Share

Bab 4

2 hari kemudian...

Rayra sedang berdiri di depan kantor tempat Mada bekerja. Kata Ibunya, Mada menjabat sebagai Branch Manager disana. Rayra menghela nafas berkali-kali, bingung apakah harus masuk atau tidak. Ibunya memaksanya untuk memberi ucapan terima kasih atas pertolongan Mada dua hari yang lalu. Alhasil sekarang Rayra benar-benar berada disana dengan tas yang berisi bekal makan siang lengkap buatan ibunya untuk Mada. 

Rayra menatap layar ponselnya. Disana sudah ada kontak Mada yang diberi oleh ibunya. 

"Halo," ucap Rayra ketika terdengar suara Halo di seberang telepon. Akhirnya dia menelpon Mada.

"Apa kamu ada waktu sebentar? Ada yang mau kuberikan," ucap Rayra, setelah menerima jawaban setuju dari Mada. Rayra berjalan masuk ke kantor itu. 

Rayra melihat Mada yang keluar dari lift. Aura tampannya sempat membuat Rayra terdiam sejenak. Ditambah senyum menawan hampir membuat Rayra menjatuhkan bekal makan siang yang sudah susah payah dibuat oleh ibunya. 

"Hey, Rayra!" sapa Mada. Rayra yang kikuk hanya membalas dengan senyum tipis. 

"Nomor telepon dan kantorku kamu pasti tau dari ibumu, ya kan?" tanya Mada dengan senyum lebar. Entah kenapa, melihatnya tersenyum begitu membuat Rayra seperti dialiri energi positif.

"Tentu, lalu dari siapa lagi," kata Rayra berusaha menyembunyikan jantungnya yg sudah berdetak tidak karuan. Kemudian dia menyodorkan tas yang berisi bekal makan siang pada Mada.

"Wahh! Apa ini?" tanyanya dengan mata berbinar.

"Bekal makan siang dari ibu. Makanlah, sebentar lagi jam makan siang, kan?" kata Rayra. 

"Pasti enak!" kata Mada sambil mengintip isi bekal makan siang yang diterimanya. Rayra tertawa dalam hati melihat tingkah Mada.

"Terima kasih ya! Sampaikan juga pada ibumu. Pasti akan kuhabiskan bekal makan siang ini," katanya antusias. Rayra hanya membalas dengan senyum.

"Oke, aku pergi dulu," Rayra berbalik ingin pergi tapi tiba-tiba Mada menarik lengan kanannya.

"Ayo makan bersama, bukankah ini jam makan siangmu juga?" ucap Mada tersenyum. Rayra terlihat kikuk. Ada muncul sedikit rasa senang ketika Mada mengajaknya untuk makan bersama.

"Ayolah," tanpa menunggu jawaban dari Rayra, Mada membawanya menuju taman di kantornya. Disana ada beberapa tempat duduk untuk bersantai.

Mereka berdua duduk berdampingan. Mada terlihat antusias membuka bekal makan siang yang sudah dibuat oleh ibu Rayra.

"Mari makan," ucapnya senang dan melahap telur gulung yang menarik perhatiannya pertama kali. Rayra tersenyum melihat Mada yang begitu lahap makan.

Entah kenapa, Rayra baru bertemu Mada beberapa hari. Tapi pria itu mampu membuatnya merasa nyaman bahkan bisa melupakan masalahnya dengan Edam. Bersamaan dengan itu muncul pula perasaan takut terlalu tenggelam dengan apa yang dia pikirkan itu. Takut jika rasa nyamannya dengan Mada hanyalah sementara. Dia belum mengenal bagaimana sebenarnya Mada, bagaimana kehidupannya, bagaimana pula kesehariannya dan bagaimana sifat aslinya. Seperti Edam dahulu, begitu baik dan begitu menyilaukan mata Ryra. Tapi ternyata semua hal dalam diri Edam cuma ada kebusukan saja.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" ucapan Mada membuyarkan lamunan Rayra. Rayra menepuk-nepuk pipinya sendiri. 

"Ini makanlah, jangan diam saja," kata Mada sambil menyodorkan sendok pada Rayra.

"Baiklah," Rayra mengambil sendok itu dan mulai memakan bekal dari ibunya. Entah kebetulan atau tidak, sepertinya ibunya sengaja membuat porsi lebih banyak. 

"Ah, kenyangnya!" seru Mada terlihat begitu senang. 

"Masakan ibumu sungguh enak!" tambahnya lagi. Rayra hanya tertawa kecil sambil merapikan tempat bekal dan memasukkannya ke dalam tas.

"Aku pergi dulu, sebentar lagi waktu makan siang akan berakhir," kata Rayra kemudian berdiri. 

"Oh, baiklah!" Mada juga ikut berdiri mengikuti langkah Rayra menuju keluar kantor.

"Kamu sudah punya nomorku, kan? Jika pria kasar itu menemuimu lagi jangan ragu untuk menelponku," 

Rayra terdiam dan menatap lekat Mada. Muncul benih-benih harapan di hati Rayra. Hanya karena kalimat dari Mada itu. Bolehkah jika dia berharap lebih? Ah, tidak. Mada pasti hanya berlaku sopan padanya karena orangtua mereka yang saling mengenal. Bukankah seperti itu kemarin kata Mada. Ia setuju bertemu Rayra semata-mata hanya karena permintaan ibunya. 

"Aku bisa mengurusnya sendiri," jawab Rayra dan berlalu pergi. Sementara Mada masih menatap Rayra sampai  menghilang di keramaian.

