DITANYA begitu Abdi jadi garuk-garuk kepala. Kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi. Sejenak otaknya berpikir, mencari solusi yang sekiranya pas dengan kehendak Tiara.
"Kalau saya buatkan semacam hammock bagaimana, Bu?" Abdi balik bertanya. "Jadi nanti Ibu tidurnya dalam ayunan, tidak di tanah."
Tiara kerutkan keningnya dalam-dalam. Mereka hanya punya pakaian yang melekat di badan, bagaimana caranya membuat hammock? Tapi ketika kemudian Abdi menunjukkan segulungan besar tanaman sulur, barulah ia dapat mengerti.Gadis itu seketika teringat pada jembatan akar di film Jumanji yang pernah ia tonton. Jadinya ia punya bayangan seperti apa hammock yang akan dibuat Abdi menggunakan tanaman sulur tersebut.Sementara Abdi dengan sigap mendirikan pondok. Peralatannya hanya kapak batu yang baru saja ia buat. Ditambah sebatang tongkat kayu sepanjang setengah meter yang salah satu ujungnya diruncingkan.Melihat itu, Tiara jadi teringat pada channel PrimHai, hai. Terima kasih banyak sudah membaca kisah ini. Tolong beri dukungan berupa rating dan komentar ya, biar semakin semangat update :) Salam hangat, @bungeko_
SETELAH berlalu selama sekian belas menit, hammock yang dibuat Abdi selesai juga. Terdengar pemuda tersebut berseru senang. Dalam temaram cahaya api unggun, wajahnya tampak begitu semringah. Dari tempatnya duduk, Tiara benar-benar dibuat kagum. Direktur muda itu memang tidak dapat melihat dengan jelas gerakan Abdi. Tapi ia tahu pemuda tersebut sangat gesit dalam melakukan pekerjaan.Dan kini tahu-tahu saja di dalam pondok sudah tergantung dua buah ayunan rendah yang terbuat dari tanaman sulur. Dengan benda itulah mereka berdua nanti tidur. Sebab tidak mungkin mereka tidur di atas tanah.Abdi mencobai ayunan alami buatannya. Ia duduk menjuntai di salah satu ayunan, menekan-nekan dengan tubuhnya untuk menguji kekuatan benda tersebut, lalu berbaring di dalamnya. Beberapa saat kemudian ia pindah ke ayunan satu lagi dan melakukan hal sama."Ibu mau coba hammock-nya?" tanya Abdi yang masih berada di atas salah satu ayunan.Tawa kecil Tiara pecah. Entahl
NAPAS Tiara seketika tertahan setelah memperhatikan bayangan hitam besar yang dilihatnya bergerak-gerak. Gadis itu menekap mulut dengan telapak tangan sembari keluarkan jeritan kecil.Bayangan apa itu? Tanyanya dalam hati dengan panik. Dalam penglihatan Tiara, bayangan tinggi besar tersebut berkepala lonjong dengan dua tangan lebar yang terpentang di kanan-kiri tubuhnya.Ketakutan menyelimuti Tiara. Dalam ingatannya langsung terbayang cerita-cerita mengenai makhluk tak kasat mata penghuni hutan yang pernah ia dengar. Tentang pengalaman-pengalaman mistis di jalur pendakian gunung yang berhutan lebat.Apakah bayangan hitam yang dilihatnya itu sebangsa dedemit alas? Berpikir sampai di sana kuduk Tiara jadi meremang. Rambut-rambut halus di tangannya berdiri. Tiba-tiba saja ia merasa kebelet pipis!"Aduh, bagaimana ini? Makhluk apa yang kulihat ini?" desis Tiara dengan suara bergetar.Bersamaan dengan itu angin kencang berderu. Kobar
ABDI lantas mencabut tanaman perdu tadi. Ia yakin sekali bayangan tanaman mungil itulah yang dilihat Tiara dan membuat atasannya tersebut ketakutan setengah mati.Posisi perdu tersebut dekat dengan api unggun, sehingga membuatnya memantulkan bayangan besar ketika ditimpa siraman cahaya api unggun. Dua helai daun lebarnya terlihat menyerupai tangan, sedangkan kuncupnya yang lonjong mirip kepala."Sekarang bagaimana, apakah Ibu masih melihatnya?" tanya Abdi lagi.Takut-takut Tiara arahkan pandangannya ke tempat ia melihat bayangan hitam besar tadi. Sudah tidak ada! Ia bersorak girang dalam hati. Perasaan direktur muda PT Bira Indo Parking itu pun menjadi lega bukan main."Bayangan apa itu tadi?" Tiara bertanya penasaran ketika Abdi kembali masuk pondok. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa ketakutan."Ini," jawab Abdi singkat. Tangannya menunjukkan tanaman perdu yang tadi ia cabut. Bibir pemuda itu mengulas senyum.Tiar
