatap Manda datar. "Hmm, tapi aku tidak tau cocok tidaknya aku sama dia," ia melirik sekilas, memang wajahnya tampan, tapi sayangnya tidak tersenyum dan tatapannya terkesan sinis.

"Nak Raka, maaf ya, Maya cuma kaget ada laki-laki yang datang kesini. Sebelumnya, tidak ada laki-laki yang pernah mampir kesini apalagi mengenal Maya lebih dekat," Manda beralih menatap Raka merasa sungkan.

Raka mengangguk. "Tidak apa-apa. Perkenalkan, namaku Raka. Usiaku 24 tahun," singkat, tapi seharusnya ada yang Raka tunjukkan yaitu pekerjaan. Tapi, untuk saat ini ia tidak bekerja dulu dan masih mencari pekerjaan di tempat perkampungan desa ini. Ah, semua terjadi terlalu cepat gara-gara ayahnya.

Maya menatap Raka tak berkedip.

24 tahun?

Jadi, Raka laki-laki berondong?

Sudut bibir Maya terangkat sedikit, ternyata Manda membawa laki-laki di bawah umurnya. "Kerja apa kamu?" Tanya Maya dengan suara dingin. Ia juga harus mengetahui pekerjaan Raka apa, apalagi Raka ingin menikahinya dan menjalin hubungan serius tanpa pacaran.

Jantung Raka berdegup kencang, perasaannya mulai tidak nyaman. Bagaimana ini? Ia harus menjawab apa? Tidak mungkin ia menjawab telah di usir oleh ayah kandungnya sendiri.

"Emm ... aku libur hari ini. T-tapi, jika aku jujur kepadamu, apa kamu percaya?" Raka menatap Maya berharap cemas.

"Apa?" Maya tidak sabar, kalau Raka bekerja itu bagus. Dan sudah semestinya laki-laki bekerja.

"Aku ... kabur," Raka menunduk. Entah mengapa lidahnya tiba-tiba kelu untuk jujur.

"Kabur?" Maya meninggikan suaranya.

"Hey! Kamu jangan teriak-teriak, dengarkan dulu apa kata nak, Raka," ucap Manda kesal, mendengar kalimat kabur, hati nuraninya tidak tega dengan kondisi Raka saat ini.

"Kenapa kamu kabur? Atau jangan-jangan kamu orang jahat?" Maya melotot dan membungkam mulutnya, ah bisa saja Raka bukan orang yang baik.

"Astaga, May! Dengarkan dulu!" Manda memperingati Maya yang sejak tadi memotong pembicaraan Raka serta menuduh hal yang belum tentu benar.

"Aku tidak mau di jodohkan wanita pilihan ayah, aku menolaknya," setelah Raka mengutarakan itu, hatinya terasa lega dan beban yang di pikulnya perlahan hilang, tidak seberat sebelumnya.

"Terus, kamu kerja apa kalau kabur?" Maya seakan tidak peduli dengan permasalahan hidup Raka tentang perjodohan ayahnya itu.

"Tenang saja, aku masih ada kartu ATM dan uang yang aku bawa," jawab Raka tersenyum samar.

"Aku kurang percaya sih, beli cincin, kebaya, mahar, apa uangmu cukup?" Maya mengangkat sebelah alisnya, semoga saja Raka tidak sanggup membeli semua itu.

"Sepertinya cukup," Raka mengangguk mantap, ia akan menjual jam tangannya. Barang branded kesukaannya yang mungkin akan terjual mahal.

"Buktikan kalau uangmu cukup. Sekarang juga, belikan aku cincin emas, belikan kebaya, dan mahar 1 juta. Bagaimana?" Maya tersenyum menyeringai, lihat saja nanti Raka pasti menyerah dan perjodohan singkat ini batal.

