Share

Bab 4

Author: Ana Merwin
Lintang menahan dorongan untuk berteriak histeris dan bertengkar hebat dengan Bagas. Kemudian, Lintang berbalik dan masuk ke rumah.

Dalam tiga hari ini, Bagas sangat sibuk. Lintang sendiri juga tidak berdiam diri.

Foto-foto Bagas dan Jeny yang keluar-masuk bersama dari sebuah apartemen terus-menerus masuk ke ponsel Lintang.

Menjelang hari pernikahan mereka, Bagas dengan tenangnya tinggal serumah dengan wanita lain dan menganggap itu sebagai pesta terakhir sebelum memasuki kuburan pernikahan.

Bagas mengikuti dari belakang. Dia mengambil kotak P3K dari lemari, lalu mencari larutan antiseptik dan kapas, sebelum berjalan menghampiri Lintang.

Bagas tidak mengatakan apa-apa. Hanya dengan wajah dingin, dia langsung meraih tangan Lintang dan merawat lukanya.

"Kamu paling menyayangi tangan ini. Jangan sampai karena marah padaku, kamu malah menyakiti dirimu sendiri."

Senyum sinis tersungging di bibir Lintang. "Bukankah justru kamu yang menyakitiku?"

Akan tetapi, Lintang tidak membahas topik itu lebih lanjut. Dia mengambil sebuah dokumen dari samping, lalu menyerahkannya kepada Bagas.

"Lihatlah syarat dan ketentuannya. Kalau nggak ada masalah, langsung tanda tangani saja."

Bagas menerima dokumen itu. Setelah melihat isinya, keningnya tampak berkerut.

"Perjanjian Pembagian Harta?"

"Hmm," sahut Lintang dengan acuh tak acuh.

Bagas meletakkan dokumen itu dan terkekeh, "Kita akan segera menikah. Apa gunanya menandatangani ini?"

Bagas menganggap apa yang dikatakan Lintang hari itu hanyalah ungkapan emosi sesaatnya saja.

Mereka sudah bersama selama tujuh tahun. Lintang tidak mungkin meninggalkannya.

Lintang mengangkat matanya dan menatap Bagas. Dia tidak menyatakan pendapatnya dan hanya menimpali kata-kata Bagas.

"Justru karena kita akan menikah, maka harus menandatangani perjanjian seperti ini, karena harta sebelum menikah adalah milik pribadi."

Lintang sangat paham. Hanya jika dirinya benar-benar pergi, barulah Bagas akan menyadari bahwa kata-katanya hari itu bukanlah omong kosong karena marah.

Bagas menatap Lintang dengan dingin dan tersenyum sinis. Namun, Bagas langsung menyetujuinya tanpa ragu.

"Oke."

Lintang langsung menyerahkan pulpen pada Bagas tanpa ragu.

Bagas meliriknya sebentar, menekan rasa kesal di hatinya, lalu menandatangani dokumen itu dan menyerahkannya kembali pada Lintang.

"Sekarang harusnya sudah nggak marah lagi, 'kan?"

Bagas mengulurkan tangan, hendak memeluk Lintang.

Lintang menarik kembali dokumen itu dan menghindari gestur mesra tersebut.

"Aku akan membawa perjanjian ini ke kantor notaris untuk disahkan. Nanti aku akan menghubungimu. Mohon kerjasamanya."

Wajah Bagas langsung menjadi muram. "Kamu bahkan nggak percaya padaku sedikit pun?"

Lintang tidak menjawab. Dia hanya memasukkan dokumen itu ke dalam amplop tertutup yang rapat, layaknya harta karun.

Tindakan Lintang itu sudah mengatakan banyak hal.

Bagas dengan wajah dingin menatap wajah tenang itu dari atas hingga ke bawah. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis yang dingin.

"Lintang, kamu nggak merasa kalau sekarang kamu jadi terlalu materialistis dan terlalu penuh dengan nafsu duniawi?"

