ADEGAN yang tersaji beberapa langkah di hadapannya membuat Tiara menahan napas. Sepasang mata bening direktur muda itu terbelalak lebar, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Perasaan gadis tersebut seketika menjadi campur aduk antara jijik dan marah.
Di sana, tepat di ambang pintu kamar apartemen Ryan yang terbuka lebar, sepasang manusia tengah berpagut bibir penuh nafsu sembari berangkulan erat. Yang perempuan entah siapa, wajahnya tak terlihat karena berdiri membelakangi Tiara. Rambut lurus perempuan itu panjang sepunggung, terurai ke samping menutupi kepala.Sedangkan yang laki-laki tak lain tak bukan adalah Ryan, tunangan Tiara!Tiara mendengus kasar. Kedua belah tangannya terkepal erat karena terbakar emosi. Membuat tangkai mawar merah yang ia genggam patah beberapa bagian. Cokelat di tangan yang satunya lagi juga bergemeletak remuk."Bagus!" seru Tiara keras, sembari melangkah mendekat dengan langkah kesal. Entah mengapa kata itu yang spontan keluar dari mulutnya, gadis tersebut juga tidak tahu.Sepasang laki-laki dan perempuan yang tengah berpagut bibir terkejut. Buru-buru mereka lepaskan bibir yang tengah bertaut, lalu sama menjauhi yang lain. Wajah Ryan seketika berubah begitu melihat siapa yang datang."Ti-Tiara?" ujarnya, tak bisa menyembunyikan nada terkejut dalam suaranya yang bergetar.Tiara mendelik, memandangi wajah Ryan lekat-lekat. Sedangkan perempuan yang bersama tunangannya itu tampak menundukkan kepala dalam-dalam."Begini rupanya kelakuan seorang Ryan Wijaya. Sungguh menjijikan!" kata Tiara lagi, setengah menggeram.Wajah Ryan terlihat serba salah. Tapi kemudian pemuda berperawakan tinggi besar itu melangkah mendekati Tiara."Tiara, please, jangan salah paham dulu. Ini nggak seperti apa yang kamu lihat, Beib," ujar Ryan seraya ulurkan sebelah tangannya hendak merangkul pundak Tiara.Tiara buru-buru menghindar. Tangan Ryan ditepisnya dengan kasar. Mawar merah di tangannya terlempar entah ke mana."Nggak seperti apa yang aku lihat, heh?" ulang Tiara setengah mencibir. "Maksud kamu, yang nggak sempat aku lihat kalian sudah melakukan lebih dari sekedar berpelukan dan berciuman, begitu?"Terdengar Ryan mendesah panjang."Bukan, bukan! Jangan berpikiran yang nggak-nggak begitu ....""Berpikiran yang nggak-nggak, kamu bilang?" Tiara menukas kesal. "Aku memergoki kamu lagi mencumbu perempuan lain, Ryan! Aku melihatnya dengan mataku sendiri!""Tiara, please ...."Sekali lagi Ryan coba merangkul Tiara. Agaknya lelaki tersebut berharap dapat meluluhkan kemarahan si gadis. Tapi Tiara kembali menepis dengan kasar."Sudahlah, jangan banyak alasan, Ryan! Kamu tuh sudah tertangkap basah. Dan bagusnya lagi ini terjadi pas kita mau pergi berlibur ke luar kota merayakan anniversary hubungan kita!" bentak Tiara tepat di depan wajah Ryan.Usai berkata begitu Tiara melangkah ke hadapan perempuan berambut panjang yang sedari tadi hanya diam tertunduk. Dipandanginya perempuan itu dari atas ke bawah."Aku jadi penasaran, siapa sih perempuan yang membuatmu melakukan perbuatan serendah ini, Ryan," ujarnya sembari coba menyibak rambut panjang yang menutupi wajah perempuan di hadapannya.Perempuan tersebut gelengkan kepala, membuat gerakan tangan Tiara gagal menyibak rambutnya. Kakinya mundur selangkah menjauh.Tiara jadi bertambah geram. Dengan kasar dijambaknya rambut bagian atas si perempuan. Kemudian