Share

Bab 4

Kening Brian mengerut saat mematikan mesin motor di depan pagar minimalis bercat hitam.  Dia mengecek kembali alamat yang jelas-jelas bukan alamat rumah Valentina sebelumnya.  Dia berpikir, mungkinkah Valentina pindah? Jika ya,  seharusnya Brian tahu bukan malah berlagak bodoh seperti sekarang.  Tapi,  jika tidak,  lantas rumah siapa itu?

Ada perasaan aneh yang menghantui Brian beberapa minggu ini.  Entah kenapa setelah memasuki masa profesi ners,  sikap Valentina berubah melebihi 360 derajat. Brian tahu kehidupan mahasiswa ners lebih menyeramkan daripada masa OSPEK yang dulu mereka lalui.  Tugas dan ujian memberondong tiada henti seperti tidak mengizinkan tubuh untuk beristirahat. Belum lagi omelan dari pembimbing ruangan maupun perawat senior seakan menambah beban di pundak calon perawat masa depan itu. 

Valentina keluar, memanggul tas yang terlihat banyak menyimpan buku di dalam sana.  Dia melempar senyum ke arah Brian meski sorot matanya menyimpan sesuatu yang tidak bisa lelaki itu korek. 

"Rumah siapa?" Brian langsung to the point. Nada datar namun tegas,  menyiratkan kekhawatiran atas perubahan sikap sang kekasih.   

"Saudara."

Valentina menjawab asal,  menurunkan kaca helm Brian sambil menyipitkan mata.  "Enggak usah curiga deh. Ini rumah sepupu yang kebetulan deket sama rumah sakit.  Kenapa? Cemburu? Orang dia punya anak masih SMP."

Brian menaikkan kaca helmnya sambil mengembuskan napas. Mungkin yang dikatakan Valentina benar. Dia tidak perlu khawatir,  toh rumah sang pacar juga jauh dari rumah sakit. 

Valentina naik ke jok belakang motor,  merangkul pinggang erat dan melaju saat lelaki tampan itu melesat ke jalanan.  Dia tak memedulikan ada tetangga yang melihatnya memeluk pria lain.  Pernikahannya sedari awal sudah bobrok ditambah dengan kelakuan Raditya yang merusak moodnya. Dalam hati,  Valentina berdoa jika suatu hari nanti dia bisa berpisah dengan suami tiada akhlak itu. Dia tidak pernah bisa mencintai lelaki pilihan orang tuanya sampai kapan pun.  Mereka hanya tahu sampul Raditya sebagai residen yang dikagumi dan lelaki sopan di depan mertua, tapi brengsek di mata istri sendiri. 

Otaknya mencari cara membalas Raditya lebih kejam lagi.  Bibir Valentina tertarik ke atas,  menemukan rencana besar tak sabar bertemu dengan suami pembawa sialnya itu. 

###

"Tumben enggak telat." Bu Fero menyindir tak tahu kondisi saat Valentina tengah memasang infus.  "Sekalian ambil darah deh nanti kamu antar ke laborat."

"Siap,  Bu."

Jika tidak sedang menghadapi pasien,  mungkin Valentina akan pergi ke kamar mandi meninju tembok sambil melempar sumpah serapah.  Padahal dia hanya satu kali terlambat datang,  kenapa harus dilabeli tukang terlambat.  Ekor matanya melirik perempuan paruh baya yang sedang berbicara pada salah satu pasien. Di balik masker yang dikenakan,  Valentina mencibir,  dongkol setengah mati kalau satu shift wanita galak seperti Bu Fero.  

Semenjak ners,  tangan Valentina sudah mulai lihai melakukan tindakan mandiri.  Dulu waktu masih praktik di kampus, dia bolak-balik gagal memasang selang infus atau mengambil darah vena. Sampai-sampai tangan temannya membiru akibat berulang kali ditusuk tanpa ampun dengan imbalan makan di McDonalds walau pada akhirnya Valentina tidak berhasil. Beruntung Brian sangat telaten mengajari sang kekasih cara memegang jarum infus yang benar. Ternyata, butuh kepekaan tinggi antara kulit tangan dan ketajaman matanya dalam memilih vena mana yang perlu ditusuk dengan jarum sebelum dipasang selang infus. 

