Pukul 18.30 malam di meja makan.
“Apa Lana belum juga pulang, Tari?" Kakek Sadeli bertanya, beliau baru saja mengisi duduk sebuah kursi di samping cucunyaーUtari, anak perempuan Marni. “Sepertinya belum, Kek," jawab Tari, sambil menyendok nasi ke piring kosong milik sang kakek. “Kemana perginya anak itu?" “Palingan juga dia di bawa laki-laki, Pak!” Marni menimpal, wajahnya selalu kecut jika menyangkut Alana. “Bu ... berhentilah berkata buruk tentang Kak Lana,” Utari menegur ibunya. “Kamu jangan ikut-ikutan membela gadis liar itu seperti Kakekmu, Tari! Dia itu tidak pantas dikasih hati." Utari dan Kakek Sadeli hanya saling melempar pandang tanpa mengatakan apa pun. Berdebat dengan Marni bukan hal yang patut dikejar. Mereka melanjutkan makan tanpa bicara lagi. Saat sama, suara ketukan pintu terdengar, menyentak segenap perhatian. “Nah, itu pasti Lana!” Kakek beranjak semangat. “Biar Tari yang buka pintunya, Kek!” Kakek mengangguk dan duduk lagi. Utari beranjak dan berjalan menghampiri pintu utama. Saat pintu resmi terbuka, kening Tari malah mengernyit. Bukan Alana, tapi sosok seorang lelaki yang membelakangi. “Maaf, Anda cari siapa, ya?" telisik Utari. Laki-laki itu lalu berbalik badan, kemudian tersenyum pada Utari. Jelas sudah, Utari tahu siapa dia. “Ju-Juragan!” Satu Tanjung Sekar tidak satu pun 'tak kenal Juragan Wasesa. “Hey, Nona manis." Tari mengangguk kaku. “Ma-maaf, Juragan, ada perー” “Baru ingat pulang kamu gadis liー” Kata-kata Utari terjegal oleh serbuan Marni, dan makian Marni untuk orang yang dia kira adalah Alana, terhenti oleh seraut wajah pria di hadapannya. "Ma-maaf, Juragan. Saya tidak tahu jika Anda yang datang," ucap Marni, langsung merubah raut menjadi ramah. "Kalau boleh saya tahu, ada keperluan apa Juragan sampai rela datang ke rumah kami? Apa Lana membuat masalah di perkebunan?" Juragan Wasesa tersenyum tenang. “Boleh saya masuk, Nyonya Marni?” “O-oh, iya, maaf. Silakan, Juragan." Gegas Marni menggeser tubuhnya memberi jalan pada pria tua itu untuk masuk ke dalam rumah. Juragan Wasesa bergerak dengan aroma congkak, masuk ke dalam kemudian langsung di sofa usang ruang tamu, tanpa dipersilakan. “Tari, buatkan minuman untuk Juragan," perintah Marni pada putrinya, lalu duduk bersebrang dengan Wasesa. “ari mengangguk kemudian melanting ke arah dapur. Di dapur. “Lana-nya mana, Tari?" tanya Kakek Sadeli, melirik ke belakang cucunya, tidak ada Alana. Piring makannya sudah tandas, sisa sepotong kepala ikan. Utari menoleh pada kakeknya. "Maaf, Kek. Yang datang bukan kak Lana." “Lalu?" Wajah Tari merenyih ragu, lalu menjawab, "Juragan Wasesa." “Itu mengejutkan. "Ada keperluan apa dia datang kemari?" tanya Kakek. “Tari tidak tahu, Kek." Penasaran, Kakek Sadeli langsung berdiri, lalu berjalan ke ruang tamu. Juragan Wasesa menyunggingkan senyum kala melihat kedatangan kakek berusia 63 tahun itu. "Selamat malam, Pak Sadeli," sapanya, cukup ramah. “Selamat malam, Juragan, " balas Kakek, lalu duduk di sofa bersebrangan dengan tamunya, di samping Marni. "Mohon maaf sebelumnya, hal apakah yang sampai membawa Juragan ke gubuk saya? Ini ... cukup mengejutkan saya.” Utari datang membawa tiga gelas teh, kemudian meletakkannya satu persatu di atas meja. “Silakan, Juragan," ucapnya, mempersilakan untuk minuman yang dibuatnya. “Terima kasih, Nona manis." Utari mengangguk kemudian berdiri di belakang ibunya dan kakek, nampan