Share

3. Persiapan pernikahan?

3.

Wajah Bima semakin merah padam. Harga dirinya jatuh berkeping. Bagaimana bisa matanya tak berkedip menatap dua tonjolan besar di dada Marina.

Marina mendorong tubuh besar Bima yang menempel padanya. Dia menatap Bima yang melongo dengan tatapan mengejek. "Puas melihat apa yang sering kau hina?" katanya seraya kembali duduk di kursi.

Sesaat Bima linglung, saat sadar dia meneguk saliva kasar, dan mengutuk dirinya sendiri, karena dengan tololnya matanya malah fokus pada dada Marina juga bibir ranumnya."Sialan! Mati saja kau Bima!" rutuknya dalam hati.

"Jangan geer! Kau bukan tipeku" kilahnya menutupi kegugupan. "Bicara pada Ayah dan pastikan dia membuka kembali blokiran semua kartuku," perintahnya.

Marina hanya diam, enggan meladeni Bima dan terus berusaha memfokuskan diri pada pekerjaan.

"Aku sedang bicara denganmu!" geram Bima. "Dengar! Aku sudah memberimu uang. Lakukan tugasmu dengan benar."

Kesal, karena Marina bergeming tak menjawab. "Dasar perempuan udik! Kau memang menyebalkan!" katanya sebelum berlalu pergi dalam kecanggungan.

Sebelum pintu lift tertutup, Bima kembali menatap Marina yang tak bergeming di tempatnya. Perempuan itu bahkan tak menoleh saat dirinya pergi. "Apa yang kau pikirkan Bima! Berhenti memikirkan hal kotor brengsek!" umpatnya pada diri sendiri.

Setelah lift yang membawa Bima tertutup. Marina terlihat menghembuskan napas kasar, Marina menyandarkan punggungnya lesu.

"Pertunjukan yang menarik! Kalian terlihat cocok." Sebuah suara membuat Marina berjengit dan menoleh.

Sabian Mahesa, kakak Bima, berdiri tak jauh dari meja Marina. Dia tersenyum geli mengingat bagaimana tadi Marina menggoda adiknya. "Kamu ternyata bisa nakal juga," komentarnya.

"Pak?!!" Marina sedikit memekik kesal karena di ledek atasannya.

Bian melengos menuju ruang Bhaskara dan Marina menggerutu malu, karena ternyata dari tadi Bian melihat semua yang terjadi antara dia dan Bima.

***

Pukul 7 malam, Marina baru keluar dari gedung tempatnya bekerja. Hari sudah sangat melelahkan baginya ditambah harus melihat sosok menyebalkan yang berdiri di depan mobilnya dengan angkuh.

Bima menunggu Marina keluar sejak dari sore. Dia tak berani menemui Bhaskara, karena tahu akan sia-sia. Setiap kali ayahnya itu berkehendak maka tidak akan pernah bisa diganggu gugat. Begitu juga perjodohannya dengan si sekretaris udik. Itulah kenapa Bima meminta Marina yang menolak perjodohan itu. Namun ternyata, bukannya menolak perempuan itu malah menantangnya dengan menerima perjodohan. Tanpa Bima tahu, kalau Marina sebenarnya sudha menolak dengan keras perjodohan tersebut.

Bima melambaikan tangannya meminta Marina mendekat. Namun Marina melengos memilih meninggalkan Bima. Untuk taxi online yang dinpesannya sudah datang dan dia bisa segera pergi.

"Heh!!? Mau kemana kau? Jangan kabur!" Bima menyentak tangan Marina yang akan memasuki taxi online pesanannya. Dan meminta supir pergi setelah membayar.

"Lepas!" sentak Marina kesal juga kesakitan, karena cekalan Bima di lengannya cukup kuat.

"Mau kemana hah?!" Bima menyeringai puas.

"Pulang! Aku bukan pengangguran yang kerjaannya hanya keluyuran tidak jelas!" sindir Marina.

Bima tergelak dalam kekesalan. Marina ternyata benar-benar telah berani melawannya. "Ohh! Ruapanya itik buruk rupa ini sudah berani melawan. Kau sudah bosan hidup ruapanya." Bima terkekeh mengejek. "Berani melawanku? Maka bersiap kembali menjadi gembel!"

Marina tak gentar. Dia kembali menyentak tangganya dan kali berhasil. Dengan tatapan tajam Marina berkata, "Berhenti meremehkanku, aku sudah tidak peduli andai harus keluar dari perusahaan. Tapi aku sudah tidak bisa membiarkanmu terus menghinaku! Kau dan mulut tajammu harus menerima akibat karena terlalu sering menghina orang!"

Bugh

Entah kekuatan dan keberanian darimana, Marina meninju mulut Bima, sampai lelaki tinggi besar itu terhuyung hampir terjatuh.

"Kau dan mulut cabemu pantas mendapatkannya!" kata Marina.