"Ya sudah, pergilah sekarang. Dan jangan kembali kesini sebelum kamu membawa semua itu," ucap Maya serius. Menurutnya, jika Raka kabur dan tidak membawa apapun dari rumah, laki-laki itu pasti hanya mengandalkan uang yang ada di dompet dan kartu ATM-nya saja.

Manda menatap Raka dengan perasaan gelisah. Baru saja mengenal, Maya langsung memberikan tantangan membeli semua itu hari ini juga.

"Ibu, aku pergi dulu. Aku pasti kembali kesini," Raka berpamitan kepada Manda. Ia meyakinkan wanita itu jika ia sanggup memenuhi permintaan Maya.

'Astaga, apa harga jual jam tanganku nanti cukup untuk semua itu?' Batin Raka bertanya-tanya. Ia merasa ragu kalau harganya masih mahal. Walaupun keluaran edisi 2 tahun yang lalu, tapi design jam tangannya masih terlihat elegan dan mewah.

Raka berharap semuanya cukup. Ia hanya ingin menikah dengan wanita yang sederhana dan tidak gila dengan harta atau uang. Mungkin Maya adalah wanita yang tepat.

***

Raka terpaksa jalan kaki dan mencari bank tapi ia belum menemukannya.

"Aku lupa kalau ini desa. Mustahil ada bank disini," Raka mengelap pelipisnya yang berkeringat. Terik panas matahari membuatnya haus.

"Cari bank ya, mas?" Seorang remaja laki-laki menghampiri Raka.

"Ya, apa ada bank yang dekat disini?"

"Ada. Mari aku antar," jawabnya mengangguk.

Raka merasa lega, akhirnya ia tidak perlu jalan kaki terlalu lama. Ada orang yang baik menunjukkan dimana keberadaan bank terdekat.

"Ini, mas. Di desa ini, hanya satu bank yang ini saja."

Raka melihat bank yang di dalamnya ada satu mesin ATM. Ia mengangguk. "Terima kasih."

Raka melangkah masuk, ia mengeluarkan dompetnya dan mengambil kartu ATM.

"Seingatku, saldoku ada 6 jutaan. Ah, tenang saja. Cukup beli cincin, kebaya, dan mahar," Raka tersenyum senang. Ia mulai menggesekkan kartu ATM-nya. Kemudian memasukkan kata sadninya.

Namun, muncul sebuah tulisan yang membuat perasan Raka tidak tenang.

[ Mohon maaf, kartu anda telah di batasi. Silahkan coba beberapa saat lagi. ]

"Kenapa di batasi?" Raka mencoba sekali lagi, ia menggesek kartu ATM, memasukkan kata sandi dan menunggu prosesnya.

[ Mohon maaf, kartu anda telah di batasi. Permintaan gagal. Anda tidak dapat menarik saldo. ]

Raka menatap mesin ATM itu sinis. "Apa-apaan ini? Padahal kartu ATM milikku masih ada saldonya, kenapa di batasi?"

Raka bingung, jika di batasi, ia tidak bisa membeli cincin, kebaya dan mahar untuk Maya. Dan harapan satu-satunya hanyalah saldo ATM-nya.

"Ayolah," Raka mencoba lagi, ia harap kali ini berhasil dan ia bisa menarik saldo ATM itu.

[ Mohon maaf, kartu anda telah di batasi. Anda tidak dapat melakukan penarikan saldo. ]

"Hahhhh!" Raka berteriak kesal, ia memasukkan kembali kartunya ke dalam dompet. Percuma saja ia mencoba berulang kali. Kartu ATM-nya benar-benar di batasi.

"Semua ini, pasti ulah ayah. Ya, aku yakin ayah sengaja melakukan ini agar aku semakin sengsara setelah di usir dari rumah," Raka mengangguk, dan saldo 6 jutanya sia-sia dan mengendap di dalam ATM. Sampai kapanpun ia tidak akan bisa menariknya kecuali Hartono mencabut pembatasan kartu ATM-nya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status