disentakkannya kepala perempuan itu agar mendongak."Tiara, jangan kasar begitu dong," seru Ryan yang segera mendekat, tapi tak berani berbuat apa-apa.Sedangkan perempuan yang dijambak meringis kesakitan. Ubun-ubunnya terasa perih karena Tiara menjambak begitu kuat, membuat rambutnya seolah hendak tercerabut rontok,Dalam posisi kepala setengah mendongak begitu rupa, barulah Tiara dapat melihat wajah perempuan tersebut dengan jelas. Kening direktur muda tersebut langsung berkerut dalam. Sepasang mata beningnya menyipit, seolah tak mempercayai apa yang dilihatnya."Anita?" desis Tiara tak percaya."Ma-maafkan saya, Bu," sahut si perempuan yang dijambak, lalu kembali meringis kesakitan.Tiara menggeram. Tak dapat mengendalikan diri, tangannya tahu-tahu saja sudah melepas jambakan dan dalam sekejap melayang ke arah pipi perempuan itu dengan keras.Plak!Terdengar jerit kesakitan ketika Tiara menampar si perempuan. Begitu keras tamparan itu sampai-sampai terdapat bekas memerah membentuk telapak tangan di pipinya yang halus.Ryan yang kaget segera menangkap tangan Tiara dan memegangnya erat-erat."Tiara, kamu kelewatan banget sih!" ujarnya setengah berseru.Tiara tergelak mendengar itu."Kelewatan, kamu bilang? Kalau begitu affair kamu dengan dia pantasnya disebut apa coba?" balasnya dengan sengit."Dengar dulu, Tiara. Aku bisa jelasin semuanya."Tiara menggelengkan kepalanya keras-keras."Nggak, Ryan! Nggak ada lagi yang perlu dijelasin. Semuanya sudah sangat jelas, terpampang nyata di depan mataku," ujarnya sembari menatap manik mata Ryan tajam-tajam. "Sekarang aku cuma pengen tahu, sudah sejak kapan kamu menjalin hubungan sama Anita?"Ryan menunduk, tak kuasa menentang tatapan tajam Tiara. Dari mulutnya hanya terdengar suara desahan."Jawab, Ryan! Sudah sejak kapan kamu selingkuh sama Anita?" tanya Tiara lagi, setengah menjerit.Tak ada jawaban. Ryan masih tetap diam tertunduk. Tiara mendengus kesal, lalu berbalik badan ke arah Anita. Sepasang matanya berkilat-kilat menatap perempuan yang tak lain adalah karyawannya sendiri."Jadi, alasan kamu bolos kerja hari ini karena sejak semalam dikelonin sama Ryan?" ujar Tiara sembari mendengus kesal.Anita terlihat menelan ludah. Perempuan itu tak berani mendongak sedikit pun."Barangkali kamu mau jawab, sudah berapa lama kalian berhubungan di belakangku begini?" tanya Tiara lagi.Takut-takut, Anita coba memandang wajah Tiara. Tapi ia buru-buru menunduk lagi karena melihat tatapan tajam atasannya tersebut."Ma-maafkan saya, Bu," ujarnya lirih."Sudah, kamu jawab saja! Nggak perlu basa-basi minta maaf segala," sentak Tiara, tak sabar.Anita diam sejenak, tapi kemudian menjawab lirih. "Kami, kami mulai berhubungan sejak berkenalan waktu outing kantor akhir tahun lalu, Bu."Deg! Jantung Tiara seolah hendak copot. Outing yang dimaksud Anita sudah berlalu nyaris setahun, tepatnya sebelas bulan lalu. Itu artinya sudah selama itu pula dirinya dikhianati oleh mereka berdua.Tiara tak dapat berkata-kata lagi. Tiba-tiba saja dadanya terasa begitu sesak. Kenyataan bahwa dirinya sudah dikhianati sedemikian lama terasa jauh lebih menyakitkan hati ketimbang menyaksikan adegan mesra mereka tadi. Sekuat mungkin direktur muda itu menahan air mata yang siap tumpah."Ma-maafkan saya, Bu," kembali Anita berucap lirih.Tiara menghela napas panjang, berharap dengan begitu rasa sesak di dadanya dapat