Share

8. Tumbuhnya Perasaan Cinta di Antara Mereka

Dengan gerakan cepat, Lintar langsung berlari menghampiri kedua pria tersebut. Tanpa basa-basi, Lintar langsung menghujamkan dua pukulan keras mengenai wajah dua pria itu, sehingga mereka terjatuh dengan mulut mengeluarkan darah segar, akibat hantaman tinju keras dari Lintar.

"Kurang ajar! Siapa kau?" bentak salah seorang di antar kedua pria itu, tampak kesal dengan kehadiran Lintar.

Tampang mereka terlihat sangar, berkulit hitam legam dan wajahnya dipenuhi banyak bekas luka. Sepertinya, mereka adalah para preman di tempat tersebut. Dari tampang mereka sudah jelas tergambar, bahwa mereka merupakan orang-orang yang lekat dengan kekerasan.

"Aku tidak pernah menghendaki adanya perkelahian. Namun, kalianlah yang telah memulainya," kata Lintar berusaha untuk tetap tenang dalam menghadapi kedua pria itu.

"Jangan banyak bicara! Hadapi saja aku!" tantang salah satu dari mereka bangkit dan langsung memburu Lintar dengan mengayunkan tangan hendak memukul ke bagian wajah Lintar.

Lintar bukanlah seorang pemuda yang gampang untuk mengalah. Dengan segenap keberanian yang ia miliki, Lintar langsung melayani keagresifan pria bertubuh kekar itu.

Sedikit pun, Lintar tidak merasa gentar.

Satu pukulan kembali ia layangkan tepat mengenai mulut pria itu, sehingga pria sombong yang bertubuh kekar berotot itu, terjatuh hanya dengan satu kali sentuhan.

"Ayo, kau maju!" tantang Lintar mengarah kepada pria yang satunya lagi.

Pria itu enggan untuk maju, tampaknya ia sudah merasa jera duluan ketika melihat kawannya tersungkur.

"Kita harus lari dari tempat ini, kita akan mati kalau terus melawannya!" bisik pria itu mengarah kepada kawannya yang baru saja bangkit setelah terjatuh dihajar oleh Lintar.

Demikianlah, mereka pun akhirnya menyerah, dan berlalu dari hadapan Lintar. Kedua orang itu tampak ketakutan dan terus menjauh tanpa menoleh sedikit pun ke arah Lintar.

"Alhamdulillah," ucap Lintar menghela napas dalam-dalam.

Wanita itu tersenyum bangga melihat keberanian Lintar. 'Wajahnya tampan dan pemberani,' ucapnya dalam hati.

"Kamu tidak apa-apa, Mbak?" tanya Lintar.

"Alhamdulillah, tidak apa-apa, Mas," jawabnya lirih. "Terima kasih, Mas. Sudah menolongku," sambung wanita itu tak hentinya memandang wajah Lintar.

"Iya, Mbak. Sama-sama," sahut Lintar tersenyum lebar.

"Kalau tahu mau ada kejadian seperti ini, tadi tuh aku minta antar Mas saja," ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Lintar. "Maaf, Mas. Tadi kita belum berkenalan," sambungnya dengan melontar senyuman manis.

Lintar balas tersenyum dan langsung meraih uluran tangan wanita tersebut.

"Namaku Dewi, aku dari Bandung dan baru satu tahun menetap di kota ini," kata wanita cantik itu.

Lintar segera meraih uluran tangan Dewi seraya berkata, "Aku Lintar."

Lintar tampak gugup, telapak tangannya terasa dingin menyentuh telapak tangan Dewi. Beda dengan sikap Dewi yang terlihat semringah ketika berjabat tangan dengan Lintar.

"Sebagai ucapan terima kasihku, bagaimana kalau aku ajak kamu makan siang. Mau, 'kan, Mas?" tanya Dewi penuh harap.

Lintar berusaha tenang untuk menyembunyikan rasa senangnya. Meskipun hal tersebut yang ia harapkan, Lintar tetap berusaha untuk menjaga perasaan sukanya terhadap Dewi, ia tidak lantas menerima tawaran tersebut.

"Maaf, Mbak. Tidak usah! Aku ikhlas, kok," jawab Lintar.

"Ya, Allah! Mas tidak boleh menolak rezeki, anggap saja ini adalah bentuk rasa terima kasihku kepada Mas!" kata Dewi sedikit memaksa.

"Tapi—"

"Sudahlah, Mas tidak usah menolak! Pokoknya Mas harus ikut aku!" ajak Dewi memotong kalimat yang belum selesai diucapkan oleh Lintar.

Dengan demikian, Lintar pun tak dapat menolak lagi permintaan Dewi. Ia hanya menganggukkan kepala dan langsung berjalan mengikuti langkah Dewi menuju ke arah mobil sedan mewah miliknya yang terparkir di deretan paling tengah.

