"Dok, pasien terakhir," tutur asisten Jenar ketika jam menunjukkan pukul 2 siang.
"Baik, Mbak, suruh masuk." Jenar meletakkan ponsel dan fokus pada pasien yang masuk. Seminggu sudah dia tinggal di Solo, Jawa Tengah, tepatnya di Asrama militer dan beberapa hari ini dia tidak mendapat kabar dari Damar. Entah ke mana dia, Jenar tidak berani untuk bertanya lebih dulu dan tentang mamanya Jenar, dia sangat bahagia putrinya berhasil bertemu dengan Damar. "Dia yang banyak bicara kemarin, dia juga yang kabur. Tidak ada kabarnya lagi, tapi kenapa jadi aku terus memikirkan dia. Apa dia menganggap aku wanita tidak baik saat aku bilang pernah diperlakukan buruk oleh pacarku ya?" "Dokter, ada yang mencari Anda di luar." Asisten Jenar membuka sedikit pintu ruang prakteknya dan mengajak bicara. "Siapa? Aku pikir tadi yang terakhir," jawabnya sambil merapikan meja. "Katanya Pak Danyon yang mencari Dokter." "Danyon?" Dia tampak bingung, meski sudah seminggu tinggal di komplek militer, tapi dia belum hafal sebutan yang ada di Batalyon itu. "Iya, Komandan Batalyon menanyakan apa Anda sudah pulang, jika belum Anda di tunggu di loby." "Aku akan segera keluar." Dengan raut wajah bingung, dia segera merapikan barang miliknya dan menghampiri Pak Danyon yang dimaksud. Senyum manis Jenar mengembang ketika beberapa perawat menyapa sopan. Sampai di loby rumah sakit, Jenar menatap ke sekitar, tapi tidak ada siapa yang mencari, hanya ada petugas keamanan di pintu masuk. "Apa kamu mau pulang hari ini?" Deep voice seseorang yang bicara di belakang Jenar, membuat menoleh kebelakang langsung karena terkejut. Jenar sampai hampir jatuh ketika pria tampan itu tidak segera memeganginya. "Mas—" "Maaf, aku mengejutkanmu." Damar tidak melepaskan tangannya sampai Jenar berdiri tegap. "Apa yang Mas lakukan di sini? Apa mau periksa? Apa Mas sedang sakit?" "Kamu terlihat khawatir dengan banyaknya pertanyaanmu itu. Apa perawat tidak bilang aku mencarimu?" "Maksudnya Mas ini Danyon?" Mata Jenar terbelak ketika mendapat anggukan dari Damar. Dia sempat membaca sedikit singkatan tentang Danyon dan lainnya ketika perjalanan ke loby. "Kenapa? Apa itu membuatmu takut. Kamu itu suka sekali terkejut. Sebaiknya kita pulang, aku lapar sekali. Mau ya, aku ajak makan siang?" Tiba-tiba sekali padahal Jenar pikir pria di sampingnya itu mundur karena masa lalunya. "Apa Mas tidak sibuk?" "Tidak, maaf aku tidak memberimu kabar beberapa hari ini. Kamu tidak berpikir aku kabur kan?" Seperti tau isi pemikiran Jenar, dia membuat wanita di sampingnya terus terkejut. "Ada pikiran itu, tapi ya sudah kan Mas juga sibuk. Apalagi Mas Komandan Batalyon, pasti tugasnya lebih berat. Ngomong-ngomong mau ke mana kita? Ini bukannya jalan ke perbatasan Kota?" "Aku menemukan tempat bagus, tidak apa-apa kan kita ke sana? Maaf aku tidak bertanya padamu bisa atau tidak." "Katanya sangat lapar, tapi—" Jenar terdiam ketika melihat senyum manis Damar dengan lesung pipi sebelah kirinya. "Boleh aku bertanya banyak hal nanti?" "Tentu boleh, Mas. Oh ya, Mama titip salam pada Mas. Terima kasih untuk kue yang Mas kirimkan," jelas Jenar. "Aku sampai lupa tentang itu. Iya, sama-sama. Nanti pas pulang, kita temui Mamamu berdua." Sikap hangat Damar menganggap seakan Jenar ini kekasihnya, padahal mereka belum mengenal lebih jauh, namun sikapnya begitu baik. Perjalanan ke tempat tujuan, mereka banyak mengobrol, menceritakan