"Menghadapi dia saja kamu sudah gemetaran, Rayra. Bagaimana kamu bisa mengatasinya sendirian," gumam Mada. Dia ingat bagaimana ekspresi Rayra saat melihat Edam, bisa dia lihat betapa takutnya wanita itu terhadap Edam. Belum lagi memar yang dia lihat ketika di rumah Rayra. Dia menyadari bahwa dalam dirinya sudah mulai muncul rasa peduli terhadap Rayra. Namun Mada masih berpikir itu wajar sebagai pria yang melihat seorang wanita tersakiti. Tidak ada yang lebih. 

***************

Hari silih berganti. Usaha ibu Rayra agar putrinya lebih dekat dengan Mada semakin menjadi. Hampir setiap hari ia meminta Rayra untuk membawa bekal makan siang ke kantor Mada. Meski Rayra menolak ibunya tetap saja bersikeras. 

Rayra sering kesulitan menyembunyikan perasaannya yang campur aduk ketika bertemu dengan Mada. Semakin hari dia bertemu Mada, perasaan nyaman itu semakin bertambah. Dia menjadi takut, takut perasaan itu akan bercabang kemana-mana. 

****************

Suatu malam, Rayra pulang larut lagi karena harus melakukan closing bulanan. Setiap pulang kantor Rayra selalu waspada, takut Edam akan muncul lagi tiba-tiba. Ia bahkan sudah memblokir nomor telepon Edam. 

Sebelum sampai ke rumahnya, Rayra harus melewati jalan perumahan yang sepi. Apalagi saat itu sudah jam 10 malam. Mungkin orang-orang sudah tertidur. Dengan bercampur rasa takut, Rayra mengambil ponselnya. Ia terlihat ragu untuk memulai chat dengan seseorang. 

[Apa yang sedang kamu lakukan?]

Rayra menjerit kecil ketika dia berhasil menekan enter untuk sepotong chat yang dia kirim pada Mada.

[Tidak ada. Ada apa, Rayra?]

Balasan chat itu sangat cepat. Rayra tersenyum membacanya. Dia ingin menelpon Mada untuk mengusir rasa takutnya. Setidaknya ada yang bisa dia ajak untuk mengobrol sambil melewati jalan yang sepi itu.

Akhirnya Rayra menelpon Mada.

Tapi tiba-tiba terdengar bunyi dering ponsel tak jauh dari Rayra berada. Untuk memastikan Rayra mematikan panggilannya dan mengulang lagi panggilan tersebut. Dan lagi-lagi bunyi dering ponsel terdengar. 

Rayra menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Mada muncul dari belakang sebuah mobil yang di parkir di pinggir jalan.

"Mada?" 

Mada terlihat salah tingkah. Ia berjalan mendekat sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. 

"Jadi dari tadi kamu ada disana?" tanya Rayra heran. Mada hanya mengangguk. 

"Kamu mengikutiku?" tanya Rayra lagi. Dan Mada kembali mengangguk. 

"Kenapa?" Rayra terheran-heran dengan Mada. Sementara Mada cuma terkekeh pelan. 

"Aku cuma mau memastikan kamu sampai rumah dengan selamat," jawab Mada. Hati Rayra kembali berdesir. Pria tampan di depannya itu semakin membuatnya terjebak dalam perasaan yang tidak menentu. 

"Aku tidak punya niatan apapun, tenang saja," kata Mada buru-buru menambahkan sebelum Rayra salah paham.

"Kamu tidak perlu repot-repot," ucap Rayra berusaha menahan perasaannya yang sudah tidak karuan.

"Edam bukan orang yang baik. Aku takut kamu malah terseret dalam masalahku ini," tambah Rayra. Dia juga tidak ingin terjadi apa-apa pada Mada. 

"Justru itu. Karena dia bukan orang yang baik, aku mau memastikan dia tidak menyentuhmu lagi," ucap Mada. Dia tidak sadar ucapannya itu semakin membuat Rayra menggantungkan harapan padanya. Berharap hubungan mereka bukan hanya perkenalan atas dasar permintaan orangtua mereka. Namun lebih dari itu.

Rayra mengalihkan tatapannya dari Mada dan berbalik melanjutkan langkahnya menuju rumah. 

"Aku bukannya ingin mencampuri urusanmu! Tapi memar ditubuhmu itu yang membuatku melakukan ini," 

Langkah Rayra terhenti. 

"Jika kamu tau apa alasan sebenarnya aku mau bertemu denganmu, pasti kamu tidak akan mau lagi melihatku," ucap Rayra lirih. Tapi Mada bisa mendengarnya dengan jelas. Bulir airmata sudah menggantung di ujung mata Rayra.

"Jika alasanmu karena pria kasar itu," ucapan Mada terputus, dia memegang kedua pundak Rayra berusaha agar Rayra mau menatapnya.

"Manfaatkan saja aku," sambung Mada. Rayra terhenyak. Dia menatap lekat mata Mada. Mencari kejujuran disana atau hanya bualan saja yang dikatakan oleh pria itu.

"Buat dia agar tidak bisa mengganggumu lagi. Aku akan membantumu," Mada berusaha meyakinkan Rayra. 

"Tuhan, bolehkah aku berharap lebih?" batin Rayra dalam hati. Dia tahu, semua yang ditawarkan oleh Mada padanya tidak lebih karena Mada peduli padanya. Peduli sebagai teman, sebagai orang yang sudah saling mengenal apalagi orangtua mereka bersahabat. Tidak lebih dari itu. Tetapi, Rayra tidak bisa memungkiri bahwa perasaannya telah jatuh terlalu dalam pada Mada. Ia sangat takut jika perasaan itu berubah permanen menjadi 'cinta'.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status