Wanita Penghibur Part 3
Perawat Wiji mendatangiku.
"Dokter, tidak perlu sedih begini, itu sudah profesinya," ucap perawat Wiji yang melihatku duduk di bangku ruang tunggu, sendirian, menerawang, dengan pandangan kosong.
"Apa? profesi? hah," ucapku seolah mencibir.
"Segala sesuatu yang menghasilkan uang dan dilakukan secara terus menerus bisa dibilang sebagai profesi," ucap perawat Wiji dengan tenang, tidak terpancing dengan kekesalanku, kekesalan yang sudah menjalar, merasuki seluruh tubuh.
"Aku tidak setuju," ucapku dengan nada sedikit tinggi.
"Tidak ada pembenaran, menjual diri bukan profesi, itu penyakit, apapun alasannya," lanjutku dengan mata tajam.
"Penyakit itu harus disembuhkan. Berikan bimbingan yang baik, dia harus keluar dari zona nyamannya, pekerjaan yang dipikir mudah, menghasilkan banyak uang, kemewahan," ucapku lagi, masih dengan amarah yang menggebu.
"Dngan satu tubuh, melayani banyak pria hidung belang. Aku bukannya ingin menjelekkan mereka, namun itu kenyataannya. Mencium seseorang, memeluk seseorang, semua itu membutuhkan cinta dan penerimaan. Apa mungkin ada rasanya? iya hanya kenikmatan, namun hilang dengan cepat setelahnya," ucapku.
"Di tambah lagi dia memaksa janin dalam perutnya untuk pergi, padahal janin itu tidak berdosa, tidak juga bisa memilih harus berada di rahim siapa, dibuahi oleh orang yang mana," ucapku sangat kesal.
"Ya, Silahkan saja marah, mungkin itu akan membuatmu lebih tenang," ucap Wiji.“Mungkin dia juga melakukan itu semua dengan terpaksa,” lanjut perawat Wiji.
“Ya, terpaksa, namun bukan seperti itu, masih ada pekerjaan lainnya. Jika memang terpaksa, dia tidak akan mengambil dosa lain, jika dia memiliki hati nurani, ketika mengetahui dirinya hamil, dia akan berhenti, merawat kehamilan itu, melahirkannya, membesarkannya, menjadi ibu yang baik,” ucapku.
“Mungkin dia tidak sanggup,” ucap perawat Wiji.
"Kau ini," ucapku yang kemudian berjalan ke arah Wiji.
"Kau sudah tahu bukan, klinik apa ini, sudah tahu bukan, karena itu kau seperti manusia tak berperasaan, luar biasa sekali, kau sama dengan mereka," ucapku serius.
"Maaf dokter, saya tidak sama dengan mereka. Saya memiliki hutang budi yang harus saya bawa seumur hidup, jadi jangan pertanyakan kenapa saya di sini," ucap Wiji yang kemudian pergi meninggalkanku.
Aku menghela nafas panjang, hanya bisa menangis, tidak tahu harus berbuat apa, semua pintu seolah tertutup, semua jalan buntu, gelap dan sepi.***
Setelah lebih tenang, aku berusaha untuk berpikir, langkah apa yang bisa diambil, sebuah solusi, yang hadir di jalan buntu ini, mendatangi rasa putus asa, menariknya dari sumur yang penuh perasaan menyerah.
Aku menghampiri perawat Wiji yang sedang beristirahat di kamarnya.
"Boleh aku masuk?" tanyaku yang mengintip perawat Wiji dari balik pintu.
Perawat Wiji yang sedang duduk di atas tempat tidur terlihat mengulaskan senyum.
"Masuklah," ucap perawat Wiji.
Aku dan perawat Wiji tinggal di asrama klinik yang disediakan di sana. Di belakang tempat praktek, hanya ada tiga penghuni, aku, perawat Wiji dan satu satpam yang lebih banyak berada di depan.
Aku masuk ke dalam kamar perawat Wiji.
"Maafkan aku, aku tadi emosi," ucapku dengan perasaan menyesal.
"Ya saya mengerti, dulu saya juga seperti itu," ucap perawat Wiji.
"Benarkah?" tanyaku.
