LOGIN“Mohon maaf, Juragan.” Kakek Sadeli lebih menegakkan badan untuk mendukung keseriusan kata yang akan dia ucapkan.
“Bukannya saya sombong, bukannya saya tidak menghargai Anda, tapi Alana ... selain dia masih terlalu muda, dia juga ... hanya akan saya nikahkan dengan orang yang benar-benar dicintainya.” Kata-kata itu menohok, mengungkit perbedaan yang membumi langit terkait usia, Juragan Wasesa sedikit menajamkan mata. Kakek Sadeli yang tegas itu kemudian melanjutkan, “Dan meskipun kami hidup dalam keterbatasan, kami masih merasa cukup, kami tidak pernah kelaparan. Jadi ... silakan manfaatkan uang Anda yang berlimpah ini untuk kepentingan Anda yang lain. Sekali lagi saya mohon maaf, Juragan.” Koper yang terbuka dengan isi gepokan uang ditutup, lalu disodorkan kembali ke hadapan Juragan Wasesa oleh Kakek Sadeli. Itu mahar yang dipersembahkan untuk mempersunting Alana. Jumlah yang sangat banyak untuk harga seorang gadis kampung yang bahkan tidak berpendidikan tinggi. Mendapat penolakan dengan cara seperti demikian, Juragan Wasesa tersenyum tipis sambil mengangguk kecil, siratnya jelas, merasa diremehkan. Tapi dia 'tak bisa mendebat Kakek Sadeli karena pria tua itu cukup punya pengaruh baik di satu desa. “Baiklah, Pak Sadeli. Terima kasih atas jawaban tegas Anda," katanya, kemudian meminta asisten yang sedari tadi berdiri di belakang untuk mengambil uangnya kembali. Saat itu terjadi, Marni bergerak resah. Melihat uang sebanyak itu mencuatkan jiwa serakah dalam matanya. Juragan Wasesa mengerti gelagat wanita itu, ulas senyuman kecut singgah singkat di wajahnya sebelum kemudian berdiri. “Kalau begitu kami permisi, Pak Sadeli, Nyonya Marni, dan si cantik ini ....” “Tari, Juragan! Namanya Tari!" Marni menyergah dengan semangat. “Ah, Tari. Selamat malam.” Utari membalas dengan satu anggukan kaku. Wasesa dan asistennya berlalu. “Jangan sekali-kali berpikir menumbalkan cucu-cucuku demi uang, Marni!” Kakek Sadeli memperingatkan anak perempuannya sambil beranjak menuju kamar. “Masuk kamarmu, Tari!” “Baik, Kek.” Marni kesal, menatap bapak dan putrinya yang menjauh dengan mulut bersungut-sungut. “Dasar Bapak munafik. Tidak bisakah mengiyakan saja? Uang itu kan banyak sekali, bisa untuk membeli segala macam keperluan. Lagi pula apa berharganya si Lana itu? Cuih!” Esok harinya. Sebuah mobil berhenti di halaman rumah, berkilat dan sangat mewah. Dengan kacamata hitam bertengger di tulang hidung lurus mencuat dan juga tegas, Kailash Daniel turun dari kursi kemudi. Dari pintu lainnya, Alana ikut menyembulkan diri. Alana dihampirinya, mengambil posisi sejajar, Kailash mengamati rumah sederhana berpagar bambu di hadapannya. “Ini rumahmu?” tanyanya pada Alana. “Iya," jawab Alana dengan satu anggukan, lalu memimpin melangkah melewati pagar, masuk ke area rumah. Mulanya Alana menolak diantar pulang, tapi paksaan Kailash membuatnya mengalah pasrah. "Kenapa?Apa kamu takut di marahi kakekmu?" tanya Kailash saat Alana malah terdiam menatap daun pintu di depan muka. “Sedikit," jawab Alana dengan raut merenyih. Kailash terkekeh, impulsif satu telapak tangannya mengasak bagian poni Alana. “Tenang saja, aku akan bantu jelaskan." Alana mendongak, menatap wajah lelaki tinggi itu lalu tersenyum tipis. “Terima kasih.” Tanpa Alana sadari, sepasang