menjadi lega. Untung saja pada akhirnya ia masih dapat sedikit berpikir jernih."Kita selesaikan urusan ini nanti setelah saya pulang dari Batang," ujar Tiara kemudian. Kemudian tanpa berkata-kata lagi ia berbalik badan, bergegas menuju lift untuk turun ke bawah.Ryan buru-buru menyusul."Tiara, tunggu!" serunya seraya berusaha meraih tangan sang tunangan.Tiara menepis pegangan tangan lelaki tersebut, lalu mempercepat langkah. Kebetulan sekali pintu lift terbuka, dua orang keluar dari dalamnya. Tanpa menoleh lagi Tiara segera masuk ke dalam lift dan cepat-cepat menekan tombol untuk menutup pintu. Ryan tak sempat mengejar.Sendirian di dalam lift, barulah tangis Tiara pecah sejadi-jadinya. Rasa sesak di dalam dadanya ingin dituntaskan saat itu juga. Punggung gadis tersebut terhempas ke dinding kabin, lalu melosoh turun dan jongkok di sudut. Air mata sudah membasahi kedua pipinya."Tega kamu, Ryan!" erangnya di sela-sela isak tangis. Batangan cokelat yang masih tergenggam di tangan kirinya diremas-remas sampai hancur, kemudian dilempar begitu saja.Seolah tahu suasana hati Tiara, sepanjang turun dari lantai 33 ke lobi tak sekalipun lift tersebut berhenti. Tak ada orang lain yang ikut turun. Tiara pun jadi dapat menuntaskan kesedihan dengan terus menangis tersedu-sedu di sudut kabin lift."Kamu brengsek, Ryan! Brengsek!" jerit Tiara lagi, lalu kembali meraung pilu.***Siapa yang punya pengalaman nggak enak seperti Tiara? Bagusnya dimaafkan atau mending ditinggal nih lelaki brengsek kaya gitu? Salam, @bungeko_
TING!Suara denting lift mengagetkan Tiara. Seketika direktur muda itu mengusap air mata yang membasahi pipi dengan punggung tangan. Ia bergegas bangkit berdiri saat pintu lift terbuka lebar. Tergesa kakinya melangkah keluar menuju lobi apartemen.Yang pertama dicari Tiara begitu keluar dari kabin lift adalah toilet. Ia harus mencuci muka terlebih dahulu dan menenangkan diri sebentar. Tidak mungkin dirinya muncul di hadapan Abdi dalam keadaan berantakan seperti itu.Untung saja letak toilet hanya beberapa langkah dari pintu lift. Tiara jadi tidak perlu jauh-jauh berjalan. Gadis itu kembali merasa sangat beruntung begitu mendapati toilet tersebut kosong.Desahan panjang keluar dari mulut Tiara begitu melihat betapa kusut wajahnya yang terpantul dari kaca besar di atas wastafel toilet. Sepasang mata beningnya telah berubah merah dan sembab. Pipi pucat, sedangkan hidung tak kalah merah serupa orang pilek."Bodohnya aku!" maki Tiara
SEKITAR satu jam berselang Abdi sudah keluar dari masjid. Tiara melihat sopirnya itu hendak menyusul ke dalam gerai kopi, tapi langsung berbalik langkah ketika mengetahui dirinya berdiri menunggu di sebelah mobil.Buru-buru pemuda tersebut merogoh kantong celana. Mencari-cari remote control untuk membuka kunci pintu mobil."Maaf, Bu. Ibu sudah menunggu lama ya?" tanya Abdi dengan nada bersalah.Bukannya menanggapi, Tiara justru balik bertanya, "Kenapa pintunya dibuka? Kan kita mau makan dulu?"Abdi melongo sendiri. "Oh, saya kira Ibu mau masuk mobil dulu," katanya serba salah.Tiara geleng-gelengkan kepala sembari merengut. Wajahnya terlihat jutek."Kamu mau makan ayam goreng apa bebek goreng?" tanya Tiara kemudian."Wah, apa saja boleh deh, Bu. Terserah Ibu saja enaknya di mana, saya ikut," jawab Abdi, tak berani menentukan pilihan."KFC apa Bebek Dower?" tanya Tiara lagi, mendesak.