Lintang mengangkat matanya dan menatap mata hitam Bagas yang dalam. Tanpa memedulikan cap yang disematkan Bagas padanya, Lintang pun menjawab dengan tenang.

"Sekarang bukan lagi zamannya cinta bisa mengenyangkan perut. Kekuasaan dan uanglah yang menjadi pelengkap hidup."

Cinta seorang pria terlalu mudah berubah-ubah. Hanya materi dan uang yang tidak pernah menipu.

Wajah Bagas langsung menjadi begitu muram.

Lintang mengambil amplop dokumen tersebut dan naik ke lantai atas. Saat lewat di samping Bagas, dia berhenti sejenak. "Aku nggak menyiapkan makan malam untukmu. Silakan masak sendiri."

Setelah berkata seperti itu, Lintang langsung naik tanpa menoleh ke belakang.

Wajah Bagas terlihat sangat suram dan mengerikan. Dia membanting pintu dengan keras saat meninggalkan tempat itu.

Lintang tidak peduli. Setelah memasukkan dokumen ke dalam brankas, dia pergi menemui neneknya. Lintang ingin berdiskusi dengan neneknya tentang rencananya pergi ke ibu kota.

Setelah ibu Lintang bercerai, tak lama kemudian ibu Lintang meninggal karena kanker. Saat itu, Lintang masih duduk di bangku SMA dan hidup bergantung pada neneknya.

Di luar rumah tua itu, siluet matahari terbenam terlihat samar-samar.

Wanita tua itu berbaring di kursi malas yang terbuat dari anyaman bambu. Dia tengah mengagumi keindahan matahari terbenam. "Lintang, kamu di sini? Mana Bagas?"

Biasanya, Bagas menemani Lintang datang menjenguk neneknya. Hampir setiap minggu seperti itu dan tidak pernah absen.

Lintang tidak ingin membuat neneknya khawatir. Dia menundukkan matanya dan berpura-pura tenang saat menjawab.

"Bagas sedang sibuk."

Nenek terdiam sejenak, lalu mulai mengoceh panjang lebar. Akhirnya, Nenek bersikeras ingin bertemu dengan Bagas karena ada yang ingin dia katakan pada Bagas.

Lintang tidak bisa membujuknya. Oleh karena itu, Lintang pun terpaksa menelepon Bagas.

Namun, telepon itu tidak diangkat. Lintang pun tidak lagi memaksa.

Setelah menenangkan diri, Lintang pun berbalik sambil tersenyum.

"Nenek, Bagas…"

Wanita tua yang tadi masih berbicara dengannya, sekarang memejamkan matanya dengan tenang di bawah sinar matahari terbenam. Tangannya terkulai begitu saja di sisi kursi malas. Ekspresinya tampak damai, seperti sedang tertidur.

Jantung Lintang tiba-tiba berdebar kencang. Bayangan saat ibunya meninggal muncul di benak Lintang.

"Nenek..." Suara Lintang sedikit bergetar. Dia mengulurkan tangan untuk meraih tangan neneknya. Telapak tangan neneknya terasa hangat, tetapi sama sekali tidak ada respons.

Saat petugas medis tiba, mereka memberi tahu Lintang jika neneknya meninggal secara alami dan menghiburnya agar tabah.

Orang yang tadi masih mengobrol dengannya, detik berikutnya telah pergi. Lintang pun refleks mencoba menelepon nomor Bagas.

Namun, begitu telepon terhubung, malah suara Jeny yang terdengar.

"Kak Lintang, ada perlu apa? Aku dan Pak Bagas sedang dalam perjalanan ke kota sebelah..."

Hampir seketika setelah mendengar suara itu, wajah Lintang langsung memucat. Lintang pun segera memutus sambungan telepon.

Kemudian, Lintang menghubungi kakak perempuannya yang berada jauh di ibu kota. Begitu terhubung, Lintang berkata dengan suara tertahan.

