Dewi tampak kesal mendengar jawaban Lintar. "Jadi selama ini kamu keberatan jika aku membelikan sesuatu?" tanya Dewi sedikit marah. Meskipun demikian, Lintar hanya tersenyum tangan kirinya ia angkat, kemudian diletakkan di pundak Dewi. Perlahan, posisi kepala Dewi bersandar di bahunya. "Percayalah, bukan aku menolak pemberian dari kamu, aku harap kamu tidak tersinggung. Alangkah baiknya uangnya kamu simpan saja, untuk bekal kita nanti kalau sudah berumah tangga!" ujar Lintar penuh dengan kelembutan. Dewi pun kembali tersenyum dan berkata, "Kau ini seorang pria baik, tidak seperti pria lain yang selama ini aku kenal." "Kan, aku ini mau berubah. Aku yakin bahwa kamu bisa membuat aku semakin dewasa dan menjadi seorang pria yang baik dan bertanggung jawab," desis Lintar kembali fokus pada kemudinya. "Ya sudah. Kalau tidak mau tidak apa-apa, tapi nanti pulang dari Bogor kita mampir di mall, yah." "Iya, Sayang," jawab Lintar tersenyum. * * * Dua jam kemudian, mereka sudah tiba di hal
Setelah mendapatkan perawatan, Lintar mengajak Dewi untuk bersantai sejenak di sebuah tempat yang tidak jauh dari klinik tersebut. Meskipun saat itu Dewi meminta agar Langsung pulang, namun Lintar lebih memilih untuk mengajak kekasihnya itu bersantai sejenak. Baru sekitar pukul satu siang, selepas menjalankan Shalat Dzuhur di Masjid yang ada di tempat tersebut, Lintar dan Dewi sudah bersiap untuk segera pulang. Namun, sebelum pulang mereka menyempatkan diri membeli makanan ringan untuk oleh-oleh. "Untuk Dani kira-kira kita belikan apa?" tanya Dewi menatap wajah Lintar. "Apa saja, terserah kamu! Dani makanan apa saja mau, kok. "Ya, sudah ... kamu tunggu dulu yah." "Iya, Sayang." Dengan demikian, Dewi langsung masuk ke dalam kios tempat berjualan makanan ringan yang merupakan oleh-oleh khas daerah Bogor dan Cianjur. Lintar pun kemudian menghampiri Dewi. "Sudah selesai belanjanya?" tanya Lintar. "Sudah," jawab Dewi lirih. "Banyak banget belanjanya?" tanya Lintar mengamati belanja
Lintar tidak langsung menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu, terlebih dahulu ia berpaling ke arah Dewi, wanita cantik itu terdiam dan menunduk setelah mendengar perkataan Dani. Dewi seolah merasa cemburu karena Dani berbicara dengan Lintar, menyebut nama Melda. 'Siapa Melda? Apakah dia teman dekat Lintar dan Dani?' kata Dewi dalam hati. Meski demikian, Dewi masih tetap diam dan tidak menampakkan sikap curiga terhadap kekasihnya itu. "Jadi, Dan," jawab Lintar. Lalu berpaling ke arah Dewi. "Kamu ikut ya, Sayang!" pinta Lintar pada kekasihnya. "Aku tidak enak, 'kan aku tidak diundang sama Melda," jawab Dewi lirih. "Ikut saja!" timpal Dani. "Lagipula, bukan acara khusus, kok" sambungnya. Dewi terdiam sejenak seakan-akan tengah mempertimbangkan ajakan Dani. Lantas, ia berkata, "Takutnya nanti kehadiranku malah mengganggu acara kalian." "Ya, Allah! Sampai segitunya ... kamu ikut saja!" Dani sedikit memaksa agar Dewi ikut ke rumah Melda. "Iya, Wi. Kamu ikut saja, aku mau memperkenal
Menjelang waktu isya, Dewi sudah tiba di kediaman Lintar. Malam itu, Dewi hendak ikut dengan Lintar dan Dani yang sengaja mengajak Dewi untuk ikut ke rumah Melda. Entah apa maksud Melda meminta Lintar dan Dani datang ke rumahnya? Turun dari mobil, Dewi langsung melangkah menuju beranda rumah. Ia berdiri di depan pintu. "Tok! Tok! Tok! Assalamu'alaikum," ucap Dewi lirih. Lintar bangkit dan langsung menyahut, "Waalaikumsalam." Lintar membuka pintu dan menyambut hangat kedatangan wanita pujaan hatinya. Dengan sikap ramah, Dewi langsung meraih tangan Lintar, kemudian menciumnya penuh rasa cinta. "Silakan masuk, Wi!" "Iya, Sayang," jawab Dewi langsung melangkah mengikuti Lintar masuk ke dalam rumah. "Mau berangkat jam berapa ke rumah teman kamu?" tanya Dewi duduk berdampingan dengan Lintar. Tangannya melingkar di pinggang pria tampan itu. "Bagaimana Dani saja, tadi aku SMS belum balas juga," jawab Lintar mencium kening Dewi yang bersandar di bahunya. Dewi hanya tersenyum sambil mele
