"Kenapa nggak ada orang yang datang? Apa di lantai ini nggak ada orang?" gerutu Yasmin dalam hati.
Anehnya tidak ada satu pun orang yang datang membantu Yasmin. Di lantai tersebut ada banyak ruangan dan juga staf hotel. Seharusnya ada orang yang mendengar suara Yasmin saat ini, namun sayang, gadis itu tidak mendapat bala bantuan.
"Bisa diam nggak!" seru pria itu dingin.
Pria yang membawa Yasmin tak lain adalah Bastian yang memang saat ini sedang mencari mempelainya yang kabur.
"Saya mau dibawa ke mana? Kamu punya urusan apa sama saya?" omel Yasmin.
"Kamu jangan macam-macam sama saya, ya! Saya akan laporin kamu ke polisi!"
Walaupun Yasmin merasa takut dan terancam, tapi gadis itu masih berani meninggikan suaranya di depan pria asing itu. Yasmin tak tahu lagi harus berbuat apa saat ini. Sulit baginya untuk lepas dari cengkraman tangan kuat milik pria itu, tenaga gadis itu tidak sebanding. Yasmin mulai lelah memberontak dan berteriak pada pria asing itu.
"Tolong jangan apa-apakan saya! Saya masih ingin hidup," rengek Yasmin dengan wajah memelas. Gadis itu pasrah. Ia diseret menuju ke salah satu ruangan yang ada di lantai 15.
"S–saya nggak mau masuk ke sana! Tolong saya! Saya nggak mau ke sana!"
Yasmin makin kalang kabut saat dirinya hendak memasuki salah satu ruangan dengan pria asing tersebut. Begitu pintu terbuka, Yasmin langsung dibuat shock oleh ratusan pasang mata yang kini tertuju padanya, lebih tepatnya mereka berdua.
“Tunggu! Tempat apa ini? Kok seperti aula pernikahan?” gumam Yasmin dalam hati.
Yasmin pikir, ia akan dimasukkan ke sebuah ruangan gelap dan akan diikat oleh pria yang menculiknya itu. Namun, imajinasi liar yang terlintas di pikiran Yasmin menguap begitu saja usai dirinya melihat penampakan tak terduga yang ada di dalam ruangan tersebut.
"Ini … benar aula pernikahan, ya?" batin Yasmin. "Kenapa aku dibawa ke sini? Ini acara pernikahan siapa?"
Gadis itu akhirnya berhenti meronta. Yasmin mengedarkan pandangan ke sekeliling aula mewah yang ada di depan matanya saat ini.
Dilihat dari dekorasinya, nampaknya aula itu disiapkan untuk pernikahan keluarga konglomerat. Aula pernikahan tersebut jauh lebih besar dari aula pernikahan yang disewa oleh Yasmin, dan dekorasi pelaminan di aula tersebut juga jauh lebih mewah dari dekorasi yang disiapkan Yasmin di lantai bawah.
"Kenapa saya dibawa ke sini?" tanya Yasmin dengan dahi yang sudah banjir dengan keringat dingin.
Saat ini, Bastian dan Yasmin tengah bergandengan menuju ke pelaminan.
Gadis itu disorot oleh ratusan orang yang ada di gedung tersebut. Sepertinya mereka semua adalah tamu undangan di acara itu.
"Mempelai pengantin sudah tiba!" Suara pembawa acara membuat Yasmin terperanjat.
“Bastian, Anggi, kalian ke mana aja? Ini acara nikahannya kalian kok malah dua-duanya ngilang, cepat kalian ke pelaminan biar acaranya segera dimulai!” ucap Marissa begitu melihat putranya datang dengan mempelai wanitanya.
“Iya, Ma, maaf tadi Anggi sempat nggak enak badan dan harus ke toilet cukup lama,” kilah Bastian dengan raut tenang.
Marissa pun memahami alasan Bastian dan tak bertanya lebih lanjut. Ia justru memberi kode pada keduanya untuk segera ke pelaminan.
“Tunggu dulu!” Yasmin menatap wajah pria asing yang membawanya paksa tadi dengan saksama. Wajahnya cukup tampan dan postur tubuhnya gagah.