Setelah berada di dekat mobilnya, Dewi langsung menyerahkan kunci mobil tersebut kepada Lintar.

"Sebaiknya, Mas yang bawa mobilnya, yah!" kata Dewi lirih. "Ini kuncinya!" tambah Dewi merasa percaya dan yakin kalau Lintar itu pria baik-baik.

Lintar hanya tersenyum sambil meraih kunci mobil dari tangan Dewi. "Mbak jangan panggil aku mas, yah! Panggil saja Lintar!" pinta Lintar.

"Iya, kamu juga sebaliknya. Panggil aku Dewi saja, biar lebih akrab lagi!" jawab Dewi.

Kemudian, mereka langsung masuk ke dalam mobil tersebut, dan Lintar pun segera melajukan mobil mewah itu keluar dari halaman parkir. Sedikit pun Dewi tak pernah merasa curiga terhadap Lintar yang baru ia kenal itu. Seolah Dewi yakin dan percaya, bahwa Lintar merupakan seorang pria baik dan bukan orang jahat.

Mobil yang dikemudikan Lintar melaju kencang menuju ke sebuah restoran yang berada di arah timur dari pusat perbelanjaan tersebut. Selama dalam perjalanan, ada banyak hal yang mereka perbincangkan.

Satu sama lain sudah mulai mengakrabkan diri mereka masing-masing, sehingga keduanya sudah tidak merasa canggung lagi. Lintar pun sudah mulai melakukan pendekatan dengan sikap ramah dan sopan, Lintar sudah tidak kaku lagi. Ia mulai berani bergurau dengan Dewi.

"Ternyata kamu humoris juga," ujar Dewi tertawa kecil menanggapi gurauan dari pria tampan itu.

"Seperti inilah aku, Wi," jawab Lintar lirih.

Dewi banyak bercerita tentang dirinya dan bisnis yang sedang ia jalankan. Diam-diam Lintar mulai ada rasa cinta dan sayang terhadap Dewi. Sesekali ia berpaling ke arah Dewi, begitu juga dengan Dewi menoleh dengan berjuta rasa kagum menyelimuti jiwa dan pikirannya kala itu.

'Ya, Allah! Semoga Lintar ini merupakan pria tampan yang kau kirim untuk menemani hari-hariku,' kata Dewi dalam hati.

Dewi sudah merasa yakin betul, jika Lintar itu merupakan makhluk spesial yang Tuhan kirim untuk menjadi teman baiknya. Bahkan lebih dari itu!

"Suami kamu kerja di mana, Wi?" tanya Lintar tanpa menoleh, ia fokus mengemudikan mobil.

"Suamiku sudah meninggal enam bulan yang lalu," jawab Dewi lirih.

"Innalilahi wa innailaihi raji'un," ucap Lintar. "Mohon maaf ya, Wi. Aku tidak tahu," sambungnya.

Dewi hanya tersenyum dan menganggukkan kepala pelan. Tidak terasa perbincangan keduanya sudah membawa mereka ke tempat tujuan—sebuah restoran mewah yang sengaja dipilih oleh Dewi.

Lintar langsung memasukkan mobil yang ia kemudikan ke area halaman parkir restoran tersebut yang berada di bahu jalan utama kota itu.

Mereka tampak bahagia, senyuman manis terus terlontar dari bibir indah wanita berparas cantik itu.

'Hanya ada satu kebahagiaan dalam hidup ini, mencintai dan dicintai. Jika Tuhan mentakdirkan Lintar menjadi pria spesial dalam kehidupanku, maka kuikhlaskan semuanya. Terlebih lagi jiga pria ini dapat menghalalkan aku.' Kata-kata itulah yang ada dalam benak Dewi saat itu.

Setelah mobil berhenti, Dewi langsung mengajak Lintar keluar dari mobil tersebut, "Ayo, kita keluar!" Dewi menatap wajah Lintar sambil melontarkan senyuman manisnya.

"Iya, Wi," jawab Lintar langsung keluar dari dalam mobil tersebut bersamaan dengan wanita cantik yang saat itu sudah membuatnya bahagia.

Tanpa terduga, Dewi meraih tangan Lintar dan menggandengnya sambil berkata, "Ayo, kita masuk!"

'Ya, Allah! Apakah ini yang dinamakan keberuntungan?' kata Lintar dalam hati.

Mereka langsung melangkah sambil bergandengan tangan. Seakan-akan, keduanya sudah saling mengenal lama.

"Romantis sekali, Mbak," ujar seorang pria yang baru keluar dari restoran itu.

"Romantis adalah kemewahan yang mengubah debu kehidupan sehari-hari menjadi kabut emas," jawab Dewi sambil terus menggandeng tangan Lintar melangkah masuk ke dalam restoran.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Mencintai dan dicintai
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status