Share

BAB 4 Wanita Penghibur Part 3

Wanita Penghibur Part 3

Perawat Wiji mendatangiku.

"Dokter, tidak perlu sedih begini, itu sudah profesinya," ucap perawat Wiji yang melihatku duduk di bangku ruang tunggu, sendirian, menerawang, dengan pandangan kosong.

"Apa? profesi? hah," ucapku seolah mencibir.

"Segala sesuatu yang menghasilkan uang dan dilakukan secara terus menerus bisa dibilang sebagai profesi," ucap perawat Wiji dengan tenang, tidak terpancing dengan kekesalanku, kekesalan yang sudah menjalar, merasuki seluruh tubuh.

"Aku tidak setuju," ucapku dengan nada sedikit tinggi.

"Tidak ada pembenaran, menjual diri bukan profesi, itu penyakit, apapun alasannya," lanjutku dengan mata tajam.

"Penyakit itu harus disembuhkan. Berikan bimbingan yang baik, dia harus keluar dari zona nyamannya, pekerjaan yang dipikir mudah, menghasilkan banyak uang, kemewahan," ucapku lagi, masih dengan amarah yang menggebu.

"Dngan satu tubuh, melayani banyak pria hidung belang. Aku bukannya ingin menjelekkan mereka, namun itu kenyataannya. Mencium seseorang, memeluk seseorang, semua itu membutuhkan cinta dan penerimaan. Apa mungkin ada rasanya? iya hanya kenikmatan, namun hilang dengan cepat setelahnya," ucapku.

"Di tambah lagi dia memaksa janin dalam perutnya untuk pergi, padahal janin itu tidak berdosa, tidak juga bisa memilih harus berada di rahim siapa, dibuahi oleh orang yang mana," ucapku sangat kesal.

 "Ya, Silahkan saja marah, mungkin itu akan membuatmu lebih tenang," ucap Wiji.

“Mungkin dia juga melakukan itu semua dengan terpaksa,” lanjut perawat Wiji.

“Ya, terpaksa, namun bukan seperti itu, masih ada pekerjaan lainnya. Jika memang terpaksa, dia tidak akan mengambil dosa lain, jika dia memiliki hati nurani, ketika mengetahui dirinya hamil, dia akan berhenti, merawat kehamilan itu, melahirkannya, membesarkannya, menjadi ibu yang baik,” ucapku.

“Mungkin dia tidak sanggup,” ucap perawat Wiji.

"Kau ini," ucapku yang kemudian berjalan ke arah Wiji.

"Kau sudah tahu bukan, klinik apa ini, sudah tahu bukan, karena itu kau seperti manusia tak berperasaan, luar biasa sekali, kau sama dengan mereka," ucapku serius.

"Maaf dokter, saya tidak sama dengan mereka. Saya memiliki hutang budi yang harus saya bawa seumur hidup, jadi jangan pertanyakan kenapa saya di sini," ucap Wiji yang kemudian pergi meninggalkanku.

Aku menghela nafas panjang, hanya bisa menangis, tidak tahu harus berbuat apa, semua pintu seolah tertutup, semua jalan buntu, gelap dan sepi.

***

Setelah lebih tenang, aku berusaha untuk berpikir, langkah apa yang bisa diambil, sebuah solusi, yang hadir di jalan buntu ini, mendatangi rasa putus asa, menariknya dari sumur yang penuh perasaan menyerah.

Aku menghampiri perawat Wiji yang sedang beristirahat di kamarnya. 

"Boleh aku masuk?" tanyaku yang mengintip perawat Wiji dari balik pintu.

Perawat Wiji yang sedang duduk di atas tempat tidur terlihat mengulaskan senyum.

"Masuklah," ucap perawat Wiji.

Aku dan perawat Wiji tinggal di asrama klinik yang disediakan di sana. Di belakang tempat praktek, hanya ada tiga penghuni, aku, perawat Wiji dan satu satpam yang lebih banyak berada di depan. 

Aku masuk ke dalam kamar perawat Wiji.

"Maafkan aku, aku tadi emosi," ucapku dengan perasaan menyesal.

"Ya saya mengerti, dulu saya juga seperti itu," ucap perawat Wiji.

"Benarkah?" tanyaku.