Mereka kemudian langsung berbincang santai menikmati kebersamaan mereka malam itu. Sesaat kemudian, Melda meluruskan pandangannya ke Dewi. "Maaf ya, Wi. Aku mau bicara sebentar dengan Lintar," kata Melda meminta izin kepada Dewi untuk mengajak Lintar berbicara empat mata dengannya. Dengan sikap ramah, Dewi mengizinkan Melda berbicara dengan Lintar. "Iya, silakan, Mel!" jawab Dewi tersenyum lebar. 'Melda mau ngapain ngajak Lintar bicara dengannya di tempat lain?' batin Dani. Dani terus memperhatikan sikap Melda, ia paham bahwa dalam diri Melda ada rasa kesal dan kecewa terhadap Lintar dan Dewi, namun Melda sangat pandai menyembunyikan perasaannya itu. Sehingga, Lintar dan Dewi tidak mengetahuinya. Melda berpaling ke arah Dani. "Kamu temani Dewi dulu ya, Dan! Aku mau bicara penting dengan Lintar," kata Melda lirih. "Iya, Mel," jawab Dani tersenyum sambil menganggukkan kepala. Lalu Melda bangkit dari duduknya dan langsung mengajak Lintar untuk masuk ke dalam rumah. "Ayo, Tar. Kita
Dani tampak semringah mendengar pernyataan dari Lintar. "Yakin ... kamu akan sungguh-sungguh?" tanya Dani lagi, dua bola matanya menatap tajam wajah Lintar, seakan-akan ia ragu dengan sikap Lintar. Lintar menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab, "Aku sangat yakin bahwa Dewi adalah bidadari yang dapat merubah kehidupanku. Jujur saja semenjak aku mengenal dia, hidupku seakan-akan berwarna. Kamu lihat saja perubahan dalam diriku! Aku lebih semangat, 'kan?" tandas Lintar sambil tersenyum-senyum. "Bagaimana dengan Eva dan juga dengan Melda? Apakah kamu sudah menjelaskan tentang hubungan kamu dengan Dewi kepada mereka?" "Kalau sama Eva, aku belum memberitahukan tentang hubunganku dengan Dewi. Eva sudah tidak ada lagi di sini," jawab Lintar. "Kalau sama Melda aku sudah menjelaskan semuanya, sepertinya Melda menerima keputusanku itu," tambah Lintar. "Ya, syukurlah kalau seperti itu!" desis Dani tampak bahagia melihat kebahagiaan Lintar—sahabat baiknya. Lintar kemudian bangkit. "Kamu tung
Tampak Bu Ira sudah berdiri di depan pintu sambil memegang piring yang berisi beberapa potong kue. "Bu Ira, ada apa, Bu?" tanya Lintar bersikap ramah. "Ini ada kue buat sarapan kamu," jawab Bu Ira tersenyum-senyum. "Kamu belum sarapan, 'kan?" tanya wanita paruh baya itu menambahkan. "Belum, Bu. Saya kesiangan bangun," jawab Lintar. "Tidak Salat Subuh dong?" "Tidak, Bu. Saya kebablasan bangunnya," jawab Lintar cengengesan. "Ha ... payah kamu!" hardik Bu Ira sambil menyerahkan makanan dalam piring plastik kepada Lintar. "Ini Ibu punya kue untuk kamu!" "Ya, Allah, Ibu. Setiap hari saya selalu merepotkan Ibu," kata Lintar sembari meraih piring tersebut dari tangan wanita paruh baya yang merupakan tetangga dekatnya itu. Bu Ira selama ini sudah menganggap Lintar sebagai anaknya sendiri. "Tidak merepotkan, kok. Tapi yang repot itu hidup kamu, selalu terlambat bangun pagi," jawab Bu Ira tertawa kecil. "Iya, Bu. Kebiasaan lama kambuh lagi." "Jangan dibiasakan Lintar! Sebentar lagi ka
Setibanya di tempat kerja, Lintar langsung disambut hangat oleh salah seorang staf wanita yang bekerja di kantor tersebut. "Mas Lintar!" ucap wanita cantik berkulit putih tersenyum lebar memandang Lintar. Senyuman manisnya menampakkan baris giginya yang putih tampak rapi dengan lesung pipi indah menghias wajahnya. Dia adalah Lusi staf wanita paling cantik di kantor tersebut yang diam-diam menyukai Lintar. "Iya, Lusi." Lintar menyahut dan balas melontar senyum. "Selamat pagi, Mas Lintar. Tumben datangnya telat?" tanya Lusi tak henti-hentinya melontarkan senyuman kepada Lintar pria tampan yang dikaguminya. "Pagi juga, Ida. Iya, nih Mas Lintar tadi ada urusan sebentar," jawab Lintar tersenyum kembali sambil mengedipkan mata ke arah Lusi. Kemudian salah seorang staf pria ikut angkat bicara, "Cie ... cie ... Mas Lintar, keren!" "Iya, dong dari lahir. Kamu baru tahu, Ful?" Iful hanya tertawa lepas menanggapi perkataan dari Lintar. Setelah itu, Lintar kembali melanjutkan langkah menu