Dari pakaian yang dikenakannya sudah jelas jika pria itu bukanlah orang jahat. Pakaiannya lebih seperti pakaian yang kerap digunakan oleh pengantin pria.
“Ja–jangan bilang kalau aku jadi pengantin wanitamu di sini?” tanya Yasmin setengah berbisik pada Bastian.
Bastian menundukkan wajahnya dan mensejajarkan mulut dengan telinga Yasmin. “Bukannya sudah jelas dari apa yang kamu lihat di tempat ini. Jadi jangan banyak bicara dan lakukan saja tugasmu sesuai kesepakatan yang sudah kita buat!”
“Kesepakatan? Kesepakatan apa maksudnya?” Yasmin bertanya bingung.
Bastian menatap tajam ke arah Yasmin. Menurut Bastian, perempuan yang bersamanya sangatlah cerewet dan banyak bicara, berbeda sekali dengan sikapnya sebulan yang lalu saat membuat kesepakatan via telepon.
"M–maaf, Tuan. Sepertinya ada kesalahan di sini. S–saya bukan ...."
"Kamu adalah pengantin di acara ini," bisik pria itu. "Kamu adalah pengantinku."
“Apa yang harus kulakukan? Kenapa aku terjebak di acara pernikahan orang lain?” pekik Yasmin dalam hati.
“Mari, kedua mempelai silakan untuk naik ke pelaminan.” Suara sang MC kembali mengejutkan Yasmin. Mau tak mau dia dan pria itu melanjutkan langkah sambil bergandengan tangan menuju ke pelaminan karena akad nikah akan segera dilaksanakan.
“Situasi macam apa ini? Kok tiba-tiba banget aku jadi mempelai pengganti di nikahannya orang yang bahkan aku nggak kenal!” gerutu Yasmin bimbang.
Kini Yasmin sudah berdiri di pelaminan bersama dengan mempelai pria yang tidak dikenal olehnya. Gadis itu benar-benar tak mengerti, kenapa ia bisa terseret dalam acara yang tidak diketahui olehnya itu.
Yasmin sudah berusaha menjelaskan, tapi pengantin pria yang duduk di sampingnya tak mau mendengarkan dirinya. Beberapa kali Yasmin berusaha meninggalkan pelaminan, tapi gadis itu dijaga ketat oleh sang pengantin pria dan ia bahkan menerima ancaman.
"Jangan pergi ke mana-mana! Awas kalau kamu sampai kabur lagi! Saya sendiri yang akan menjebloskanmu ke penjara!" ancam pria itu.
Gadis itu tak bisa berkutik sedikitpun. Yasmin merasa terus diawasi oleh pria di sampingnya. Ditambah lagi, gadis itu juga menjadi pusat perhatian di ruangan tersebut. Jika Yasmin melakukan sesuatu yang ceroboh, gadis itu hanya akan mempermalukan dirinya sendiri di depan banyak orang.
‘Siapa sebenarnya orang-orang ini?’ batin Yasmin frustasi.
Gadis itu mengamati sekeliling dan melihat papan nama pengantin yang terpajang di ruangan tersebut. "Bastian Wijaya? Apa itu nama lengkap laki-laki yang duduk di sampingku sekarang?" batin Yasmin.
Sejak tadi pembawa acara terus menyebut nama Yasmin dengan nama perempuan lain. Yasmin hanya bisa pasrah tanpa menjelaskan apa pun saat orang-orang memanggil namanya dengan nama perempuan yang tidak ia kenal.
"Aku harus gimana sekarang? Mereka semua udah salah orang," batin Yasmin merasa bersalah.
Dengan terpaksa, Yasmin melewati prosesi pernikahan dengan Bastian tanpa ada kendala. Acara berjalan dengan lancar, meskipun mereka salah mengambil mempelai pengantin wanita. Orang tua Bastian terlihat begitu bahagia, saat melihat putra kesayangan mereka bersanding dengan pengantin wanitanya di pelaminan. Mereka menghampiri Bastian, kemudian memeluk pria itu dengan erat.
