Dengan gerakan cepat, Lintar langsung berlari menghampiri kedua pria tersebut. Tanpa basa-basi, Lintar langsung menghujamkan dua pukulan keras mengenai wajah dua pria itu, sehingga mereka terjatuh dengan mulut mengeluarkan darah segar, akibat hantaman tinju keras dari Lintar.
"Kurang ajar! Siapa kau?" bentak salah seorang di antar kedua pria itu, tampak kesal dengan kehadiran Lintar.
Tampang mereka terlihat sangar, berkulit hitam legam dan wajahnya dipenuhi banyak bekas luka. Sepertinya, mereka adalah para preman di tempat tersebut. Dari tampang mereka sudah jelas tergambar, bahwa mereka merupakan orang-orang yang lekat dengan kekerasan.
"Aku tidak pernah menghendaki adanya perkelahian. Namun, kalianlah yang telah memulainya," kata Lintar berusaha untuk tetap tenang dalam menghadapi kedua pria itu.
"Jangan banyak bicara! Hadapi saja aku!" tantang salah satu dari mereka bangkit dan langsung memburu Lintar dengan mengayunkan tangan hendak memukul ke bagian wajah Lintar.
Lintar bukanlah seorang pemuda yang gampang untuk mengalah. Dengan segenap keberanian yang ia miliki, Lintar langsung melayani keagresifan pria bertubuh kekar itu.
Sedikit pun, Lintar tidak merasa gentar.
Satu pukulan kembali ia layangkan tepat mengenai mulut pria itu, sehingga pria sombong yang bertubuh kekar berotot itu, terjatuh hanya dengan satu kali sentuhan.
"Ayo, kau maju!" tantang Lintar mengarah kepada pria yang satunya lagi.
Pria itu enggan untuk maju, tampaknya ia sudah merasa jera duluan ketika melihat kawannya tersungkur.
"Kita harus lari dari tempat ini, kita akan mati kalau terus melawannya!" bisik pria itu mengarah kepada kawannya yang baru saja bangkit setelah terjatuh dihajar oleh Lintar.
Demikianlah, mereka pun akhirnya menyerah, dan berlalu dari hadapan Lintar. Kedua orang itu tampak ketakutan dan terus menjauh tanpa menoleh sedikit pun ke arah Lintar.
"Alhamdulillah," ucap Lintar menghela napas dalam-dalam.
Wanita itu tersenyum bangga melihat keberanian Lintar. 'Wajahnya tampan dan pemberani,' ucapnya dalam hati.
"Kamu tidak apa-apa, Mbak?" tanya Lintar.
"Alhamdulillah, tidak apa-apa, Mas," jawabnya lirih. "Terima kasih, Mas. Sudah menolongku," sambung wanita itu tak hentinya memandang wajah Lintar.
"Iya, Mbak. Sama-sama," sahut Lintar tersenyum lebar.
"Kalau tahu mau ada kejadian seperti ini, tadi tuh aku minta antar Mas saja," ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Lintar. "Maaf, Mas. Tadi kita belum berkenalan," sambungnya dengan melontar senyuman manis.
Lintar balas tersenyum dan langsung meraih uluran tangan wanita tersebut.
"Namaku Dewi, aku dari Bandung dan baru satu tahun menetap di kota ini," kata wanita cantik itu.
Lintar segera meraih uluran tangan Dewi seraya berkata, "Aku Lintar."
Lintar tampak gugup, telapak tangannya terasa dingin menyentuh telapak tangan Dewi. Beda dengan sikap Dewi yang terlihat semringah ketika berjabat tangan dengan Lintar.
"Sebagai ucapan terima kasihku, bagaimana kalau aku ajak kamu makan siang. Mau, 'kan, Mas?" tanya Dewi penuh harap.
Lintar berusaha tenang untuk menyembunyikan rasa senangnya. Meskipun hal tersebut yang ia harapkan, Lintar tetap berusaha untuk menjaga perasaan sukanya terhadap Dewi, ia tidak lantas menerima tawaran tersebut.
"Maaf, Mbak. Tidak usah! Aku ikhlas, kok," jawab Lintar.
"Ya, Allah! Mas tidak boleh menolak rezeki, anggap saja ini adalah bentuk rasa terima kasihku kepada Mas!" kata Dewi sedikit memaksa.
"Tapi—"
"Sudahlah, Mas tidak usah menolak! Pokoknya Mas harus ikut aku!" ajak Dewi memotong kalimat yang belum selesai diucapkan oleh Lintar.
Dengan demikian, Lintar pun tak dapat menolak lagi permintaan Dewi. Ia hanya menganggukkan kepala dan langsung berjalan mengikuti langkah Dewi menuju ke arah mobil sedan mewah miliknya yang terparkir di deretan paling tengah.