"Tarik napas dalam ya, Bu, saya suntik ya," kata Valentina sudah menandai vena yang akan ditusuk. Dengan sudut tiga puluh derajat, jemari lentik yang terbalut sarung tangan itu menusuk pembuluh nadi tangan kiri pasien dengan sukses. Bibir Valentina mengembang kala cairan merah kental keluar di flashback chamber lalu cepat-cepat ditampung darah itu ke dalam tabung bening sebelum menyambungkan ke selang infus. 

Beberapa saat suara ribut terdengar dari luar, Valentina berpaling sebentar dan merasa kalau suara serak itu adalah milik kepala UGD yang terkenal kejam melebihi Bu Fero. Dia penasaran siapa dan kenapa mendapat cecaran tak mengenakkan dari sang dokter spesialis emergensi. Dia juga membayangkan kalau dua manusia seperti Bu Fero dan Kepala UGD bersatu, tempat ini serasa menjadi neraka atau rumah hantu sampai tak bisa tidur nyenyak. Kemarin saja setelah ditegur si penyihir, Valentina mendapat mimpi buruk sampai mengigau kalau bukan Okin yang membangunkannya. 

"Saya kirim dulu ya sample darah Ibu sambil menunggu dokter memeriksa," pamit Valentina seramah mungkin. 

"Terima kasih, Suster."

Langkah kaki yang dibalut sepatu pantofel setinggi tiga senti itu terhenti, matanya membeliak dengan mulut menganga tapi hatinya malah bersorak ria menangkap sosok lelaki angkuh yang sudah merusakkan ban motornya kini tertunduk tak berdaya. Valentina berpura-pura ke bagian administrasi sekadar melewati residen yang sedang mendapat ceramah malam, menjulurkan lidah sambil menyiratkan 'kapokmu kapan'. Mood-nya yang hancur kini merekah seperti bunga mawar, dia bahagia bukan main melihat wajah Radit sepucat mayat.

"Emang enak, makan tuh karma!" desis Valentina berbalik melintasi dua dokter itu menuju ke ruang laboratorium. 

###

Raditya berjalan cepat menuju ruang dokter dengan gemuruh yang menghantam dada sambil menggerutu atas umpatan kepala UGD--dokter Adia Hong.  Bukannya apresiasi yang didapat setelah berhasil menurunkan demam salah satu pasien dengan riwayat alergi obat yang kompleks. Padahal jika tidak segera dilakukan, pasien bisa mengalami kejang demam seperti yang tertulis dalam rekam medis. Belum lagi risiko anafilaksis yang mengancam kalau terlalu memaksakan pemberian antipiretik. Jika memberikan aspirin sebagai alternatif, Raditya bisa saja melakukannya. Masalahnya, pasien juga memiliki trombosit di bawah angka seratus ribu yang malah akan mendatangkan risiko perdarahan.

" ... siapa suruh kamu ngasih kortikorsteroid hah!" 

"Siap, saya, Dok!" jawab Raditya mantap. "Saya hanya takut kalau pasien mengalami kejang demam seperti catatan sebelumnya kalau tidak segera diturunkan suhu tubuhnya, apalagi pasien obesitas dan saya takut terjadi syok."

"Kan masih ada alternatif lain. Kalau dia alergi bisa kamu kasih Indometacin kan. Kortikosteroid hanya menimbulkan masking effect tapi penyebab demamnya belum teratasi, Radit! Apa kamu enggak tahu?"

Raditya mengangguk tak berani "Saya takut dia alergi obat itu juga mengingat pasien juga punya alergi antalgin. Jadi pilihan terakhir saya cuma kortikosteroid dan manajemen cairan saja, Dokter. Lagipula, trombositnya juga mepet di angka seratus ribu."

"Aspirin bisa diberikan kalau kita berikan transfusi TC*, kamu enggak konsul dulu main mutusin seenaknya sendiri saja!" gertak dokter Adia berkacak pinggang. 

Tak berapa lama terdengar suara ricuh, Raditya dan dokter Adia bergerak menuju sumber suara. Seperti yang ditakutkan oleh sang kepala UGD, pasien mengalami kejang. Dia melirik tajam ke arah residen tahun kedua itu, lantas menyuruh untuk memberikan pertolongan pasien kejang. 