Bima yang tak menduga kalau Marina akan menyerangnya tentu saja terkejut. Selama 30 tahun hidupnya, tidak ada yang pernah memukulnya apalagi dibagian wajah. Dan Marina satu-satunya perempuan yang berani melakukannya. Wajah Bima merah padam, dia kembali menyentak tangan Marina yang akan meninggalkannya. "Perempuan gila! Kau baru saja memukulku?! Beraninya kau! Kau perempuan--"

"Hentikan!" Belum selesai Bima bicara, sebuah suara menghentikannya dan kedua manusia beda gender itu langsung menoleh saat mengenal suara yang tak asing bagi mereka.

Bhaskara berdiri dengan mata menatap Bima begitu tajam. "Apa yang kau lakukan Bima?" tanyanya dengan wajah garang. Bima menelan saliva kasar. Tamat sudah riwayatnya. Semua sudah selesai!

"Rin, kamu tidak apa-apa Nak?" Bhaskara beralih pada sekretaris sekaligus anak angkatnya. Dia meraih tangan Marina, menjauhkannya dari Bima.

"Saya tidak apa-apa Pak. Maaf, saya sudah lancang memukul putra Bapak," kata Marina dengan sangat menyesal. Dia tak berniat memukul Bima, tapi karena lelaki itu terus saja menghinanya bahkan mengancam, Marina jadi hilang kesabaran.

"Dia sengaja Pi, dia dendam karena Bima menolak menikahinya!" adu Bima.

Tentu saja Bhaskara tak percaya putranya. Sedari awal dia menyaksikan bagaimana Bima mengolok dan menghina Marina. Jadi, wajar kalau perempuan itu melawan. Dan Bhaskara tak marah pada Marina, dia justru bersyukur, karena ada yang berani melawan Bima selain dirinya dan sang istri.

"Kamu pulang sama saya Rin," kata Bhaskara. Lelaki paruh baya yang masih tampak gagah dan tampan di usianya yang menginjak 60 itu, meninggalkan putranya tanpa menggubris protesnya sama sekali.

Marina tersenyum puas menatap Bima. "Rasakan!" katanya tanpa suara.

Bima semakin geram melihat marina di atas angin karena dibela Bhaskara. "Awas kau upik abu! Aku akan membalasmu!" tekadnya mengepalkan tangan.

"Pulang sekarang juga, kalau kamu mau semua asetmu kembali!" kata Bhaskara pada Bima sebelum pergi.

Mata Bima mendelik lebar, tak menyangka kalau Bhaskara akan luluh secepat ini. Padahal biasanya asetnya akan di sita selama beberapa minggu.

Bima bersorak riang dan segera mengikuti mobil Bhaskara.

"Pak saya mau pulang," ucap Marina saat menyadari Bhaskara tak mengantarkannya pulang, tapi membawanya ke rumahnya.

"Malam ini kami nginep di rumah. Mami merindukanmu," balas Bhaskara. Mereka sudah sampai dan Bhaskara memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu masuk.

Amelia sudah menunggu mereka dengan wajah berbunga. Sementara Bima menggerutu. "Kenapa Papi bawa perempuan itu pulang sih?! Pasti ada yang gak beres nih," tebaknya dengan hati resah.

"Rinaaa, putriku." Amelia langsung memeluk Marina yang baru keluar dari mobil dengan sangat erat. "Akhirnya kamu datang juga. Ibu nungguin dari tadi loh," lanjut Amelia senang.

Marina membalas dengan memuji kecantikan ibu angkat sekaligus bosnya tersebut. Namun perhatiannya tersisihkan saat melihat adiknya, Bayu ada di rumah itu juga.

"Bayu, kamu di sini?" tanyanya heran.

Adik Marina, Bayu Samudra mengangguk dan tersenyum pada kakaknya juga Bhaskara.

Bima yang baru keluar dari mobil mengernyikatkan kening melihat banyak orang berlalu lalang di rumahnya. Dia menghampiri Amelia dan menjauhkan Ibunya itu dari Marina. "Jangan dekat-dekat!" katanya pada Marina dengan galak. Kekanakan sekali memang!

Amelia menyikut perut Bima, hingga si bungsu dua bersaudara itu mengaduh. "Jangan ganggu putriku!" kata Amelia lebih galak.

Begitulah perlakuan Amelia kepada Bima setiap kali lelaki tampan itu menganggu Marina. Jadi, bagaimana Bima tidak kesal pada Marina yang merebut semua perhatian Bhaskara juga Amelia.

"Mi, ini ada apa sih? Kok rame?" tanya Bima penasaran, begitu juga dengan Marina yang merasa perwakilan oleh Bima.

"Oh, ini persiapan buat pernikahan kalian besok," jawab Amelia santai.

"Apa?!!" Marina dan Bima terkejut bukan main.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status