Sakhala diam-diam memerhatikan Ruth dan Dayana. Tanpa sadar dia tersenyum karena sang ibu terlihat begitu bahagia ketika bersama Dayana. Ruth terus berbicara tentang bunga yang dia tanam di halaman belakang. Sedangkan Dayana hanya mendengarkan dan sesekali menjawab pertanyaan yang Ruth lontarkan.
"Apa kamu suka bunga, Dayana?"
Dayana mengangguk. Dia dulu sering menanam bunga dengan sang ibu di rumah. Namun, dia tidak pernah lagi melakukannya semenjak diusir dari rumah.
Kedua mata Dayana tampak berbinar melihat bunga matahari yang berada di hadapannya karena sang ibu sangat menyukai bunga tersebut.
"Bunga matahari ini sangat cantik, sama sepertimu," ucap Ruth sambil mengusap rambut Dayana dengan penuh sayang.
Dayana sontak menunduk untuk menyembuyikan semburat merah yang menghiasi kedua pipinya. "Terima kasih, Ma," ucapnya malu-malu.
Ruth mengangguk lantas memanggil Sakhala yang sedang asyik bermain ponsel di ruang tengah. Sakhala pun meletakkan ponselnya di atas meja lantas menghampiri Ruth.
"Ada apa, Ma?"
"Abang temenin Dayana dulu, ya. Mama mau menyiapkan makan siang."
Sakhala mengangguk.
"Mama tinggal sebentar ya, Day. Kalau kamu butuh apa-apa jangan sungkan panggil mama."
"Dayana bantu ya, Ma?" Dayana ingin membantu Ruth menyiapkan makan siang, tetapi ibu kandung Sakhala itu malah melarang.
"Nggak usah. Kamu di sini saja sama Sakha. Lagi pula di rumah ini sudah ada pelayan yang membantu mama." Ruth melarang Dayana yang ingin membantunya menyiapkan makan siang agar gadis itu bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Skhala.
"Tapi, Ma ...."
"Sudahlah, kamu tunggu di sini saja sama Sakha. Mama cuma sebentar kok."
Dayana menghela napas panjang, percuma saja dia memaksa karena Ruth akan terus menolak. Dia pun duduk di sebuah gazebo yang berhadapan langsung dengan kolam renang bersama Sakhala.
Dayana diam-diam dia memperhatikan Sakhala yang berada di sampingnya. Dayana baru menyadari kalau Sakhala terihat sangat tampan. Padahal lelaki itu hanya memakai kaos hitam polos yang dipadu dengan celana pendek berwarna cokelat.
"Terima kasih sudah datang." Ucapan Sakhala membuat Dayana sontak berhenti mengagumi wajah Sakhala.
"Sama-sama. Aku pikir mamamu galak seperti mama mertuaku yang gagal. Tapi mamamu ternyata sangat baik."
Wajah Dayana seketika berubah sendu karena Ruth mengingatkannya dengan sang ibu. Dayana sangat rindu dan ingin bertemu dengan ibunya karena sudah dua bulan lebih mereka tidak bertemu.
Namun, Dayana tidak bisa bertemu dengan ibunya setiap saat karena sang ayah sudah mengusirnya dari rumah. Dada Dayana selalu saja terasa sesak setiap kali mengingat kejadian tersebut.
"Kenapa kamu tiba-tiba menangis, Dayana? Apa terjadi sesuatu?" tanya Sakhala terdengar panik karena melihat Dayana menangis.
Dayana tersenyum lantas menghapus air mata yang membasahi pipinya. Dia tidak sadar menangis karena merindukan sang ibu. "Aku baik-baik saja, Sakha. Jangan khawatir. Aku cuma lagi kangen sama mama di rumah."
Sakhala tertegun melihat kesedihan yang menghiasi wajah cantik Dayana. Dia pun mencari topik pembicaraan lain untuk menjaga perasaan gadis itu.
"Kalau boleh tahu, sejak kapan kamu bekerja di Jordan Corp?"
"Em, lumayan lama, mungkin sekitar tiga tahun."
