Share

Keberangkatan

TING!

Suara denting lift mengagetkan Tiara. Seketika direktur muda itu mengusap air mata yang membasahi pipi dengan punggung tangan. Ia bergegas bangkit berdiri saat pintu lift terbuka lebar. Tergesa kakinya melangkah keluar menuju lobi apartemen.

Yang pertama dicari Tiara begitu keluar dari kabin lift adalah toilet. Ia harus mencuci muka terlebih dahulu dan menenangkan diri sebentar. Tidak mungkin dirinya muncul di hadapan Abdi dalam keadaan berantakan seperti itu.

Untung saja letak toilet hanya beberapa langkah dari pintu lift. Tiara jadi tidak perlu jauh-jauh berjalan. Gadis itu kembali merasa sangat beruntung begitu mendapati toilet tersebut kosong.

Desahan panjang keluar dari mulut Tiara begitu melihat betapa kusut wajahnya yang terpantul dari kaca besar di atas wastafel toilet. Sepasang mata beningnya telah berubah merah dan sembab. Pipi pucat, sedangkan hidung tak kalah merah serupa orang pilek.

"Bodohnya aku!" maki Tiara pada dirinya sendiri, seraya menyungging senyum kecut. "Kok ya mau-maunya aku jadi berantakan begini cuma gara-gara seorang lelaki brengsek bernama Ryan Wijaya!"

Kran wastafel diputar Tiara. Air sejuk dingin mengucur keluar, yang segera ditampung gadis itu dengan kedua belah telapak tangannya. Rasa segar langsung merambati kulit halus sang direktur muda begitu air tersebut disapukan ke wajah.

Puas membasuh muka, Tiara mengeringkan kulitnya dengan handuk kecil yang selalu dibawa di dalam tas tangan. Kemudian ia mengulas sedikit make up di pipi, sekedar agar wajahnya kembali tampak segar.

Sambil menyisir rambut, Tiara menelepon Abdi.

"Saya, Bu?" sambut Abdi di ujung telepon.

"Siapkan mobil ke depan lobi. Lima menit lagi saya keluar," sahut Tiara tanpa tedeng aling-aling.

"Baik, Bu."

Tiara menutup telepon dan membereskan peralatan make up. Dirapikannya blus yang agak terlipat di beberapa bagian. Gadis itu mematut diri sebentar di depan cermin besar, memutar tubuh ke kiri dan kanan untuk mendapatkan gambaran utuh penampilannya.

Setelah yakin sisa-sisa tangisnya tak lagi terlihat di wajah, barulah Tiara keluar dari toilet. Mobil SUV-nya yang dibawa Abdi sudah menunggu di lobi. Tapi kening gadis itu jadi berkerut ketika melihat sosok laki-laki yang berdiri tak jauh dari mobilnya.

"Ah, apa lagi sih maunya laki-laki brengsek itu?" geram Tiara begitu mengenali laki-laki tersebut, yang tak lain adalah Ryan.

Karena posisinya membelakangi lobi apartemen, Ryan yang tengah berbincang-bincang dengan Abdi tak menyadari kemunculan Tiara. Sedangkan Abdi segera menunduk hormat dan buru-buru membukakan pintu tengah begitu melihat atasannya.

"Silakan, Bu," ujar Abdi dengan sopan.

Tanpa memedulikan Ryan, Tiara langsung masuk ke dalam mobil. Sembari mengambil tempat di jok, tangan gadis itu menarik pintu sehingga langsung tertutup rapat. Ryan terlihat gelagapan.

"Tiara," panggil Ryan sembari mengetuk pintu tengah. "Aku mau ngomong dulu, Babe."

Wajah Ryan terlihat memelas. Abdi yang menyaksikan adegan itu jadi serba salah sendiri. Bingung antara langsung masuk dan mengantar atasannya, atau menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.

Tapi Tiara benar-benar tak mau mengacuhkan Ryan. Menoleh pun ia tidak sudi.

"Abdi, ayo berangkat!" seru Tiara kemudian dari dalam mobil.

Abdi tergeragap. "Ba-baik, Bu!" sahutnya gugup, lalu buru-buru menuju ke balik kemudi.

Ryan tak kalah kaget, kemudian kembali mengetuk kaca tengah mobil.

"Tiara, tunggu dulu! Aku mau ngomong sebentar," ujar Ryan setengah menjerit.

Tiara mendengus geram. Sekali pencet tombol diturunkannya kaca pintu mobil, tapi hanya sampai terbuka sepertiga. Sekedar agar matanya dapat langsung menatap mata Ryan di luar.

"Kamu dengar ya, aku musti buru-buru ke Batang siang ini. Kalau kamu mau ngomongin soal yang tadi, sebaiknya nanti saja sepulang aku dari Batang. Jangan lupa ajak kedua orang tua kamu menemui orang tuaku," ujar Tiara tegas, sembari menatap tajam manik mata Ryan.

