Share

Tragedi2

Bab 6: Tragedi 2

Melihat itu mata Aira membulat sempurna. Mulutnya sedikit terbuka dengan dada berdebar kencang seperti dadanya mau meledak. Betapa kasarnya Pak Tomo kepada anak kecil, batinnya. 

Mengapa lelaki yang dianggap ayah oleh anak-anak panti itu tega berbuat demikian. Lagi-lagi ia tidak menemukan jawaban apa pun. Aira berlari menghampiri Mia. Dipeluknya sahabatnya itu dan dapat ia rasakan tubuh Mia bergetar hebat. 

Mia meringkuk bagai trenggiling dan mulai menangis. Dia merasakan kepalanya berdenyut sakit. Beruntung kesadarannya masih ada. Ia dan Aira sama-sama menangis disebabkan rasa sakit juga memikirkan nasib mereka akan bagaimana caranya terlepas dari Pak Tomo.

Mia takut sekaligus benci pada lelaki berkepala botak itu. Dari sejak ia tinggal di panti, Mia tidak begitu suka pada Pak Tomo. Karena lelaki tua itu acap kali memandangnya seperti seolah-olah sedang mengulitinya.

"Mia kamu tidak apa-apa?" tanya Aira setelah mampu bisa mengendalikan diri.

Mia hanya bisa mengangguk. Entah lah. Kedatangan Aira ke tempat ini tidak banyak membantu. Tampaknya mereka berdua akan mati di ruangan ini.

"Mia jangan takut. Ada aku di sini," bujuk Aira seraya mengusap punggung Mia.

Meskipun Aira tak kalah takut dari Mia, tapi dia berusaha agar lebih berani. Dia terus berpikir bagaimana caranya mereka bisa lolos dari tempat ini.

"Aira, a-aku mau pergi dari sini," ujar Mia patah-patah.

"Tenanglah, Mia. Ayo, kita cari cara agar bisa keluar." Aira berdoa dalam hati agar ada cara atau seseorang datang menemukan mereka di sini.

Dalam keadaan genting seperti ini, hanya nama Shin yang terlintas di pikirannya. Dalam hati Aira berulang kali memanggil nama itu. Berharap Shin menolong dirinya seperti yang sudah-sudah.

"Tapi ... bagaimana? Pak Tomo pasti tidak akan melepaskan kita, Aira." Mia semakin gemetar kala dilihatnya pria tua itu mendekati dia dan Aira.

"Tenang, ya. Aku akan cari cara," bujuk Aira. 

Anak perempuan itu berdiri. Mencari sesuatu alu menuju ke arah jendela. Aira susah payah membuka jendela tersebut. Setelah hampir terbuka sedikit dia pun teriak, "Tolooong!" 

"Tolong ...." Tubuh Aira membeku ketika dirasakan tangan Pak Tomo menarik paksa tubuhnya.

"Dasar begundel cilik. Cih!" Tomo menarik tubuh Aira, menyeretnya menjauhi jendela. 

"Lepas Pak. Lepas!" Aira meronta-ronta dalam dekapan Tomo.

"Aku tidak akan melepaskanmu cah ayu. Sebelum berhasil menikmati tubuh cantikmu ini. Hehe." Tomo menciumi leher Aira dan dia mabuk kepayang ketika merasakan lembutnya kulit anak perempuan itu. Seperti kapas dan wangi. Membangkitkan gairah Tomo untuk segera menuntaskas aksi bejatnya

"Lepas. Menjauh dari saya orang jahat!" Aira menggigit lengan Tomo sekuat-kuatnya.

Namun…

“Plaak!” 

Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Aira membuat kepalanya pening. Tak lama darah segar merembes dari sudut bibirnya. Apa ini saatnya dia mati menyusul kedua orang tuanya? Jika iya, Aira tak rela mati dengan cara seperti ini. Dia sudah berjanji pada Shin untuk bersama dalam jangka waktu lama.

"Berani kamu menggigitku. Dasar sampah! Sudah bermain-mainnya. Ayo, kita mulai saja." Tomo berjongkok, lalu membelai kulit paha Aira dengan mata dipenuhi kabut gairah. Membayangkan sebentar lagi dia akan menikmati tubuh lembut dan halus ini membuat liurnya nyaris menetes.

Buru-buru Tomo membuka kancing celana, lalu menurunkan celananya sampai mata kaki. Pria itu terkekeh pelan ketika melihat Aira tak berdaya. Sementara itu, di pojokkan Mia hampir saja pingsan melihat apa yang hendak dilakukan Pak Tomo pada Aira. 