MELIHAT Abdi kebingungan, Tiara jadi tertawa kecil. Mungkin sopirnya itu tak menyangka jika dirinya mengetahui jalur-jalur alternatif di kawasan selatan Jawa Tengah. "Saya mau lewat jalur selatan. Kita sekalian refreshing, pemandangan di sepanjang jalan nanti bagus banget. Saya jamin!" jelas Tiara kemudian. Abdi hanya diam mendengarkan. “Jadi, kita keluar di Pemalang saja ya. Nanti begitu keluar dari tol biar saya yang nyetir. Kamu tenang aja, sekalian istirahat,” tambah si gadis.Abdi tak berani memprotes. Tapi ia melirik ke arah jam digital di dasbor. Masih pukul empat lewat sedikit. Lewat jalur selatan pun tidak akan membuat mereka sampai di Batang terlalu malam. Abdi jadi lega.Tak lama berselang mereka sudah memasuki pusat kota Pemalang. Tiara mengambil alih kemudi, lalu melajukan mobil ke arah selatan menuju Randudongkal. Sesampainya di satu pertigaan di dekat pasar yang ramai, Tiara mengambil jalan ke kiri. Lanjut terus ke selata
TERNYATA Ryan ngotot. Meski beberapa kali diabaikan, panggilan terus dilakukan. Lama-lama Tiara merasa risih. Dengan gerakan kasar diangkatnya juga panggilan itu meski dengan perasaan sangat dongkol.“Halo, Tiara?” terdengar suara Ryan dari seberang melalui loudspeaker.Tiara tak menjawab. Gadis itu bahkan hanya menyalakan loudspeaker, sekedar ingin tahu apa yang ingin dikatakan Ryan saat itu."Tiara, kamu sudah sampai di mana?" tanya Ryan lagi.Tiara mendengus kesal."Apa pedulimu aku sudah sampai di mana?" balas gadis itu dengan ketus.Terdengar suara mendesah panjang dari seberang."Aku sudah nunggu di Batang nih. Kok kamu malah belum sampai sih?" kata Ryan lagi.Tiara tersentak kaget. Ryan sudah sampai di Batang? Rupanya laki-laki brengsek itu tadi menyusul, dan malah sudah sampai lebih dulu di Batang? Gadis itu menduga-duga dalam hati.“Aku lagi check in d
DARI balik kaca pintu, sepasang mata Tiara melihat kerapatan daun pepohonan yang menghijau. Sebuah hutan luas yang lebat dengan pohon-pohon besar nan tinggi.Apa yang beberapa waktu lalu dinikmatinya sebagai pemandangan indah di kiri-kanan jalan, kini siap menyambut mobilnya yang tengah melayang jatuh.Seketika Tiara merasa ngeri. Mobilnya melayang jatuh tanpa dapat dikendalikan menuju ke tengah lebatnya dedaunan tersebut. Entah apa yang bakal menyambut mereka di bawah, gadis itu tak sanggup membayangkan.Di saat-saat seperti itu, dalam benaknya justru terbayang video-video kecelakaan yang pernah ia tonton di YouTube. Wajah gadis itu kontan mengernyit ngeri. Tak sanggup membayangkan jika dirinya yang bernasib seperti orang-orang dalam video tersebut."Abdi, bagaimana nih?" tanya Tiara dengan nada panik.Abdi yang tengah berpegangan erat pada punggung jok di depannya tak langsung menjawab. Sejak tadi mata pemuda itu juga memandangi ke lu