Tanpa menunggu jawaban orang, Tiara sudah menekan tombol untuk menutup kaca pintu. Ryan hanya bisa menelan ludah. Dari apa yang baru saja diucapkan Tiara, tahulah Ryan sudah tidak ada pintu maaf baginya.

"Tiara ...." Ryan hanya dapat menyebut nama gadis itu. Wajahnya berubah kuyu.

"Abdi, ayo cepat jalan! Nunggu apa kamu?" seru Tiara pada Abdi yang terlihat terbengong-bengong.

"Oh, iya. Baik, Bu!" sahut Abdi cepat. Tapi kemudian ia bertanya lagi, "Sekarang mau kemana lagi kita, Bu?"

Tiara mendengus pendek. "Ya ke Batang, sesuai rencana. Kamu lupa?" sahutnya kesal.

Abdi nyengir kuda sembari garuk-garuk kepala serba salah.

"Nggak lupa sih, Bu. Tapi, Pak Ryan nggak jadi diajak?" tanya Abdi takut-takut.

"Jangan cerewet kamu! Kalau saya bilang jalan, jalan saja!" tukas Tiara yang semakin kesal.

Abdi tersentak. Tanpa bertanya lagi kakinya langsung menginjak pedal gas. Mobil pun melaju meninggalkan Ryan yang masih berdiri terbengong-bengong.

Tiara benar-benar sudah tidak peduli lagi pada laki-laki itu. Bagi sang gadis apa yang tadi dilihatnya di depan pintu apartemen Ryan sudah cukup sebagai alasan untuk mengakhiri hubungan dengan si brengsek tersebut.

Masa bodoh soal relasi baik antara keluarganya dengan keluarga Wijaya. Lagipula Ryan sendiri yang cari penyakit. Tiara sangat yakin kedua orang tuanya, lebih-lebih ibunya sebagai sesama perempuan, akan berdiri di pihaknya dalam hal ini.

"Bu, mampir ke rest area dulu boleh? Saya mau jumatan," ucap Abdi mengagetkan Tiara yang setengah melamun.

"Jumatan?" ulang Tiara. "Jam berapa memangnya sekarang?"

"Sudah jam setengah dua belas lewat, Bu," sahut Abdi.

"Sudah sampai di mana kita memangnya?" tanya Tiara lagi.

"Ini baru mau masuk Cikampek, Bu," sahut Abdi, seraya kedua matanya terus sigap mengamati lalu-lintas jalan tol.

Tiara menimbang-nimbang sebentar. Tapi kemudian berpikir memang ada baiknya berhenti dulu. Toh, sudah waktunya makan siang juga. Selagi Abdi jumatan di masjid rest area, dirinya bisa menenangkan diri dengan menikmati segelas kopi susu kegemarannya.

"Ya sudah, mampir saja dulu kalau kamu mau jumatan," ujar Tiara kemudian. "Nanti parkir di dekat-dekat coffe shop ya."

"Baik, Bu," sahut Abdi sembari tersenyum.

Begitu belokan menuju ke Rest Area KM 57 terlihat, Abdi memperlambat laju mobil dan masuk dengan sangat perlahan-lahan. Masjid terletak di sisi timur tempat peristirahatan tersebut. Tapi ia sengaja membawa mobil berputar-putar untuk menunjukkan beberapa coffe shop yang ada di sana.

"Stop! Berhenti di sini saja," seru Tiara begitu sepasang matanya melihat gerai Kopi Senja.

Abdi tersenyum. Sungguh kebetulan sekali kalau Tiara minta berhenti di sana. Sebab gerai kopi tersebut terletak tak jauh dari masjid. Dengan sigap pemuda itu memarkirkan mobil di sudut rest area dekat gerai kopi dimaksud.

"Saya tunggu di sini ya. Habis kamu jumatan kita makan siang dulu baru jalan lagi," ujar Tiara sembari membuka pintu mobil.

Abdi tampak ragu-ragu sejenak ketika hendak menyahut. Tapi kemudian ia memberanikan diri berkata, "Ibu nggak sekalian salat Dzuhur?"

Kedua bola mata Tiara seketika mendelik. Direktur muda itu merasa tidak senang ditanya begitu. Sebab tiba-tiba saja ia jadi teringat entah sudah seberapa lama tidak menunaikan salat wajib.

"Kamu ini benar-benar cerewet ya orangnya. Saya lagi berhalangan!" sahutnya malas, kemudian bergegas turun dan membanting pintu mobil.

Abdi sampai terloncat dari joknya karena kaget.

"Waduh, Ibu Bos tersinggung nih kayanya," batin sopir muda itu.

***

Hai, pembaca sekalian. Karena masih dalam suasana Ramadan, disisipi pesan relijius sedikit nggak apa-apa ya? Sekalian sebagai pengingat bagi kita semua.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jejak Langkah
bagus saya suka lanjutkan karya anda.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status