Setelah berada di dekat mobilnya, Dewi langsung menyerahkan kunci mobil tersebut kepada Lintar.
"Sebaiknya, Mas yang bawa mobilnya, yah!" kata Dewi lirih. "Ini kuncinya!" tambah Dewi merasa percaya dan yakin kalau Lintar itu pria baik-baik.
Lintar hanya tersenyum sambil meraih kunci mobil dari tangan Dewi. "Mbak jangan panggil aku mas, yah! Panggil saja Lintar!" pinta Lintar.
"Iya, kamu juga sebaliknya. Panggil aku Dewi saja, biar lebih akrab lagi!" jawab Dewi.
Kemudian, mereka langsung masuk ke dalam mobil tersebut, dan Lintar pun segera melajukan mobil mewah itu keluar dari halaman parkir. Sedikit pun Dewi tak pernah merasa curiga terhadap Lintar yang baru ia kenal itu. Seolah Dewi yakin dan percaya, bahwa Lintar merupakan seorang pria baik dan bukan orang jahat.
Mobil yang dikemudikan Lintar melaju kencang menuju ke sebuah restoran yang berada di arah timur dari pusat perbelanjaan tersebut. Selama dalam perjalanan, ada banyak hal yang mereka perbincangkan.
Satu sama lain sudah mulai mengakrabkan diri mereka masing-masing, sehingga keduanya sudah tidak merasa canggung lagi. Lintar pun sudah mulai melakukan pendekatan dengan sikap ramah dan sopan, Lintar sudah tidak kaku lagi. Ia mulai berani bergurau dengan Dewi.
"Ternyata kamu humoris juga," ujar Dewi tertawa kecil menanggapi gurauan dari pria tampan itu.
"Seperti inilah aku, Wi," jawab Lintar lirih.
Dewi banyak bercerita tentang dirinya dan bisnis yang sedang ia jalankan. Diam-diam Lintar mulai ada rasa cinta dan sayang terhadap Dewi. Sesekali ia berpaling ke arah Dewi, begitu juga dengan Dewi menoleh dengan berjuta rasa kagum menyelimuti jiwa dan pikirannya kala itu.
'Ya, Allah! Semoga Lintar ini merupakan pria tampan yang kau kirim untuk menemani hari-hariku,' kata Dewi dalam hati.
Dewi sudah merasa yakin betul, jika Lintar itu merupakan makhluk spesial yang Tuhan kirim untuk menjadi teman baiknya. Bahkan lebih dari itu!
"Suami kamu kerja di mana, Wi?" tanya Lintar tanpa menoleh, ia fokus mengemudikan mobil.
"Suamiku sudah meninggal enam bulan yang lalu," jawab Dewi lirih.
"Innalilahi wa innailaihi raji'un," ucap Lintar. "Mohon maaf ya, Wi. Aku tidak tahu," sambungnya.
Dewi hanya tersenyum dan menganggukkan kepala pelan. Tidak terasa perbincangan keduanya sudah membawa mereka ke tempat tujuan—sebuah restoran mewah yang sengaja dipilih oleh Dewi.
Lintar langsung memasukkan mobil yang ia kemudikan ke area halaman parkir restoran tersebut yang berada di bahu jalan utama kota itu.
Mereka tampak bahagia, senyuman manis terus terlontar dari bibir indah wanita berparas cantik itu.
'Hanya ada satu kebahagiaan dalam hidup ini, mencintai dan dicintai. Jika Tuhan mentakdirkan Lintar menjadi pria spesial dalam kehidupanku, maka kuikhlaskan semuanya. Terlebih lagi jiga pria ini dapat menghalalkan aku.' Kata-kata itulah yang ada dalam benak Dewi saat itu.
Setelah mobil berhenti, Dewi langsung mengajak Lintar keluar dari mobil tersebut, "Ayo, kita keluar!" Dewi menatap wajah Lintar sambil melontarkan senyuman manisnya.
"Iya, Wi," jawab Lintar langsung keluar dari dalam mobil tersebut bersamaan dengan wanita cantik yang saat itu sudah membuatnya bahagia.
Tanpa terduga, Dewi meraih tangan Lintar dan menggandengnya sambil berkata, "Ayo, kita masuk!"
'Ya, Allah! Apakah ini yang dinamakan keberuntungan?' kata Lintar dalam hati.
Mereka langsung melangkah sambil bergandengan tangan. Seakan-akan, keduanya sudah saling mengenal lama.
"Romantis sekali, Mbak," ujar seorang pria yang baru keluar dari restoran itu.
"Romantis adalah kemewahan yang mengubah debu kehidupan sehari-hari menjadi kabut emas," jawab Dewi sambil terus menggandeng tangan Lintar melangkah masuk ke dalam restoran.
