Home / Urban / Jurnal Sang Dokter / BAB 4 Wanita Penghibur Part 3

Share

BAB 4 Wanita Penghibur Part 3

last update Last Updated: 2023-07-13 14:24:44

Wanita Penghibur Part 3

Perawat Wiji mendatangiku.

"Dokter, tidak perlu sedih begini, itu sudah profesinya," ucap perawat Wiji yang melihatku duduk di bangku ruang tunggu, sendirian, menerawang, dengan pandangan kosong.

"Apa? profesi? hah," ucapku seolah mencibir.

"Segala sesuatu yang menghasilkan uang dan dilakukan secara terus menerus bisa dibilang sebagai profesi," ucap perawat Wiji dengan tenang, tidak terpancing dengan kekesalanku, kekesalan yang sudah menjalar, merasuki seluruh tubuh.

"Aku tidak setuju," ucapku dengan nada sedikit tinggi.

"Tidak ada pembenaran, menjual diri bukan profesi, itu penyakit, apapun alasannya," lanjutku dengan mata tajam.

"Penyakit itu harus disembuhkan. Berikan bimbingan yang baik, dia harus keluar dari zona nyamannya, pekerjaan yang dipikir mudah, menghasilkan banyak uang, kemewahan," ucapku lagi, masih dengan amarah yang menggebu.

"Dngan satu tubuh, melayani banyak pria hidung belang. Aku bukannya ingin menjelekkan mereka, namun itu kenyataannya. Mencium seseorang, memeluk seseorang, semua itu membutuhkan cinta dan penerimaan. Apa mungkin ada rasanya? iya hanya kenikmatan, namun hilang dengan cepat setelahnya," ucapku.

"Di tambah lagi dia memaksa janin dalam perutnya untuk pergi, padahal janin itu tidak berdosa, tidak juga bisa memilih harus berada di rahim siapa, dibuahi oleh orang yang mana," ucapku sangat kesal.

 "Ya, Silahkan saja marah, mungkin itu akan membuatmu lebih tenang," ucap Wiji.

“Mungkin dia juga melakukan itu semua dengan terpaksa,” lanjut perawat Wiji.

“Ya, terpaksa, namun bukan seperti itu, masih ada pekerjaan lainnya. Jika memang terpaksa, dia tidak akan mengambil dosa lain, jika dia memiliki hati nurani, ketika mengetahui dirinya hamil, dia akan berhenti, merawat kehamilan itu, melahirkannya, membesarkannya, menjadi ibu yang baik,” ucapku.

“Mungkin dia tidak sanggup,” ucap perawat Wiji.

"Kau ini," ucapku yang kemudian berjalan ke arah Wiji.

"Kau sudah tahu bukan, klinik apa ini, sudah tahu bukan, karena itu kau seperti manusia tak berperasaan, luar biasa sekali, kau sama dengan mereka," ucapku serius.

"Maaf dokter, saya tidak sama dengan mereka. Saya memiliki hutang budi yang harus saya bawa seumur hidup, jadi jangan pertanyakan kenapa saya di sini," ucap Wiji yang kemudian pergi meninggalkanku.

Aku menghela nafas panjang, hanya bisa menangis, tidak tahu harus berbuat apa, semua pintu seolah tertutup, semua jalan buntu, gelap dan sepi.

***

Setelah lebih tenang, aku berusaha untuk berpikir, langkah apa yang bisa diambil, sebuah solusi, yang hadir di jalan buntu ini, mendatangi rasa putus asa, menariknya dari sumur yang penuh perasaan menyerah.

Aku menghampiri perawat Wiji yang sedang beristirahat di kamarnya. 

"Boleh aku masuk?" tanyaku yang mengintip perawat Wiji dari balik pintu.

Perawat Wiji yang sedang duduk di atas tempat tidur terlihat mengulaskan senyum.

"Masuklah," ucap perawat Wiji.