"Saya sudah bilang kan!" ketusnya berjalan ke arah troli emergensi. "Masking effect!"

"Argh!" rutuk Raditya mengacak rambut, membanting diri di atas sofa. Beberapa saat pintu terbuka menampilkan sosok perempuan dengan pulasan lipstik mencolok mengernyitkan kening lalu bertanya, 

"Kenapa kamu kok kesel gitu?" 

"Enggak apa-apa," jawab Raditya memandangi langit-langit ruang dokter. "Kamu gimana?"

Yang ditanya memilih duduk di samping lelaki yang sudah menjadi kekasih hati semenjak masa koas. Membelai lembut rambut hitam nan tebal milik Raditya yang terlihat berantakan sambil tersenyum tipis. 

"Pasienku malah hampir aja lewat," ucap si perempuan. "Libur jaga kita kencan bentar yuk, Dit."

"Di saat seperti ini emang bisa Julia? Tahu sendiri dokter Adia bikin jadwal neraka gitu."

Perempuan tirus yang mirip dengan Donita itu merajuk, mencubit dada bidang Raditya yang tertutupi baju jaga. Padahal sudah lama mereka tidak bersantai menikmati masa muda walau tanggung jawab sebagai residen di UGD selalu membayangi. Apalagi departemen yang mereka ambil terbilang cukup sulit, jikalau bukan karena Raditya, Julia tak akan memiliki departemen penyakit dalam. Dia lebih suka menjadi residen anak daripada menjadi dokter internis yang mengharuskannya menghafal begitu banyak materi. 

"Besok kan kita jaga malam lagi, bolehlah selepas jaga kita makan bareng sambil bikin laporan, gimana? Anggep kencan kecil-kecilan," kata Raditya mengelus pipi Julia. "Jangan ngambek gitu dong, jadi pengen gigit nih."

"Ih, apaan sih!" pipi Julia merona menahan tawa mendengar bualan tak manis dari seorang Raditya. "Ke rumah kamu? Udah lama enggak ke sana."

"Ke rumah kamu aja deh," elak Raditya. Dia berpikir akan bahaya sekali kalau Julia bisa bertemu dengan istri durhakanya itu. Bisa perang dunia ketiga, pikirnya. 

"Kenapa? Di rumah kamu kan enak lebih luas, Dit. Lebih deket juga sama rumah sakit, aku bisa numpang tidur di sana." 

Julia kembali merajuk setiap kali Raditya menolak permintaannya. Padahal keinginan Julia itu tidak banyak, hanya ingin ke rumah baru Raditya yang tidak pernah diketahui oleh rekan-rekan sesama residen. Entah apa yang membuat lelaki itu merahasiakan kediaman hasil jerih payah sendiri, bukankah berhasil membeli rumah di usia muda merupakan prestasi? 

Selain itu, Julia juga ingin bertemu sang calon mertua sekadar mengambil hati sebagai calon istri masa depan. Terlebih Julia hanya bertemu sekali saat wisuda beberapa tahun lalu, itu pun kedua orang tua Raditya terburu-buru dan tidak sempat mengajaknya makan bersama. Jadi, tidak ada salahnya kan kalau Julia meminta hal ini kepada sang kekasih?

"Ya udah kalau enggak mau." Julia beranjak, bibirnya mengerucut dua senti dengan tatapan sinis. Hatinya dongkol mendapati Raditya tak kunjung memberi jawaban. 

"Eh, iya iya ..." Raditya menarik lengan Julia. "Besok ke rumahku, oke. Jangan marah gitu dong."

"Ya habisnya kamu ... kayak nyimpen rahasia, Dit. Kita pacaran kan enggak sebulan dua bulan, rumah barumu aja aku enggak tahu loh."

"Iya itu kan biar ... enggak disamperin anak-anak, tahu sendiri mereka itu bar-bar kalo bertamu ke rumah orang," kata Raditya bohong padahal dia menyembunyikan alamat rumahnya agar tidak ketahuan kalau sudah punya istri.

"Ya udah, besok ya. Aku balik dulu," pamit Julia mengecup pipi Raditya cepat seraya mengerlingkan mata. "Enggak sabar ketemu mama mertua."

Dan kamu sudah memicu perang dunia sama si Tina, batin Raditya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status