tilas minuman dipeluk di depan perut. Sekarang Juragan Wasesa menatap ketiga orang di hadapannya itu satu persatu. “Tujuan saya kemari untuk ....” *** Alana membuka matanya perlahan dan mengerjap-ngerjap, lalu mengedar pandangan ke sekeliling ruangan. Semuanya terasa asing. “Ada di mana aku?" Suasana itu membingungkannya, ruangan yang jelas bukan kamarnya atau kamar Utari. Ada seseorang di dekatnyaーwanita paruh baya dengan jas putih sedang membetulkan selang infusan. “Syukurlah Anda sudah sadar, Nona. Saat ini Nona sedang berada di rumah sakit." "Rumah sakit?!” Alana terkejut sampai melengak. “Kenapa aku ada di rumah sakit?!” “Seseorang membawa Anda kemari dalam keadaan pingsan." “Seseorang? Pingsan?" Kening Lana berkerut-kerut sekarang. Dokter itu mengangguk dan tersenyum. “Mungkin orang terdekat Anda.” Alana memikirkan lagi. “Sebentar, saya periksa dulu keadaan Anda, ya." Dokter menyela, mengeluarkan stetoskop dan memulai pemeriksaan. Saat sama, pintu terdorong dari luar. “Bagaimana keadaannya, Dokter?” Perhatian Alana terenggut, langsung menelisik sosok yang baru saja masuk dan sekarang sudah ada di hadapannya. Seorang pria tinggi dengan wajah asing yang baru pertama kali dilihatnya sedalam ingatan. “Semuanya baik, Tuan. Tidak ada yang serius. Sepertinya dia hanya syok. Besok pagi sudah boleh pulang," jawab Dokter. “Syukurlah," ucap pria itu dengan senyum yang sangat teduh. “Kalau begitu saya permisi dulu. Suster akan datang mengantarkan makanan dan obat untuk Nona. Jangan lupa dihabiskan semua." “Baik, Dokter. Terima kasih.” “Hmm." Selepas dokter berlalu, lelaki asing itu menatap Alana, kemudian tersenyum. Kursi tunggal di samping ranjang ditarik kemudian didudukinya, menghadap Alana. “Hay, sudah baikan?" Suaranya lembut seperti kesiur angin, Alana sampai tergetarーsedikit takut. Orang asing membuatnya cukup trauma kejadian setelah penculikan itu. “Tenanglah. Aku bukan orang jahat." Pria itu paham ketakutannya. “A-Anda siapa?" “Tadi sore aku menemukan kamu tergeletak tak sadarkan diri di perkebunan teh." Alana tersentak mendengar itu, langsung melayangkan pikiran pada kejadian terakhir di kebun tempatnya bekerja. Yang pertama mencuat di ingatan adalah wajah Juragan Wasesa, wajah yang memaksa dan mengancam agar dirinya mau menjadi istri. Alana menegang, keringat dingin bercucur dari pelipis. Tiba-tiba dadanya merasa ingin meledak. "Tidak! Aku tidak mau! Tapi aku harus bagaimana? Dia akan menyakiti Kakek kalau aku menolak menikahinya. Bagaimana ...?!” Lelaki di hadapannya mengernyit penuh telisik, kata-kata itu sudah cukup menunjukkan bahwa gadis itu sedang berada dalam kesulitan tak sederhana. Selagi Alana masih seperti itu, dia mengambil sikap. “Tenanglah, Nona. Semuanya akan baik-baik saja. Kamu harus tenang, okay?” Tatapan Alana terhentak ke wajah itu, terdiam menatap, namun malah menangis. Pria itu jadi cemas, tapi bingung bagaimana mengambil sikap. Geraknya meragu, antara menyentuh atau tidak. “Aku tidak tahu apa yang menimpamu, Nona. Tapi bisakah jangan menangis sekarang. Setidaknya kuatlah agar kamu bisa menghadapi semuanya, jangan sampai ambruk lagi seperti saat aku menemukan kamu di perkebunan.” Dalam sekian detik Alana bisa menguasai diri, hanya dengan kata-kata itu. “Maaf, aku hanya takut.” “Tak apa.” Seorang perawat datang membawakan semangkuk bubur beserta obat-obatan untuk Alana, lalu pergi dan meminta