Dua hari berlalu ....
Alana kini sedang berada di tengah-tengah hamparan luas sebuah perkebunan teh di desanyaーDesa Tanjung Sekar. Tidak ada waktu untuk menggulung perasaan takut setelah penculikan itu, tidak boleh trauma. Di punggungnya, dia menggendong sebuah keranjang bambu berukuran besar, tempatnya menampung pucuk-pucuk daun teh yang telah dipetiknya. “Lana." Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Alana terpancing perhatian dan mendapati seraut wajah, lalu tersenyum lebar. "Dirga.” Pemuda manis bernama Dirga itu kekasihnya. “Kenapa ke sini? Kamu tidak bekerja?" Dirga menggeleng seraya merapat ke samping Alana. "Ada rapat di pusat kota, aku malas ikut. Lebih baik ke sini menemani kamu kerja.” “Hmm, begitu," tanggap Alana, meneruskan kembali pekerjaannya. “Tapi pekerjaanku akan sangat membosankan. Kamu pasti akan kabur dalam sepuluh menit.” “Tidak akan!” sanggah Dirga, mulai ikut membantu, berkutat dengan daun-daun teh. “Bersama gadis tercantik di Tanjung Sekar, siapa pun akan merasa beruntung. Dan si beruntung itu adalah aku.” “Gombal!" “Tidak! Kamu memang cantik! Cantik sekali, sangat cantik. Selalu tercanー” “Sudah hentikan! Kamu tidak cocok!” Dirga terkekeh. Saat sama-sama larut, Dirga tiba-tiba ingat apa yang ingin ditanyakannya sejak kemarin. “Umm, Lana ... Isan bilang, dua hari yang lalu kamu diculik?" Rautnya berubah lemah. “Iya," aku Alana. “Tapi aku baik-baik saja. Isan selamatkan aku.” Kata-kata itu justru menjadi teguran bagi Dirga, seolah perannya sebagai kekasih tak lebih baik dari Isan yang hanya anak remaja 14 tahun. “Aku minta maaf, Lana. Aku tidak ada di saat kamu kesulitan seperti itu.” Dirga menyesalinya. Alana menghentikan pekerjaannya dan menghadap kekasih hati. “Jangan menyalahkan diri seperti itu. Isan datang karena Tuhan memang sudah mempersiapkannya menggantikan kamu yang tidak ada. Lagipula aku baik-baik saja. Jadi jangan sesalkan apa pun.” Itu melegakan, tapi Dirga tetap merasa tidak berguna. “Sudah! Hapus wajah jelek itu. Aku tidak suka!” Senyuman Alana seperti obat, Dirga balas tersenyum lalu mengangguk. Apa pun yang Alana ucapkan, akan selalu membuatnya merasa berharga. Terdorong perasaan, dibelainya pipi Alana sepenuh kasih. “Terima kasih sudah sangat memahamiku. Aku mencintaimu, Lana.” Namun saat akan memajukan bibirnya untuk mengecup pipi Alana .... “Hey, kalian berdua! Di sini tempat bekerja! Bukan tempat untuk memadu kasih!" teguran datang dari seorang wanita paruh baya berbadan kurus. Alana dan Dirga terperanjat, spontan saling menjauhkan diri. “Maaf, Bu Sarti,” ucap Alana dengan suara halus. Sarti adalah orang kepercayaan pemilik perkebunan, seorang pria tua berumur 46 tahun. Tugasnya memantau setiap pekerja di tempat itu. “Kamu Anak muda, lekas pergi sebelum Juragan Wasesa mengetahui kelakuan kalian. Karena dia akan kemari sebentar lagi untuk menemui Alana!” Sarti memperingatkan Dirga. “Baik, saya akan segera pergi. Maafkan saya," ucap Dirga, kemudian menoleh pada Alana. “Aku pergi dulu. Sampai bertemu nanti." Alana membalas dengan anggukan saja, sekali dan sangat tipis. "Lanjutkan pekerjaanmu. Sebentar lagi Juragan akan menemuimu," Sarti mengulang setelah Dirga resmi berlalu. “Baik, Bu Sarti.” Di samping jawaban demikian, dalam hati Alana bertanya-tanya, “Untuk apa Juragan Wasesa ingin menemuiku?” Sarti berlalu meninggalkan Alana untuk mengontrol para pekerja lainnya. Sekitar setengah jam kemudian .... “Hai, Alana cantik.” Alana