apa yang ingin mereka tau. Dan terlihat mereka seperti cocok karena sama-sama pernah terluka. "Mas tau saja tempat seperti ini." Tempatnya tidak kalah indah dari sebelumnya. Sekarang malah tempatnya sejuk dengan hamparan luar hijau karena tempatnya di bukit. Belum lagi tempat makan itu rindang di area luar. "Lalu apa kamu juga mau menerima tawaran temanmu itu?" "Tidak tau, Mas, Mama ingin aku fokus satu pekerjaan saja. Tapi, aku ingin ... entahlah, belum aku pikirkan lagi." "Sebaiknya juga fokus satu pekerjaan saja, nanti kalau menikah dan kamu tetap bekerja keras seperti ini, bagaimana suamimu?" "Jika Mas suamiku, bagaimana tanggapan Mas?" tanya Jenar tiba-tiba. "Aku?" Damar menatap dengan senyum tersungging tipis atas pertanyaan yang wanita cantik di hadapannya itu lontarkan. "Ini hanya misal, Mas, bukan maksud—""Memang Danur punya uang untuk membelinya?" Pertanyaan Prajurit itu membuat bocah itu berpikir. Ekspresinya begitu mengemaskan, selain imut, tampan, dia juga sama seperti ayahnya. Pesona ayahnya turun ke anaknya sekarang. "Danur, Ayah sudah punya anak baru. Bukankah Danur juga punya ayah baru." Damar datang dengan menggendong anak Widi yang baru 10 bulan, dan mengejek putranya itu. Menjadi Komandan Batalyon selama hampir 6 tahun, Damar banyak mendapatkan penghargaan dan prestasi yang dia dapat selama diposisinya. Bukan hanya itu, selain terkenal tegas, Damar juga bersikap baik pada bawahannya. Bukan berarti salah lantas dia akan terus mencari kesalahan, Damar memberikan nasehat yang bisa membuat bawahannya maju bukan malah diam di tempat. Beberapa Prajurit dibantu untuk pendidikan mereka. Dia membantu semampu dia, karena dia tau betul bagaimana berjuang di masa-masa seperti ini. Tegasnya Damar, dia selalu disiplin dan tidak menerima kesalahan yang fatal. "Itu adik Celine, itu b
"Om, mana Ayah Danur?" Dengan pertanyaan yang belum jelas, anak usia 4 tahun itu berdiri di hadapan para Prajurit yang sedang berbaring mendengarkan arahan. "Danur, tunggu Bunda!" Langkahnya terhenti ketika melihat putranya sedang berdiri di hadapan para Prajurit. Senyum wanita cantik itu mengembang, anak kecil yang dia cari tanpa rasa malu ikut dalam barisan itu seperti seorang Komandan yang berdiri di depan Prajurit. "Ayah!!" Teriakan itu membuat wanita cantik itu berlari sebelum anak kecil itu berhasil pada ayahnya. Tawa dari para Prajurit yang berbaris terdengar ketika anak kecil itu menyelai ucapan sang ayah ketika sudah dalam gendongan. "Kenapa Ayah pergi sendiri. Bunda memaksa Danur makan, Danur masih kenyang," keluhnya. "Pak Wadan, gantikan aku bicara, anak kecil ini akan terus menggangguku," pintanya pada Wadan yang berdiri di sampingnya. "Ke mana Bunda sekarang?" tanyanya pada sang anak. Dia mundur ketika wakil komandan mengantikannya bicara dengan beberapa Praj
"Akhirnya anak Ayah bisa pulang hari ini." Dalam gendongan sang ayah keluar rumah sakit, bayi kecil itu tampak tenang. Jenar berjalan selangkah dibelakang Damar yang begitu senang setelah hampir 1 bulan putranya di ruang NICU, akhirnya hari ini diperbolehkan pulang. Kondisinya berangsur membaik walau berat badannya masih kurang. Sore itu akhirnya Danur bisa berbaring di tempat tidur mereka. Damar sangat senang karena bisa menggendong lebih lama dari pada di NICU hanya berapa jam saja dalam sehari. Momen ini yang di tunggu sejak beberapa minggu. Sejak keluar rumah sakit, keseharian Damar berbeda. Pagi dia akan membantu istrinya merawat putranya. Membiarkan Jenar mengurus pekerjaan rumah yang lain. Damar juga menemani putranya berjemur ketika dia selesai Apel. "Aku sudah selesaikan tugasku. Aku pulang lebih dulu," ucap Damar. "Siap, Komandan!" "Sejak ada mainan hidup, aku selalu ingin pulang dan bertemu dengannya." "Siap, Ndan. Namanya juga anak baru lahir. Pastinya senang