Meskipun dia sangat ketakutan tapi Mia tidak bisa berdiam diri. Dia harus membantu Aira sebagaimana sahabatnya itu telah mengorbankan diri untuk membantunya jua.

Mia bangkit, dengan gerakan sepelan mungkin dia melangkah. Dilihatnya Tomo masih asyik mengagumi tubuh Aira. Setelah mencapai pintu, buru-buru Mia membuka kunci dan melesak keluar. Dia harus segera mencari bantuan.

Mia berlari seperti orang kesetanan. Dia tak tahu harus minta tolong pada siapa. Namun, saat dia mencapai pintu kamar Shin, Mia langsung menggedor kasar pintu itu.

"Ada apa?" Shin berdiri di ambang pintu seraya mengucek mata.

"Hah, tolong. Aira."

"Ada apa dengan Aira?" Shin langsung sadar sepenuhnya. Dia memperhatikan penampilan Mia kacau itu membuat perasaannya tak enak.

"Ayo!" Mia menarik tangan Shin. Tak ada waktu untuk menjelaskan. Keadaan Aira lebih penting.

Sampai di gudang, Shin merasa detak jantungnya berhenti berdetak kala melihat Tomo sedang menindih Aira. Amarahnya meledak. 

"Kurang ajar!" Shin lalu meraih balok kayu dan berlari menghantam kepala Tomo beberapa kali mengakibatkan pria tua itu tersungkur dengan darah bercucuran. 

"Kamu ... aku akan membunuhmu!" Tomo memegangi kepalanya seraya mengaduh. 

Shin menatap Tomo dengan sorot kebencian yang meluap-luap. Lalu, perhatiannya beralih pada Aira yang menangis seraya membenarkan bajunya.

"Aira semua baik-baik saja. Jangan menangis lagi. Maaf aku terlambat." Shin memeluk tubuh Aira yang menggigil dan Mia hanya bisa menangis.

"Shin, ayo, kita pergi dari tempat ini. Aku… aku takut," ujar Aira.

Shin mengepalkan tinjunya. Dia pasti akan membalas perbuatan Tomo. Shin akan mengingat kejadian malam ini dan menyimpannya di memori ingatan. Suatu saat, jika tidak sekarang Tomo pasti akan menuai balasan atas perbuatan tidak moralnya itu.

"Ayo, kita balik ke kamar." Shin merangkul pundak Aira diikuti Mia. Sementara itu Tomo tampak tak sadarkan diri. Shin tak peduli. Jika pria tua itu mati, lebih baik.

Shin tak membawa Aira ke kamar, melainkan ke aula. Di kamar nanti akan menimbulkan kecurigaan anak lainnya.

Shin pergi ke dapur mengambil minum untuk Aira dan Mia. Dua anak perempuan itu saling berpelukan dengan tubuh masih bergetar. 

"Minumlah." 

"Makasih, Shin. Jika kau tak ada entah bagaimana nasib kami," ujar Mia seraya meminum air sampai tandas. Tadinya dia kira akan berakhir dengan kematian. 

"Iya. Sekarang sudah tidak apa-apa. Bagaimana kejadiannya?" 

Mia pun menceritakan semua dari awal sampai akhir. Sesekali dia bergerak gelisah khawatir ada yang mendengar ceritanya. Tapi saat dia menyadari waktu masih tengah malam maka kekhawatirannya reda.

Shin semakin kesal dan benci. Bisa-bisanya suami pemilik panti itu melakukan tindakan asusila dengan anak-anak yang sudah menganggapnya seperti sosok ayah mereka sendiri.

Saat pagi tiba, Shin dipanggil ke ruangan pemilik panti. Sebuah tamparan anak lelaki itu dapatkan karena menyebabkan Tomo harus dirawat dan nyaris kehilangan nyawa.

"Dasar bocah tidak tahu terima kasih. Kau harus pergi dari panti ini. Sekarang mandi dan pakai pakaian yang rapi. Sebentar lagi ada pasangan suami istri yang akan mengadopsi anak di panti ini. Dan kau yang akan aku rekomendasikan. Kau itu bocah kurang ajar."

Aira yang mencuri dengar obrolan itu terjatuh dan merasa dunianya runtuh.

"Tidak. Shin jangan pergi dan tinggalkan aku!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status