"Bagaimana rasanya bekerja di Jordan Corp? Apa kamu betah kerja di sana?"
Dayana mengangguk. "Ya, aku betah kerja di sana karena sesuai dengan bidangku, tapi pemimpin sebelumnya sangat menyebalkan. Dia tidak pernah memikirkan nasib bawahannya dan pemikirannya sangat kolot," ucap Dayana terdengar kesal karena teringat pemimpin perusahaannya yang dulu.
Entah kenapa gadis itu malah terlihat lucu di mata Sakhala.
Sakhala dan Dayana terpaksa mengakhiri obrolan mereka karena makan siang sudah siap. Mereka pun segera pergi ke ruang makan. Banyak sekali makanan yang tersaji di meja makan, mulai dari pembuka hingga penutup. Semua makanan itu terlihat sangat lezat dan menggugah selera.
Ruth keluar dari dapur sambil membawa sepiring perkedel kentang. "Ayo dimakan, Dayana. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri."
"Iya, Ma." Dayana mendudukkan diri di kursi kosong yang berada tepat di samping Sakhala lalu mengambil nasi dan lauk yang Ruth sajikan untuknya.
"Wah, perkedel ini rasanya enak sekali. Terima kasih, Ma," ucap Dayana setelah mencicipi perkedel kentang buatan Ruth.
"Sama-sama, Dayana. Makan yang banyak, ya?"
Dayana mengangguk. Setelah makan siang mereka berbincang-bincang sebentar di halaman belakang sambil menikmati teh hangat. Padahal Dayana ingin pulang karena dia sudah rindu dengan tempat tidurnya yang ada di kamar. Namun, dia sungkan jika menolak permintaan Ruth.
"Oh, iya. Kalian sudah kenal berapa lama?"
Dayana dan Sakhala sontak saling lirik mendengar pertanyaan Ruth barusan. Mereka tidak mungkin memberi tahu Ruth yang sebenarnya kalau mereka baru saling mengenal.
"Satu tahun, Ma."
"Enam bulan, Ma."
Ruth menatap Sakhala dan Dayana bergantian karena mereka memberi jawaban berbeda. "Jadi yang benar yang mana? Satu tahun atau enam bulan?"
Setitik keringat dingin keluar membasahi pelipis Sakhala, jantungnya pun berdetak tidak nyaman karena Ruth menatapnya dengan lekat. Dia membasahi bibirnya yang kering sebelum menjawab pertanyaan Ruth.
"Em, enam bulan, Ma."
"Yakin?"
"Iya, Ma," jawab Dayana sambil tersenyum untuk menyembuyikan kegugupannya. Semoga saja Ruth percaya.
Ruth mengangguk-angguk. Sepertinya wanita itu percaya dengan jawaban yang diberikan Sakhala dan Dayana. "Apa mama boleh tanya lagi?"
"Ya, boleh." Sakhala meneguk secangkir teh hangatnya hingga tandas lantas menarik napas panjang agar perasaannya menjadi lebih tenang karena Ruth seolah-olah sedang mengintrogasi dirinya dan Dayana.
"Di mana pertama kali kalian bertemu?"
Dayana dan Sakhala kembali saling lirik. Raut cemas tergambar jelas di wajah keduanya karena Dayana dan Sakhala belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan Ruth.
"Di mana?" Ruth kembali bertanya karena Dayana dan Sakhala tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Di kelab."
"Di hotel."
Ruth menatap Dayana dan Sakhala dengan lekat sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada karena mereka kembali memberi jawaban yang berbeda. "Yang benar yang mana? Kelab atau hotel?"
Sakhala menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan sebelum menjawab pertanyaan Ruth. "Di kelab."
"Apa benar, Dayana?" Ruth beralih menatap gadis cantik yang duduk di sebelah Sakhala.
"Iya, Ma. Dayana dan Sakha bertemu pertama kali di kelab."
Sakhala melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Tidak terasa sekarang sudah sore. "Sepertinya Dayana sudah terlalu lama di rumah kita."
"Kamu mau pulang, Day?"
"Iya, Ma."