Setibanya di dalam restoran, mereka berdua langsung duduk saling berhadapan. Dada mereka mulai berdebar-debar ketika mata mereka saling berpandangan, keduanya terus saling memandang satu sama lain. Merasakan getaran-getaran yang tumbuh dalam jiwa dan pikiran mereka. Saling menilai, mengamati, dan menelaah kepribadian di antara mereka melalui pandangan mata. Sehingga, rasa suka sulit ditahan lagi, tumbuh dan berkembang seiring dengan kebersamaan mereka saat itu. "Terima kasih ya, Wi. Sudah mengajakku ke sini," kata Lintar lirih. Dewi hanya tersenyum sambil memegang erat telapak tangan Lintar. "Sama-sama. Justru aku yang harus berterima kasih kepada kamu." Dewi menyahut dengan suara lembutnya. Tidak lama kemudian, datang seorang pelayan dengan membawa catatan menu makanan. Pelayan tersebut langsung menyapa Dewi dan Lintar, “Selamat datang di restoran kami, Pak, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu dengan sikap ramahnya. Dewi langsung meraih catatan menu yang diberikan ol
Tidak terasa hari sudah semakin sore, dan sebentar lagi waktu magrib akan segera tiba. Dua jam sudah berlalu di antara kebersamaan indah Lintar dan Dewi di tempat tersebut. "Sebentar lagi mau magrib. Kita pulang sekarang ya, Tar!" ajak Dewi lirih. Lintar mengangguk sambil tersenyum. Lalu bangkit dari duduknya. "Ayo!" ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Dewi. "Aku ke rumah kamu yah! Sekalian lewat, tapi aku tidak mampir dulu!" kata Dewi meraih uluran tangan Lintar. Lintar hanya mengangguk dan langsung melangkah bergandengan tangan dengan wanita cantik yang baru ia kenal itu. Dunia terasa indah bagaikan milik mereka berdua, langkah kaki pun terasa ringan. Napas terasa segar, penuh warna yang hadir dalam kehidupan mereka saat itu. Itulah cinta, datang secara tiba-tiba—tanpa terduga. Tak ada proses panjang yang mengharuskan tumbuhya perasaan cinta di antara mereka, hanya satu pertemuan—mampu menyiram benih-benih cinta yang bersemayam sehingga tumbuh subur dan berkembang dalam s
Dewi menelepon Lintar cukup lama, selain meminta diantar ke Cikampek, ia pun sedikit berbincang mengenai hal lain yang bersangkutan dengan masalah perusahaan miliknya. Setelah hampir setengah jam melakukan perbincangan melalui sambungan telepon dengan Lintar, Dewi langsung mengakhiri perbincangan tersebut. Ia berpesan kepada Lintar agar senantiasa menjalankan ibadah dengan baik. Apa yang dikatakan oleh Dewi melalui sambungan telepon itu, menjadikan Lintar lebih semangat lagi. Seakan-akan kehidupannya kembali bersinar terang. Setelah itu, Lintar langsung masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sejenak. "Semoga malam ini aku mimpi indah bersama Dewi," desis Lintar tersenyum-senyum. Ia merebahkan tubuh di atas kasur, membaca doa sebelum tidur, dan langsung membenamkan tubuhnya ke dalam selimut besar. Keesokan harinya .... Tepat pukul setengah lima pagi, Lintar sudah terbangun dari tidurnya, pagi itu tidak seperti biasanya. Lintar tampak bersemangat, bangun dan langsung mandi, kemudi
Setelah berada di dalam rumah, Lintar langsung bersiap-siap. Ia memilih pakaian yang paling bagus yang hendak dipakai pagi itu, agar tampil lebih modis di hadapan janda cantik yang saat ini sudah mewarnai hidupnya. Sekitar pukul delapan lebih beberapa menit, Lintar sudah bersiap dengan dandanan rapi, tampak gagah dan terlihat tampan dengan mengenakan celana jins dan kemeja biru tua. Ia duduk santai di ruang tengah kediamannya menunggu telepon dari Dewi. Beberapa menit kemudian, dering ponsel terdengar nyaring. Lintar segera meraih ponselnya dan menerima panggilan masuk di ponselnya. Ternyata, itu memang telepon dari Dewi, janda cantik itu sudah menunggu Lintar di persimpangan jalan dekat gang yang mengarah ke rumahnya. Dengan demikian, Lintar bergegas bangkit langsung melangkah keluar, dan mengunci pintu rumahnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Lintar melangkahkan kedua kakinya menuju ke persimpangan jalan yang tidak jauh dari kediamannya. Sementara itu, Dewi sudah menunggunya d