"Selamat, Bastian! Mama bahagia sekali. Akhirnya kamu menikah juga," ucap Marissa.
"Papa juga ikut senang, sekarang kamu udah punya istri. Semoga kalian bisa membangun rumah tangga yang bahagia bersama," sahut Randy.
Bastian hanya mengangguk, tanpa mengucapkan apa pun pada kedua orang tuanya itu. Yasmin juga ikut mendapatkan ucapan selamat dan pelukan dari orang tua mempelai pengantin pria.
"Jangan nunda-nunda terlalu lama, ya? Mama tunggu cucu dari kalian," ucap Marissa menatap hangat ke arah Yasmin dan Bastian secara bergantian.
Yasmin mengangguk dengan canggung. Mau tak mau, gadis itu harus memperlihatkan senyum bahagia di depan orang tua Bastian, agar mereka tidak curiga.
"Papa titip Bastian, ya, Nak Anggi! Tolong cintai dia dan sayangi dia dengan sepenuh hati," pinta Randy.
"I–iya, Pa," jawab Yasmin kikuk.
Yasmin tak tega menghancurkan senyum bahagia orang tua Bastian. Setidaknya, Yasmin bisa memainkan perannya sebagai pengantin Bastian sampai acara pernikahan mereka selesai.
‘Lalu setelah ini apa? Apa aku juga akan menghabiskan malam pengantin dengan pria ini?’ Yasmin menggumam bimbang dalam hatinya.
*
21)Ponsel itu kini tergeletak di atas ranjang, terhubung dengan kabel charger yang sudah dilepaskan. Lampu layar menyala penuh.Yasmin menatapnya, jantungnya sedikit berdebar. Ada rasa takut. Ada rasa penasaran. Tapi ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menghadapi semua ini. Ia tak bisa terus-terusan lari dari semua masalah yang sedang terjadi. Ia menghela napas panjang. Jemarinya sedikit gemetar saat meraih ponsel itu.Satu per satu notifikasi mulai berdatangan begitu ia membuka layar. Puluhan pesan. Dari berbagai orang. Dari berbagai aplikasi.Yasmin mengabaikan semuanya untuk sekarang. Fokusnya hanya satu yaitumencari tahu kabar tentang butiknya.Ia membuka aplikasi pesan, mencari nama yang selama ini selalu jadi sandarannya."Mey …," bisiknya lirih, merasa sedikit lega saat menemukan nama itu.Tanpa banyak berpikir, Yasmin menekan ikon telepon.Nada sambung berdentang di telinganya, membuatnya semakin tegang.Satu detik. Dua detik. Tiga detik.“Halo?” Suara di seberang langsung
20)“Jadi, kamu nggak ada niat honeymoon sama sekali?”Randy meletakkan sendok garpu di sisi piringnya. Restoran tempat mereka makan siang kala itu cukup mewah, dengan lampu gantung kristal yang mengayun pelan di atas meja bundar berlapis linen putih. Bastian menyesap kopinya, tenang.“Honeymoon itu buang waktu, Pa.”“Buang waktu?” Randy menaikkan alisnya. “Kamu nikah buat kerja atau buat hidup?”“Dua-duanya,” jawab Bastian datar.“Banyak proyek besar yang sedang antre untuk aku tangani. Jadi, aku nggak bisa ninggalin semuanya ke tim. Beberapa kesepakatan butuh aku sendiri yang handle.”Suara Randy mengembus napas panjang. “Tapi kamu baru saja menikah, Bastian. Gimana dengan Gita? Apa dia baik-baik saja saat kamu bilang akan masuk kerja lagi?”Bastian hanya mengangkat bahu.“Entahlah. Dia nggak berkomentar apa pun. Lagipula, Gita bisa tinggal dan istirahat di rumah dengan nyaman, Pa. Aku pastikan semua kebutuhannya terpenuhi.”“Dan kamu?” tanya Randy lebih pelan.Alis Bastian sedikit
19)Tangan Yasmin masih memegang kardus besar itu ketika matanya terpaku pada lemari putih di hadapannya. Permukaannya mengilap, dengan ukiran lembut di tepinya. Ia membuka salah satu pintu lemari itu perlahan, aroma kayu dan sabun pelembut kain menyeruak keluar, menyambutnya dengan hangat."Pelan-pelan, Yasmin," gumamnya sendiri, menahan napas panjang.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai memindahkan satu per satu bajunya dari dalam kardus. Lipatan rapi, aroma lavender dari pengharum lemari yang dia sering pakai di rumah semuanya mengoyak memori. Ada sehelai sweater biru tua, pemberian sang Mama. Sebuah gaun putih yang ia beli sendiri saat berulang tahun ke-23. Ia menggantungkan setiap helai dengan hati-hati, seolah sedang merakit kembali identitas yang sempat tercerabut.Di dasar kardus, terselip sebuah pouch kecil berisi skincare dan makeup, maskara favoritnya, concealer yang hampir habis, lip balm yang sering ia pakai sebelum tidur. Ia tersenyum tipis, matanya sempat berkaca.