mata tengah memperhatikannya dari kejauhan. “Siapa lelaki asing itu, Lana? Kenapa kamu terlihat sangat dekat dengannya?” ---Dirga Riyadi, kekasih hati Alana. Di dalam rumah. Alana sudah berkumpul dengan Kakek Sadeli dan juga Tari. Tidak ada Marni, entah kemana janda rempong itu. “Terima kasih sudah menolong Alana, Nak," ucap tulus Kakek pada Kailash. “Semalamam Kakek benar-benar tidak bisa tidur karena memikirkannya.” “Sama-sama, Kakek," balas Kailash dengan senyuman teduhnya. “Alana sudah kembali, jadi Kakek bisa istirahat tidur sekarang.” “Dia benar.” Alana mengusap lengan kakeknya, lalu menatap wajah tua yang sepenuh langit dan bumi sangat dicintainya itu. “Maafkan Lana karena lagi-lagi membuat cemas Kakek.” Kakek Sadeli membalas senyum. “Tak apa, Nak. Cemas Kakek sudah menghilang sekarang. Kamu sudah ada di depan Kakek.” “Kalau begitu Kakek harus istirahat, mata Kakek sudah seperti panda!" sambar Alana dengan cerianya. Kailash terpana, pertama kali semenjak bertemu kemarin, melihat senyuman Alana ... begitu cantik, dia jadi tertular untuk tersenyum. Dan di satu sisi lain, terpana itu menimpa Utari yang sedari tadi masih diam memerhatikan. Senyuman Kailash .... “Dia seperti Arjuna.” Sampai suara Kakek Sadeli memecah irama, mengalihkan semua atensi. “Sebelum Kakek ke kamar, Kakek ingin tahu dulu, kenapa kamu bisa sampai pingsan di perkebunan?” Itu poin penting. Selain Kakek dan Tari, Kailash juga ingin mengetahui detail tentang hal itu. Sepanjang di rumah sakit, Alana tak menceritakan apa pun selain menunjukkan dirinya yang ketakukan. Diawali ragu karena takut kakeknya marah, juga karena adanya Kailash di antara mereka, Alana menceritakan semua secara perlahan namun tersusun. Dan semua orang di hadapannya setara terkejut setelah usai penjelasannya, terutama Kakek Sadeli. “Juragan gila itu. Pantas saja semalam begitu percaya diri datang kemari membawa tumpukan uang.” Alana yang terperanjat. “Apa Kakek bilang?! Juragan datang kemari?!" “Ya, Kak Lana." Utari mengambil jawaban. “Dia ingin melamar Kakak.” Raut Alana tersurut. Ingatannya melayang pada bunyi ancaman Juragan Wasesa. Kailash menelisik. “Kenapa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Pandangan Alana terhela padanya, lalu menggeleng. “Tidak, tidak ada." Tentu saja bohong dan Kailash sangat menyadari itu, tapi dia memilih diam karena masalah mereka bukan ranahnya. Beberapa saat kemudian .... Kakek Sadeli sudah masuk ke dalam kamar dan beristirahat. Begadang menunggu Alana semalaman membuatnya cukup lelah dan langsung menempuh mimpi. Sementara di luar. Alana dan Kailash kini duduk di teras, berdua saja. Utari ada di dapur, memasak untuk makan siang semua. Alana ditolaknya saat akan membantu, dimintanya tetap menemani Kailash saja. Kailash meresapi udara sejuk desa yang tidak pernah didapatnya di kota tempatnya tinggal, sembari menikmati teh yang dihidangkan Alana lima menit lalu. “Rumahmu ini sangat bersih dan nyaman. Ditambah udaranya sejuk, aku merasa seperti ada dunia yang berbeda." Pria itu tersenyum seraya menoleh Alana. “Kamu benar. Di sini memang seperti surga,” kata Alana. Sekilas menatap balik Kailash, lalu beralih lurus ke depan. “Tapi terkadang juga seperti neraka.” Kata terakhir melengakkan pandangan Kailash, memudar perlahan