"Dokter Arya membantu saya dan keluarga saya, sejak saya masih duduk di bangku SMA. Menyekolahkan di akademi keperawatan, lalu memberi pekerjaan dengan gaji yang berkali kali lipat dari pekerjaan sejenisnya, tapi seperti inilah, yang dia kerjakan dan saya tidak bisa berbuat apa apa," ucap perawat Wiji, seolah pasrah, menganggap semua ini sebagai nasib yang sudah harus dijalani tanpa lagi meminta yang lain.
"Seperti yang orang katakan, hutang uang bisa dibayar, hutang budi dibawa mati," lanjut perawat Wiji.
Aku terdiam, melihat guratan kesedihan di wajah perawat Wiji.
"Wiji, bagaimana kalau kita pergi dari sini dan mencari pekerjaan lain?" ucapku seraya menggenggam kedua tanngannya, erat, memberikan sentusan magic yang mampu menerobos hati yang sudah berperisai itu.
Perawat Wiji mengulaskan senyum.
"Tidak mungkin, dokter Arya membiayai biaya pengobatan ibu saya, tidak mungkin saya pergi, itu artinya saya menyerahkan nyawa ibu saya pada takdir," ucap perawat Wiji.
Aku mendecakkan lidah, aku benar benar tidak bisa memaksakan kehendakku sendiri pada perawat Wiji."Dok, dokter Arya adalah orang yang kejam, dia tidak akan semudah itu melepaskan dokter, apalagi jika dokter diam diam pergi," ucap perawat Wiji.
"Dia akan mencari dokter, ke manapun dokter pergi dan berada, lalu menghancurkan kehidupan dokter, tanpa tersisa," lanjut perawat Wiji dengan sorot mata penuh keyakinan.
"Mengerikan sekali, apa benar dokter Arya sekejam itu?" tanyaku yang belum percaya dengan apa yang aku dengar.
"Itu terjadi pada dokter sebelumnya, dia kabur setelah satu bulan bekerja, entah bagaimana caranya dokter Arya berhasil menemukannya dan memenjarakan dokter itu dengan tuduhan malpraktek. Dia dipenjara, kehilangan izin prakteknya, mana lagi yang lebih hancur dari itu, dia tidak bisa menjadi dokter untuk seumur hidupnya, juga pandangan miring keluarga beserta masyarakat," ucap perawat Wiji.
"Apa kita tidak bisa melaporkan dokter Arya ke polisi?" tanyaku.
Sekali lagi perawat Wiji mengulaskan senyum.
"Hukum seolah ada di tangannya, dia menggandeng banyak polisi korup dan mengancamnya dengan itu. Dokter Arya adalah dokter kaya raya, apa yang tidak bisa dilakukan dengan uang?" ucap perawat Wiji.
"Saya tidak sanggup berada di sini," ucapku yang seketika menunjukkan ekspresi wajah penuh dengan gurat kesedihan.
Aku melepas genggaman tangan itu, sedikit menjauh, lalu memalingkan wajah.
Perawat Wiji mendekat ke arahku yang duduk di pinggiran tempat tidur paling ujung, lalu memelukku
"Saya mengerti, jalan terbaiknya adalah selesaikan kontrak, hanya lima tahun, setelah itu dokter akan bebas," ucap perawat Wiji memberikan sebuah solusi yang menyakitkan.
"Apa dia benar benar akan membebaskanku?" tanyaku.
"Ya, dia bukan orang yang ingkar janji, dia tidak akan menjilat ludahnya sendiri," ucap perawat Wiji.
Aku menarik tubuh dari pelukan perawat Wiji."Apa dia tidak takut jika aku melaporkannya setelah dia melepaskanku?" tanyaku.
"Sama sekali tidak, jika dokter melaporkan dokter Arya, maka dokter juga akan ikut terseret. Apalagi semua pasien itu memiliki diagnosa pasti, sesuai, atau dibuat menjadi sesuatu yang normal untuk dilakukan, tidak ada bukti, tidak ada tuntutan hukum, sesuai prosedur yang semestinya," ucap perawat Wiji.
"Saksi, ya, pasti ada saksi, pasien pasien itu atau keluarganya," ucapku berusaha menciptakan kemungkinan.
Perawat Wiji menggenggam tanganku erat.
