“KRRRIIIINGG ...!”
Alarm jam di meja kerja Tiara Wardoyo berdering keras. Gadis berusia jelang seperempat abad itu terjingkat kaget dibuatnya. Berkas-berkas yang berserakan di atas meja buru-buru ia kumpulkan, lalu disatukan dalam map.Sembari kedua tangannya menata tumpukan dokumen, leher jenjang Tiara terjulur ke samping monitor laptop. Mengintip ke arah sekretarisnya di ruang sebelah, yang tampak serius di belakang meja. Entah mengerjakan apa.“Sinta, saya mau berangkat sekarang. Tolong beri tahu sopirnya supaya bersiap-siap di bawah. Lima menit lagi saya turun,” ujar Tiara melalui interkom.Kedua bola mata bening gadis itu menyaksikan si sekretaris segera hentikan pekerjaannya, lalu memencet tombol interkom sembari memandang Tiara dari balik kaca pembatas ruangan.“Ta-tapi, Bu, bukankah Ibu masih harus menunggu Pak Ryan?” sahut si sekretaris dengan tatapan bingung.Tiara tersenyum kecil.“Nggak jadi. Saya yang akan nyamper Ryan di apartemennya dari sini,” katanya, menjelaskan rencana dadakan yang baru terlintas saat ia tiba di kantor tadi.Rencana awalnya memang Ryan yang akan datang ke kantor. Kemudian diantar sopir perusahaan, Tiara bersama sang tunangan akan menempuh perjalanan darat menuju Batang.Perusahaan parking management yang didirikan oleh kedua pasangan itu tengah gencar-gencarnya mengembangkan sayap. Mereka mendapat tawaran kerja sama pengelolaan parkir dari beberapa pihak di Batang dan Kendal.Di Batang tengah dibangun beberapa pembangkit listrik bersakala nasional. Beberapa perusahaan kawasan industri juga telah membuka proyek di sana. Prospek daerah di Jalur Pantura Jawa Tengah tersebut cerah.
Pun demikian Kendal, yang menjadi daerah penyangga utama Kota Semarang. Semakin lama Semarang seolah semakin bergeser ke barat. Sehingga Kendal juga diprediksi bakal seramai ibu kota Jawa Tengah tersebut.
Memanfaatkan momentum pertemuan dengan para calon partner bisnis itulah, Tiara dan Ryan bermaksud sekalian berlibur. Sekaligus merayakan hari jadi mereka yang ketiga. Dan Tiara bermaksud mengawali perjalanan mereka dengan satu kejutan kecil.“Oh, begitu to, Bu,” ulang Sinta. Meski masih menunjukkan raut wajah bingung, namun sekretaris berambut panjang sepunggung itu membalas senyum Tiara.“Sudah, jangan bingung begitu. Cepat beri tahu sopirnya,” sahut Tiara gemas. Lalu tanpa menunggu jawaban Sinta ia langsung berdiri.“Ba-baik, Bu. Kalau begitu saya beri tahu sopirnya sekarang juga.” Suara Sinta terdengar dari mikrofon interkom.Tiara meraih tas kerjanya yang sedari tadi tergeletak di ujung meja kerja. Dibukanya sebentar, mengecek isi di dalamnya. Tidak ada yang berubah. Tak sampai sekedipan mata berselang ritsleting sudah ditutup lagi.Sembari melangkah meninggalkan meja, laptop yang masih menyala ia tutup kemudian ditenteng begitu saja. Tas koper duffel berwarna hitam yang sudah menunggu di dekat pintu ruangan tak lupa diraih.“Siapa sopir yang akan mengantar saya dan Ryan?” tanya Tiara saat melintasi meja Sinta.Sang sekretaris yang tengah menatap layar monitor langsung angkat kepalanya.“Yang akan mengantar Abdi, Bu,” sahutnya cepat seraya berdiri. “Dia sudah menunggu di bawah.”Tiara hanya mengangguk, lalu melanjutkan langkah. Tapi baru selangkah berjalan ia ingat sesuatu dan berhenti.