menghela pandangan, wajah Juragan Wasesa menguasai penglihatannya. Segera berbalik dan menghadap lurus ke arah lelaki tua pemilik perkebunan tempatnya bekerja itu. "Iya, Juragan. Ada yang bisa saya bantu?" Tanpa Alana sadari, semua teman satu profesinya yang bekerja di dekatnya telah menjauh. Sarti menyuruh mereka pergi atas perintah Juragan Wasesa. Pria tua yang tubuhnya masih terlihat tegap dan gagah itu tersenyum. “Lana ... kamu selalu terlihat manis, cantik sekali walau dengan tampilan seperti ini,” katanya, basa-basi yang dari hati. “Terima kasih, Juragan.” Alan tidak terkesan, hanya menanggapi dengan cara yang sepantasnya. Juragan Wasesa tersenyum lagi. “Aku kemari ingin bernegosiasi denganmu,” ungkapnya setelah itu. Alana mengerut kening. "Maksud Juragan?” Tatapan itu penuh sirat, Alana merasakan sedikit sumbang dalam hatinya. Sesaat kemudian, Juragan itu bicara sesuai niatnya, “Begini, Lana. Saya tahu, kamu dan keluargamu selalu hidup kekurangan, dan gajimu di sini tidak cukup untuk menghidupi seluruh keluargamu yang tiga orang itu, beserta dirimu juga. Terlebih bibimu yang matre itu." Namun Alana menyanggah, “Tidak, Juragan. Keluarga saya dalam keadaan baik-baik saja. Kami tidak pernah merasa kekurangan sedikit pun. Kakek juga masih menghasilkan uang dari kebun sayuran.” Sebenarnya Wasesa benar, tapi Alana merasa ada niatan buruk di balik kalimat pembuka itu. “Jangan bohong, Lana!" hardik Juragan Wasesa. “Saya mengetahui semua, bahkan bibimu selalu menyulitkanmu, 'kan?” Alana diam sekian saat. Meski tentang Marni juga benar, menurutnya Juragan itu tak pantas terlalu ikut campur urusan keluarganya. “Apa yang Juragan inginkan dari saya sebenarnya?" “Hahaha ... itulah salah satu yang saya sukai dari kamu, Lana. Selain cantik, kamu juga gadis yang sangat cerdas." “Katakan, Juragan." “Baiklah. Kalau kamu sudah tak sabar." Wasesa menjeda ucapannya beberapa saat. "Berhentilah bekerja!” Alana melengak. “Maksud Juragan? Saya dipecat?!” “Ya!” Jawaban Wasesa membuat Alana tersentak. “Kamu kupecat jadi pegawai perkebunan, tapi naik pangkat ke tempat yang lebih tinggi." Alana semakin tidak mengerti. “Ma-maksudnya?" “Alana ... jadilah istriku.” Demi apa pun, kata-kata itu lebih mengejutkan dibanding pemecatan itu sendiri. Tanpa pertimbangan, Alana langsung menggelengkan kepala. “Saya tidak bisa, Juragan! Maaf.” Lalu merunduk. “Kenapa? Apa kamu ingin mengajukan syarat sebagai bentuk persetujuanmu menjadi istriku? Sebutkan, apa pun yang kamu inginkan. Aku akan kabulkan dengan senang hati." Alana menatap juragan itu dengan 'tak habis pikir. Benar-benar pria tua tak tahu diri. Dalam hati lagi, “Padahal dia sudah memiliki tiga orang istri yang cantik-cantik.” “Tidak, Juragan. Saya tidak menginginkan apapun dari Anda. Bisa bekerja di sini saja sudah sangat cukup bagi saya. Maafkan kelancangan saya, saya menolak Anda.” Wajah Juragan Wasesa langsung berubah raut, tidak sebaik tadi. “Jadi kamu benar-benar menolakku, Alana?" Alana menunduk dalam. “Maaf, Juragan. Saya benar-benar belum berniat untuk menikah." Wasesa berkacak pinggang, napasnya mulai memburu, wajahnya mengurat padam. “Berani kamu menolakku, ya?” Geram suaranya, kemudian melantur ke sana sini membawa segenap kesombongannya. “Seluruh wanita di desa ini menginginkan untuk menjadi istriku. Bahkan mereka rela jadi yang ketiga, keempat, hingga kesepuluh sekali pun. Tapi kamu ... gadis miskin terlalu sombong!" Alana membisu sesaat, mulai gemetar