"Yah ...." Ruth menghela napas panjang karena dia masih ingin membicarakan banyak hal dengan Dayana.
"Mama jangan sedih, Dayana pasti akan datang ke sini lagi."
Wajah Ruth seketika berbinar. "Benarkah?"
Dayana mengangguk.
"Janji loh, ya?"
"Iya, Ma. Dayana pamit pulang dulu, ya? Terima kasih banyak untuk makanannya. Masakan Mama enak sekali."
"Sama-sama, Day. Lain kali kita harus membuat makanan kesukaan Sakhala sama-sama."
Dayana tersenyum kikuk mendengar ucapan Ruth barusan karena dia tidak bisa memasak sama sekali. "I-iya, Ma."
Sakhala dan Ruth pun mengantar Dayana ke depan. Mereka baru masuk ke rumah saat mobil Dayana sudah tidak terlihat lagi oleh pandangan mereka.
"Dayana cantik ya, Bang? Baik lagi."
Sakhala mengangguk. Dia bisa melihat dengan jelas ketulusan yang terpancar dari kedua sorot mata Dayana. Gadis itu sangat baik dan apa adanya. She is pure.
"Kapan Abang mau melamar Dayana?"
Sakhala tersentak. "A-apa? Melamar?"
"Sakha, lihat ini." Dayana mengusap perutnya yang tampak semakin membesar. Sakhala sontak mengalihkan pandang dari layar laptopnya lalu menatap Dayana dan ikut mengusap perut istrinya itu dengan lembut."Halo, Jagoan Papa. Sehat-sehat ya, di dalam perut mama. Papa sudah tidak sabar ingin ketemu sama kamu," ucap Sakhala sambil tersenyum karena merasakan pergerakan dari calon buah hatinya yang masih berada di dalam perut Dayana."Apa kamu bisa merasakannya, Sakha?"Sakhala mengangguk. Kedua matanya tampak berbinar merasakan gerakan dari calon buah hatinya. "Dia pasti tidak sabar ingin bertemu sama mama papanya."Perasaan Dayana seketika menghangat melihat Sakhala yang sedang berbicara dengan calon buah hati mereka. Dia bisa melihat dengan jelas jika Sakhala sangat menyayangi buah hatinya."Sakha," panggil Dayana pelan."Iya, Sayang?" "Dokter Tasqia kemarin bilang kalau aku mungkin akan melahirkan akhir bulan nanti. Tapi kenapa perutku sekarang sering merasa mulas?" tanya Dayana sambil
Dayana menjalani masa kehamilannya dengan penuh kebahagiaan meskipun ini bukan kehamilannya yang pertama. Minggu ini usia kehamilannya tepat tujuh bulan. Dayana merasa napasnya menjadi lebih berat dan sesak dari pada biasanya karena janin yang ada di dalam perutnya semakin membesar.Sebagai seorang suami, Sakhala berusaha memberikan yang terbaik untuk Dayana. Seperti dua hari yang lalu, dia baru saja membelikan istrinya itu sebuah sofa santai khusus untuk ibu hamil yang harganya puluhan juta. Sakhala sengaja membelinya agar Dayana merasa nyaman. Selain itu dia tidak tega melihat Dayana yang terus mengeluh karena pinggangnya sakit dan pegal-pegal. Dayana menganggap Sakhala terlalu berlebihan. Namun dia sendiri tidak bisa menolak karena Sakhala membeli sofa itu tanpa sepengetahuan dirinya. Selain itu, dia juga tidak ingin berdebat dengan Sakhala karena itu hanya akan menguras energinya.Dayana duduk di sofa ruang keluarga dengan wajah bahagia. Dia tersenyum saat mengingat pesta gender
Keesokan harinya Dayana bangun dengan kondisi tubuh yang segar bugar karena dia semalam tidur dengan sangat nyenyak. Dia bahkan tidak terganggu dengan suara alarm yang dia pasang sebelum tidur.Dayana melirik jam digital yang ada di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Ternyata sekarang sudah jam tujuh pagi dan dia ingat kalau hari ini Sakhala ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk babymoon. "Sakha sudah bangun belum, ya?" gumam Dayana sambil beranjak dari tempat tidurnya dengan hati-hati.Biasanya Sakhala selalu membantunya saat turun, tapi beberapa minggu ini dia harus melakukannya sendiri karena perutnya selalu merasa mual bila berada di dekat Sakhala. Mungkin saja ini bawaan bayi yang berada di dalam kandungannya.Tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dari luar. "Apa kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Sakhala sambil membuka sedikit pintu kamarnya untuk melihat Dayana. Tingkah lelaki itu benar-benar mirip seorang pencuri yang mengintai rumah korbannya."Aku sudah bangun
