Share

Bab 7

Author: Ana Merwin
Pelayanan dari pihak penyelenggara sangat cepat. Mereka segera membawa mesin POS ke tempat Lintang untuk melakukan pembayaran, sambil mengantarkan barang lelang yang berhasil didapatkan Lintang.

Begitu Lintang menandatangani tanda terima, barang lelang berikutnya di atas panggung kembali menarik perhatiannya.

Kalung permata yang sedang diperkenalkan oleh pembawa acara itu adalah barang peninggalan ibunya.

Tanpa ragu sedikit pun, Lintang langsung mengangkat papan tawarannya.

Kali ini, Bagas tidak melewatkannya. Setelah beberapa putaran penawaran, Bagas langsung menyalakan lampu.

Suara bisik-bisik memenuhi ruangan tersebut.

Lintang menurunkan tangannya dan menyerah. Kemudian, Lintang berdiri dan mengetuk sekat ruang sebelah.

Namun, sekat itu tidak dibuka.

Detik berikutnya, seseorang kembali mengangkat papan untuk menawar. Setelah beberapa putaran, harga barang lelang itu sudah jauh melebihi nilai aslinya.

Bagas menyalakan lampu, artinya tidak peduli seberapa tinggi harga di arena lelang, dia akan terus ikut menawar dan memastikan dirinya tetap menjadi penawar tertinggi, tanpa boleh mundur di tengah jalan.

Acara lelang pun mencapai puncaknya.

Pada akhirnya, barang lelang itu berhasil dimenangkan Bagas dengan harga 60 miliar.

Padahal, nilai asli gelang itu hanyalah sekitar empat miliar.

Feby mendecakkan lidahnya. "Apa dia sudah gila?"

Lintang memijat keningnya. Dia sudah kehilangan seluruh minat untuk melihat barang lelang lainnya.

"Itu barang peninggalan ibuku. Aku harus pergi ke sana."

Feby ikut berdiri.

"Aku akan menemanimu."

Lintang menggelengkan kepalanya. "Nggak perlu. Aku bisa mengurusnya sendiri."

Lintang membuka pintu ruang VIP dan berjalan keluar. Pada saat yang sama, pintu di kedua ruang VIP di sebelah kiri dan kanan juga ikut terbuka.

Dari ruang VIP sebelah kiri, keluar terlebih dahulu sekelompok orang. Pemimpin rombongan itu adalah seorang pria berkemeja hitam. Cahaya lampu kekuningan yang hangat menyinari dirinya, menegaskan bahu bidang dan pinggang ramping yang tersembunyi di balik kemeja tersebut.

Beberapa pria kantoran berjas mengapitnya, laksana bintang-bintang yang mengitari bulan. Pria itu berjalan sambil tersenyum. Setiap langkahnya memancarkan pesona penuh daya tarik yang alami.

Lintang langsung mengenalinya. Dia adalah pria yang mobilnya pernah ditabraknya dari belakang waktu itu.

"Pak Faris…"

Lintang berinisiatif menyapanya terlebih dahulu.

Faris Husodo mengangguk sedikit saat berjalan melewati Lintang.

"Halo."

Suara Faris terdengar dingin, tanpa menunjukkan emosi sedikit pun.

Di dada Lintang muncul perasaan yang aneh. Rasanya sesak, tidak nyaman dan yang paling terasa adalah rasa malu.

Andai tujuh tahun lalu Lintang tidak mengenal Bagas, sesuai kesepakatan antara Keluarga Handaru dan Keluarga Husodo, mereka seharusnya sedang mempersiapkan pernikahan antara dirinya dan Faris.

Pria yang dahulu dicintai Lintang tanpa ragu, kini justru membawa wanita lain untuk dipamerkan di acara lelang. Bahkan, barusan juga sempat membuat keributan. Faris yang berada tepat di sebelahnya, mana mungkin tidak mendengarnya?

Lintang merasa sangat malu.

Tak lama kemudian, Bagas juga keluar.

Sebelumnya, Bagas sudah mendapat informasi jika orang yang menawar barang lelang yang sama dengannya tadi adalah Faris.

Asisten Bagas membawa barang lelang yang baru saja mereka dapatkan. Dengan isyarat mata dari Bagas, asisten itu pun menyerahkan barang tersebut kepada Faris.

"Pak Faris, Pak Bagas mendengar kalau Anda sangat menyukai barang lelang ini. Jadi, dia secara khusus memintaku untuk memberikannya kepada Anda."

Enam puluh miliar untuk kesempatan bertemu Faris, bagi Lintama, itu adalah suatu keuntungan.

Bagas sejak dahulu pandai menimbang untung dan rugi.

Faris melirik barang lelang itu sekilas, lalu menundukkan pandangannya dan melirik ke arah Lintang.

