Mesin motor matic Valentina terhenti di depan rumah bercat putih gading yang terlihat asri. Sudah hampir setahun rumah yang terlalu besar untuk ditinggali itu menjadi tempat tinggalnya selepas masa lajang. Dibuka pintu yang tak terkunci lantas membeliak mendapati area yang sudah ditandai dengan lakban merah terlepas tanpa sisa.
Beberapa saat, Raditya terlihat keluar dari arah kamar mandi mengenakan kolor hitam seraya menggali lubang hidung begitu nikmat. Lantas, menjentikkan kotoran itu ke arah sang istri tanpa dosa.
"Jan--"
Ucapan kasar ala anak Surabaya tersendat ketika wanita paruh baya berpotongan sebahu muncul dari dapur membawa sebuah piring berisi capcay yang masih mengepul panas. Buru-buru Valentina berlari kecil membantu ibu mertuanya membawakan masakan tanpa sempat mencuci tangan. Lantas, dia menatap nyalang ke arah lelaki yang masih sibuk menggali emas di gua berbulu.
"Kamu kok siang banget pulangnya, Tin?" tanya Sofia--ibu Raditya khawatir. "Sampe kumel gitu mukamu. Emang lagi ada seminar?"
"Iya, Ma," jawab Valentina usai meletakkan piring di atas meja makan. "Tina ke kamar dulu ya. Capek banget."
Gadis itu menarik lengan Raditya menjauhi Sofia dan berbisik, "Gila ya! Kalau mamamu datang, aku tidur di mana?"
"Di masjid," tukas Raditya santai.
"Oke enggak apa-apa, tapi kalau mamamu tanya, kamu yang jawab!" ketus Valentina hendak mengambil kunci motor.
"Eh! Gitu doang ngambek!" cegah Raditya menarik tas ransel Valentina. "Makanya kalau ada telepon itu dijawab. Aku sudah bolak-balik telepon kamu, malah--"
"Aku ada presentasi kampret! Dan gara-gara kamu Bu Fero ngasih pertanyaan jebakan!" omel Valentina yang dibalas gelak tawa Raditya.
"Salahmu sendiri numpahin urin ke bajuku. Sana cuci!" perintah lelaki putih itu. "Kalau enggak dicuci sampai wangi, aku bocorin ban sepeda motormu."
"Bodo amat! PPDS kok enggak bisa beli baju dinas! Miskin ya?" ejek Valentina berjalan meninggalkan Raditya ke kamar.
Pintu kamar bercat hitam metalik terbuka, Valentina tercengang bukan main saat mendapati ruang istirahat Raditya berantakan akibat baju dan buku-bukunya memenuhi kasur. Raditya yang mengekori Valentina, mendorong tubuh sang istri hingga hampir tersandung lantas menutup pintu kamar.
"Bersihin sana!" perintah Raditya. "Kan mamaku yang datang, otomatis barang-barangmu harus di kamarku termasuk bra dan celana--"
Sontak bibir tipis Raditya ditepuk Valentina cukup keras. Menghentikan mulut yang terdengar santai menyebutkan pakaian dalam perempuan. Lalu, dia melepas jaket dan menaruh tas di lantai kemudian membereskan barang-barangnya dengan gesit.
Lelaki raja tega seperti Raditya malah menjatuhkan diri di atas kasur empuk, membiarkan Valentina bergelut menata buku dan melipat baju-baju yang berantakan.
"Habis cuci bajuku, kamu buang sampah! Tadi aku enggak sempet buang karena mama datang. Terus bak mandi juga waktunya kamu yang nguras, sekalian juga bersihin lantai dan WC-nya."
"Jancuk!" seru Valentina mendengar rentetan tugas rumah, padahal rencananya dia ingin tidur sampai sore sebelum berangkat jaga malam lagi.
"Matamu!" sambar Raditya.
"Asu!"
Raditya bungkam, beradu mulut dengan Valentina tak akan ada habisnya. Dia memilih memejamkan mata, mengistirahatkan diri sebelum berhadapan dengan puluhan pasien malam nanti.