"Mereka datang atas kemauan mereka sendiri, mengharap pertolongan dari dokter Arya. Mereka tidak sebodoh itu hingga mau menjadi saksi. Dokter Arya juga sangat selektif dalam memilih
pasien, ada perjanjian yang sudah mereka buat," ucap perawat Wiji.
"Apa benar sesempurna itu, tidak, pasti ada celah, ya, pasti dia akan melakukan kesalahan," ucapku.
Aku mulai meneteskan air mata, butiran bening ini meluncur dengan mudahnya, setetes demi setetes, lalu selayaknya air terjun, sangat sulit untuk dihentikan."Aku tidak bisa membunuh janin yang tidak berdosa, aku seperti dikejar dosa dan suara tangis mereka terngiang di telingaku," ucapku.
"Tenanglah, semua akan berlalu, jalankan saja, diagnosa yang diberikan dokter Arya adalah diagnosa yang akan melegakanmu," ucap perawat Wiji.
"Ini tidak benar, dia memberikan diagnosa palsu seolah olah memang harus dilakukan, padahal mereka pasien sehat, bisa bertahan hingga melahirkan," ucapku.
"Ya, bertahanlah," ucap perawat Wiji.
Sejak hari itu, hari hariku seperti di neraka, dihujani dengan pasien pasien yang begitu teganya melakukan segala cara demi menyelamatkan nama baik mereka di dunia. Hanya demi nama baik, menyembunyikan kesalahan dan dosa, padahal kehamilan adalah sebuah anugrah yang begitu sempurna, tidak ada kesalahan di dalamnya.
Aku tidak lagi bisa tersenyum, bangga dengan profesi yang seharusnya mulia ini. Aku benar benar masuk ke dalam jurang kenestapaan dan berharap ada yang membantu, menarik tanganku dari jurang penuh lumpur yang bau ini.Selesai.
***
Romansa menyimpan tulisan pertamanya, ke dalam folder dengan nama “Kenangan Menyakitkan”. Namun tiba tiba dia melihat sebuah iklan yang melintas di bagian bawah laptopnya yang tersambung dan internet. Di sana tertulis “Tuliskan kisahmu di sini dan beritahu dunia,” entah kenapa Romansa begitu penasaran, lalu mengklik iklan itu.
Dia akhirnya memposting cerita pertamanya di aplikasi itu, aplikasi yang berisi novel, jurnal dan berbagai kisah. Dia tidak lagi mengingat, atau sengaja tidak mengingat pesan dari dokter yang merawatnya untuk tidak mempublikasikan tulisannya. Entah kenapa, dia hanya ingin dunia tahu, bahwa tempat selayaknya neraka itu benar benar ada dan kita semua harus semakin erat merangkul anak anak, saudara juga teman teman, supaya tidak terjerumus dalam lembah kenestapaan, atau parahnya menjadi salah satu pasien dari tempat terkutuk itu. Romansa mempublikasikan jurnal tulisannya tanpa nama yang jelas dan hanya membubuhkan inisial R.
Terjebak Seks Bebas Part 1 Romansa berteriak teriak, membekap kepalanya, di atas tempat tidur, lalu meringkuk. Dia merasakan tekanan yang begitu keras, dalam diri, hati, juga pikirannya. Perawat Erna segera berlari, mendekap tubuh Roamansa, mengelus tubuhnya, berusaha memberi kekuatan. “Tenanglah Romansa, tenang, ada saya di sini, saya akan menjagamu,” ucap perawat Erna. “Tidak bu, tidak, dia mengikutiku, saya takut, saya takut,” ucap Romansa dengan wajah ketakutan. “Tidak ada yang mengikutimu, tidak ada,” ucap perawat Erna seraya tetap memeluk Romansa, bahkan dekapan itu semakin erat. Beberapa saat, Romansa berusaha menenangkan diri, mengendalikan segala hal yang meluap luap dari dalam dirinya. “Saya ingin menulis lagi, hanya itu yang bisa membuat saya lebih tenang,” ucap Romansa. “Iya, saya akan menyiapkannya untukmu, tenangkan dirimu,” ucap perawat Erna. Perawat Erna terlihat menyiapkan laptop Romansa, di atas meja yang kemarin dia gunakan untuk mengetik cerita. Perawat Er