DIAM-DIAM Tiara jadi menyesal kenapa tadi tidak ganti baju dulu sebelum berangkat. Karena tak sabar ingin segera menghampiri Ryan di apartemennya, gadis itu memilih langsung pergi saja. Eh, ternyata yang ia saksikan di sana malah sebuah pengkhianatan."Brengsek!" Tanpa sadar Tiara memaki karena teringat kembali pada apa yang dilihatnya di depan apartemen Ryan."Maaf, Bu?" Abdi bertanya keheranan, menganggap sang atasan berbicara padanya."Oh, tidak, tidak!" sahut Tiara cepat-cepat sembari menggeleng.Abdi melongo, tapi kemudian berkata, "Kalau begitu kita harus segera turun, Bu. Akan lebih aman buat kita kalau berada di luar mobil dan turun."Tiara tak menjawab. Pikirannya masih sibuk membayangkan bagaimana jadinya ia yang mengenakan setelan blazer kantoran, bergelantungan di pohon. Apalagi bersama seorang laki-laki!"Mari, Bu, lewat pintu tengah sini," ujar Abdi lagiTangan pemuda itu lantas membuka pintu tengah lebar-lebar. Tepat di
API berkobar-kobar dari terbakarnya mobil SUV milik Tiara. Begitu besarnya kobaran tersebut, sampai-sampai jilatannya menyambar dedaunan di cabang-cabang nan tinggi. Helai-helai yang terkena hawa panas dari bawah seketika mengering dan berubah menjadi hitam.Kobaran api juga membuat suasana senja di dalam hutan tersebut, yang awalnya sudah temaram, menjadi terang benderang lagi. Suara terbakarnya material mobil terdengar berisik. Ditingkahi bau menyengat dari hangusnya cat dan karet serta busa yang menggelitik liang hidung."Aduh, Abdi, bagaimana ini?" ujar Tiara dengan panik.Direktur muda tersebut sudah berdiri di atas cabang besar. Kedua lututnya gemetar, ngeri berada di atas pohon setinggi itu. Sebelah tangannya memegang erat ujung kemeja Abdi di sebelahnya. Sedangkan tangan yang satu lagi terulur berpegangan pada batang pohon.Bukan mobilnya hangus terbakar yang membuat Tiara panik. Tapi kenyataan bahwa dirinya kini bakal terjebak di tengah hutan ent
ABDI tersenyum lebar melihat Tiara berhasil turun di cabang tempatnya berada. Pemuda itu merasa lega bukan main.Tubuh Abdi lalu kembali berdiri tegak. Tidak seperti Tiara yang terus berpegangan pada apapun yang dapat diraih, pemuda tersebut tampak santai-santai saja berdiri dengan tangan bebas."Jadi begini tadi cara kita turun ke bawah?" tanya Tiara, sambil bergidik ngeri melihat betapa jauhnya permukaan tanah di bawah sana.Abdi mengangguk. "Iya, Bu. Pelan-pelan saja, yang penting selamat sampai bawah," sahutnya.Ya, Tiara sangat setuju dengan ide tersebut. Memang harus sangat pelan-pelan, atau dirinya bisa-bisa tergelincir dan jatuh. Si gadis jadi bergidik ngeri saat di kepalanya tahu-tahu saja terbayang dirinya jatuh ke bawah."Eh, apa yang kamu lakukan?" seru Tiara tiba-tiba, sewaktu melihat Abdi melepas celana panjangnya. Kini pemuda tersebut hanya mengenakan sehelai celana pendek selutut."Anu, mohon maaf, Bu." Abdi tampak serba sala