###
Dering telepon membangunkan Valentina yang tertidur lelap di lantai seraya memeluk buku pelatihan bantuan hidup dasar. Dia mengernyit pada si penelepon yang telah membuyarkan mimpi indah bertemu pujaan hati, Cha Eun Woo. Nama kontak Brian tertera di layar gawai, Valentina memicingkan mata mengimbangi sinar ponsel dengan nyawanya yang masih setengah sadar.
"Halo, ada apa?" tanya Valentina menggaruk rambut seraya menguap lebar. Dia berpaling ke arah kasur tempat Raditya tidur. Lelaki itu sudah menghilang.
"Malam ini kita berangkat jaga bareng yuk! Aku jemput kamu di rumah, gimana?"
"Jangan!" pekik Valentina langsung tersadar. "Ja-jangan, na-nanti... "
"Kenapa? Kamu kok kayak kesetanan gitu" suara Brian terdengar curiga. "Perasaan sejak awal ners, kamu udah banyak berubah deh, Tin. Ada apa sih?"
Gadis itu beranjak, berjalan mondar-mandir untuk menemukan kalimat yang pas tapi tidak menyakitkan hati Brian. Tentu saja dia sudah banyak berubah setelah menikah diam-diam usai wisuda S1 beberapa bulan lalu. Pernikahan mendadak yang hanya dihadiri keluarga kedua belah pihak tanpa adanya acara pertunangan. Bahkan lamaran.
Tidak mungkin juga Valentina membeberkan rahasia terbesar kepada Brian, lelaki yang sudah menjadi kekasih hampir empat tahun ini. Bayangan horor saat semua orang tahu kalau dia telah menikah dengan seorang yang baru dikenal selama seminggu pasti menciptakan sebuah tanda tanya besar.
Hamil duluan atau dijodohkan.
Rasanya, opsi pertama akan menjadi bahan perbincangan yang cocok. Apalagi tidak ada resepsi pernikahan seperti yang perempuan impikan. Ah! Kepala Valentina rasanya cenat-cenut tidak menemukan jawaban pas.
"Aku lagi dihukum!" cetus gadis itu. "Sama ibu enggak boleh pacaran. Jadi, sementara kita backstreet."
"Empat tahun kita udah backstreet, Tin," tandas Brian sedikit kesal. "Mau orang tua kamu apa sih?
"Iya, kita mesti lulus ners dulu, Brian. Lagian enggak ada waktu juga buat pacaran."
"Karena kamu selalu enggak bisa menyempatkan waktu," sambar Brian lalu memutuskan panggilan telepon.
Valentina mengacak rambutnya semakin frustrasi. Merutuki jalan hidup yang tidak dapat ditebak. Kenapa pula dia harus menikahi lelaki macam Raditya sementara hatinya tidak bisa move on dari Brian? Kenapa pula kedua orang tuanya kekeuh meminta Raditya menjadi suaminya sementara Brian adalah tipikal lelaki yang dikagumi banyak orang.
Raditya itu bagai dua sisi mata uang. Dia mampu menutupi tabiat buruknya dengan begitu rapi. Memang benar apa kata orang, mereka yang good looking sekalipun pakai narkoba pasti dibela. Tidak ada seorangpun yang tahu kalau Raditya kejam, tidak berperasaan, tukang suruh, egois, manipulatif. Masih banyak hal jelek dalam diri Raditya di balik paras ganteng bak artis Korea.
Valentina memutuskan menelepon Brian, mengiyakan permintaan lelaki itu untuk menjemput di rumah dengan syarat menunggu di depan gang. Dia meminta maaf, Brian memaafkannya dengan alasan tidak ingin memperumit masalah. Valentina tersenyum, ini sifat yang disukai Brian. Hatinya selembut kapas bagai malaikat.
"Ya udah, jangan marah lagi ya," rayu Valentina manja. "Kalau kamu marah, nanti gantengnya hilang loh... iya iya iya... Jangan marah dong... "
"Iya iya. Asal sama kamu, aku enggak marah. Ayo siap-siap, keburu telat."