Terjebak Seks Bebas Part 2 "Apa kau pernah melihat calon bayimu? yang sedang kau kandung,” tanyaku pada gadis kecil itu. “Dok, tidak perlu menanyakan apapun padanya, dia tidak mengerti, dia sedang tidak baik baik saja, tertekan," ucap ibu itu. "Baiklah, saya anggap jawabannya adalah belum pernah. Mungkin memang kalian belum pernah melihat bayi kecil itu, padahal pemeriksaan USG (ultrasonografi) sudah dilakukan. Dengan senang hati saya akan memberikan gambaran yang sempurna pada kalian," ucapku berusaha dengan suara yang lembut, tenang dan penuh kesabaran. "Dua belas minggu, ukuran janin itu sudah sebesar buah rambutan dengan berat kira kira 18 gram dan panjang 7,5 sentimeter. Seluruh tubuhnya mulai memenuhi Rahim kecil itu. Dia bersama plasenta, yang juga sudah berkembang dengan baik untuk bisa menyalurkan gizi dan nutrisi. Pada usia ini, otaknya sudah mulai berkembang pesat. Kuku tangan dan kaki, pita suara, organnya, akan mulai berkembang,” ucapku. “Ibu yang mengandung sudah bis
Terjebak Seks Bebas Part 3 Aku melihat gadis kecil ini, anak kecil yang baru beranjak menjadi remaja, masih jauh waktu yang dibutuhkan untuk dia memikirkan hal hal yang berhubungan dengan rumah tangga. "Saya boleh tahu siapa nama panjangmu?" tanyaku membuka pembicaraan. "Elisa Maharani," ucap Elisa sedikit ragu ragu dan sangat lirih. Elisa terlihat mengarahkan pandangan matanya ke bawah, seolah enggan untuk memperlihatkan wajahnya. "Wah, itu nama yang sangat indah. Dokter hanya ingin membantumu, membantu yang sebenarnya," ucapku berusaha tetap mengulaskan senyum. "Apa Dokter boleh meminjam tanganmu," ucapku lembut. Dengan ragu ragu Elisa mulai mengangkat pandangannya, lalu mengulurkan kedua tangan kecilnya. Aku meraih tangan itu, menggenggamnya, juga mengelusnya lembut, berharap Elisa tahu, bahwa aku memiliki ketulusan untuknya, ketulusan kasih yang benar benar aku miliki, bukan sebagai seorang dokter, melainkan teman, atau mungkin kakak, atau bahkan ibu. "Elisa, Elisa tahu, say
Terjebak Seks Bebas Part 4 Elisa melihat ke arah perutnya, perut yang sedang aku pegang, perut kecil, yang bahkan tidak akan disangka bahwa di dalam perut itu bersemayam janin kecil yang tumbuh dengan sehat. "Tapi dia tidak mau bertanggung jawab, dia tidak mengakuinya," ucap Elisa. "Ya, itulah yang terjadi. Semua yang kau alami bukanlah bukti cinta. Melainkan perampasan sepihak, perampasan, perampokan. Kau tahu, keperawanan adalah simbol suci bagi seorang perempuan. Sekalinya hilang tidak akan bisa dipulihkan lagi. Jika itu hilang sebelum adanya pernikahan, maka simbol suci itu juga akan hilang, hanya menjadi angin tanpa bekas, tak berkesan,” ucapku. “Keperawanan tidak seperti rambut dan kuku, yang bisa tumbuh lagi ketika sudah dipangkas. Keperawanan juga merupakan simbol dari moral dan harga diri seorang perempuan," ucapku berusaha menggunakan bahasa yang aku harap bisa dia pahami. "Sebentar, saya perlihatkan sesuatu padamu," ucapku yang kemudian mengambil dua buah minuman dingin
Terjebak Seks Bebas Part Akhir Tindakan harus dilakukan, terpaksa, tidak mampu aku cegah, aku tidak memiliki daya dan upaya. Akupun menangis, tidak rela janin itu pergi, namun apa yang bisa aku lakukan. Setelah Tindakan dan pasien sudah dipindahkan ke ruang observasi, aku menangis di ruang pemeriksaan, aku tidak bisa melupakan wajah polos Elisa, wajah yang tidak berdosa itu, Seorang gadis muda terjebak dalam ikatan cinta yang membuatnya tidak berdaya, lalu akhirnya terbelenggu dalam dosa, dosa yang sangat besar. Setelah hari itu, aku memutuskan untuk menjadi seorang konsultan, penerang, yang masuk ke setiap pintu sekolah sekolah untuk memberikan pendidikan seks secara gratis juga lugas. Sebuah ilmu yang dianggap sebagian orang sebagai sesuatu yang tabu dan tidak penting. Aku ingin mereka semua tahu dan mengerti betapa penting dan berharganya diri mereka. Seharusnya mereka semua menuliskan kaya "don't touch me" sebesar mungkin di kepala, punggung, dada dan semua yang bisa dilihat.