"Kak Luna, Nenek meninggal."

Luna Handaru menjawab, "Aku akan segera ke sana."

Setelah menutup telepon, Lintang menutupi wajahnya dan berjongkok di depan jenazah neneknya. Lintang membenamkan wajahnya ke tubuh neneknya yang perlahan mulai kaku dan bahunya bergetar.

Belum pernah sekalipun dalam hidupnya, Lintang merasa begitu menyesal.

Demi pria seperti Bagas, Lintang sudah meninggalkan keluarga yang benar-benar mencintainya.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 100

    Lintang membalas:[Apakah aku puas atau nggak, itu nggak penting. Yang penting adalah apakah Pak Indra puas.]Orang itu tidak membalas.Pak Indra kemungkinan tidak puas. Bagaimanapun, putri tunggalnya sudah sangat menderita oleh kejadian ini selama tiga tahun terakhir.Gilang kemungkinan besar tidak akan bisa menghadiri pernikahan Bagas besok.Bagaimana kelanjutan malam ini, Lintang tidak ingin mengurusi, karena besok dia masih harus menghadapi pertarungan lain yang lebih berat.Setelah selesai mandi, Lintang berbaring di tempat tidur. Pikirannya kacau, tetapi kesadarannya sangat jernih.Hingga malam di luar jendela perlahan berubah menjadi abu-abu samar dan sampai penata rias datang mengetuk pintunya, Lintang sama sekali tidak merasa mengantuk.Bagas semalam mabuk. Pak Ardi mengaturnya untuk menginap di kamar lantai bawah.Bagas juga sudah dibangunkan oleh penata rias pagi-pagi sekali. Hal pertama yang dilakukan Bagas setelah terbangun adalah menelepon Lintang. Bagas menyadari jika ke

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 99

    Lintang mengakui jika memilih Bagas dan baru melihat sifat aslinya setelah tujuh tahun, adalah keputusan yang bodoh."Meski bodoh, itu tetap kebodohan yang berani! Lebih baik dari pada beberapa orang yang merangkak di sudut gelap, nggak berani menghadapi hati mereka sendiri, nggak berani mencintai wanita yang mereka cintai."Faris menatap Lintang dengan wajah serius. Suasana langsung menjadi dingin mencekam.Lintang tahu, dia sudah menyentuh titik kelemahan Faris.Lintang bahkan berilusi jika pria ini akan bergegas mencekiknya.Ketika dua orang saling menatap, salah satu dari mereka pasti akan kalah.Sejujurnya, Lintang merasa sangat rapuh sekarang.Namun, Lintang tidak ingin kalah.Akhirnya, Faris-lah yang pertama mengalihkan pandangannya. Dia berbalik dan berjalan menuju ujung lorong.Lintang mengerucutkan bibirnya. Dia menatap sosok Faris yang tampak sedikit kesepian. Dalam hati Lintang tidak ada sedikit pun rasa menang.Lintang diam-diam berdiri di tempat. Ekspresinya agak merasa b

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 98

    "Pak Faris, Anda tinggal di lantai berapa? Aku bantu tekan tombol lift-nya."Faris tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengangkat tangannya dan menekan tombol lantai 32, lalu menarik kembali tangannya.Meskipun diam, kehadiran Faris sangat terasa.Lintang terdiam. Lintang pun mengangkat tangannya dan hendak menekan nomor lantainya, tetapi lampu di lantainya sudah menyala.Lintang tertegun untuk sesaat."Pak Faris, kamu juga tinggal di lantai 32?"Faris tetap diam."Kebetulan sekali." Suara Lintang terdengar agak canggung.Pria itu tidak menjawab. Lintang juga kehilangan minat.Dalam hati, Lintang diam-diam mengagumi para pelaku perang dingin itu. Bagaimana mereka bisa menahan diri untuk tidak berbicara dengan orang lain?Butuh waktu cukup lama bagi lift untuk mencapai lantai 32. Ruangan sempit itu hanya berisi mereka berdua. Suasana begitu hening hingga Lintang merasa suara napasnya sendiri bisa terdengar begitu jelas.Mereka tidak bisa terus terjebak dalam ketegangan seperti ini.Enta