Pak Bagus langsung berjabat tangan dengan Dewi dan juga menyapa ramah kepada Lintar seraya memperkenalkan diri. "Senang bertemu dengan Bapak yang selalu bersemangat," kata Lintar tersenyum manis sedikit menyanjungi pria paruh baya itu. Setelah itu, Bagus langsung mengajak Lintar dan Dewi ke sebuah bangunan kecil yang ada di depan proyek. Bangunan tersebut merupakan kantor sementara untuk Bagus yang merupakan orang kepercayaan Dewi CEO perusahaan Wita Contractor—pihak pengembang di proyek tersebut. "Sebaiknya kita ngobrol di sana saja, Bu! Pak!” ajak Bagus dengan penuh keramahan. "Iya, Pak," jawab Dewi tangannya segera menggandeng tangan Lintar, kemudian melangkah menuju bangunan kantor di depan proyek tersebut. "Silakan, duduk!" kata Bagus mengarah kepada Dewi dan Lintar. Dewi dan Lintar hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, kemudian duduk di kursi yang ada di tempat itu. Tatap bola mata indahnya terus bergulir ke bagian bangunan proyek. Lantas, ia pun berkata lagi kepada B
Setelah itu, Lintar pun bertanya lagi, “Kita mau makan di mana, Wi?” “Di restoran Sunda saja yang jalan arah ke Bekasi! Kamu tahu, 'kan?” jawab Dewi balas bertanya. “Oh ... iya, Wi, aku tahu,” sahut Lintar lirih sambil menginjakan gas lebih dalam lagi untuk mempercepat laju mobil yang dikemudikannya. Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di restoran yang dituju. Dewi turun dari mobil dengan menggandeng tangan Lintar, ia tampak agresif dan tak canggung lagi dengan Lintar. Seakan-akan dirinya sangat yakin bahwa Lintar adalah pria yang akan menjadi jodohnya. Setelah berada di dalam restoran, Dewi bertanya kepada Lintar, "Kamu mau makan apa, Tar?" "Terserah kamu saja! Apa pun yang kamu suka, aku pasti suka," jawab Lintar tersenyum lebar. Dengan demikian, Dewi langsung memesan dua porsi makanan kesukaannya berikut minuman dan juga makanan ringan lainnya. Tidak lama kemudian, seorang pelayan sudah membawa makanan yang dipesan oleh Dewi. Tampak ramah dan sopan pelayan itu meletakka
Dengan demikian, ia segera melajukan mobil mewah itu dengan kecepatan tinggi memenuhi permintaan Dewi. "Hei, jangan terlalu ngebut!" teriak Dewi panik. "Katanya tadi kamu minta cepat?" "Maksudku jangan terlalu lambat, jangan terlalu kencang. Sedang saja!" "Siap, Nona cantik!" Lintar tersenyum-senyum sambil mengurangi kecepatan laju mobil yang dikemudikannya itu. Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan oleh Lintar sudah tiba di depan rumah megah dengan halaman yang sangat luas. Berdiri kokoh di antara barisan rumah-rumah mewah di salah satu kompleks perumahan elite di kota Cikarang. Lintar terpukau dengan kemegahan rumah tersebut. Dalam benaknya pun berkata-kata, 'Ya, Allah! Ternyata memang benar bahwa Dewi ini merupakan wanita yang kaya raya.' "Ayo, turun!" ajak Dewi sedikit menarik lengan Lintar. "I-iya, Wi." Lintar sedikit gugup, bola matanya terus mengamati keindahan bentuk rumah tersebut. Ia tidak menyangka kalau Dewi ini merupakan janda kaya raya yang memiliki sed
Lintar saat itu berpura-pura tidak mengerti dengan apa yang sudah terlontar dari mulut manisnya Dewi. "Maksud kamu siapa, Wi?" tanya Lintar mengerutkan keningnya, seakan-akan ia tidak memahami ucapan Dewi. Dengan demikian, Dewi langsung memasang wajah ketus. Ia merasa kesal mendengar apa yang dikatakan oleh Lintar, kemudian langsung duduk dengan membelakangi Lintar. Lintar tersenyum tipis, lalu bertanya, "Kamu kenapa, Wi?" "Kamu tidak peka. Kamu pikir saja sendiri!" jawab Dewi tidak menoleh sedikit pun ke arah Lintar. Lintar tertawa kecil sembari meletakkan tangannya di atas pundak Dewi. "Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu kok," kata Lintar lembut. Perlahan Lintar mengangkat tangannya dan memberanikan diri menyentuh lembut rambut Dewi yang terurai. Tidak sulit bagi Lintar untuk kembali membuat Dewi tersenyum, seketika Dewi langsung membalikan tubuhnya. Kemudian memeluk erat tubuh Lintar sambil berbisik lirih, “Aku sayang kamu, Tar." Bola mata Dewi berkaca-kaca tampak bulir ben