“Oya, tolong ingatkan Anita untuk segera menyelesaikan revisi laporan keuangan yang saya minta beberapa waktu lalu. Bilang padanya, begitu saya kembali dari Batang dan Kendal laporan itu sudah harus siap,” ujarnya memberi instruksi.“Baik, Bu,” jawab Sinta sembari mengangguk. Tapi lalu menambahkan dengan ragu-ragu, “Ngg, tapi maaf, Bu, hari ini sepertinya Anita tidak berangkat.”Tiara angkat kedua alisnya. Di dalam hatinya merutuk sendiri. Bagaimana bisa ia tidak tahu kepala keuangan perusahaannya itu tidak masuk hari ini.“Lho, kenapa dia absen? Hari Jumat jelang wiken begini kok malah nggak masuk kerja,” ujarnya sembari pencongkan bibir.“Saya tidak tahu, Bu. Coba nanti saya telepon,” sahut Sinta pelan.“Ya sudah, kamu telepon saja dia nanti. Bilang sama dia nanti kerjaannya saya hitung lembur. Saya berangkat sekarang,” kata Tiara lagi.Lalu tanpa menunggu respon sekretarisnya, direktur muda itu kembali melangkah.
Sinta buru-buru berlari mengejar.“Biar saya antar ke bawah, Bu,” ujar sang sekretaris sembari meraih pegangan troli tas koper yang diseret atasannya.Tiara menatap sekretaris berwajah imut itu sembari tersenyum.“Sudah, nggak perlu. Kembali ke mejamu saja sana,” tolaknya dengan halus. “Jangan lupa, kalau nanti ada yang mencari saya bawa mereka menemui Pak Seno.”Sinta mengangguk cepat. “Baik, Bu.”Tanpa memedulikan Sinta yang masih berdiri melongo, Tiara memencet tombol lift. Beberapa saat kemudian tubuhnya sudah menghilang, turun bersama kabin lift ke lantai bawah.Para pekerja di lantai bawah yang melihat kemunculan Tiara segera memberi hormat dan menyapa. Gadis itu hanya menanggapi dengan anggukan kecil tanpa ekspresi, sembari terus melangkah keluar.Sebuah mobil SUV hitam dengan plat nomor T 14 RA, sehingga membentuk nama TIARA, telah menunggu di depan lobi. Seorang pemuda berkemeja putih polos cepat-cepat menghampiri Tiara.“Selamat pagi, Bu,” sapa pemuda tersebut sembari mengambil alih tas troli dari tangan si gadis direktur.Bukannya membalas salam tersebut, Tiara justru bertanya dengan sedikit heran, “Kamu yang namanya Abdi?”Pemuda tersebut mengangguk sembari tersenyum.“Iya, Bu. Saya Abdi,” jawabnya.Tiara memperhatikan pemuda di hadapannya lekat-lekat, dari atas ke bawah. Dalam hatinya bertanya-tanya sendiri, kenapa baru sekarang ia tahu perusahaannya punya sopir semuda ini.Tadinya Tiara membayangkan bakal diantar seorang sopir berusia paruh baya. Seperti halnya sopir-sopir lain di perusahaan tersebut. Juga sopir di rumah orang tuanya yang berumur kisaran empat-lima puluh tahun.Yang dipandangi jadi serba salah sendiri. Untuk mengusir rasa kikuk pemuda itu lantas membukakan pintu tengah dan mempersilakan Tiara masuk.“Silakan, Bu.”Tanpa menanggapi, Tiara masuk ke dalam mobil. Abdi menuntup pintu, kemudian berjalan memutar ke belakang untuk memasukkan tas troli ke bagasi. Menit berikutnya pemuda itu sudah duduk di belakang kemudi.“Kita ke Palmerah Barat, Bu?” tanya Abdi sembari memandang Tiara dari kaca spion tengah.“Ya, ke apartemen Ryan,” sahut Tiara.