"Begini doang kualitasnya?"

Orang lain mungkin tidak mengerti maksud tersirat dari ucapan Faris. Namun, Lintang sangat memahaminya.

Wajah Lintang pun terasa panas seperti terbakar.

Tatapan Faris begitu tajam dan mengintimidasi, membuat Lintang tidak sanggup mengangkat kepalanya.

Ekspresi asisten Bagas tampak canggung. Barang lelang di tangannya seketika berubah menjadi seperti serba salah. Mau diberikan salah, ditarik kembali juga salah.

Faris tidak mengulurkan tangan untuk menerima barang itu. Dia justru mengangkat pandangan dan menatap ke arah Bagas yang berdiri tidak jauh dari sana.

"Lelaki sejati nggak akan merebut apa yang dicintai orang lain. Sekali lagi, aku mengucapkan terima kasih pada Pak Bagas. Tapi, sebaiknya barang lelang ini tetap Anda simpan sendiri."

Bagas tersenyum. Kemudian, dia berjalan mendekat dengan sikap tenang dan percaya diri, tanpa sedikit pun menunjukkan upaya menjilat atau bersikap merendahkan diri. Bagas pun berbicara kepada Faris dengan sikap yang wajar.

"Bakat atau sesuatu yang berharga mungkin banyak, tapi orang yang benar-benar bisa menghargai atau mengenalinya sangat jarang. Aku sendiri nggak begitu mengerti bagaimana menghargai barang lelang ini. Lebih baik kuserahkan pada orang yang benar-benar mengerti nilainya. Dengan memberikan kepada orang yang tepat, aku juga ikut mendapatkan kebaikan."

Senyum tipis tersungging di bibir Faris. Matanya yang hitam pekat tampak berbinar.

"Pak Bagas sudah berkata sejauh itu. Kalau aku tetap menolak, justru aku yang terkesan nggak tahu diri."

Mata Bagas tersenyum. Namun, di baliknya tersimpan ambisi dan tekad yang kuat. Setelah menjalin hubungan dengan Faris, Lintama pasti akan makin berkembang pesat.

Tatapan Lintang tertuju pada barang lelang itu. Tampak kilatan kekecewaan di matanya.

Jika gelang itu ada di tangan Bagas, Lintang masih bisa mencari cara untuk mengambilnya kembali.

Namun, sekarang gelang itu jatuh ke tangan Faris. Lintang merasa malu untuk memintanya kembali.

Bagas mengambil kotak perhiasan dari tangan asistennya, lalu menyerahkannya kepada Faris.

Faris mengulurkan tangan dan menerima kotak itu, lalu menyerahkannya kepada asistennya yang berdiri di belakangnya.

Barang sudah diserahkan. Tentu saja, Bagas mulai memikirkan bagaimana mencari waktu yang tepat untuk mengundang Faris demi mempererat hubungan mereka.

Belum sempat Bagas berbicara, asisten Faris yang bernama Sandy tersenyum dan berkata…

"Pak Bagas memang benar-benar orang yang menepati janji. Apakah ini bisa dianggap sebagai Pak Bagas yang membayar biaya ruang VIP kami?"

Faris tersenyum dan berkata dengan nada meremehkan, "Memangnya ada biaya ruang VIP yang semahal itu?"

Pak Sandy berkata, "Tentu saja itu juga termasuk biaya kompensasi atas kebisingan yang kita alami tadi."

Faris menanggapi, "Masuk akal."

Barulah pada saat itu Bagas menyadari jika orang yang tadi mengeluhkan ruang VIP-nya berisik adalah Faris.

Kata-kata yang sudah disiapkan Bagas langsung tertahan di tenggorokan. Bagas tidak sanggup lagi mengucapkannya.

Saat Bagas hendak membuka mulut untuk menjelaskan, Faris sudah terlebih dahulu berjalan melewati Bagas bersama rombongannya.

Pak Sandy adalah tipe orang yang cerewet dan penuh semangat. Sambil berjalan, dia terus mengobrol dengan Faris.

"Andai tadi aku tahu dia akan memberikan barang lelang itu pada kita, harusnya aku lebih sering menawar, biar harganya makin tinggi."

Faris menjawab dengan nada santai, "Kalau masih bisa kasih keringanan, baiknya kasih keringanan."

Pak Sandy berkata, "Tadi waktu Anda menerima barang lelang itu, sepertinya Anda juga nggak bermaksud membiarkan dia begitu saja."

Itu uang 60 miliar.

Faris tersenyum tenang. "Itu karena aku adalah orang yang mampu melihat dan menghargai nilai suatu barang.”

Pak Sandy tidak mengerti maksudnya.

