Share

Sosok Setenang Malam

Setelah kejadian malam itu, Aira dan Shin resmi berteman. Shin menyusul Aira sebisa mungkin tak menimbulkan suara berisik. Dengan langkah lebar dia menuju pohon rambutan yang berada di belakang panti. 

Sesampainya di tempat yang dituju, Shin melihat Aira duduk menyender di bawah pohon dengan mata tertutup. Dari tempatnya berdiri Shin memperhatikan wajah cantik Aira ditimpa kilau mentari membuat anak perempuan itu bak putri tidur dalam dongeng. Putri yang tertidur panjang setelah memakan apel beracun yang diberikan penyihir.

Remaja lelaki itu menarik ujung bibir, mengulas senyum tipis. Senyum yang jarang dia tampilkan di depan orang lain. Sejak kehadiran Aira, Shin merasakan harinya tak lagi kelabu.

Entah perasaan apa yang mendorongnya agar menjaga dan melindungi Aira dari bahaya apa pun. Malam itu, ketika pertama kali pertemuan mereka, dia melihat betapa rapuhnya anak perempuan itu sehingga menimbulkan empati dalam dirinya.

Awalnya Shin kira dia akan bersikap cuek seperti yang sudah-sudah, tetapi kali ini berbeda. Aira punya daya pikat tersendiri, mampu membiusnya untuk tak mengabaikan keberadaannya begitu saja.

Setiap Shin menatap tepat ke bola mata Aira, dia dapat melihat sorot kesedihan di sana. Shin ikut merasakan hatinya berdenyut. Dia pikir dunia ini amat kejam telah merenggut kebahagiaan anak sekecil itu. Setelah terjadi perang batin, remaja ganteng itu memutuskan mulai berteman dengan Aira.

Selama ini Shin hidup secara individualis di panti karena tak satu pun dari anak-anak itu menarik perhatiannya.

Shin mendekati Aira tanpa suara. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana, lalu berjongkok di depan anak perempuan itu.

"Kau tidur?" tanya Shin.

Perlahan kelopak mata dengan bulu mata lentik itu mengerjap-ngerjap sebelum terbuka sempurna menampilkan bola mata bening. Aira memicingkan mata, berusaha menyesuaikan cahaya matahari menyilaukan penglihatannya. Dia tersenyum, melihat Shin di depannya. 

"Ah, aku tertidur rupanya," ujar Aira tampak malu seraya merapikan rambut panjangnya. "Kau sudah lama di sini?"

"Tidak. Aku baru saja tiba. Ini, ambillah!" Shin menyodorkan permen dengan aneka rasa buah ke depan wajah Aira. Ada rasa jeruk, nanas, dan anggur.

Secepat kilat Aira meraih permen dari tangan Shin. Dia tak menyangka Shin tahu permen kesukaannya.

"Terima kasih."

Aira bersorak dalam hati merasakan permen rasa jeruk meleleh di mulutnya. Rasanya menyegarkan hati dan perasaannya.

"Kau suka permen?"

"Suka sekali. Ini mengingatkanku pada Mama."

Shin menatap Aira, dilihatnya anak perempuan itu asik mengunyah permen.

"Shin, dari mana kau mendapatkan permen ini?" Aira mengambil sebungkus lagi, membukanya perlahan sambil menunggu jawaban Shin.

"Aku biasa membantu Pak Imam membersihkan panti ini. Tadi aku membantunya memotong rumput lalu ia memberikan sedikit uang. Katanya untuk jajan."

Aira mengerti sekarang dari mana Shin bisa menghasilkan uang. Tempo hari Shin juga memberikan dia roti isi coklat dan kacang hijau.

"Sejak kapan kau di panti, Shin?" Aira memperhatikan ekspresi sendu di wajah Shin setelah mendapatkan pertanyaannya barusan. Mendadak dia merasa tidak enak. Apa dia telah menyinggung teman barunya ini?

"Sejak bayi," jawab Shin singkat.

Aira menatap Shin iba. Nasib mereka berdua sekarang sama, berakhir di panti ini. Entah bagaimana kehidupan mereka ke depannya kelak. Setidaknya, Aira lebih beruntung karena pernah merasakan tinggal di rumah bersama orang tuanya. Pun merasakan kasih sayang mereka meskipun hanya delapan tahun.

Itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Sedangkan Shin, rupa orang tuanya pun tak tahu. Aira bersyukur diberikan kesempatan sebelum kedua orang tuanya pergi untuk selamanya. Kini dia menyadari bahwa di luar ternyata ada anak yang nasibnya lebih menyedihkan. 

Dia pun teringat nasihat mamanya tentang kehidupan. Mamanya pernah mengatakan agar jangan lupa memandang ke bawah. Dengan begitu dia tak lupa bersyukur. Jika hidup selalu memandang ke atas semua nikmat terasa kurang.

"Shin, kenapa kau baik padaku?" 

"Karena kau cantik," jawab Shin lalu tergelak.

Aira cemberut. Dia serius bertanya mengapa remaja laki-laki itu berbuat baik padanya. Aira merasa aneh saja. Seperti kata Mia, Shin hanya baik kepadanya.

"Anggap saja aku pelindungmu," kata Shin akhirnya setelah melihat Aira bangkit hendak meninggalkannya.

"Selamanya kau akan melindungi dan menjadi temanku Shin?"

"Tentu saja. Kau anak baik Aira, siapa yang tak ingin berteman dan menjagamu." Shin melangkah diikuti Aira di sisinya. Mereka kembali ke panti. 