18)“Paketnya sudah sampai, Tuan,” ujar Mbak Rina sembari memegang kunci gerbang di tangannya. Napasnya masih tersengal, tanda ia baru saja menyambut truk yang datang.Yasmin berdiri terpaku di depan jendela, tangannya masih menggenggam mug cokelat panas yang belum sempat disentuh. Tatapannya tertuju pada petugas pengantar barang yang menurunkan beberapa koper dan kardus besar ke halaman rumah.“Kiriman dari Pak Pram, sepertinya,” gumam Bastian di sampingnya. Ia baru saja turun dari tangga, sudah mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam dengan jam tangan perak di pergelangan kirinya.Yasmin mengangguk pelan. “Kamu kasih alamat ini ke Papa?” tanyanya tanpa menoleh.“Saya tulis semalam. Saya pikir kamu akan butuh barang-barangmu, cepat atau lambat.”Suasana jadi hening sesaat. Hanya suara burung dan derik roda koper yang terdengar di luar.“Saya minta kamu santai aja beresinnya,” kata Bastian lagi, nadanya lembut. “Kalau kamu butuh bantuan buat beresin ini semua, suruh aja Mbak
17)Suara pecahan kaca masih terngiang di telinga Bastian ketika ia mendorong pintu kamar tanpa pikir panjang. Jantungnya menghentak keras seakan akan meledak.Bastian mendobrak pintu begitu mendengar suara pecahan kaca. Napasnya memburu, matanya liar menyapu seluruh ruangan. Ia menemukan Yasmin sedang berjongkok di dekat meja rias, memunguti pecahan vas kaca yang berserakan di lantai.“Yasmin!”Langkahnya terhenti begitu melihat Yasmin berjongkok di lantai, memunguti pecahan kaca vas yang berserakan. Jemarinya gemetar, ada goresan merah di telunjuk kirinya, dan satu pecahan kecil masih menempel di kulitnya.“Astaga, Yasmin—jangan!”Bastian langsung menghampiri, meraih pergelangan tangan Yasmin sebelum ia sempat mengambil pecahan berikutnya. Sentuhannya membuat Yasmin tersentak, tubuhnya menegang, napasnya tercekat.“Aku… maaf,” gumamnya. “Tadi aku nggak sengaja—vasnya jatuh.”Bastian menatap mata Yasmin yang tampak lelah, sembap, tapi tak ada jejak histeria di sana. Hanya kesedihan y
16)Yasmin berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi. Kepalanya tegak, tapi ada air mata yang masih menetes pelan di sepanjang pipinya. Langkah kakinya terasa berat. Ia bahkan tidak sempat melirik ke arah barang-barangnya yang masih terserak di kamar.Bella masih duduk di sofa, tatapannya membakar punggung Yasmin dengan amarah yang belum juga reda. Tapi kini tak ada yang mendengarkannya lagi.Bastian menyusul Yasmin dengan langkah panjang, menyamai kecepatan wanita itu tanpa bersuara. Tak ada yang dikatakannya, tak ada nasihat atau teguran. Dia hanya berjalan di belakang, seperti bayangan yang setia mengikuti cahaya.Di dalam rumah, Pram masih berdiri. Pandangannya tidak beranjak dari wajah Bella yang tampak kalut, kusut, dan kehilangan kendali.“Kamu bahkan tidak berniat sedikit pun meminta maaf pada Yasmin” ucap Pram dingin. “Padahal kamu yang paling bersalah di sini, bukankah setidaknya kamu minta maaf padanya?”Bella mendongak, napasnya memburu. “Haruskah aku melakukan itu, Pram, sem