###
Menyemprotkan banyak parfum beraroma bunga ke leher dan baju dan memulas bibir dengan liptint peach menjadi akhir ritual Valentina sebelum dijemput oleh pujaan hati. Dadanya berdentum, pipinya bersemu merah, dan bibirnya tak berhenti mengembang karena sudah lama tak dijemput ayang.
Setelah itu, Valentina memanggul tas ransel, tak lupa membawa seperangkat alat tempur berupa buku tugas dan laptop serta fotokopi leaflet untuk penyuluhan besok. Tugas ners memang tidak akan pernah menemukan tanda-tanda berakhir selama setahun ke depan. Selesai seminar, masih ada tugas lain selain membuat resume.
Begitu membuka pintu kamar, bau amoniak menyengat lubang hidungnya. Valentina hampir muntah melihat baju Raditya teronggok di atas ember dengan kertas memo bahwa dia harus mencuci sesuai perintah. Valentina menendang pelan ember itu ke pinggir, merasa jika baju itu bukan tanggung jawabnya. Lagi pula dia juga bukan perempuan pengangguran yang menunggu suami pulang biar disayang.
Netranya mengedarkan pandangan, ibu mertuanya sudah tak tampak. Mungkin sudah pulang setelah masak, pikir Valentina. Dia mengangkat kedua bahunya tak peduli, yang terpenting malam ini dia bisa dibonceng Brian mencuri-curi kesempatan untuk berpelukan.
Perasaan membuncah seperti bunga bermekaran yang siap diisap nektarnya mendadak runtuh. Pupil di bawah temaram lampu teras itu membesar menangkap ban motor maticnya kempes. Valentina berlari, menghampiri kendaraan yang sudah menjadi setengah jiwa selama masa kuliah. Tak hanya ban depan, melainkan ban belakang juga bernasib sama.
Sejurus kemudian, ingatannya dipaksa kembali ke ancaman Raditya siang tadi. Valentina menggeram, mengepalkan kedua tangan menahan murka untuk tidak membakar rumah Raditya. Dirogoh ponsel dalam tas, menelepon lelaki kejam untuk melontarinya dengan umpatan sampai puas. Dia tidak peduli dengan tetangga yang mendengarnya toh Valentina sudah memasang muka tebal.
"Jancuk!" umpat Valentina kala mendengar suara datar Raditya. "Bangsat, asu, raimu bedes! Ban motorku kenapa kamu bocorin, hah!"
"Kamu enggak ingat? Aku nyuruh kamu nyuci baju, apa salahnya? Sekarang kamu sendiri kan yang rugi. Bukan aku."
"Oke. Aku bakal nyuci bajumu tapi lihat aja kalau aku bisa lebih kejam. Dasar monyet!"
"Anjing!" balas Raditya.
"Setan!" rutuknya memutus panggilan itu sambil menangis. Dadanya bergemuruh akibat emosi yang bisa saja meledakkan dirinya.
Valentina tidak punya pilihan lain sementara jam sudah berjalan lima belas menit. Dia kembali membuka layar ponselnya, menelepon Brian dengan putus asa.
"Brian, jangan jemput aku di depan gang. Jemput aku di rumah, aku kirim alamatnya."