Aku dan perawat Wiji tinggal di asrama klinik yang disediakan di sana. Di belakang tempat praktek, hanya ada tiga penghuni, aku, perawat Wiji dan satu satpam yang lebih banyak berada di depan. 

Aku masuk ke dalam kamar perawat Wiji.

"Maafkan aku, aku tadi emosi," ucapku dengan perasaan menyesal.

"Ya saya mengerti, dulu saya juga seperti itu," ucap perawat Wiji.

"Benarkah?" tanyaku.

"Dokter Arya membantu saya dan keluarga saya, sejak saya masih duduk di bangku SMA. Menyekolahkan di akademi keperawatan, lalu memberi pekerjaan dengan gaji yang berkali kali lipat dari pekerjaan sejenisnya, tapi seperti inilah, yang dia kerjakan dan saya tidak bisa berbuat apa apa," ucap perawat Wiji, seolah pasrah, menganggap semua ini sebagai nasib yang sudah harus dijalani tanpa lagi meminta yang lain.

"Seperti yang orang katakan, hutang uang bisa dibayar, hutang budi dibawa mati," lanjut perawat Wiji.

Aku terdiam, melihat guratan kesedihan di wajah perawat Wiji.

"Wiji, bagaimana kalau kita pergi dari sini dan mencari pekerjaan lain?" ucapku seraya menggenggam kedua tanngannya, erat, memberikan sentusan magic yang mampu menerobos hati yang sudah berperisai itu.

Perawat Wiji mengulaskan senyum.

"Tidak mungkin, dokter Arya membiayai biaya pengobatan ibu saya, tidak mungkin saya pergi, itu artinya saya menyerahkan nyawa ibu saya pada takdir," ucap perawat Wiji.

Aku mendecakkan lidah, aku benar benar tidak bisa memaksakan kehendakku sendiri pada perawat Wiji. 

"Dok, dokter Arya adalah orang yang kejam, dia tidak akan semudah itu melepaskan dokter, apalagi jika dokter diam diam pergi," ucap perawat Wiji.

"Dia akan mencari dokter, ke manapun dokter pergi dan berada, lalu menghancurkan kehidupan dokter, tanpa tersisa," lanjut perawat Wiji dengan sorot mata penuh keyakinan.

"Mengerikan sekali, apa benar dokter Arya sekejam itu?" tanyaku yang belum percaya dengan apa yang aku dengar.

"Itu terjadi pada dokter sebelumnya, dia kabur setelah satu bulan bekerja, entah bagaimana caranya dokter Arya berhasil menemukannya dan memenjarakan dokter itu dengan tuduhan malpraktek. Dia dipenjara, kehilangan izin prakteknya, mana lagi yang lebih hancur dari itu, dia tidak bisa menjadi dokter untuk seumur hidupnya, juga pandangan miring keluarga beserta masyarakat," ucap perawat Wiji.

"Apa kita tidak bisa melaporkan dokter Arya ke polisi?" tanyaku.

Sekali lagi perawat Wiji mengulaskan senyum.

"Hukum seolah ada di tangannya, dia menggandeng banyak polisi korup dan mengancamnya dengan itu. Dokter Arya adalah dokter kaya raya, apa yang tidak bisa dilakukan dengan uang?" ucap perawat Wiji.

"Saya tidak sanggup berada di sini," ucapku yang seketika menunjukkan ekspresi wajah penuh dengan gurat kesedihan.

Aku melepas genggaman tangan itu, sedikit menjauh, lalu memalingkan wajah.

Perawat Wiji mendekat ke arahku yang duduk di pinggiran tempat tidur paling ujung, lalu memelukku

"Saya mengerti, jalan terbaiknya adalah selesaikan kontrak, hanya lima tahun, setelah itu dokter akan bebas," ucap perawat Wiji memberikan sebuah solusi yang menyakitkan.

"Apa dia benar benar akan membebaskanku?" tanyaku.