Aira dan Mia baru saja selesai membantu pekerjaan di dapur atas permintaan Bibi Rin, wanita kurus yang menyambutnya saat pertama kali dia menjejakkan kaki di panti.

Aira kebagian memotong wortel, sedangkan Mia memotong sawi untuk menu makan malam mereka. Aira tak keberatan membantu tugas dapur seperti sekarang. Di rumahnya dulu dia terbiasa membantu mamanya memasak.

Kata mamanya, anak perempuan jangan hanya tahu dandan dan baju bagus saja, tapi juga harus tahu urusan dapur. Mama tak ingin kelak Aira hanya bisa masak mie sama telur ceplok. Nasihat sang mama, kalau wanita pandai masak, itu salah satu cara menyenangkan suami. Seperti sang papa yang beruntung mendapatkan mamanya. Bukan hanya cantik, tetapi wanita itu juga jago masak.

Selanjutnya Aira dan Mia meninggalkan dapur untuk mandi. Di sini tempat mandinya lumayan luas. Satu kamar mandi untuk bersama. Jadi, jika terlambat bisa dipastikan tak akan kebagian air. Tidur semalaman dengan badan lengket dan bau, sungguh Aira tidak mau. Oleh karena itu, jika waktu mandi tiba, Aira dan Mia buru-buru masuk kamar mandi.

Awalnya Aira merasa canggung mandi ramai-ramai seperti itu, dia tak mau membuka bajunya. Mia membujuknya mengatakan tidak apa-apa, mereka semua kan perempuan. Tapi, tetap saja Aira tak berkenan. Alhasil, dia mandi dengan menggunakan baju utuh.

Selesai mandi dua anak perempuan itu berjalan ke luar menuju pohon belimbing yang tumbuh pas di depan panti. Tadi siang mereka menemukan sarang burung di sana. Aira dan Mia ingin memastikan anak burung itu baik-baik saja.

"Aira, kau tak takut pada Shin?" tanya Mia sambil mengayun langkah.

Aira menggeleng. "Tidak, Shin sangat baik padaku."

"Kau tahu," kata Mia  menghentikan langkahnya. "Selama ini Shin bersikap cuek pada semua anak-anak di  sini tak terkecuali aku." Mia menunjuk wajahnya.

"Benarkah? Shin yang kukenal baik dan ramah. Mungkin kau perlu mengenalnya juga, Mia."

Mia menggeleng cepat. "Tidak, terima kasih."

Sampai di bawah pohon belimbing, Mia langsung memanjat. Dia ingin melihat sarang dengan tiga ekor anak burung yang belum ditumbuhi bulu itu baik-baim saja. Sementara itu, Aira yang phobia ketinggian hanya menunggu di bawah.

Buuuk ...!

"Aaaw!" jerit Aira. Dia meringis memegang kepala yang baru saja terkena bola cukup keras.

Mendengar jeritan Aira buru-buru Mia turun.

"Hahaha, hei, kau! cepat ambilkan bola itu!" Seorang anak laki-laki bertubuh gempal berdiri di depan Aira dan menunjuk dahinya dengan telunjuk.

"Kau harusnya minta maaf," ujar Aira tak terima disuruh-suruh. 

"Hei, anak panti berlagak kau, ya!" Anak laki-laki itu mendorong tubuh kurus Aira hingga terjerembab.

"Kau anak nakal!" teriak Aira disusul suara tangisan. Mia menghampiri Aira dengan rasa takut. Dia tak bisa berbuat banyak bila berhadapan dengan anak pemilik panti.

"Jangan pernah menyentuhnya!" Entah sejak kapan Shin sudah berdiri di antara mereka. Shin berjongkok meraih lengan Aira. Ia melihat siku gadis itu berdarah mungkin pas jatuh tergores batu. Mata Shin menggelap. Dia tak akan membiarkan siapapun melukai Aira.

Shin berdiri, berhadap-hadapan dengan anak bertubuh gempal itu. Tak lama dia langsung melayangkan tinjunya tepat mengenai pipi chubby anak itu.

Melihat itu, seorang anak remaja kisaran usia tiga belas tahun tak lain teman anak bertubuh gempal menghampiri Shin. Ia langsung saja menghantamkan sesuatu ke kepala Shin membuat Shin tersungkur ke tanah.

"Shin!" raung Aira mendekap tubuh Shin, lalu membalikkannya. Ya Tuhan, kepala Shin mengeluarkan darah cukup banyak. Aira dan Mia panik bukan kepalang.

Menyadari Shin terluka, remaja laki-laki itu sekonyong-konyong membuang batu di tangannya lalu melarikan diri disusul anak bertubuh gempal.

"Shin kau terluka," ujar Aira sambil menyeka darah yang mengalir di wajah Shin. 

"Jangan menangis Aira, aku tak apa-apa." Shin tersenyum lalu bangkit. Ia merobek ujung baju kemejanya membalutkan ke siku Aira yang terluka. Tak peduli pada lukanya sendiri.

Aira menangis sesegukan sambil menatap Shin. Ia tak menyangka Shin akan terluka karena membelanya. 

Tak lama Pak Imam datang bersama Mia.  Lelaki paruh baya itu membantu memapah Shin membawanya masuk ke dalam panti diikuti Aira dan Mia.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
karamel
sedih 🥹tapi penasaran. berasa ada di dekat mereka dua
goodnovel comment avatar
Nelliya Azzahra
ikutin terus kisah mereka ya Mbak
goodnovel comment avatar
Eka Suryati
Duh, diawal ini ceritanya membuat diriku mewek lo
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status