"Ketan susu meses satu sama sekoteng satu," kata Valentina kepada seorang laki-laki berusia sekitar 20-an mengenakan seragam hijau dan kuning mencolok. "Sayang, kamu mau apa?""Ketan nangka keju sama susu jahe, Mas," titah Raditya. "Makan di sini atau bungkus?" tanya si lelaki."Makan di sini, Mas," jawab Valentina. "Ini uangnya.""Uangnya 50 ribu, total 38 ribu. Ini kembaliannya 12 ribu, silakan ditunggu di dalam, Mbak," ujar si lelaki menyilakan Valentina dan Raditya duduk di kursi selagi menunggu menu mereka disiapkan. "Makasih."Tidak afdal rasanya kalau ke alun-alun kota Batu tidak mengunjungi Pos Ketan yang sudah berdiri sejak 1967. Apalagi ini langganan Raditya sedari jaman-jaman kuliah ketika punya waktu untuk ke Cangar atau sebatas ngopi sambil haha-hihi. Tapi, dia tidak akan bercerita kepada Valentina kalau dulu Raditya pergi bersama Julia dan beberapa anak lain. Dia bersumpah untuk menyimpan rahasia itu seorang diri. Daripada perang dunia nggak dikasih jatah? Siapa yang
Our First and Re-honeymoonSenyum yang mengembang bagai roti kelebihan bahan tidak dapat lenyap begitu saja dari bibir bergincu merah menyala itu. Valentina mematut diri di depan cermin, menyisir rambut tebal nan hitam legam tersebut kemudian mengikatnya ala ekor kuda. Dia bersiul sebentar, memuji diri sendiri betapa cantik dirinya saat ini. Kemudian mengerling mata bagai remaja dilanda kasmaran lantas membenarkan posisi bra agar terkesan penuh dan seksi di depan suami.Baru sadar kalau habis punya anak, dadaku agak gedean dikit. Kalau gini kan dadaku agak mirip sama mantannya Radit si dokter Julia itu. Bawa lingerie yang modelnya kelinci nggak ya?Valentina terkikik sendiri membayangkan dirinya berkamuflase menjadi kelinci genit yang menjamu pria-pria nakal di kelab malam. Dia menggeleng keras mengurungkan niat untuk menggoda Raditya dengan cara seperti itu. Walau tanpa baju-baju cosplay menggiurkan mata, Valentina tahu di mana titik kelemahan Raditya. Di sisi lain, setelah sekian l
"Halo, Siang, Bu Siska," sapa Valentina melalui sambungan telepon. "Maaf, saya boleh titip Salsa sebentar? Ini saya masih di perjalanan, baru selesai rawat luka pasien.""Oh iya enggak apa-apa kok Mamanya Salsa," kata Siska--guru TK."Maaf ya, Bu Siska ... Salsa enggak nakal kan?" tanya Valentina menyalakan mesin motor. "Soalnya lusa kemarin habis bertengkar sama temennya sampai nangis.""Enggak, ini anaknya masih menggambar sama Tio," ucap Siska. "Mamanya Tio juag titip sebentar karena masih di Posyandu.""Salsa enggak borong jajan tanpa uang kan? Saya sungkan loh sama Bu Sri kantin, anak saya selalu minta jajan bayar belakangan," keluh Valentina. "Iya kalau satu buah, satu kresek penuh itu loh Bu
Lima tahun kemudian..."Mama ... Mama ..." teriak bocah kecil yang mengenakan kaus kutang bermotif stroberi juga celana pendek senada. Dia berlari seraya membawa es krim di tangan kanan sementara di tangan kiri menenteng plastik berlogo Indoapril berisi makanan ringan. Mulut anak perempuan berambut pendek itu terkena es krim cokelat yang sesekali dia makan begitu lahap tanpa takut giginya ompong."Tante ..." teriak beberapa anak bersamaan mengekori bocah kecil itu. "Tante! Salsa beli jajan enggak bawa uang lagi!"Valentina yang baru saja mensterilkan alat-alat rawat luka di mesin sterilizer, buru-buru menghampiri sumber suara dan bola matanya nyaris menggelinding mendapati penampilan anaknya sudah tak karuan. Seketika gelombang amarah langsung naik ke ubun