senyumnya untuk keindahan desa yang dipujinya sebelum ungkapan Alana. “Apa kau ingin pergi ke tempat lain?” Alana menggeleng. “Tidak.” “Lalu?” Napas panjang dipaut Alana, lalu menjawab, “Entahlah. Aku juga tak yakin.” Di balik pintu, Utari mendengarkan percakapan mereka, Alana dan Kailash yang terdengar serius dan intens. “Sepertinya pria tampan itu menyukai Kak Lana," cicit hatinya, lalu tersenyum sumbang. “Ya, siapa pun, pria mana pun, usia berapa pun, tidak ada yang tidak jatuh cinta pada Kak Lana.”“Kenapa hidupku harus begini lagi, Tuhan?” Alana meratap sedih di tepi jalanan.Dia baru saja mendapat musibah.Uang dipercayakan Suparti untuk berbelanja kebutuhan kedai, raib dirampas jambret saat berjalan menuju pasar.“Apa yang harus aku katakan pada Bu Parti? Bagaimana aku mengganti uangnya? ... Aku bahkan tak berani kembali. Tapi aku harus tetap bertanggung jawab.”“Nona!”Alana mendongak. Seraut wajah tahu-tahu ada di hadapannya. “A-Anda, siapa?" tanyanya kaku terbata.“Cantiknya ....” Sosok itu terkesima dengan wajah Alana, kemudian segera menyentak diri dan mengembalikan sikap macam biasa. “Ah, ehm! Saat lewat tadi, aku melihat kamu menangis sampai tersedu begitu, aku jadi tertarik untuk berhenti. Apa ... ada yang bisa kubantu?” Tanpa meminta izin, langsung dia duduk di samping Alana.Perwujudannya seorang pria, bersih, tinggi, tampan, tidak ada kekurangan secara fisik dan tata bahasaーJun Andreas.Dari wajahnya, Alana bingung, sedikit ada ketakutan juga.“Aku bukan orang jaha
Alana membuka mata, sekeliling masih meremang, belum jelas penglihatannya.Memaksakan diri bangkit, wajahnya langsung meringis. Seluruh badannya terasa remuk.Setelah jelas, disapukannya pandangan ke sekitar tempat.“Di mana ini?!”Lalu tertegun.“Ah.”Kepalanya mendadak sakit saat dipaksa mengingat, dia memeganginya sambil meringis.Namun ...“Nenek itu!” Dia tersentak.Ingatannya samar sebenarnya, bahkan tentang kenapa dia berakhir terdampar di tempat itu sekarang, masih teka-teki.Kemudian saat akan berdiri, tak sengaja tangannya menyentuh sebuah buntalan kain. “Buntalan ini?” Alana mengangkat buntalan itu hingga ke depan wajah. Perasaan tak enak langsung menyeruak ke dalam dada.Nenek Samiah, menolongnya dari kehausan, lalu mengobati semua luka gores di kakinya dengan tumbukan dedauan obat.“Ini baju-baju milik putriku, pakai saja untuk berganti di jalanan. Dan kain hitam itu, pakailah di kepalamu, jangan lepas kecuali kau akan mandi. Selamat menempuh perjalananmu, Nak. Jangan pe
Hari itu Jun Andreas memutuskan untuk mengambil cuti dari kepadatan rutinitas kerjanya. Ia berniat mendatangi sebuah tempat yang sudah lima belas tahun lamanya 'tak pernah dia jejaki.Sepanjang perjalanan, berulang merapal do'a dan berharap, semoga gadis kecil yang sekarang sudah berusia 23 tahun itu masih bisa ditemuinya.Setelah berjam-jam menempuh perjalanan yang menguras tenaga seorang diri tanpa supir pribadi, akhirnya Jun Andreas sampai di tempat tujuan, sebuah desa yang telah banyak berubah dari yang dia ingat terakhir kali.Keluar dari dalam mobil dengan tatapan takjub mengedar ke sekeliling.Meski sudah bertahun silam dan sangat lama sekali, dia masih sangat mengenali setiap sudut, bahkan tahu detail mana yang telah berubah dan yang belum.Mobilnya terparkir di tempat lapang, di samping sebuah pos ronda tempat warga berjaga malam.Pasang kaki dengan sepatu jordan menyusur jalanan. Kemeja denim lengan panjang yang bagian depannya tak dikancing berkibar-kibar seiring langkah, k