"Ya, dia bukan orang yang ingkar janji, dia tidak akan menjilat ludahnya sendiri," ucap perawat Wiji.

 Aku menarik tubuh dari pelukan perawat Wiji.

"Apa dia tidak takut jika aku melaporkannya setelah dia melepaskanku?" tanyaku.

"Sama sekali tidak, jika dokter melaporkan dokter Arya, maka dokter juga akan ikut terseret. Apalagi semua pasien itu memiliki diagnosa pasti, sesuai, atau dibuat menjadi sesuatu yang normal untuk dilakukan, tidak ada bukti, tidak ada tuntutan hukum, sesuai prosedur yang semestinya," ucap perawat Wiji.

"Saksi, ya, pasti ada saksi, pasien pasien itu atau keluarganya," ucapku berusaha menciptakan kemungkinan.

Perawat Wiji menggenggam tanganku erat.

"Mereka datang atas kemauan mereka sendiri, mengharap pertolongan dari dokter Arya. Mereka tidak sebodoh itu hingga mau menjadi saksi. Dokter Arya juga sangat selektif dalam memilih

pasien, ada perjanjian yang sudah mereka buat," ucap perawat Wiji.

"Apa benar sesempurna itu, tidak, pasti ada celah, ya, pasti dia akan melakukan kesalahan," ucapku.

Aku mulai meneteskan air mata, butiran bening ini meluncur dengan mudahnya, setetes demi setetes, lalu selayaknya air terjun, sangat sulit untuk dihentikan.

"Aku tidak bisa membunuh janin yang tidak berdosa, aku seperti dikejar dosa dan suara tangis mereka terngiang di telingaku," ucapku.

"Tenanglah, semua akan berlalu, jalankan saja, diagnosa yang diberikan dokter Arya adalah diagnosa yang akan melegakanmu," ucap perawat Wiji. 

"Ini tidak benar, dia memberikan diagnosa palsu seolah olah memang harus dilakukan, padahal mereka pasien sehat, bisa bertahan hingga melahirkan," ucapku.

"Ya, bertahanlah," ucap perawat Wiji.

 

Sejak hari itu, hari hariku seperti di neraka, dihujani dengan pasien pasien yang begitu teganya melakukan segala cara demi menyelamatkan nama baik mereka di dunia. Hanya demi nama baik, menyembunyikan kesalahan dan dosa, padahal kehamilan adalah sebuah anugrah yang begitu sempurna, tidak ada kesalahan di dalamnya.

Aku tidak lagi bisa tersenyum, bangga dengan profesi yang seharusnya mulia ini. Aku benar benar masuk ke dalam jurang kenestapaan dan berharap ada yang membantu, menarik tanganku dari jurang penuh lumpur yang bau ini.

Selesai.

***

Romansa menyimpan tulisan pertamanya, ke dalam folder dengan nama “Kenangan Menyakitkan”. Namun tiba tiba dia melihat sebuah iklan yang melintas di bagian bawah laptopnya yang tersambung dan internet. Di sana tertulis “Tuliskan kisahmu di sini dan beritahu dunia,” entah kenapa Romansa begitu penasaran, lalu mengklik iklan itu.

Dia akhirnya memposting cerita pertamanya di aplikasi itu, aplikasi yang berisi novel, jurnal dan berbagai kisah. Dia tidak lagi mengingat, atau sengaja tidak mengingat pesan dari dokter yang merawatnya untuk tidak mempublikasikan tulisannya. Entah kenapa, dia hanya ingin dunia tahu, bahwa tempat selayaknya neraka itu benar benar ada dan kita semua harus semakin erat merangkul anak anak, saudara juga teman teman, supaya tidak terjerumus dalam lembah kenestapaan, atau parahnya menjadi salah satu pasien dari tempat terkutuk itu. Romansa mempublikasikan jurnal tulisannya tanpa nama yang jelas dan hanya membubuhkan inisial R.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 57 Rahasia Terbesar Dokter Gede