###Suara sirene menggaung keras manakala mobil ambulance melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan padat merayap menuju rumah sakit. Mobil darurat tersebut membawa Valentina yang sedang mengerang kesakitan di bagian perut. Hingga peluh keringat sebesar biji jagung membasahi sekujur tubuh bersamaan napas cepat akibat tak bisa menahan lebih lama sensasi nyeri bagai tulang yang diremukkan bersamaan. Dia menangis seraya memanggil nama Raditya juga mamanya, memohon agar rasa ngilu tanpa ujung ini segera berakhir.Petugas medis yang mendampingi Valentina menyuruh gadis itu untuk menarik napas dalam dan jangan mengejan dulu karena pembukaan belum lengkap. Valentina menggeleng, panik bercampur nyeri, tidak bisa berpikir jernih akibat kontraksi yang menyayat-nyayat setiap lapisan kulit menuju bagian dalam perut. Sementar
Hal paling menyenangkan setelah menyelesaikan ujian akhir semester dua adalah mereka tidak perlu lagi ke lahan praktik, mengejar-ngejar dosen dan pembimbing klinik untuk minta nilai atau tanda tangan, tidak ada jam begadang untuk menulis laporan kasus di buku jurnal maupun presentasi besar sampai adu debat teori, tidak ada pula ujian-ujian yang menguras pikiran, tidak ada juga tumpukan buku yang menghiasi. Walaupun panggilan kebangsaan 'dek siswa' beserta semua kegiatanhecticdi tempat magang bakal dirindukan.Jujur saja, selama masa praktik, mereka bisa bertemu dengan mahasiswa dari kampus lain baik sesama mahasiswa perawat, dokter muda, farmasi, hingga bidan. Mereka saling tukar ilmu, tukar nomor telepon untuk mempererat pertemanan, hingga follow akun media sosial. Tak jarang pula cinta lokasi lintas jurusan maupun satu kelompok sering terjadi.
'Jangan berisik!''Sedang mengerjakan KTI''Ners ngenes garai duwek ambles!''OTW wisuda langsung ahh!!!'"Ambigu bener tulisannya," gumam Raditya mendapati deretan tulisan di atas kertas yang tertempel di pintu kamar istrinya. "Tin!" teriaknya sambil mengetuk pintu."Selamat datang Bapak Raditya yang terhormat," ucap Valentina melaluispeaker bluetoothyang sengaja ditaruh di atas laci dekat bersebelahan di antara bingkai foto pernikahan mereka dan vas bunga palsu. Raditya nyaris terperanjat kaget karena tidak menyadari sejak kapan laci itu dipindah dari ruang tamu ke samping pintu
"Saya mendapat kasus sepsis neonatorum, Bu, atas nama bayi Ny. S usia empat puluh hari," kata Valentina saat berhadapan dengan pembimbing klinik. "Maaf, Bu, untuk data subjektifnya saya agak kesusahan karena orang tua pasien jarang datang ke sini. Jadi, saya pakai data yang ada di rekam medis.""Masa enggak datang sama sekali?" tanya Bu Dewi tanpa memandang Valentina karena fokus mengoreksi hasil pekerjaan tangan gadis itu."Sungguh, Bu, saya sampai titip ke teman saya sama buattakenkontrak kalau ketemu keluarga pasien," jawab Valentina mengacungkan tangan kanan membentuk huruf V."Ini di pemeriksaan B1 kok tidak sesak tapi ada retraksi dinding dada?" tanya Bu Dewi menunjuk bagian pemeriksaan fisik B1--sistem pernapasan. "Ciri-ciri sesak napas
Maju-mundur seperti undur-undur yang hendak menggali jebakan di tanah ketika iris mata bulat nan lentik itu mengamati boks bayi cukup lama. Suasana hati yang biasanya antusias terhadap hal-hal baru di setiap stase kini mendadak luruh tanpa bekas. Menguap entah ke mana meski dia berusaha mencari sisa-sisa jejaknya. Menggenggam erat botol susu hangat yang sudah disiapkan untuk jadwal pemberian nutrisi bayi, Valentina malah mematung seakan-akan sandal khusus ruang Nicu memiliki perekat bagai lem tikus super.Justru matanya malah berkaca-kaca membayangkan bagaimana jika anaknya berada di dalam kotak itu? Bagaimana jika nanti saat dia melahirkan ada kelainan yang dialami sang jabang bayi? Bagaimana jika makanan dan minuman yang dia konsumsi selama ini tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya? Bagaimana?Kemarin saja ada salah