Menjual Keperawanan Part 1 Bunga dandelion memiliki bentuk yang unik, teksturnya sangat rapuh, di mana setiap bibit di dalam bunga akan terbang bahkan hanya dalam sekali tiupan saja. Bunga yang mampu tumbuh di mana saja, tidak peduli tempat yang tandus atau bahkan lembab. Dia akan terus bertahan, mudah beradaptasi dan tidak takut untuk berada di manapun. Dia bahkan tidak pernah membenci siapapun yang singgah hanya untuk mengambil sekilas foto, atau meniupnya satu per satu, karna dia yakin, biji yang tebang mampu tumbuh di manapun dia jatuh dan hinggap. Romansa duduk di taman yang ada di rumah sakit, tidak jauh dari ruang perawatannya. Dia nampak melihat dandelion yang bergoyang tersapu angin. “Rey, lihat wanita itu,” ucap Simon. “Dia cantik sekali,” lanjut Simon. “Kau ini, jaga pandanganmu, kita sedang di rumah sakit,” ucap Rey. “Ya siapa tahu dia dokter yang kau maksudkan, dia cantik sekali,” ucap Simon. “Benarkah?” tanya Rey yang kemudian dia melihat ke arah taman di mana wa
Menjual Keperawanan Part 2Suatu ketika, aku dituduh mencuri uang dari salah seorang murid. Dia adalah anak dari pejabat daerah. Tuduhan yang sangat menyakitkan, karna aku tidak mungkin melakukan hal hina seperti itu.Aku memang bukan orang kaya, namun mencuri bukan menjadi pilihan, bahkan ketika terdesak sekalipun. Tuduhan itu membuat beasiswaku di tangguhkan, aku harus mengganti uang itu, cukup besar, bisa membeli satu unit sepeda motor keluaran terbaru. Aku sangat heran, kenapa seorang murid harus membawa uang sebanyak itu, apa dia ingin menunjukkan bahwa uang baginya hanya seperti lembaran buku? tidak dapat dipercaya, itu sangat tidak wajar.Setelahnya, aku mengetahui bahwa gadis itu sengaja menjebakku, dia iri dengan pencapaian yang aku dapatkan selama ini. Juara kelas dan rekomendasi beasiswa di perguruan tinggi terbaik. Aku sangat kecewa, dia benar benar akan menghancurkan hidupku.Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku berusaha mencari pekerjaan sampingan, namun denga
Menjual Keperawanan Part 3Anna melihat kekhawatiran tergambar jelas di wajahku, aku benar benar takut, itu tidak bisa disembunyikan. Bahkan membayangkannya saja itu sudah cukup menakutkan. Aku mulai ragu, namun jika aku pikirkan lagi, ini langkah terbaik menurutku, walau akhirnya aku benar benar menyesal.“Tidak perlu takut, rasanya memang sakit di awal, namun setelah itu kau akan merasakan sensasi yang luar biasa,” ucap Anna yang mendekatiku, lalu duduk di sebelah tempatku duduk.“Apa kau menikmatinya?” tanyaku.“Ya, karna saat itu aku melakukannya dengan kekasihku, kekasih yang sangat aku cintai, walaupun sekarang aku sangat membencinya,” ucap Anna.“Apa kau menyesal?” tanyaku.“Ya, tentu saja, sangat menyesal. Bukti cinta apa, dia meninggalkanku, menjengkelkan,” ucap Anna.“Jangan pikirkan macam macam, fokus saja ke tujuanmu,” lanjut Anna.“Baiklah, aku akan berusaha untuk tidak memikirkannya,” ucap Anna.“Aku akan menceritakannya sedikit supaya kau memiliki gambaran yang baik,” u