    Rahasia Terbesar Dokter GedeDokter Gede dan perawat Dante terlihat berbicara cukup serius di lorong ruang perawatan VVIP.“Apa kau sudah menghapus semua data mengenai Romansa?” Tanya dokter Gede.“Sudah dok,” jawab perawat Dante.“Ya, jangan sampai ada orang lain yang tahu, apapun status mengenai dia, harus tetap tersimpan di Neverland selamanya,” ucap dokter Gede.“Ba-baik dok,” ucap perawat Dante.Dokter Gede terlihat menarik pikirannya ke belakang, ke satu waktu, menjadi titik mula Romansa berada di rumah sakit jiwa itu.Tiga tahun lalu, dokter Gede menemui dokter Arya, yang ternyata memiliki cerita di masa muda mereka.“Bawa dokter itu ke tempatmu, jangan sampai dia bicara lebih jauh dengan polisi,” ucap dokter Arya.“Aku sudah memperingatkanmu, jangan meneruskan bisnis itu, hentikan, kau dokter yang hebat, tidak perlu mengikuti jejak ayah dan kakekmu,” ucap dokter Gede. Mereka terlihat berbincang di sebuah ruangan, ruangan tertutup yang ada di kantor polisi.“Ya, kau tahu sendiri

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 56 Down Syndrome Bukan Salah Mama Part 2

    Down Syndrome Bukan Salah Mama Part 2“Skrining untuk down syndrome sudah dapat dilakukan sejak usia kehamilan 11 hingga 14 minggu melalu pemeriksaan USG dan tes darah di trimester pertama. Atau bisa juga dilakukan antara usia 15 minggu dan 20 minggu dengan tes darah yang disebut dengan tes skrining multiple marker serum,” jawabku.“Namun tidak 100% tes ini memberikan hasil yang akurat. Uji diagnostikpun bisa dilakukan, seperti memeriksa biopsi vili korionik (sampel plasenta), amniocentensis (cairan ketuban), chordocentesis (darah tali pusat) saat bayi masih berada di dalam kandungan, namun tidak semudah seperti yang dibayangkan, semua itu memiliki risiko komplikasi yang jauh lebih besar, sehingga harus dipertimbangkan dengan matang untuk memilih melakukan pemeriksaan itu,” lanjutku.“Jika bukan karma, kenapa selalu ibu yang disalahkan ketika memiliki anak seperti itu,” ucapnya yang diiringi dengan derai air mata.Aku menggenggam tangannya semakin erat, berusaha memahami sesuatu yang b

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 55 Down Syndrome Bukan Salah Mama

    Down Syndrome Bukan Salah MamaRomansa melihat semburat warna orens tergambar di sisi barat, matahari tenggelam yang begitu indah, terlihat sedikit samar. Dia memejamkan mata, membayangkan betapa indahnya matahari terbenam di pinggir pantai yang indah.“Aku sudah selesai dengan Savea, namun hatiku begitu bergetar, aku memikirkan Ibu Kayati, namun jariku sangat lelah dan sulit untuk digerakkan,” ucap Romansa di dalam hati seraya melihat ke arah jari jarinya yang begitu ingin sekali kembali mengetik.“Semoga kau dan anakmu selalu dalam kebahagiaan. Kau memutuskan untuk merawatnya sendiri, kau hebat, Tuhan akan mengasihimu,” ucap Romansa yang tanpa terasa butiran air mata menetes dengan begitu mudahnya.Tiba tiba dia mendengar suara pintu kamar diketuk, beberapa detik setelah itu terlihat perawat Nindi masuk.“Nona, ibu Erna berpesan untuk mengingatkan nona minum obat,” ucap perawat Nindi.“Iya perawat Nindi, terima kasih. Oh iya, apa bu Erna belum kembali? Apa dia cerita sedang ada keper

