HARI pertama berlalu dengan cepat. Tiara tak terlalu merasakan sedang terperangkap dalam hutan. Direktur muda perusahaan parking management itu lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur di atas ayunan pondok.
Rasa penat yang tak terlalu dihiraukan sejak mengalami kecelakaan kemarin sore, tiba-tiba saja datang menyergap dan membuat Tiara terlelap. Begitu nyenyaknya gadis itu tidur. Sampai-sampai ia tidak menyadari ketika Abdi pergi mencari kayu selama sekian lama.
Tiara juga tidak mendengar suara apa pun saat Abdi membuat alas pondok, Ketika kemudian terbangun, gadis itu dibuat terkejut karena mendapati beberapa perubahan di sekelilingnya.
Hal pertama yang membuatnya terkesan adalah lantai pondok. Terbuat dari deretan lonjoran kayu panjang seukuran pergelangan tangan anak-anak. Diiikat erat menggunakan tanaman sulur pada masing-masing tepian.
"Kapan dia membuat ini?" tanya Tiara dalam hati, penuh rasa penasaran. Diam-diam ia jadi mengira-ngira, suda
Terima kasih banyak buat semua yang sudah mengikuti kisah Tiara-Abdi. Jangan sungkan-sungkan kasih komentar ya. Juga jangan lupa beri rating biar semakin semangat update :)
ABDI tersenyum-senyum sendiri melihat tingkat atasannya. Sambil geleng-gelengkan kepala pemuda itu kembali menuju ke api unggun. Dari sana ia membawa beberapa piring anyaman bambu, juga kuali tanah liat tempat merebus air."Makan dulu, Bu. Ibu tadi melewatkan jam makan siang," ujar Abdi seraya menata hidangan di atas lantai pondok.Tiara membuka matanya dan kembali duduk. Gadis itu jadi terbelalak lebar melihat begitu banyak makanan yang dihidangkan Abdi. Selain ikan bakar dan talas rebus, ada pula sayur-sayuran entah apa yang kesemuanya terlihat layu mirip direbus.Lalu juga ada aneka buah! Tiara tak tahu apa saja namanya, namun ia bisa menebak tentulah benda-benda bulat yang kulitnya bermacam-macam itubuah-buahan hutan."Kamu tadi katanya mau mencari kayu, tapi ternyata mencari makanan juga ya?" tanya Tiara tak kuasa mengungkapkan rasa senang karena hidangan kali ini begitu melimpah.Abdi tersenyum. "Sekalian jalan, Bu. Lagian mumpung Ibu tidur j
MALAM belum lagi sempurna datangnya, namun hutan tempat Tiara dan Abdi terperangkap sudah mulai gelap. Kayu-kayu kering pun dimasukkan ke dalam api unggun agar nyalanya membesar.Suara berkeretekan terdengar sewaktu api membakar kayu kering yang baru saja dimasukkan. Kobaran api seketika membesar, suasana di sekitarnya menjadi lebih terang.Selain sebagai penerang, api unggun tersebut juga berfungsi mengusir hawa dingin. Setiap menjelang malam seperti saat itu, kabut tebal turun mengurung kawasan hutan. Udara pun seketika menjadi sangat dingin mencucuk tulang."Kayanya hutan ini di dataran tinggi ya, Abdi? Tiap pagi dan sore selalu turun kabut tebal," ujar Tiara membuka percakapan."Sepertinya begitu, Bu. Soalnya Gunung Slamet yang Ibu tunjukkan kemarin kelihatan sangat dekat," sahut Abdi.Waktu itu Tiara baru saja selesai mandi di sungai. Tentu saja dengan diantar Abdi. Sempat timbul keributan kecil karena si gadis mencuci blus dan roknya. Setelah
TANPA berkata-kata lagi Abdi kemudian beranjak menuju api unggun. Tadi sambil menunggui Tiara mandi pemuda itu berburu ikan di sungai, dan mendapat tangkapan yang lebih dari cukup untuk makan malam.Dengan tatapan matanya Tiara terus memandangi apa yang dilakukan sopir perusahaannya tersebut. Sebuah tatapan kagum, karena Tiara tak dapat membayangkan apa yang terjadi jika dirinya terperangkap dalam hutan tersebut tanpa Abdi.Selain kecakapannya dalam memenuhi kebutuhan untuk bertahan dengan nyaman di hutan, si pemuda juga selalu terlihat tenang. Alih-alih merasa terjebak, Abdi terlihat lebih mirip sedang mengadakan perkemahan."Kok bisa ya sejak awal Abdi terlihat begitu tenang. Walaupun aku yakin sekali dia paham caranya bertahan hidup di dalam hutan, nggak khawatir bakal mati kelaparan di sini, tapi pastilah dia punya keinginan untuk kembali ke rumah," batin Tiara sembari terus mengamat gerak-gerik bawahannya itu.Tiara sendiri sejak mobilnya menabrak pe