Alana menghabiskannya. Tapi tidak, Alana hanya mencicip tiga suapan saja, lalu meminum obat dibantu lelaki asing di sebelahnya. “Anda ... sebenarnya siapa? Ada keperluan apa di perkebunan?" Alana membuka cakap setelah perasaannya berhasil meraih tenang. Pria itu tersenyum, senang Alana bisa lebih santai bicara dengannya. "Kenalkan ...." Tangan kanannya terulur ke hadapan Alana. “Aku Kailash. Panggil Kai saja.” Ragu, tangan Alana juga terulur untuk membalas. “Alana.” Suara kaku dengan desiran halus, Kailash tidak bisa memudarkan senyumnya. “Nama yang cantik ... Alana," pujinya lalu melepas jabatan tangan. “Terima kasih," tanggap Alana, kemudian ingat akan hal lain, “Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi, sedang apa kamu di perkebunan?" “Itu ... aku kebetulan ada keperluan bisnis.”“Cepat! Jangan berjalan seperti siput!” Bentakan demi bentakan Marni 'tak ada habisnya, Alana hanya bisa pasrah mengikuti semau bibinya yang durjana itu. Sampai di halaman rumah. “Senyum! Jangan pasang wajah seperti habis disiksa seperti itu!” peringatan Marni tepat di depan telinga Alana, suara menggeram dan penuh tekanan, tidak ingin dibantah. Selangkah masuk ke dalam rumah, ekspresi Marni tiba-tiba melunak, mencuatkan keheranan Alana. Dan keheranan itu terjawab saat seraut wajah ditemukan pasang matanya. Jantung yang mula tenang seketika bertabuh kencang. “Juragan Wasesa!” Lelaki tua itu duduk santai bersadar sofa dengan kaki bersilang. Seringai mewarnai wajah saat tatapan Alana menjumpainya. “Saya sudah membawa Alana, Juragan," kata Marni. Juragan Wasesa tersenyum senang. “Bagus, Nyonya Marni.” “Lana! Cepat pergi dari sini, Nak!" Pandangan Alana terentak ke lain arah. “Kakek!” Terkejut kedua kali, kiri kanan tubuh Kakek Sadeli dicekal dua orang anak buah Juragan Wasesa.
Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan tua yang sudah menyerah dari tangkai bagian pohon.Suara deru air sungai yang mengalir deras, menemani Alana yang terduduk di atas bebatuan dengan memeluk lipatan kaki.Air mata masih setia mendampingi, mewakili segala yang dirasakannya sekarang. Ingin berlari sekencang-kencangnya, melepas semua beban yang sesak penuh di dada, tapi kakinya terlalu lemah untuk diajak berlari.Ketika larut dalam melodi, Alana tersentak. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. “Isan!”Wajah anak itu riang dengan senyumnya.“Kamu memancing?" tanya Alana seraya berdiri.Isan mengangguk seraya mengangkat pancingan dan ember kecil di kedua tangan.“Sudah dapat ikannya?”“Hmm.”“Coba lihat!"Ember kecil berisi ikan disodorkan Isan segera pada Alana.“Wah, ada dua, besar-besar! Kamu hebat, San!”Pujian itu melebarkan senyuman Isan. Setelah menaruh wadah ikannya di atas batu, ia bertanya balik pada Alana, “Kakak sendiri sedang apa di sini?" (Isyarat).Pertanyaan
Kailash Daniel sudah menyelesaikan urusannya di desa itu. Merasa telah dekat dengan Alana dan keluarga, sebelum kembali ke ibukota, dia menyempatkan mampir kembali ke rumah itu. Sekedar pamit dan memberikan sedikit uang untuk Kakek Sadeli.Untungnya, Marni lagi-lagi sedang keluar saat Kailash datang. Jika tidak, maka Kailash akan menjadi tujuan barunya. Tentu saja menggunakan Utari sebagai umpan.Namun keburukan di saat sama, hari itu juga Dirga melihatーkedua kali, betapa Alana begitu akrab dengan pria asing yang mendadak menjadi rival di dunianya.Akan tetapi lagi-lagi seperti tolol, Dirga hanya melihat di kejauhan lalu pergi membawa setumpuk amarah dari rasa cemburu di ubun-ubun.Hari berikutnya.Kehidupan Alana setelah memutuskan keluar dari pekerjaannya di perkebunan Juragan Wasesa menjadi semakin ricuh. Mendengar bentakan Marni setiap waktu rasanya seperti memutuskan saraf sendiri.Dan hari ini, Alana memutuskan mencari pekerjaan di tempat lain. Dia berjalan ke arah pasar seorang
