Share

"Sah!"

4.

"Apa?!!" Pekikan terkejut terdengar dari mulut Marina juga Bima bersamaan. Siapa yang tidak kaget kalau ditembak menikah seperti itu.

"Mi, jangan bercanda!" Bima menyusul Amelia dan Bhaskara yang sudah melenggang masuk dengan menyeret Marina ikut masuk.

"Pi, apa-apaan ini? Gak bisa, Bima gak mau menikah dengan perempuan ini!" pekikan Bima benar-benar tak dihiraukan oleh kedua orang tuanya.

Sementara Marina pasrah saat kedua pasangan paruh baya nan energik itu menyeretnya masuk kedalam rumah yang sudah di hias sederhana namun tampak cantik dan berkelas.

Bhaskara sibuk menyalami keluarganya yang sudah datang dan Amelia membawa Marina ke kamar. Bima semakin tercengang melihat kondisi rumahnya yang sudah di sulap bak kebun bunga.

Dia memijit kepalanya yang terasa nyeri. Tak menyangka kalau ancaman Bhaskara beberapa waktu lalu yang mengatakan kalau dirinya kan menikah minggu ini adalah benar.

Bima meraih lengan Bhaskara dan meminta penjelasan pada sanga ayah tentang apa yang terjadi. "Apa semua ini Pi?" tanyanya.

"Kamu gak punya mata? Ini dekor untuk pernikahn besok. Lihat, nama kamu sama Marina di sana." Bhaskara menunjuk sebuah papan besar yang di hias sangat cantik dengan namanya juga Marina ditengahnya.

"Kalian menikah besok," lanjut Bhaskara.

Bima menggelengkan kepala tak percaya, ternyata rencana perjodohan antara dirinya dan Marina bukan main-main. Orang tuanya benar-benar akan membuatnya menikahi perempuan udik itu.

"Tapi Pi, aku gak cinta sama dia," protes Bima.

"Alah! Cinta bisa datang belakangan, dalam waktu seminggu aja kamu sudah pasti jatuh cinta sama Rina. Dia peremouan yang sangat cocok dan terbaik untukmu Bim," balas Bhaskara enteng. "Yang penting sekarang, Papi mau kamu menikah dengan Rina dan bahagiakan dia.'

Bima menggeram kesal. "Pi, Bima gak bisa! Kenapa sih kalian maksa?" tanya Bima frustrasi.

"Kamu mau semua aset juga kartu kreditmu kembali bukan?" Bima mengangguk.

"Menikah dengan Rina, dan semua asetnu kembali," tegas Bhaskara. Laki-laki paruh baya itu berlalu dan menutup telinga akan protestan putra bungsunya.

Bima menatap kepergian Bagaskara dengan nanar. Dia tak percaya kalau dirinya akan dipaksan menikah seprti ini. "Sebenarnya anak mereka itu siapa? Aku atau itik buruk rupa itu?!" pekik Bima kesal. Dia mengacak rambutnya karena terlalu kesal.

"Ya Rinalah! Lo tuh cuma anak pungut!" Sebuah suara menjawab. Bima menoleh dengan wajah kesalnya.

"Jangan mengejekku!" amuk Bima.

Bian tertawa puasa melihat bagaiman adiknya tampak frustrasi. "Aku senang akhirnya kamu menikah juga dek," ucapnya sarat ejekan. "Baik-baik sama Rina. Dia pemegang hidupmu," tutupnya dengan tawa yang sangat renyah.

"Argghhhhh!" Bima yang kesal berlari ke kamarnya dan menutup pintunya dengan sangat kencang. "Sialan!!"

***

Marina telah selesai dirias. Perempuan berkacamata itu tampak begitu memukau dan manglingi. Amelia sampai berkali-kali memuji calon menantunya itu.

"Mami rasanya gak rela kamu nikah Nak," kekeh Amelia dengan suara parau. Perempuan paruh baya itu menahan tangis. "Kamu cantik sekali."

Sarah, istri Bian mendelik sebal mendengar mertuanya terus-terusan memuji calon menantunya itu.

"Sebenarnya siapa anak Mami? Bima atau dia?" tanya Sarah ketus. Dia tak habis pikir, kedua mertuanya begitu mengagumi dan menyayangi Marina. Sedangkan Bima yang dari semalam protes berulang kali tak mereka hiraukan. Siapa sebenarnya anak mereka? Bukankah putra mereka adalah Bima?

Amelia menoleh dan tersenyum. Dia sudah terbiasa dengan keketusan menantunya itu. Sarah akan langsung menunjukkan ketidak sukaannya pada sesuatu meskipun itu berkaitan dengan keluarga suaminya. Dia perempuan berani.

