Share

Bab 3

Mesin motor matic Valentina terhenti di depan rumah bercat putih gading yang terlihat asri. Sudah hampir setahun rumah yang terlalu besar untuk ditinggali itu menjadi tempat tinggalnya selepas masa lajang. Dibuka pintu yang tak terkunci lantas membeliak mendapati area yang sudah ditandai dengan lakban merah terlepas tanpa sisa. 

Beberapa saat, Raditya terlihat keluar dari arah kamar mandi mengenakan kolor hitam seraya menggali lubang hidung begitu nikmat. Lantas, menjentikkan kotoran itu ke arah sang istri tanpa dosa.

"Jan--"

Ucapan kasar ala anak Surabaya tersendat ketika wanita paruh baya berpotongan sebahu muncul dari dapur membawa sebuah piring berisi capcay yang masih mengepul panas. Buru-buru Valentina berlari kecil membantu ibu mertuanya membawakan masakan tanpa sempat mencuci tangan. Lantas, dia menatap nyalang ke arah lelaki yang masih sibuk menggali emas di gua berbulu. 

"Kamu kok siang banget pulangnya, Tin?" tanya Sofia--ibu Raditya khawatir. "Sampe kumel gitu mukamu. Emang lagi ada seminar?"

"Iya, Ma," jawab Valentina usai meletakkan piring di atas meja makan. "Tina ke kamar dulu ya. Capek banget."

Gadis itu menarik lengan Raditya menjauhi Sofia dan berbisik, "Gila ya! Kalau mamamu datang, aku tidur di mana?"

"Di masjid," tukas Raditya santai.

"Oke enggak apa-apa, tapi kalau mamamu tanya, kamu yang jawab!" ketus Valentina hendak mengambil kunci motor. 

"Eh! Gitu doang ngambek!" cegah Raditya menarik tas ransel Valentina. "Makanya kalau ada telepon itu dijawab. Aku sudah bolak-balik telepon kamu, malah--"

"Aku ada presentasi kampret! Dan gara-gara kamu Bu Fero ngasih pertanyaan jebakan!" omel Valentina yang dibalas gelak tawa Raditya. 

"Salahmu sendiri numpahin urin ke bajuku.  Sana cuci!" perintah lelaki putih itu. "Kalau enggak dicuci sampai wangi,  aku bocorin ban sepeda motormu."

"Bodo amat! PPDS kok enggak bisa beli baju dinas! Miskin ya?" ejek Valentina berjalan meninggalkan Raditya ke kamar. 

Pintu kamar bercat hitam metalik terbuka,  Valentina tercengang bukan main saat mendapati ruang istirahat Raditya berantakan akibat baju dan buku-bukunya memenuhi kasur. Raditya yang mengekori Valentina, mendorong tubuh sang istri hingga hampir tersandung lantas menutup pintu kamar. 

"Bersihin sana!" perintah Raditya.  "Kan mamaku yang datang,  otomatis barang-barangmu harus di kamarku termasuk bra dan celana--"

Sontak bibir tipis Raditya ditepuk Valentina cukup keras. Menghentikan mulut yang terdengar santai menyebutkan pakaian dalam perempuan.  Lalu,  dia melepas jaket dan menaruh tas di lantai kemudian membereskan barang-barangnya dengan gesit. 

Lelaki raja tega seperti Raditya malah menjatuhkan diri di atas kasur empuk, membiarkan Valentina bergelut menata buku dan melipat baju-baju yang berantakan. 

"Habis cuci bajuku,  kamu buang sampah! Tadi aku enggak sempet buang karena mama datang. Terus bak mandi juga waktunya kamu yang nguras, sekalian juga bersihin lantai dan WC-nya."

"Jancuk!" seru Valentina mendengar rentetan tugas rumah, padahal rencananya dia ingin tidur sampai sore sebelum berangkat jaga malam lagi. 

"Matamu!" sambar Raditya.

"Asu!"

Raditya bungkam, beradu mulut dengan Valentina tak akan ada habisnya.  Dia memilih memejamkan mata, mengistirahatkan diri sebelum berhadapan dengan puluhan pasien malam nanti. 

###

Dering telepon membangunkan Valentina yang tertidur lelap di lantai seraya memeluk buku pelatihan bantuan hidup dasar. Dia mengernyit pada si penelepon yang telah membuyarkan mimpi indah bertemu pujaan hati, Cha Eun Woo. Nama kontak Brian tertera di layar gawai, Valentina memicingkan mata mengimbangi sinar ponsel dengan nyawanya yang masih setengah sadar. 

"Halo, ada apa?" tanya Valentina menggaruk rambut seraya menguap lebar.  Dia berpaling ke arah kasur tempat Raditya tidur. Lelaki itu sudah menghilang. 

"Malam ini kita berangkat jaga bareng yuk! Aku jemput kamu di rumah,  gimana?"

"Jangan!" pekik Valentina langsung tersadar.  "Ja-jangan, na-nanti... "

"Kenapa? Kamu kok kayak kesetanan gitu" suara Brian terdengar curiga. "Perasaan sejak awal ners, kamu udah banyak berubah deh,  Tin.  Ada apa sih?"

Gadis itu beranjak, berjalan mondar-mandir untuk menemukan kalimat yang pas tapi tidak menyakitkan hati Brian.  Tentu saja dia sudah banyak berubah setelah menikah diam-diam usai wisuda S1 beberapa bulan lalu. Pernikahan mendadak yang hanya dihadiri keluarga kedua belah pihak tanpa adanya acara pertunangan. Bahkan lamaran. 

Tidak mungkin juga Valentina membeberkan rahasia terbesar kepada Brian, lelaki yang sudah menjadi kekasih hampir empat tahun ini.  Bayangan horor saat semua orang tahu kalau dia telah menikah dengan seorang yang baru dikenal selama seminggu pasti menciptakan sebuah tanda tanya besar. 