Dayana terbangun dari tidurnya karena perutnya tiba-tiba terasa sangat mual. Dia pun langsung bangun lalu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Sakhala yang mendengar Dayana muntah-muntah ikut terbangun dan segera menghampiri istrinya itu. "Kamu nggak papa, Sayang?" Sakhala mengetuk pintu kamar mandi dengan perasaan khawatir. Dayana tidak menjawab panggilan Sakhala dan terus muntah-mutah. Rasanya Sakhala ingin sekali menemani Dayana di dalam sana, akan tetapi dia tidak bisa masuk karena pintu kamar mandi dikunci Dayana dari dalam. "Sayang?!" Sakhala terus berdiri di depan pintu kamar mandi sambil terus memanggil Dayana. Dia akan mendobrak pintu kamar mandi tersebut jika Dayana tidak kunjung keluar. Namun, belum sempat dia melakukannya Dayana tiba-tiba membuka pintu kamar mandi tersebut dengan wajah yang terlihat sedikit pucat. Sakhala segera menghampiri Dayana lalu menuntun wanita itu agar duduk di atas tempat tidur. "Bagaiamana keadaanmu sekarang? Apa sudah
Dayana telah dipindahkan ke ruang rawat setelah menjalani proses pemindahan embrio di rahimnya. Wanita itu masih belum sadar karena efek bius. Sakhala tidak pernah beranjak dari sisi Dayana, dia duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Dayana sambil menggenggam jemari tangan wanita itu dengan erat. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Dayana membuka mata. Dia mengerjapkan kedua matanya perlahan untuk menyesuaikan dengan cahaya yang menerobos masuk ke dalam indra penglihatannya."Sayang?!" Sakhala sontak mengembuskan napas lega karena Dayana akhirnya membuka mata. Dia segera menekan tombol Nurse Call untuk memanggil perawat atau dokter agar memeriksa Dayana."Sakha ...," panggil Dayana pelan karena tubuhnya masih terasa lemas. Tiba-tiba saja pintu ruang rawatnya diketuk dari luar disusul dengan masuknya seorang perawat untuk memeriksa kondisinya"Bagaimana keadaan Ibu Dayana sekarang? Apa Anda masih merasa pusing?" tanya perawat tersebut."Tidak, Sus. Tapi saya masih merasa sedikit
Waktu berjalan dengan begitu cepat, membawa semua hal berlalu bersamanya. Hari ini adalah hari yang penting bagi Sakhala dan Dayana. Sudah genap empat belas hari pasangan itu menunggu hasil dari program bayi tabung yang telah mereka jalani selama kurang lebih satu bulan. "Apa kamu cemas?" tanya Sakhala terdengar lembut. Genggaman tangannya pada Dayana tidak terlepas sedikit pun sejak mereka memasuki halaman rumah sakit."A-aku baik-baik saja."Sakhala menggeleng pelan karena wanita yang berjalan di sampingnya itu tidak pandai berbohong. "Kamu masih ingat ucapanku kemarin malam, kan? Apa pun hasilnya kita pasrahkan sama Tuhan. Yang terpenting kita sudah melakukan yang terbaik," ucap Sakhala berusaha menyalurkan energi positif pada Dayana. "Iya, aku tahu. Terima kasih karena kamu sudah ada di sampingku selama ini," balas Dayana pelan.Kedua pasangan itu pun akhirnya tiba di depan pintu ruangan bercat putih dengan sebuah papan nama bertuliskan Dokter Tasqia, SpOG.Sebelum menarik han