"Mbak baik-baik saja?" Widi menghampiri Jenar yang termenung di depan ruang rawat. Bukannya istirahat, dia malah diam di sana. Membiarkan Damar yang sedang sakit di dalam di temani ibunya. Kehilangan dan juga kebahagian yang dirasakan sekarang seperti tamparan keras. Bukan hanya itu, Damar juga sakit saat kondisi seperti ini. "Ya, harusnya juga baik-baik saja. Bahkan aku ingin bergegas merawat suamiku yang sedang sakit. Kenapa aku secengeng ini, menjengkelkan sekali." Jemarinya menyeka air mata yang mengalir begitu saja. "Aku yakin Mbak pasti kuat. Aku tidak ingin mengatakan banyak hal karena aku tau jika Mbak mendapatkan itu semua dari keluarga yang mendukung. Mbak harus ingat, masih ada satu anak yang bisa Mbak rawat dan perjuangkan. Ingatlah diriku ini, bagaimana kisahku dengan putriku. Yang tabah, semua pasti akan baik-baik saja." Widi memegang tangan temannya itu. Dia baru bisa bertemu dengan Jenar kali ini. Dia tidak ingin mengganggu ketika di masa duka dan kebahagian y
"Istirahatlah, Nak, kamu terlihat begitu lelah," tutur Susi pada menantunya yang baru sampai dari Jakarta untuk memakam kan putrinya didekat makam ayahnya."Aku masih ingin melihat putraku, Ma. Rasa bersalah ini semakin mencekik ku. Aku tidak becus menjadi seorang ayah, ini terjadi karena diriku." Tangis Damar pecah ketika bicara dengan Susi. Dia menahan agar bisa menerima semua ini, tapi dia tidak sanggup lagi. Rasa sesaknya kian mencekik, dan dia luapkan pada Susi.Wulan yang mengurus semua di sana ketika Damar kembali ke Solo untuk istri dan anaknya yang lain. "Semua sudah menjadi takdir yang Tuhan gariskan. Kamu boleh bersedih, tidak dengan menyalahkan dirimu. Ini semua bukan kesalahanmu, memang kondisi kehamilan istrimu yang tidak baik."Dengan kondisi kaki yang masih dibantu penyangga untuk berjalan, Susi pergi bersama Ragil ke Solo. Dia tidak bisa hanya diam, ketika putra putri mereka membutuhkan mereka orang tuanya."Ikhlas kan, maka kamu akan terima ini semua. Istrimu membutu
"Saya pikir Mbak Jenar akan mengatakan pada Bapak, jika tadi melakukan kontrol mingguan bersama saya karena tak ingin menganggu istirahat Anda."Mendengar penjelasan Widi, bisa apa Damar ketika ini sudah kejadian. Waktu itu juga, Damar mendengarkan penjelasan Dokter Melati tentang kondisi istrinya.Sudah rasa sakit dia rasakan tanpa hilang, Jenar harus merasakan proses induksi karena ingin persalinan normal. Ada rasa kesal, tapi Damar tidak bisa meluapkan sekarang. Fokusnya ada pada Jenar sekarang."Mbak, bisakah kau datang. Jenar mau melahirkan di usai kandungan 25 minggu, aku harap Mbak bisa datang sekarang." Tidak hanya pada Wulan, dia juga minta doa pada Ibu dan mertuanya agar semua berjalan lancar. Meski dengan resiko yang besar."Maafkan aku, Mas," tutur Jenar dengan rintihan lirih merasakan sakit."Aku tidak ingin membahasnya, kamu harus kuat, agar mereka bisa selamat begitu juga dirimu. Kamu hampir mencelakai dirimu sendiri. Sekarang lihatlah hasilnya, tapi aku tidak mau menya