Hamil duluan atau dijodohkan. 

Rasanya,  opsi pertama akan menjadi bahan perbincangan yang cocok. Apalagi tidak ada resepsi pernikahan seperti yang perempuan impikan.  Ah! Kepala Valentina rasanya cenat-cenut tidak menemukan jawaban pas. 

"Aku lagi dihukum!" cetus gadis itu. "Sama ibu enggak boleh pacaran. Jadi,  sementara kita backstreet."

"Empat tahun kita udah backstreet,  Tin," tandas Brian sedikit kesal. "Mau orang tua kamu apa sih?

"Iya, kita mesti lulus ners dulu,  Brian.  Lagian enggak ada waktu juga buat pacaran."

"Karena kamu selalu enggak bisa menyempatkan waktu," sambar Brian lalu memutuskan panggilan telepon.

Valentina mengacak rambutnya semakin frustrasi. Merutuki jalan hidup yang tidak dapat ditebak. Kenapa pula dia harus menikahi lelaki macam Raditya sementara hatinya tidak bisa move on dari Brian? Kenapa pula kedua orang tuanya kekeuh meminta Raditya menjadi suaminya sementara Brian adalah tipikal lelaki yang dikagumi banyak orang. 

Raditya itu bagai dua sisi mata uang. Dia mampu menutupi tabiat buruknya dengan begitu rapi. Memang benar apa kata orang,  mereka yang good looking sekalipun pakai narkoba pasti dibela. Tidak ada seorangpun yang tahu kalau Raditya kejam,  tidak berperasaan, tukang suruh, egois, manipulatif. Masih banyak hal jelek dalam diri Raditya di balik paras ganteng bak artis Korea. 

Valentina memutuskan menelepon Brian, mengiyakan permintaan lelaki itu untuk menjemput di rumah dengan syarat menunggu di depan gang.  Dia meminta maaf, Brian memaafkannya dengan alasan tidak ingin memperumit masalah.  Valentina tersenyum,  ini sifat yang disukai Brian. Hatinya selembut kapas bagai malaikat. 

"Ya udah,  jangan marah lagi ya," rayu Valentina manja. "Kalau kamu marah,  nanti gantengnya hilang loh... iya iya iya...  Jangan marah dong... "

"Iya iya.  Asal sama kamu,  aku enggak marah. Ayo siap-siap, keburu telat."

###

Menyemprotkan banyak parfum beraroma bunga ke leher dan baju dan memulas bibir dengan liptint peach menjadi akhir ritual Valentina sebelum dijemput oleh pujaan hati.  Dadanya berdentum,  pipinya bersemu merah,  dan bibirnya tak berhenti mengembang karena sudah lama tak dijemput ayang. 

Setelah itu,  Valentina memanggul tas ransel, tak lupa membawa seperangkat alat tempur berupa buku tugas dan laptop serta fotokopi leaflet untuk penyuluhan besok.  Tugas ners memang tidak akan pernah menemukan tanda-tanda berakhir selama setahun ke depan. Selesai seminar, masih ada tugas lain selain membuat resume. 

Begitu membuka pintu kamar,  bau amoniak menyengat lubang hidungnya. Valentina hampir muntah melihat baju Raditya teronggok di atas ember dengan kertas memo bahwa dia harus mencuci sesuai perintah. Valentina menendang pelan ember itu ke pinggir, merasa jika baju itu bukan tanggung jawabnya.  Lagi pula dia juga bukan perempuan pengangguran yang menunggu suami pulang biar disayang. 

Netranya mengedarkan pandangan,  ibu mertuanya sudah tak tampak. Mungkin sudah pulang setelah masak, pikir Valentina.  Dia mengangkat kedua bahunya tak peduli, yang terpenting malam ini dia bisa dibonceng Brian mencuri-curi kesempatan untuk berpelukan. 

Perasaan membuncah seperti bunga bermekaran yang siap diisap nektarnya mendadak runtuh. Pupil di bawah temaram lampu teras itu membesar menangkap ban motor maticnya kempes.  Valentina berlari,  menghampiri kendaraan yang sudah menjadi setengah jiwa selama masa kuliah.  Tak hanya ban depan,  melainkan ban belakang juga bernasib sama. 

Sejurus kemudian,  ingatannya dipaksa kembali ke ancaman Raditya siang tadi.  Valentina menggeram,  mengepalkan kedua tangan menahan murka untuk tidak membakar rumah Raditya.  Dirogoh ponsel dalam tas,  menelepon lelaki kejam untuk melontarinya dengan umpatan sampai puas. Dia tidak peduli dengan tetangga yang mendengarnya toh Valentina sudah memasang muka tebal.

"Jancuk!" umpat Valentina kala mendengar suara datar Raditya. "Bangsat,  asu, raimu bedes! Ban motorku kenapa kamu bocorin,  hah!"

"Kamu enggak ingat? Aku nyuruh kamu nyuci baju, apa salahnya? Sekarang kamu sendiri kan yang rugi. Bukan aku."

"Oke.  Aku bakal nyuci bajumu tapi lihat aja kalau aku bisa lebih kejam. Dasar monyet!"

"Anjing!" balas Raditya.

"Setan!" rutuknya memutus panggilan itu sambil menangis.  Dadanya bergemuruh akibat emosi yang bisa saja meledakkan dirinya. 

Valentina tidak punya pilihan lain sementara jam sudah berjalan lima belas menit.  Dia kembali membuka layar ponselnya, menelepon Brian dengan putus asa. 

"Brian,  jangan jemput aku di depan gang.  Jemput aku di rumah,  aku kirim alamatnya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status