“Baik, Bu,” sahut Abdi seraya tancap gas.Begitu mobil melaju, sebuah senyum terkembang di wajah Tiara. Gadis itu sudah tak sabar ingin melihat reaksi tunangannya. Tangannya meraba setangkai mawar merah dan sebatang cokelat yang telah disiapkan di dalam tas tangan.Terbayang di benak Tiara bagaimana Ryan pasti bakal terkaget-kaget melihat kemunculannya. Lalu sang tunangan akan memencet hidungnya dengan mesra karena telah memberi kejutan begitu rupa.Hanya sebuah kunjungan mendadak memang. Ditambah setangkai mawar merah dan sebatang cokelat. Tapi tetap saja itu merupakan kejutan romantis bagi sang tunangan. Tanpa sadar Tiara jadi senyum-senyum sendiri.“Sudah sampai, Bu,” ujar Abdi tiba-tiba.Tiara tergeragap kaget. Secepat itukah? Dari kantornya di kawasan Tanjung Priok ke apartemen Ryan di Palmerah Barat, normalnya memakan waktu dua jam. Apakah selama itu ia melamun?Sontak direktur muda tersebut mengintip keluar. Benar saja. Dua buah tower tinggi tampak menjulang. Bangunan yang sudah sedemikian Tiara kenal. Mereka memang sudah sampai di apartemen Ryan.Bergegas Tiara turun dari mobil. Tas kerjanya tak lupa diraih. Dengan langkah riang ia melangkah masuk ke dalam lobi Tower 2. Kemudian naik ke lantai 33.“Dia pasti bakal surprise banget deh,” desis gadis itu sembari tersenyum-senyum sendiri.Beruntung di dalam lift itu Tiara hanya sendiri. Kalau tidak, tentulah ia sudah jadi pusat perhatian orang banyak. Sejak pintu lift tertutup gadis itu tak henti-hentinya mengembangkan senyum.Begitu layar kecil penunjuk lantai di atas pintu lift memampangkan angka 33, Tiara membuka ritsleting tas tangan. Setangkai mawar merah dan sebatang cokelat dikeluarkan dari dalamnya.Ting!Pintu lift terbuka. Dengan wajah terus mengembangkan senyum Tiara melangkah keluar. Tinggal belok ke kiri, lalu ke kamar nomor lima dari pintu lift, di situlah Ryan tinggal selama ini.Beberapa langkah berselang kamar yang dituju sudah terlihat. Tapi begitu melihat apa yang ada di depan kamar tersebut senyum di wajah Tiara seketika lenyap.“Oh, tidak!” seru Tiara, membekap mulutnya sendiri.Seketika wajah gadis cantik itu berubah tegang. Manik matanya bergetar. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
"Ter-ternyata ... dia ...?"
***Hai, hai. Terima kasih banyak sudah membaca novel pertama saya di GoodNovel. Tolong beri dukungan berupa rating dan komentar ya, biar semakin semangat update :) Salam hangat, Eko
ADEGAN yang tersaji beberapa langkah di hadapannya membuat Tiara menahan napas. Sepasang mata bening direktur muda itu terbelalak lebar, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Perasaan gadis tersebut seketika menjadi campur aduk antara jijik dan marah.Di sana, tepat di ambang pintu kamar apartemen Ryan yang terbuka lebar, sepasang manusia tengah berpagut bibir penuh nafsu sembari berangkulan erat. Yang perempuan entah siapa, wajahnya tak terlihat karena berdiri membelakangi Tiara. Rambut lurus perempuan itu panjang sepunggung, terurai ke samping menutupi kepala.Sedangkan yang laki-laki tak lain tak bukan adalah Ryan, tunangan Tiara!Tiara mendengus kasar. Kedua belah tangannya terkepal erat karena terbakar emosi. Membuat tangkai mawar merah yang ia genggam patah beberapa bagian. Cokelat di tangan yang satunya lagi juga bergemeletak remuk."Bagus!" seru Tiara keras, sembari melangkah mendekat dengan langkah kesal. Entah mengapa kata itu yang spontan kelua