Bagas masih berdiri di tempat. Sorot matanya yang tadinya penuh tekad, kini lenyap tanpa jejak dan hanya menyisakan kegelisahan.

Bagas sudah dipermainkan tanpa menyadarinya. Bahkan, Bagas menghabiskan 60 miliar hanya untuk menyerahkan barang lelang itu kepada orang yang mempermainkannya.

Lintang berdiri di samping. Dia menyaksikan semuanya dengan tenang. Sikap diamnya seakan mengejek kesalahan besar yang sudah dilakukan Bagas.

Bagaimanapun, sebelumnya Lintang sudah berulang kali memperingatkan Bagas untuk tidak bergaul dengan orang-orang seperti itu.

Bagas menarik napas dalam-dalam. Meski suasana hatinya sedang buruk, dia tetap memilih untuk mengalah dan menawarkan jalan damai.

"Akan kusuruh asisten untuk mengirimkan semua barang lelang, yang tadi kudapatkan untukmu."

Lintang menanggapi dengan wajah datar. "Kalau semuanya kamu berikan padaku, bukankah Bu Jeny tadi hanya akan duduk menemanimu semalaman tanpa mendapatkan apa-apa?"

Tepat di saat itu, Jeny keluar. Tatapannya ke arah Lintang tampak agak takut-takut.

"Kak Lintang, barang-barang lelang itu memang dari awal dibeli Pak Bagas untuk diberikan padamu. Aku nggak menginginkan apa pun, jadi nggak masalah."

Lintang tertawa dingin. "Oh, ternyata Bu Jeny begitu tahu diri. Pantas saja semua pria di sini memujimu sebagai wanita yang 'nggak gila harta'. Wanita seperti Bu Jeny, yang sudah dimanfaatkan gratis tapi masih merasa bangga, memang langka. Kalau semua wanita simpanan di dunia ini bisa belajar pada kamu, para istri kaya raya mungkin nggak perlu lagi pusing kehilangan harta."

Wajah Jeny langsung pucat pasi.

Wajah Bagas tampak muram. Tatapannya yang sedingin es mengandung sejenis hawa dingin yang menusuk tulang.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 100

    Lintang membalas:[Apakah aku puas atau nggak, itu nggak penting. Yang penting adalah apakah Pak Indra puas.]Orang itu tidak membalas.Pak Indra kemungkinan tidak puas. Bagaimanapun, putri tunggalnya sudah sangat menderita oleh kejadian ini selama tiga tahun terakhir.Gilang kemungkinan besar tidak akan bisa menghadiri pernikahan Bagas besok.Bagaimana kelanjutan malam ini, Lintang tidak ingin mengurusi, karena besok dia masih harus menghadapi pertarungan lain yang lebih berat.Setelah selesai mandi, Lintang berbaring di tempat tidur. Pikirannya kacau, tetapi kesadarannya sangat jernih.Hingga malam di luar jendela perlahan berubah menjadi abu-abu samar dan sampai penata rias datang mengetuk pintunya, Lintang sama sekali tidak merasa mengantuk.Bagas semalam mabuk. Pak Ardi mengaturnya untuk menginap di kamar lantai bawah.Bagas juga sudah dibangunkan oleh penata rias pagi-pagi sekali. Hal pertama yang dilakukan Bagas setelah terbangun adalah menelepon Lintang. Bagas menyadari jika ke

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 99

    Lintang mengakui jika memilih Bagas dan baru melihat sifat aslinya setelah tujuh tahun, adalah keputusan yang bodoh."Meski bodoh, itu tetap kebodohan yang berani! Lebih baik dari pada beberapa orang yang merangkak di sudut gelap, nggak berani menghadapi hati mereka sendiri, nggak berani mencintai wanita yang mereka cintai."Faris menatap Lintang dengan wajah serius. Suasana langsung menjadi dingin mencekam.Lintang tahu, dia sudah menyentuh titik kelemahan Faris.Lintang bahkan berilusi jika pria ini akan bergegas mencekiknya.Ketika dua orang saling menatap, salah satu dari mereka pasti akan kalah.Sejujurnya, Lintang merasa sangat rapuh sekarang.Namun, Lintang tidak ingin kalah.Akhirnya, Faris-lah yang pertama mengalihkan pandangannya. Dia berbalik dan berjalan menuju ujung lorong.Lintang mengerucutkan bibirnya. Dia menatap sosok Faris yang tampak sedikit kesepian. Dalam hati Lintang tidak ada sedikit pun rasa menang.Lintang diam-diam berdiri di tempat. Ekspresinya agak merasa b