ENTAH berapa lama Tiara terbuai dalam alam mimpi. Gadis itu terjaga ketika merasakan udara yang sangat dingin menyelimuti tubuhnya. Ia sampai menggigil hebat, deretan giginya yang rata bergemeletuk saling adu.Perlahan Tiara buka kelopak kedua mata. Masih terasa lengket karena jeratan rasa kantuk, namun akhirnya dapat nyalang juga. Oh, pantas saja! Batin gadis itu mendesah.Begitu pandangan Tiara menangkap keadaan di luar pondok, yang terlihat hanyalah embun tebal berwarna keputihan menggantung di udara. Suasana masih sangat temaram, pertanda matahari belum muncul."Brrr, dinginnya! Rasanya jauh lebih menusuk dari udara dingin di Antartika!" desis Tiara sembari sedekapkan kedua tangannya erat-erat di depan dada.Gadis itu memang pernah berlibur ke Antartika selama beberapa hari, didorong oleh rasa penasaran akan kehidupan masyarakat di sana. Seingatnya, kurang-lebih seperti inilah hawa dingin yang biasa ia rasakan selama berada di benua es
ALIH-ALIH mengolah ikan tangkapannya, Abdi malah mendekati Tiara. Ia meminta atasannya itu untuk meluruskan kaki. Sebab engkel yang memar harus kembali dikompres.Tiara menurut tanpa banyak tanya. Sejak pergelangan kakinya terkilir, gadis itu langsung terkesan pada cara Abdi mengatasi cedera yang ia alami. Jadi, ia cukup pasrah saja,Perlahan-lahan Tiara tumpangkan kedua kakinya pada tepian ayunan satu lagi. Saat Abdi meletakkan lipatan kemeja basah ke atas pergelangan kaki yang memar, gadis itu merasakan satu kenyamanan yang begitu melenakan."Bagaimana cara kamu menangkap ikan-ikan itu?" tanya Tiara sembari tatap wajah bawahannya yang tengah mengepaskan letak kompres.Hati si gadis kembali berdesir saat berlama-lama menatap wajah Abdi. Harus ia akui, pemuda itu memiliki pesona yang sulit ditolak. Tidak terlalu tampan, tapi keseluruhan penampilannya menarik mata."Tadi sewaktu mengecek bangkai mobil secara tidak sengaja saya meliha
TAK sampai lima belas menit berlalu, Abdi sudah selesai memanggang semua ikan hasil tangkapannya di sungai. Hidangan sederhana tersebut ia jejerkan di atas sehelai daun lebar di atas batu besar.Abdi rupanya sudah mempersiapkan alas makan pula. Pemuda itu membuat beberapa piring dari anyaman tanaman sulur. Mirip piring anyaman lidi yang ada di restoran khas Sunda tempat mereka makan siang kemarin.Satu lagi yang tak disangka-sangka, Abdi juga sudah punya sebuah kuali dari tanah liat. Selepas membakar ikan, kuali berisi air sungai tersebut ditumpangkan ke atas tumpukan bara yang panas menyengat."Astaga! Ini semua kamu kapan bikinnya?" tanya Tiara takjub setelah dibopong Abdi ke atas batu tempat duduk di dekat api unggun.Abdi hanya tersenyum lebar."Saya juga punya ini, Bu," sahutnya sembari menunjukkan dua buah gelas tanah liat.Tiara kontan melongo. Berarti selama dirinya masih terlelap tadi Abdi sudah melakukan ban
ABDI angkat kepalanya, memandangi wajah Tiara yang menunjukkan ekspresi penyesalan. Gadis itu agaknya teringat pada rencana ke Batang dan Kendal yang berantakan."Tidak perlu disesali, Bu. Sudah seperti ini jalan nasib kita, mau bagaimana lagi?" sahut Abdi dengan nada menyejukkan.Tiara menyeringai tipis."Jalan nasib, katamu?" ulangnya dengan kedua alis terangkat."Ya, jalan nasib," jawab Abdi sembari mengangguk. "Kalau kita sudah digariskan terperangkap dalam hutan seperti ini, mau menghindar bagaimana pun juga akan ada penyebab yang membawa kita bakal berada di sini."Sebaliknya, kalau kita digariskan tiba di Batang malam tadi, apa pun yang jadi penghalang tidak akan bisa menghentikan perjalanan kita. Kita akan tetap sampai di Batang semalam."Tanpa sadar Tiara mencibir. Sungguh satu pemikiran yang aneh, batinnya. Sejak mencapai usia dewasa, gadis itu kerap mempertanyakan konsep jalan nasib seperti yang baru saja d
MESKI sudah sangat ingin menyiram sekujur badannya dengan air, Tiara terpaksa harus menahan keinginan tersebut untuk beberapa saat. Pasalnya, Abdi bersikeras ingin membuatkan semacam kamar mandi di tepi sungai.Sebenarnya Tiara merasa itu terlalu berlebihan. Lagi pula hanya ada mereka berdua di hutan tersebut. Tidak ada orang lain lagi. Jadi, tidak akan ada yang melihat gadis itu mandi.Pikir Tiara, kalau tujuan Abdi membuat kamar mandi untuk menjaga pandangan, kan pemuda itu tinggal pergi saja sewaktu dirinya mandi? Nanti kembali lagi saat Tiara sudah selesai dan harus dibopong ke pondok. Tidak harus menunggui terus-terusan.Namun, di sisi lain Tiara juga tidak yakin apakah dirinya berani mandi di sungai sendirian. Bagaimana kalau nanti terjadi apa-apa dengannya? Bertemu dengan hewan-hewan melata, misalnya? Maka ia pun akhirnya setuju saja dengan niat Abdi tersebut."Kira-kira berapa lama ya kamu selesai bikin itu?" tanya Tiara. Ia benar-