Share

2. Lihat nanti

2.

Marina berdecak kesal setelah meninggalkan Bima yang terperangah. "Dasar pria gila! Narsis! Dia pikir aku mau menikah dengan pria sepertinya! Amit-amit Tuhan!"

Marina bergegas memberhentikan taxi lewat. Sepanjang jalan, dia terus menggerutu kesal. "Hah, bodohnya kau Marina! Kenapa kau harus menemui pria gila itu," cerocosnya masih penuh amarah. "Dan kenapa pria itu sangat terobsesi dengan pakaianku? Apa dia punya kelainan? Argh menyebalkan."

Supir taxi di depannya hanya diam mendengarkan ocehan Marina yang terdengar berapi-api dan penuh emosi.

Dari awal dia memasuki restoran, dan melihat gelagat Bima yang selalu tebar pesona dan menebar senyum itu, Marina sudah merasakan akan mendapat hinaan-hinaan yang lebih menyakitkan dari sebelumnya. Apalagi melihat beberapa pengunjung di sana memnag sangat cantik dan berkelas. Dan ternyata benar dugaannya bukan? Bima menghinanya dengan sangat congkak dan pandai. "Ah, andai dia bukan putra Pak Bhas, sudah ku pelintir kepalanya."

Marina tak habis pikir, kenapa setiap kali bertemu dengannya, Bima selalu saja menghina dan mengejeknya perkara pakaian yang dia pakai. Padahal Marina bukanlah perempuan cupu dan udik tak tahu fashion. Dia bahkan selalu tampil cantik dan banyak laki-laki yang menyukainya. Namun di kenapa di mata Bima dia selalu terlihat jelek dan kurang.

Lamunan Marina melayang pada beberapa tahun lalu, di mana dia pertama kali memasuki rumah besar keluarga Bima. Marina, kala itu tengah menempuh pendidikan di sebuah Universitas dengan di biayai kedua orang tua Bima, Bhaskara dan Amelia yang merupakan sahabat mendiang Ibunya.

Marina mendapat perlakuan hangat dari kedua anak lelaki Bhaskara, yaitu Bian dan Bima.

"Wah, siapa yang Mami dan Papi bawa. Cantik sekali," sambut Bima kala itu begitu manis. Bima memperlakukannya selayaknya adik setiap kali dia datang berkunjung. Sedari kuliah, Marina sudah bekerja menjadi sekretaris cadangan Bhaskara, itulah kenapa dia sering bolak-balik ke rumah besar itu.

Beberapa waktu berlalu, dan Marina tak yakin kapan tepatnya itu, Bima yang manis tiba-bia menjadi dingin dan sering memerintahnya layaknya pembantu. Laki-laki itu bahkan tak segan menghinanya di depan kedua orang tuanya. "Kau itu sudah udik juga dungu ternyata! Apa yang kau lakukan pada berkas-berkasku!" bentak Bima, karena Marina tak sengaja menyenggol gelas yang dan airnya mengenai berkas milik Bima yang berada di meja.

"Maaf Mas," lirih Marina takut. Itu pertama kalinya dia di bentak oleh Bima.

"Kau itu hanya asisten di sini. Berlakulah sesuai tempatmu! Jangan bermimpi menjadi putri di rumah ini!" Bima terus bicara dengan berteriak. "Orang tuaku membantumu, karena kasihan bukan sayang. Perhatikan di mana tempatmu!"

Marina menahan sakit di hati demi kelangsungan hidupnya. Dia menerima semua cemoohan juga hinaan yang selalu Bima lontarkan di setiap pertemuan mereka. Sampai saat ini Marina bahkan tak mengerti kenapa Bima tiba-tiba berubah dan menganggapnya musuh.

Hampir sepanjang jalan, Marina termenung mengingat betapa kejamnya Bima yang bahkan tak segan menghinanya di depan staff perusahaan. "Ah, Ayah sepertinya salah mempekerjakanmu di perusahaan ini. Kau tak layak menjadi seorang sekretaris. Kau lebih pantas menjadi pelayan di rumahku! Lihat apa yang kau pakai. Baju ini cocok menjadi lap bukan dikenakan oleh seorang sekretaris dari perusahaan besar!" Marina hanya diam dan menelan setiap kalimat pahit yang Bima lontarkan. Bukan tak mampu melawan, karena lemah, semata karena menghargai Bhaskara juga Amelia yang selalu membesarkan hatinya juga menolongnya di saat tersulit dalam hidup. Juga demi adik harus dia biayai.