hati. “Saya benar-benar minta maaf, Juragan.” "Kamu ingat ucapanku ini, Lana. Aku tidak akan segan-segan merusak wajah cantikmu itu agar tidak ada seorang laki-laki pun yang menginginkan kamu. Jadi berpikirlah sebelum menolakku!” Ancaman itu dilontar lugas dengan tekanan. Tenggorokan Alana tercekat, tak mampu berkata apa pun. Rasa takut mulai menjalari sekujur tubuh. “Pikirkan! Menikah denganku, atau kurusak wajah ....” Juragan Wasesa tersenyum jahat. “Juga keluargamu!” Terentak dan melotot, menggamit nama keluarga cukup memengaruhinya. Ekspresi itu dianggap hiburan oleh Wasesa. “Hahaha. Sebaiknya persiapkan dirimu. Malam ini aku akan datang melamarmu pada kakekmu.” Kata-kata akhir Juragan Wasesa dibawa berlalu, tapi Alena mulai merasakan ketakutan itu semakin nyata membakar dirinya. Limbung tubuhnya hingga merosot ke dasar tanah. “Ya tuhan... cobaan apa lagi ini? Tolong aku, aku tidak mau menikah dengan Juragan itu.”“Cepat! Jangan berjalan seperti siput!” Bentakan demi bentakan Marni 'tak ada habisnya, Alana hanya bisa pasrah mengikuti semau bibinya yang durjana itu. Sampai di halaman rumah. “Senyum! Jangan pasang wajah seperti habis disiksa seperti itu!” peringatan Marni tepat di depan telinga Alana, suara menggeram dan penuh tekanan, tidak ingin dibantah. Selangkah masuk ke dalam rumah, ekspresi Marni tiba-tiba melunak, mencuatkan keheranan Alana. Dan keheranan itu terjawab saat seraut wajah ditemukan pasang matanya. Jantung yang mula tenang seketika bertabuh kencang. “Juragan Wasesa!” Lelaki tua itu duduk santai bersadar sofa dengan kaki bersilang. Seringai mewarnai wajah saat tatapan Alana menjumpainya. “Saya sudah membawa Alana, Juragan," kata Marni. Juragan Wasesa tersenyum senang. “Bagus, Nyonya Marni.” “Lana! Cepat pergi dari sini, Nak!" Pandangan Alana terentak ke lain arah. “Kakek!” Terkejut kedua kali, kiri kanan tubuh Kakek Sadeli dicekal dua orang anak buah Juragan Wasesa.
Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan tua yang sudah menyerah dari tangkai bagian pohon.Suara deru air sungai yang mengalir deras, menemani Alana yang terduduk di atas bebatuan dengan memeluk lipatan kaki.Air mata masih setia mendampingi, mewakili segala yang dirasakannya sekarang. Ingin berlari sekencang-kencangnya, melepas semua beban yang sesak penuh di dada, tapi kakinya terlalu lemah untuk diajak berlari.Ketika larut dalam melodi, Alana tersentak. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. “Isan!”Wajah anak itu riang dengan senyumnya.“Kamu memancing?" tanya Alana seraya berdiri.Isan mengangguk seraya mengangkat pancingan dan ember kecil di kedua tangan.“Sudah dapat ikannya?”“Hmm.”“Coba lihat!"Ember kecil berisi ikan disodorkan Isan segera pada Alana.“Wah, ada dua, besar-besar! Kamu hebat, San!”Pujian itu melebarkan senyuman Isan. Setelah menaruh wadah ikannya di atas batu, ia bertanya balik pada Alana, “Kakak sendiri sedang apa di sini?" (Isyarat).Pertanyaan
Kailash Daniel sudah menyelesaikan urusannya di desa itu. Merasa telah dekat dengan Alana dan keluarga, sebelum kembali ke ibukota, dia menyempatkan mampir kembali ke rumah itu. Sekedar pamit dan memberikan sedikit uang untuk Kakek Sadeli.Untungnya, Marni lagi-lagi sedang keluar saat Kailash datang. Jika tidak, maka Kailash akan menjadi tujuan barunya. Tentu saja menggunakan Utari sebagai umpan.Namun keburukan di saat sama, hari itu juga Dirga melihatーkedua kali, betapa Alana begitu akrab dengan pria asing yang mendadak menjadi rival di dunianya.Akan tetapi lagi-lagi seperti tolol, Dirga hanya melihat di kejauhan lalu pergi membawa setumpuk amarah dari rasa cemburu di ubun-ubun.Hari berikutnya.Kehidupan Alana setelah memutuskan keluar dari pekerjaannya di perkebunan Juragan Wasesa menjadi semakin ricuh. Mendengar bentakan Marni setiap waktu rasanya seperti memutuskan saraf sendiri.Dan hari ini, Alana memutuskan mencari pekerjaan di tempat lain. Dia berjalan ke arah pasar seorang