TING!Suara denting lift mengagetkan Tiara. Seketika direktur muda itu mengusap air mata yang membasahi pipi dengan punggung tangan. Ia bergegas bangkit berdiri saat pintu lift terbuka lebar. Tergesa kakinya melangkah keluar menuju lobi apartemen.Yang pertama dicari Tiara begitu keluar dari kabin lift adalah toilet. Ia harus mencuci muka terlebih dahulu dan menenangkan diri sebentar. Tidak mungkin dirinya muncul di hadapan Abdi dalam keadaan berantakan seperti itu.Untung saja letak toilet hanya beberapa langkah dari pintu lift. Tiara jadi tidak perlu jauh-jauh berjalan. Gadis itu kembali merasa sangat beruntung begitu mendapati toilet tersebut kosong.Desahan panjang keluar dari mulut Tiara begitu melihat betapa kusut wajahnya yang terpantul dari kaca besar di atas wastafel toilet. Sepasang mata beningnya telah berubah merah dan sembab. Pipi pucat, sedangkan hidung tak kalah merah serupa orang pilek."Bodohnya aku!" maki Tiara
SEKITAR satu jam berselang Abdi sudah keluar dari masjid. Tiara melihat sopirnya itu hendak menyusul ke dalam gerai kopi, tapi langsung berbalik langkah ketika mengetahui dirinya berdiri menunggu di sebelah mobil.Buru-buru pemuda tersebut merogoh kantong celana. Mencari-cari remote control untuk membuka kunci pintu mobil."Maaf, Bu. Ibu sudah menunggu lama ya?" tanya Abdi dengan nada bersalah.Bukannya menanggapi, Tiara justru balik bertanya, "Kenapa pintunya dibuka? Kan kita mau makan dulu?"Abdi melongo sendiri. "Oh, saya kira Ibu mau masuk mobil dulu," katanya serba salah.Tiara geleng-gelengkan kepala sembari merengut. Wajahnya terlihat jutek."Kamu mau makan ayam goreng apa bebek goreng?" tanya Tiara kemudian."Wah, apa saja boleh deh, Bu. Terserah Ibu saja enaknya di mana, saya ikut," jawab Abdi, tak berani menentukan pilihan."KFC apa Bebek Dower?" tanya Tiara lagi, mendesak.
MELIHAT Abdi kebingungan, Tiara jadi tertawa kecil. Mungkin sopirnya itu tak menyangka jika dirinya mengetahui jalur-jalur alternatif di kawasan selatan Jawa Tengah. "Saya mau lewat jalur selatan. Kita sekalian refreshing, pemandangan di sepanjang jalan nanti bagus banget. Saya jamin!" jelas Tiara kemudian. Abdi hanya diam mendengarkan. “Jadi, kita keluar di Pemalang saja ya. Nanti begitu keluar dari tol biar saya yang nyetir. Kamu tenang aja, sekalian istirahat,” tambah si gadis.Abdi tak berani memprotes. Tapi ia melirik ke arah jam digital di dasbor. Masih pukul empat lewat sedikit. Lewat jalur selatan pun tidak akan membuat mereka sampai di Batang terlalu malam. Abdi jadi lega.Tak lama berselang mereka sudah memasuki pusat kota Pemalang. Tiara mengambil alih kemudi, lalu melajukan mobil ke arah selatan menuju Randudongkal. Sesampainya di satu pertigaan di dekat pasar yang ramai, Tiara mengambil jalan ke kiri. Lanjut terus ke selata
TERNYATA Ryan ngotot. Meski beberapa kali diabaikan, panggilan terus dilakukan. Lama-lama Tiara merasa risih. Dengan gerakan kasar diangkatnya juga panggilan itu meski dengan perasaan sangat dongkol.“Halo, Tiara?” terdengar suara Ryan dari seberang melalui loudspeaker.Tiara tak menjawab. Gadis itu bahkan hanya menyalakan loudspeaker, sekedar ingin tahu apa yang ingin dikatakan Ryan saat itu."Tiara, kamu sudah sampai di mana?" tanya Ryan lagi.Tiara mendengus kesal."Apa pedulimu aku sudah sampai di mana?" balas gadis itu dengan ketus.Terdengar suara mendesah panjang dari seberang."Aku sudah nunggu di Batang nih. Kok kamu malah belum sampai sih?" kata Ryan lagi.Tiara tersentak kaget. Ryan sudah sampai di Batang? Rupanya laki-laki brengsek itu tadi menyusul, dan malah sudah sampai lebih dulu di Batang? Gadis itu menduga-duga dalam hati.“Aku lagi check in d