“Mohon maaf, Juragan.” Kakek Sadeli lebih menegakkan badan untuk mendukung keseriusan kata yang akan dia ucapkan.“Bukannya saya sombong, bukannya saya tidak menghargai Anda, tapi Alana ... selain dia masih terlalu muda, dia juga ... hanya akan saya nikahkan dengan orang yang benar-benar dicintainya.”Kata-kata itu menohok, mengungkit perbedaan yang membumi langit terkait usia, Juragan Wasesa sedikit menajamkan mata.Kakek Sadeli yang tegas itu kemudian melanjutkan, “Dan meskipun kami hidup dalam keterbatasan, kami masih merasa cukup, kami tidak pernah kelaparan. Jadi ... silakan manfaatkan uang Anda yang berlimpah ini untuk kepentingan Anda yang lain. Sekali lagi saya mohon maaf, Juragan.”Koper yang terbuka dengan isi gepokan uang ditutup, lalu disodorkan kembali ke hadapan Juragan Wasesa oleh Kakek Sadeli. Itu mahar yang dipersembahkan untuk mempersunting Alana. Jumlah yang sangat banyak untuk harga seorang gadis kampung yang bahkan tidak berpendidikan tinggi.Mendapat penolakan de
Pukul 18.30 malam di meja makan.“Apa Lana belum juga pulang, Tari?" Kakek Sadeli bertanya, beliau baru saja mengisi duduk sebuah kursi di samping cucunyaーUtari, anak perempuan Marni.“Sepertinya belum, Kek," jawab Tari, sambil menyendok nasi ke piring kosong milik sang kakek.“Kemana perginya anak itu?"“Palingan juga dia di bawa laki-laki, Pak!” Marni menimpal, wajahnya selalu kecut jika menyangkut Alana.“Bu ... berhentilah berkata buruk tentang Kak Lana,” Utari menegur ibunya.“Kamu jangan ikut-ikutan membela gadis liar itu seperti Kakekmu, Tari! Dia itu tidak pantas dikasih hati."Utari dan Kakek Sadeli hanya saling melempar pandang tanpa mengatakan apa pun. Berdebat dengan Marni bukan hal yang patut dikejar.Mereka melanjutkan makan tanpa bicara lagi.Saat sama, suara ketukan pintu terdengar, menyentak segenap perhatian.“Nah, itu pasti Lana!” Kakek beranjak semangat.“Biar Tari yang buka pintunya, Kek!”Kakek mengangguk dan duduk lagi.Utari beranjak dan berjalan menghampiri pi
Dua hari berlalu ....Alana kini sedang berada di tengah-tengah hamparan luas sebuah perkebunan teh di desanyaーDesa Tanjung Sekar. Tidak ada waktu untuk menggulung perasaan takut setelah penculikan itu, tidak boleh trauma.Di punggungnya, dia menggendong sebuah keranjang bambu berukuran besar, tempatnya menampung pucuk-pucuk daun teh yang telah dipetiknya.“Lana."Seseorang menepuk pundaknya dari belakang.Alana terpancing perhatian dan mendapati seraut wajah, lalu tersenyum lebar. "Dirga.”Pemuda manis bernama Dirga itu kekasihnya.“Kenapa ke sini? Kamu tidak bekerja?"Dirga menggeleng seraya merapat ke samping Alana. "Ada rapat di pusat kota, aku malas ikut. Lebih baik ke sini menemani kamu kerja.”“Hmm, begitu," tanggap Alana, meneruskan kembali pekerjaannya. “Tapi pekerjaanku akan sangat membosankan. Kamu pasti akan kabur dalam sepuluh menit.”“Tidak akan!” sanggah Dirga, mulai ikut membantu, berkutat dengan daun-daun teh. “Bersama gadis tercantik di Tanjung Sekar, siapa pun akan