Bab 15Jemari Yasmin terasa dingin saat dia merapikan tali tasnya. Kepalanya sedikit menunduk, pikirannya masih penuh dengan bayangan pertemuan dengan Bella yang akan terjadi sebentar lagi.‘Tenanglah, Yasmin. Kamu hanya akan bertemu dengan Mama kamu, orang yang sudah melahirkan dan membesarkanmu,’ batin Yasmin terus berkecamuk. Gemuruh dadanya terus memburu saat adegan panas antara calon suaminya dan Bella berputar di kepalanya tanpa bisa dicegah. ‘Astaga … apa aku sanggup melewati ini?’ Yasmin ragu apakah dia berani menatap mata sang mama lagi seperti dulu. Ia yakin semuanya tak lagi sama sejak pengkhianatan Bella dan Aditya terkuak. “Naiklah.” Suara bariton nan datar milik Bastian berhasil membuyarkan lamunan Yasmin. Bastian membuka pintu mobil untuknya,“Makasih, tapi aku bisa sendiri,” ucap Yasmin merasa sungkan saat dibukakan pintu oleh Bastian. Dia berdiri diam sejenak sebelum akhirnya masuk.Bastian pun membeku. Ia baru saja sadar jika sudah bersikap berlebihan dengan membu
14)Keheningan di ruang tamu mulai terasa lebih ringan, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal di benak Yasmin. Jemarinya saling meremas, hatinya berdebar tak karuan.Ia ingin bertanya, tetapi ragu untuk mengutarakannya.Bastian melirik ke arahnya sekilas, seakan menyadari kegelisahan Yasmin. Pram juga tampaknya menangkap ekspresi putrinya yang sedikit berbeda.“Kamu mau ngomong sesuatu, Yasmin?” tanya Pram akhirnya. “Kalau iya, katakan saja sekarang.”Yasmin mengangkat wajahnya. “Aku cuma mau tahu satu hal, Pa.”Pram tidak langsung merespons. Matanya meneliti ekspresi Yasmin, seolah mencoba menebak pertanyaannya.“Bagaimana keadaan Mama sekarang?” Suara Yasmin terdengar hati-hati.Sejenak, Pram hanya diam. Ada perubahan tipis di ekspresinya, sesuatu antara kecewa dan enggan membahasnya.“Apa dia baik-baik saja?” lanjut Yasmin, meskipun ada bagian dalam hatinya yang takut mendengar jawabannya.“Apa kamu masih peduli sama Mamamu setelah apa yang dia lakukan di hari pernikahanmu?” tan
13)Setelah insiden tadi, Pram langsung pulang ke rumahnya. Ia masih berpikir keras tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Yasmin setelah kabur dari pernikahannya kemarin. “Yasmin, apa yang sebenarnya terjadi sama kamu dalam semalam, kenapa bisa tiba-tiba kamu sudah menikah dengan pria lain?” Pram bermonolog.“Apa itu pernikahan paksa? Atau ini pelarian atas sakit hatimu setelah melihat apa yang dilakukan Aditya dan Bella?” gumamnya lagi masih menerka-nerka.Lamunan Pram buyar, ketika seorang pria berjas hitam masuk ke ruangan kerjanya, menyerahkan berkas tebal kepada Pram.“Tuan, ini adalah semua informasi yang berhasil kami kumpulkan tentang pria yang bersama Nona Yasmin tadi.”Pram menerima berkas itu, membuka halaman pertama, lalu mulai membaca.Laporan itu mencantumkan berbagai macam detail mulai dari latar belakang keluarga, bisnis yang dijalankan, hingga sepak terjang pria bernama Bastian dalam dunia usaha. Yang lebih mencengangkan adalah usia Bastian yang sudah menginjak ke