“Mohon maaf, Juragan.” Kakek Sadeli lebih menegakkan badan untuk mendukung keseriusan kata yang akan dia ucapkan.“Bukannya saya sombong, bukannya saya tidak menghargai Anda, tapi Alana ... selain dia masih terlalu muda, dia juga ... hanya akan saya nikahkan dengan orang yang benar-benar dicintainya.”Kata-kata itu menohok, mengungkit perbedaan yang membumi langit terkait usia, Juragan Wasesa sedikit menajamkan mata.Kakek Sadeli yang tegas itu kemudian melanjutkan, “Dan meskipun kami hidup dalam keterbatasan, kami masih merasa cukup, kami tidak pernah kelaparan. Jadi ... silakan manfaatkan uang Anda yang berlimpah ini untuk kepentingan Anda yang lain. Sekali lagi saya mohon maaf, Juragan.”Koper yang terbuka dengan isi gepokan uang ditutup, lalu disodorkan kembali ke hadapan Juragan Wasesa oleh Kakek Sadeli. Itu mahar yang dipersembahkan untuk mempersunting Alana. Jumlah yang sangat banyak untuk harga seorang gadis kampung yang bahkan tidak berpendidikan tinggi.Mendapat penolakan de
Pukul 18.30 malam di meja makan.“Apa Lana belum juga pulang, Tari?" Kakek Sadeli bertanya, beliau baru saja mengisi duduk sebuah kursi di samping cucunyaーUtari, anak perempuan Marni.“Sepertinya belum, Kek," jawab Tari, sambil menyendok nasi ke piring kosong milik sang kakek.“Kemana perginya anak itu?"“Palingan juga dia di bawa laki-laki, Pak!” Marni menimpal, wajahnya selalu kecut jika menyangkut Alana.“Bu ... berhentilah berkata buruk tentang Kak Lana,” Utari menegur ibunya.“Kamu jangan ikut-ikutan membela gadis liar itu seperti Kakekmu, Tari! Dia itu tidak pantas dikasih hati."Utari dan Kakek Sadeli hanya saling melempar pandang tanpa mengatakan apa pun. Berdebat dengan Marni bukan hal yang patut dikejar.Mereka melanjutkan makan tanpa bicara lagi.Saat sama, suara ketukan pintu terdengar, menyentak segenap perhatian.“Nah, itu pasti Lana!” Kakek beranjak semangat.“Biar Tari yang buka pintunya, Kek!”Kakek mengangguk dan duduk lagi.Utari beranjak dan berjalan menghampiri pi
Dua hari berlalu ....Alana kini sedang berada di tengah-tengah hamparan luas sebuah perkebunan teh di desanyaーDesa Tanjung Sekar. Tidak ada waktu untuk menggulung perasaan takut setelah penculikan itu, tidak boleh trauma.Di punggungnya, dia menggendong sebuah keranjang bambu berukuran besar, tempatnya menampung pucuk-pucuk daun teh yang telah dipetiknya.“Lana."Seseorang menepuk pundaknya dari belakang.Alana terpancing perhatian dan mendapati seraut wajah, lalu tersenyum lebar. "Dirga.”Pemuda manis bernama Dirga itu kekasihnya.“Kenapa ke sini? Kamu tidak bekerja?"Dirga menggeleng seraya merapat ke samping Alana. "Ada rapat di pusat kota, aku malas ikut. Lebih baik ke sini menemani kamu kerja.”“Hmm, begitu," tanggap Alana, meneruskan kembali pekerjaannya. “Tapi pekerjaanku akan sangat membosankan. Kamu pasti akan kabur dalam sepuluh menit.”“Tidak akan!” sanggah Dirga, mulai ikut membantu, berkutat dengan daun-daun teh. “Bersama gadis tercantik di Tanjung Sekar, siapa pun akan