Sementara itu di restoran, Bima terkejut bukan main. Bagaimana bisa perempuan yang selama ini dia tindas dan hina-hina, kini melawan dengan ancaman yang membuatnya merinding. Biasanya Marina selalu diam atau mengalah setiap kali dia menghina atau mengejek cara berpakaiannya. Bima masih terbayang wajah tegas Marina, juga tatapan marahnya yang baru pertama dia tunjukan. Perempuan itu biasanya hanya menunduk takut atau pergi meninggalkannya saat dia hina. Kini, Marina sudah mengibarkan bendera perang.

Bima meraih kopi di meja dan menyesapnya pelan. Dia mengatur napas dan menyandarkan punggung di sandaran kursi. Kepala menggeleng tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

"Perempuan gila! Ternyata si udik itu juga gila!!" katanya dengan tangan mengepal kesal. Dia mengutuk dirinya sendiri, bisa-bisanya dia hanya diam saat Marina balik mengejeknya.

"Aku akan membuat perhitungan denganmu udik!"

***

Hari-hari berlalu. Marina tengah berkutat di depan laptopnya. Perempuan cantik dengan kacamata bertengger di hidung mancungnya itu terkejut saat seseorang tiba-tiba menggebrak mejanya dengan kencang.

Marina mendongak dan mendapati wajah marah Bima tengah menatapnya begitu tajam. " Apa yang kau katakan pada Ayah?!" tanyanya dengan wajah merah padam juga napas terengah, siap menyemburkan kata-kata pedas pada perempuan di depannya.

"Apa maksud Anda Pak?" Seperti biasa, Marina menghadapi Bima dengan tenang. Dia juga tidak tahu alasan kenapa laki-laki arogan itu mendatanginya dengan wajah menahan amarah.

"Jangan munafik! Kau menghasut Ayah untuk membekukan semua asetku, karena aku menolak untuk menikahimu ' kan?!!" tuduh Bima berapi-api.

Dia harus menanggung malu, karena semua rekeningnya diblokir di saat dia tengah jalan bersama kekasih barunya. Bima yang marah menyimpulkan bahwa semua itu, karena Marina yang pasti mengadu pada Ayahnya perihal pertemuan mereka beberapa waktu lalu.

"Jadi semua aset juga kartu kredit Anda sudah di bekukan?" tanya Marina menyeringai puas.

"Kau?!" Bima tentu saja semakin marah, karena dengan terang-terangan Marina menertawakannya.

"Kenapa?" Marina kembali memusatkan padangan pada layar laptop di depannya. Tanpa menatap wajah Bima, dia berkata, "Bagaimana rasanya di permalukan? Apa teman kencan Anda marah dan meminta putus?"

Bima semakin geram, Marina mengoloknya dengan sangat pandai. Dia berjalan menghampiri Marina dan menyentak tangan perempuan berkacamata itu hingga Marina berjengit berdiri. Wajah keduanya bertemu sangat dekat, bahkan badan mereka saling menempel. Dengan tatapan penuh amarah dan mengintimidasi, Bima berkata, "Jangan bermain-main denganku perempuan udik! Kau akan menyesal telah membuatku malu."

Bukannya takut, Marina malah menyeringai mengejek. "Kita bahkan belum memulai permainannya Tuan muda."

Bima semakin geram. Bukannya takut atau terintimidasi, Marina malah membalasnya dengan pongah. "Kau akan menyesali semuanya!" ujarnya masih mengancam.

"Kita lihat siapa yang akan menyesal nanti," balas Marina. Dengan berani perempuan itu semakin mendekatkan wajahnya pada Bima dan berbisik mengejek. "Kedipkan matamu Tuan muda. Semua ini masih belum menjadi milikmu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status