SEPASANG manusia yang tengah terperangkap di hutan itu pun makan malam bersama. Diiringi orkestrasi suara aneka hewan malam yang begitu riuh rendah, terdengar sangat menenteramkan hati.Keduanya makan tanpa berbicara. Tiara sudah mulai membiasakan diri dengan menu apa adanya. Yakni hanya berupa ikan bakar dan talas, yang kali ini direbus. Abdi juga merebus beberapa sayur-sayuran entah apa.Tiara sempat ragu-ragu hendak ikut menyantap sayur-sayuran tersebut. Tapi saat melihat Abdi begitu lahap menikmati aneka rebusan hijau itu, mau tak mau ia pun jadi penasaran."Ini semacam sayur-sayuran hutan gitu ya?" tanyanya sembari menunjuk ke piring yang berisi rebusan dedaunan hijau.Abdi telan makanan di dalam mulutnya terlebih dahulu baru menjawab, "Iya, Bu. Sebenarnya ini sayur-sayuran biasa sih, cuma mungkin tidak banyak yang memasak dan memakan ini. Jadinya tidak banyak yang kenal sehingga dianggap tumbuhan liar.""Memangnya daun apa saja ini?" tanya Ti
SEPASANG mata Tiara membulat besar. Sedangkan keningnya berkerut dalam-dalam. Ekspresi wajah gadis itu campuran antara heran dan gusar karena keinginannya dicegah begitu saja.“Kenapa memangnya?” tanya Tiara kemudian.“Maaf, Bu,” sahut Abdi buru-buru. “Tunggu dulu setidaknya satu jam, Bu. Kan Ibu barusan makan tadi.”Tiara menghela napas panjang. Benar juga kata Abdi. Setelah makan jangan langsung berbaring. Tiara tahu betul itu. Namun tak urung ia merasa dongkol juga pada dirinya sendiri karena hal sesepele itu pun sampai harus diingatkan oleh sopir perusahaannya.Dengan malas-malasan Tiara akhirnya duduk bersandar di tiang pondok. Dari wajahnya yang terlihat kuyu dan matanya yang sudah redup, jelas gadis itu benar-benar mengantuk.Sementara Abdi membereskan sisa-sisa makanan dan peralatan makan mereka berdua. Setelah itu pemuda tersebut menghilang, agaknya ke sungai. Saat kembali, ia mengompres kaki Tiara yang
KICAUAN burung terdengar sangat riuh memenuhi udara. Saling bersahut-sahutan satu sama lain. Begitu beraneka macam suara itu, menandakan betapa banyaknya jenis burung yang terdapat di dalam hutan tersebut.Suara-suara ramai bermacam-macam burung itulah yang menjadi alarm bagi Tiara pagi itu. Membuat gadis tersebut terbangun dari tidur malamnya yang sangat nyenyak. Sampai-sampai ia sama sekali tak merasakan dinginnya udara akibat kepungan embun.Seperti kemarin, Tiara mendapati dirinya tengah sendirian di dalam pondok. Abdi entah berada di mana. Mungkin pemuda itu sedang mandi, mungkin juga malah mencari ikan di sungai dan aneka bahan makanan lain untuk menu mereka hari itu.Berpikir sampai di sana Tiara langsung lemparkan pandangannya pada api unggun di muka pondok. Tak ada nyala api. Api unggun itu hanya berupa tumpukan bara yang menyala merah. Itu artinya Abdi sudah lama pergi meninggalkan pondok."Jam berapa ini?" desah Tiara sembari angkat tubuhnya da
TERNYATA kalau dipakai berdiri, rasa sakit pada kaki Tiara yang semula hanya terasa samar menjadi bertambah-tambah. Itu artinya, kakinya tersebut masih belum dapat menahan beban berat. Belum kuat dijadikan sebagai tumpuan. Kalau hanya menapak saja sudah tidak terlalu bermasalah."Ah, ternyata benar kata Abdi semalam. Kakiku baru akan sembuh dalam dua-tiga hari lagi," desah Tiara dengan nada kecewa.Gadis itu lantas termenung. Pandangan matanya secara tak sengaja mengarah pada perapian di muka pondok. Dari awalnya hanya menerawang dengan tatapan kosong, kening Tiara jadi berkerut ketika melihat ada sesuatu yang tak biasanya di sana.Di saat bersamaan Abdi muncul. Di tangan pemuda itu terdapat rupa-rupa bungkusan daun. Entah apa saja isinya, mungkin saja bahan makanan yang baru saja diambilnya entah dari mana."Ibu sudah bangun dari tadi?" tanya Abdi begitu melihat Tiara.Yang ditanya hanya mengangguk samar. Cepat ia berusaha menyembunyikan kernyitan
SESUAI dugaan Abdi, Tiara memang sangat menyukai sukun bakar tersebut. Gadis itu menyantap bagiannya dengan lahap, nyaris tak menyisakan apa-apa selain kulitnya yang keras. Bagi Tiara, daging buah sukun jauh lebih lembut ketimbang talas. Teksturnya juga mirip roti. Tak heran bila orang Barat menyebutnya sebagai breadfruit, yang secara harafiah berarti buah roti. Aroma yang menguar dari buah itu pun sangat wangi. Tak pelak, menu sarapan pagi itu menjadi yang ternikmat bagi Tiara sejauh ini. Terlebih Abdi juga membawakannya begitu banyak buah duwet, yang langsung dihadapnya sendirian selepas makan besar. "Terima kasih banyak ya, Abdi. Makan pagi ini sangat nikmat sekali," ujar Tiara. Gadis itu tak dapat menahan kegembiraan hatinya. Sebab untuk kali pertama semenjak terperangkap di hutan ini, baru kali itulah ia merasakan nikmatnya makan. Sebelum-sebelumnya si gadis makan hanya karena memang harus makan. Tidak lebih. Abdi menanggapi ucapan terima