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 97

    Sopir memarkir mobil di depan Hotel Mahira. Lintang tidak menunggu pria itu keluar untuk membukakan pintu, melainkan membukanya sendiri dan keluar dari mobil."Terima kasih, Pak Faris. Maaf merepotkan."Meskipun mereka berdua tidak bertukar kata selama perjalanan, Lintang tetap merasa perlu menunjukkan sopan santun.Pria yang duduk di dalam mobil itu tidak mengatakan sepatah kata pun.Lintang sedikit mengerucutkan bibirnya. Dia dengan sadar menahan diri untuk tidak melanjutkan percakapan. Lintang pun menutup pintu mobil dengan lembut.Namun, saat pintu hampir tertutup, orang di dalam mobil itu mendorongnya hingga terbuka.Lintang terkejut untuk sesaat. Faris sendiri membungkuk dan keluar dari mobil.Faris berjalan melewati Lintang tanpa ekspresi. Mata hitamnya yang dalam terlihat dingin dan penuh rasa tidak peduli, seakan menyiratkan, "Jangan dekat-dekat!".Lintang melihat Faris masuk ke hotel. Lintang tampak terkejut untuk sesaat. Kemudian, Lintang buru-buru mengikutinya dan bertanya.

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 96

    Lintang tercekat mendengar kata-kata Faris. Dia merasa ada udara kotor yang terhimpit di tenggorokannya."Pak Faris, coba ke depannya kurangi menjilat bibirmu."Faris melirik Lintang dengan bingung.Lintang tetap tersenyum, tetapi menggertakkan giginya. "Aku takut kamu akan meracuni diri sendiri dengan menjilat bibirmu."Faris sangat tahu bagaimana situasi Bagas, tetapi masih saja "mengucapkan selamat" padanya!Lintang menarik napas dalam-dalam. Jika dia tidak mengetahui perselingkuhan Bagas dan Jeny pada beberapa saat sebelum pernikahan, setiap "ucapan selamat" dari orang-orang yang mengetahuinya, kemungkinan besar akan dianggap Lintang sebagai ejekan atas kebodohannya.Jika Lintang baru menyadari semuanya setelah pernikahan, ucapan "selamat" itu akan berubah menjadi pedang yang menusuk jantungnya.Untungnya, Lintang sudah mengetahui semuanya, sehingga tidak memberi kesempatan bagi orang-orang itu untuk menusuknya.Pria yang duduk di samping Lintang tertawa pelan. Cahaya lampu dari lu

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 95

    Lintang mengerucutkan bibirnya dengan putus asa. Matanya sekilas menunjukkan rasa canggung dan emosi yang agak rumit. Kemudian, Lintang cepat-cepat menepuk pipinya, berusaha untuk menyadarkan diri dan melangkah pergi.Saat berjalan, Lintang baru menyadari jika tiang tempat dia bersandar juga dipenuhi dengan banyak ukiran manusia kecil yang sedang berhubungan intim.Wajah Lintang langsung memerah dan dia buru-buru berjalan meninggalkan tempat itu.Lintang sama sekali tidak bisa mengapresiasi seni perilaku manusia primitif di dinding ini!Saat Lintang keluar dari hotel dengan wajah memerah, sopir Faris sudah memarkir mobil di pintu masuk.Melihat Lintang keluar, sopir itu melangkah ke samping mobil, tersenyum pada Lintang dan memberi isyarat "silakan."Faris sudah berada di dalam mobil.Cahaya lampu jalan di luar jendela masuk ke mobil, menyinari profil Faris yang tegas dan membuat sebagian besar wajah Faris tertutup bayangan.Tampan dan misterius.Dua kancing di kerah kemeja yang sempat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status