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 54 Aku Bukan SALOME Part 3

    Aku Bukan SALOME Part 3Romansa terlihat menarik nafas panjang, dia tidak boleh menggantungkan sebuah cerita. Dia pernah berjuang hingga akhir untuk membantu seseorang menemukan keadilan. Romansa menguatkan hati untuk meneruskan tulisannya, karna saat itu dia juga berjuang sekuat tenaga demi mendapatkan keadilan untuk Savea.Cerita Savea selanjutnya.Aku memeluk Savea dengan pelukan yang penuh kasih. Aku mengasihaninya, gadis malang ini, yang direnggut kebahagiaannya dengan paksa, oleh orang orang dalam raga berpendidikan dan rupawan. Aku merasakan kesedihan juga perasaan itu.Kelaminnya dikoyak, namun dia tidak tahu, hanya rasa sakit dan perih yang dirasakannya. Kesakitan yang akhirnya menjadi perasaan trauma yang mendalam.“Tolong dok, tolong ambil bayi ini, bayi yang hidup di dalam tubuh saya,” ucapnya lirih. Aku semakin memeluknya erat, semakin erat, tidak semudah itu, bukan jalan yang terbaik.“Tolong, jangan begini, dokter janji, dokter akan menolongmu, sebisa mungkin,” ucapku pa

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 53 Aku Bukan SALOME Part 2

    Aku Bukan SALOME Part 2Cukup lama aku dan perawat Wiji memberikan ruang untuk Savea, hingga akhirnya dia mulai tenang dan memutuskan untuk melanjutkan sesi konsultasi.“Apa tidak sebaiknya kau pulang dulu?” Tanyaku pada Savea.“Tidak dok, saya sudah lebih baik,” ucap Savea.“Kita bicara di sini? Tidak apa apa, tidak perlu di ruang pemeriksaan,” ucapku yang melihat Savea berusaha turun dari tempat tidur UGD.“Tidak apa apa?” Tanya Savea.“Ya, tentu saja,” ucapku yang kemudian mengambil kursi dan duduk di sebelahnya.“Apa walimu tidak ikut?” Tanyaku pada Savea. Mendengar pertanyaan itu dia hanya menggeleng.“Saya dari pulau lain, di kota ini untuk kuliah,” ucapnya.“Oh begitu ya, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau selalu menyebutkan kata salome,” tanyaku.“Saya khawatir salah mengartikannya,” lanjutku.“Ya, sejak peristiwa itu, semua orang di kampus menyebut saya SALOME, sungguh sangat menyakitkan, saya bahkan berpikir untuk bunuh diri,” ucapnya.“Ada apa?” Tanyaku menelisik.Aku m

  • Jurnal Sang Dokter   BAB 52 Aku Bukan SALOME

    Aku Bukan SALOMEBeberapa menit sebelumnya.Simon terlihat begitu asik bersama perawat Nindi dan juga perawat Nika, mereka membahas mengenai kondisi salah satu pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa itu. Sebenarnya hanya kasus karangan Simon saja, tidak ada tugas mengenai itu, dia hanya membuat riset sendiri untuk membantu Rey mengelabui perawat di ruang perawatan VVIP.Tiba tiba dari jauh terdengar langkah kaki dari beberapa orang, Simon melirik ke arah lorong rumah sakit yang menuju ke arah ruang perawatan VVIP, dia melihat ada dokter Gede sedang berjalan bersama dengan perawat Dante.“Dok-dokter Gede,” gumam Simon dalam hati. Dia mulai gugup, tidak ingin ketahuan, dia segera mencari alasan supaya bisa secepatnya pergi.“Perawat Nindi, perawat Nika, saya ucapkan terima kasih. Saya ingin berlama lama dengan perawat perawat yang ramah juga baik seperti kalian, tapi sayangnya ada panggilan alam yang tidak bisa ditunda lagi,” ucap Simon seraya menunjukkan ekspresi seseorang yang sedang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status