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 98

    "Pak Faris, Anda tinggal di lantai berapa? Aku bantu tekan tombol lift-nya."Faris tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengangkat tangannya dan menekan tombol lantai 32, lalu menarik kembali tangannya.Meskipun diam, kehadiran Faris sangat terasa.Lintang terdiam. Lintang pun mengangkat tangannya dan hendak menekan nomor lantainya, tetapi lampu di lantainya sudah menyala.Lintang tertegun untuk sesaat."Pak Faris, kamu juga tinggal di lantai 32?"Faris tetap diam."Kebetulan sekali." Suara Lintang terdengar agak canggung.Pria itu tidak menjawab. Lintang juga kehilangan minat.Dalam hati, Lintang diam-diam mengagumi para pelaku perang dingin itu. Bagaimana mereka bisa menahan diri untuk tidak berbicara dengan orang lain?Butuh waktu cukup lama bagi lift untuk mencapai lantai 32. Ruangan sempit itu hanya berisi mereka berdua. Suasana begitu hening hingga Lintang merasa suara napasnya sendiri bisa terdengar begitu jelas.Mereka tidak bisa terus terjebak dalam ketegangan seperti ini.Enta

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 97

    Sopir memarkir mobil di depan Hotel Mahira. Lintang tidak menunggu pria itu keluar untuk membukakan pintu, melainkan membukanya sendiri dan keluar dari mobil."Terima kasih, Pak Faris. Maaf merepotkan."Meskipun mereka berdua tidak bertukar kata selama perjalanan, Lintang tetap merasa perlu menunjukkan sopan santun.Pria yang duduk di dalam mobil itu tidak mengatakan sepatah kata pun.Lintang sedikit mengerucutkan bibirnya. Dia dengan sadar menahan diri untuk tidak melanjutkan percakapan. Lintang pun menutup pintu mobil dengan lembut.Namun, saat pintu hampir tertutup, orang di dalam mobil itu mendorongnya hingga terbuka.Lintang terkejut untuk sesaat. Faris sendiri membungkuk dan keluar dari mobil.Faris berjalan melewati Lintang tanpa ekspresi. Mata hitamnya yang dalam terlihat dingin dan penuh rasa tidak peduli, seakan menyiratkan, "Jangan dekat-dekat!".Lintang melihat Faris masuk ke hotel. Lintang tampak terkejut untuk sesaat. Kemudian, Lintang buru-buru mengikutinya dan bertanya.

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 96

    Lintang tercekat mendengar kata-kata Faris. Dia merasa ada udara kotor yang terhimpit di tenggorokannya."Pak Faris, coba ke depannya kurangi menjilat bibirmu."Faris melirik Lintang dengan bingung.Lintang tetap tersenyum, tetapi menggertakkan giginya. "Aku takut kamu akan meracuni diri sendiri dengan menjilat bibirmu."Faris sangat tahu bagaimana situasi Bagas, tetapi masih saja "mengucapkan selamat" padanya!Lintang menarik napas dalam-dalam. Jika dia tidak mengetahui perselingkuhan Bagas dan Jeny pada beberapa saat sebelum pernikahan, setiap "ucapan selamat" dari orang-orang yang mengetahuinya, kemungkinan besar akan dianggap Lintang sebagai ejekan atas kebodohannya.Jika Lintang baru menyadari semuanya setelah pernikahan, ucapan "selamat" itu akan berubah menjadi pedang yang menusuk jantungnya.Untungnya, Lintang sudah mengetahui semuanya, sehingga tidak memberi kesempatan bagi orang-orang itu untuk menusuknya.Pria yang duduk di samping Lintang tertawa pelan. Cahaya lampu dari lu

  • Jodoh dari Masa Lalu   Bab 95

    Lintang mengerucutkan bibirnya dengan putus asa. Matanya sekilas menunjukkan rasa canggung dan emosi yang agak rumit. Kemudian, Lintang cepat-cepat menepuk pipinya, berusaha untuk menyadarkan diri dan melangkah pergi.Saat berjalan, Lintang baru menyadari jika tiang tempat dia bersandar juga dipenuhi dengan banyak ukiran manusia kecil yang sedang berhubungan intim.Wajah Lintang langsung memerah dan dia buru-buru berjalan meninggalkan tempat itu.Lintang sama sekali tidak bisa mengapresiasi seni perilaku manusia primitif di dinding ini!Saat Lintang keluar dari hotel dengan wajah memerah, sopir Faris sudah memarkir mobil di pintu masuk.Melihat Lintang keluar, sopir itu melangkah ke samping mobil, tersenyum pada Lintang dan memberi isyarat "silakan."Faris sudah berada di dalam mobil.Cahaya lampu jalan di luar jendela masuk ke mobil, menyinari profil Faris yang tegas dan membuat sebagian besar wajah Faris tertutup bayangan.Tampan dan misterius.Dua kancing di kerah kemeja yang sempat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status