Bangkit perlahan dengan kepala pening, Alana merasakan haus. Seraya memegangi tenggorokan dengan posisi duduk berleseh, matanya menyapu sekeliling. “Ya, Tuhan.”Ada di tengah lebatnya hutan. Suara angin terasa jelas menembus telinga. Gemeresak dedaunan kering menambah kebimbangan di dalam hati."Kamu sudah sadar, Nak?"Alana langsung melengak ke asal suara.Seorang nenek berbadan kurus yang belum bungkuk, tersenyum sembari mendekat. Di satu tangannya, sebuah botol air mineral yang nampak usang terisi penuh air yang bening. “Minumlah.”Dengan ragu, tangan Alana meraihnya. Terdorong rasa haus yang tak tertolong, lekas ditenggaknya air di dalam botol hingga sisa setengah volume. “Terima kasih, Nek,” ucapnya seraya menyapu bibir dengan telapak tangan.Senyuman teduh menyambut, nenek itu duduk di hadapan Alana. “Kakimu banyak goresan, harus diobati. Ayo ikut ke gubuk Nenek.”Lagi, Alana meragu, namun kemudian mengangguk karena tak ada pilihan lain.Dengan langkah tertatih dia mengikuti wan
Mesin mobil berderu di halaman. Dari dalam rumah, Marni menyibak sedikit gorden untuk mengintip, penasaran siapa yang datang. Setelah melihat, senyum mengembang dari bibirnya. Gegas dibukanya pintu lalu mendekat untuk menyambut. Ternyata dua orang anak buah Juragan Wasesa. "Kalian pasti mau jemput kami, 'kan?" tanyanya penuh percaya diri. Hanya basi-basi saja, dia tak butuh jawaban karena mengira semua benar. “Sebentar kami bersiap dulu!” Dengan semangat melanting ke dalam rumah, memasuki kamar, tak peduli dua orang pria yang saling beradu pandang dengan kernyitan di dahi mereka. “Siapa yang datang, Bu?" tanya Utari, menghampiri ibunya yang sedang memoles lipstik di depan cermin. “Tari, cepat kamu siap-siap, dandan yang cantik. Kita sudah dijemput!” “Dijemput?" Utari mengerut kening. “Dijemput siapa, Bu?” “Kamu ini bagaimana, kita akan menghadiri upacara sakral!” “Upacara sakral?” “Pernikahan Alana dan Juragan Wasesa! Mereka akan menikah hari ini!” Demi apa pun, Utari tidak
Dibantu cahaya bulan di ketinggian, Alana menyusur jalan setapak. Entah sudah berapa jauh, yang jelas, jalan yang dilaluinya sekarang dimulai dari belakang rumah mewah Juragan Wasesa, sesuai arahan Rani. Setahu Alana, jalanan itu mengarah ke hutan. Langkah tak tentu arah tujuan, yang penting menjauh dulu dari Juragan Wasesa dan anak buahnya. Tidak mengarah pulang ke Tanjung Sekar, bertemu Marni sama saja bunuh diri kembali dan pasti akan berakhir di tempat sama. Waktu sudah hampir pagi, Alana benar-benar sudah memasuki hutan yang dalam. Udara dingin kian menusuk, tidak bisa dihalau karena pakaian yang tidak tebal. “Aku lelah. Aku tak kuat lagi." Langkah yang tak lagi kokoh bergerak limbung. Rasa perih dari luka-luka goresan belukar sudah 'tak dihirau. Perlahan, pandangan Alana memburam, melemas, dan ... BRUK!** "Kalian semua memang tidak becus! Menjaga satu perempuan lemah saja tidak mampu! Aku tidak mau tahu, cari dia sampai ketemu!” teriakan Juragan Wasesa membahana di seant


![Memantai [Tamat]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)