"Rina sudah seperti putri Mami Sar, sayangi dia. Dia akan menjadi adik iparmu," jawab Amelia

Marina merasa tak enak karena lagi-lagi Amelia selalu membelanya. Dia melirik takut pada Sarah yang ternyata tengah menatapnya penuh kesinisan. Dia tahu sejak dulu Sarah tidak menyukainya. Sarah selalu menjaga jarak darinya. Mungkin karena dia hanyalah seorang perempuan miskin yang berhasil menjadi sekretaris dengan belas kasihan Amelia juga Bhaskara. Tak seprti Sarah yang merupakan seorang desainer terkenal dan orang tuanya adalah pengusaha juga pejabat negara.

"Terserah Mami deh. Tapi jangan berlebihan Mi, kasihan Bima. Berulang kali dia menolak dan kalian tetap memaksa," kata Sarah lagi.

"Ini demi kebaikannya," jawab Amelia yakin. Dia mengelus lengan menantunya dengan lembut. Tak lama pintu kamar terbuka. Bayu berada di sana untuk menemui kakaknya.

"Bayu? Masuk Nak." Amelia memberi ruang untuk kakak beradik itu. Dia dan Sarah keluar dan membiarkan keduanya berbicara.

Marina tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Bayu agar mendekat. Keduanya berpelukan dengan haru.

"Maafkan Bayu Kak." Suara Bayu terdengar parau.

Marina berusaha tersenyum di depan adiknya. Dia menggeleng dan memegang tangan Bayu erat. "Kakak baik-baik saja. Ini semua demi kita Bay."

Bayu kembali memeluk kakaknya. "Andai Bayu bisa melindungi kakak, kakak tidak harus menikah seperti ini," isak Bayu. Tangis yang sedari tadi sudah berada di ujung pun akhirnya tumpah. Keduanya terisak saling mendekap.

"Kakak baik-baik saja Bay. Setelah ini kita akan ada yang melindungi. Kita tidak akan sendiri lagi Bay. Dan mereka tidak akan berani menganggu kita lagi." Marina terisak.

"Maafkan Bayu Kak, maaf kakak harus banyak berkorban demi Bayu."

Marina kembali menggeleng. "Bukan demi kamu Bay, tapi demi diri kakak sendiri. Kalaulah incaran mereka dan kamu yang selalu mendapat imbasnya. Maafkan kakak Bay." Keduanya larut dalam tangis sampai Bayu dipanggil untuk segera bersiap, karena pernikahan akan segera dilaksanakan.

***

"Sah!"

Untaian kalimat syukur terdengar melantun dari semua tamu undangan yang hadir. Bima telah resmi memperistri Marina. Keduanya telah resmi disatukan dalam sebuah ikatan sakral bernama pernikahan.

Marina tampak menunduk. Perempuan yang terlihat semakin cantik tanpa kacamata itu tak mampu menahan tangis saat ijab kabul telah selesai. Dia merasa bahagia juga sedih dalam waktu bersamaan. Bahagia karena dia terlepas dari kewaspadaan juga ketakutan. Dan sedih karena harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tak pernah dia bayangkan.

Bima menyematkan sebuah cincin berlian yang telah disiapkan oleh Amelia dengan wajah datar tanpa ekspresi. Tak terlihat dia bahagia atau sedih. Wajahnya terlampau datar.

Sedangkan Bhaskara dan Amelia menangis haru, akhirnya putra bungsu mereka menikah. Mereka saling merangkul dalam kebahagiaan.

"Selamat Pi, Mi, mimpi kalian menjadikan Rina putri kalian terkabul," ucap Bian mendekati kedua orang tuanya.

Amelia dan Bhaskara terkekeh dan membawa Bian masuk dalam rangkulan mereka. Kebahagiaan terpancar nyata dari wajah ketiganya. Begitu juga dengan Bayu, pemuda tampan berusia 17 tahun itu menangis terharu. Saudari satu-satunya akhirnya menikah. Meskipun dia tidak tahu akan seprti apa masa depan pernikahan Marina, tapi setidaknya dia bisa lega, karena Marina mempunyai mertua seperti Bhaskara dan Amelia yang menyayangi kakaknya seperti anak sendiri.

"Sekarang pengantin pria dipersilahkan untuk mencium kening pengantin wanita," ucap penghulu dengan kekehan yang diikuti tamu lainnya setelah Bima dan Marina selesai saling menyematkan cincin pernikahan.

Bima dan Marina saling melirik canggung. Mana mungkin mereka melakukan semua itu, apalagi disaksikan oleh banyak pasang mata.

"Tidak usah malu-malu. Biasanya juga langsung main sosor." Penghulu tidak tahu kalau pernikahan keduanya bukanlah pernikahan yang lahir dari sebuah kisah cinta, melainkan kerana keterpaksaan.

Dengan berat hati, Bima mendekatkan wajahnya dan mencium kening Marina. Jepretan kamera berhasil memotret momen tersebut dengan sangat epik.

Acara selanjutnya sungkeman. Bima dan Marina bersiap meminta restu dari Bhaskara dan Amelia juga Bayu yang mewakili kedua orang tua Marina yang telah tiada.

Suasana begitu haru, sampai sebuah suara menginterupsi dan membuat para tamu tercengang.

"Hentikan pernikahan ini!!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status