DARI balik kaca pintu, sepasang mata Tiara melihat kerapatan daun pepohonan yang menghijau. Sebuah hutan luas yang lebat dengan pohon-pohon besar nan tinggi.Apa yang beberapa waktu lalu dinikmatinya sebagai pemandangan indah di kiri-kanan jalan, kini siap menyambut mobilnya yang tengah melayang jatuh.Seketika Tiara merasa ngeri. Mobilnya melayang jatuh tanpa dapat dikendalikan menuju ke tengah lebatnya dedaunan tersebut. Entah apa yang bakal menyambut mereka di bawah, gadis itu tak sanggup membayangkan.Di saat-saat seperti itu, dalam benaknya justru terbayang video-video kecelakaan yang pernah ia tonton di YouTube. Wajah gadis itu kontan mengernyit ngeri. Tak sanggup membayangkan jika dirinya yang bernasib seperti orang-orang dalam video tersebut."Abdi, bagaimana nih?" tanya Tiara dengan nada panik.Abdi yang tengah berpegangan erat pada punggung jok di depannya tak langsung menjawab. Sejak tadi mata pemuda itu juga memandangi ke lu
DIAM-DIAM Tiara jadi menyesal kenapa tadi tidak ganti baju dulu sebelum berangkat. Karena tak sabar ingin segera menghampiri Ryan di apartemennya, gadis itu memilih langsung pergi saja. Eh, ternyata yang ia saksikan di sana malah sebuah pengkhianatan."Brengsek!" Tanpa sadar Tiara memaki karena teringat kembali pada apa yang dilihatnya di depan apartemen Ryan."Maaf, Bu?" Abdi bertanya keheranan, menganggap sang atasan berbicara padanya."Oh, tidak, tidak!" sahut Tiara cepat-cepat sembari menggeleng.Abdi melongo, tapi kemudian berkata, "Kalau begitu kita harus segera turun, Bu. Akan lebih aman buat kita kalau berada di luar mobil dan turun."Tiara tak menjawab. Pikirannya masih sibuk membayangkan bagaimana jadinya ia yang mengenakan setelan blazer kantoran, bergelantungan di pohon. Apalagi bersama seorang laki-laki!"Mari, Bu, lewat pintu tengah sini," ujar Abdi lagiTangan pemuda itu lantas membuka pintu tengah lebar-lebar. Tepat di
API berkobar-kobar dari terbakarnya mobil SUV milik Tiara. Begitu besarnya kobaran tersebut, sampai-sampai jilatannya menyambar dedaunan di cabang-cabang nan tinggi. Helai-helai yang terkena hawa panas dari bawah seketika mengering dan berubah menjadi hitam.Kobaran api juga membuat suasana senja di dalam hutan tersebut, yang awalnya sudah temaram, menjadi terang benderang lagi. Suara terbakarnya material mobil terdengar berisik. Ditingkahi bau menyengat dari hangusnya cat dan karet serta busa yang menggelitik liang hidung."Aduh, Abdi, bagaimana ini?" ujar Tiara dengan panik.Direktur muda tersebut sudah berdiri di atas cabang besar. Kedua lututnya gemetar, ngeri berada di atas pohon setinggi itu. Sebelah tangannya memegang erat ujung kemeja Abdi di sebelahnya. Sedangkan tangan yang satu lagi terulur berpegangan pada batang pohon.Bukan mobilnya hangus terbakar yang membuat Tiara panik. Tapi kenyataan bahwa dirinya kini bakal terjebak di tengah hutan ent