"Dokter Arya membantu saya dan keluarga saya, sejak saya masih duduk di bangku SMA. Menyekolahkan di akademi keperawatan, lalu memberi pekerjaan dengan gaji yang berkali kali lipat dari pekerjaan sejenisnya, tapi seperti inilah, yang dia kerjakan dan saya tidak bisa berbuat apa apa," ucap perawat Wiji, seolah pasrah, menganggap semua ini sebagai nasib yang sudah harus dijalani tanpa lagi meminta yang lain.

"Seperti yang orang katakan, hutang uang bisa dibayar, hutang budi dibawa mati," lanjut perawat Wiji.

Aku terdiam, melihat guratan kesedihan di wajah perawat Wiji.

"Wiji, bagaimana kalau kita pergi dari sini dan mencari pekerjaan lain?" ucapku seraya menggenggam kedua tanngannya, erat, memberikan sentusan magic yang mampu menerobos hati yang sudah berperisai itu.

Perawat Wiji mengulaskan senyum.

"Tidak mungkin, dokter Arya membiayai biaya pengobatan ibu saya, tidak mungkin saya pergi, itu artinya saya menyerahkan nyawa ibu saya pada takdir," ucap perawat Wiji.

Aku mendecakkan lidah, aku benar benar tidak bisa memaksakan kehendakku sendiri pada perawat Wiji. 

"Dok, dokter Arya adalah orang yang kejam, dia tidak akan semudah itu melepaskan dokter, apalagi jika dokter diam diam pergi," ucap perawat Wiji.

"Dia akan mencari dokter, ke manapun dokter pergi dan berada, lalu menghancurkan kehidupan dokter, tanpa tersisa," lanjut perawat Wiji dengan sorot mata penuh keyakinan.

"Mengerikan sekali, apa benar dokter Arya sekejam itu?" tanyaku yang belum percaya dengan apa yang aku dengar.

"Itu terjadi pada dokter sebelumnya, dia kabur setelah satu bulan bekerja, entah bagaimana caranya dokter Arya berhasil menemukannya dan memenjarakan dokter itu dengan tuduhan malpraktek. Dia dipenjara, kehilangan izin prakteknya, mana lagi yang lebih hancur dari itu, dia tidak bisa menjadi dokter untuk seumur hidupnya, juga pandangan miring keluarga beserta masyarakat," ucap perawat Wiji.

"Apa kita tidak bisa melaporkan dokter Arya ke polisi?" tanyaku.

Sekali lagi perawat Wiji mengulaskan senyum.

"Hukum seolah ada di tangannya, dia menggandeng banyak polisi korup dan mengancamnya dengan itu. Dokter Arya adalah dokter kaya raya, apa yang tidak bisa dilakukan dengan uang?" ucap perawat Wiji.

"Saya tidak sanggup berada di sini," ucapku yang seketika menunjukkan ekspresi wajah penuh dengan gurat kesedihan.

Aku melepas genggaman tangan itu, sedikit menjauh, lalu memalingkan wajah.

Perawat Wiji mendekat ke arahku yang duduk di pinggiran tempat tidur paling ujung, lalu memelukku

"Saya mengerti, jalan terbaiknya adalah selesaikan kontrak, hanya lima tahun, setelah itu dokter akan bebas," ucap perawat Wiji memberikan sebuah solusi yang menyakitkan.

"Apa dia benar benar akan membebaskanku?" tanyaku.

"Ya, dia bukan orang yang ingkar janji, dia tidak akan menjilat ludahnya sendiri," ucap perawat Wiji.

 Aku menarik tubuh dari pelukan perawat Wiji.

"Apa dia tidak takut jika aku melaporkannya setelah dia melepaskanku?" tanyaku.

"Sama sekali tidak, jika dokter melaporkan dokter Arya, maka dokter juga akan ikut terseret. Apalagi semua pasien itu memiliki diagnosa pasti, sesuai, atau dibuat menjadi sesuatu yang normal untuk dilakukan, tidak ada bukti, tidak ada tuntutan hukum, sesuai prosedur yang semestinya," ucap perawat Wiji.

"Saksi, ya, pasti ada saksi, pasien pasien itu atau keluarganya," ucapku berusaha menciptakan kemungkinan.

Perawat Wiji menggenggam tanganku erat.

"Mereka datang atas kemauan mereka sendiri, mengharap pertolongan dari dokter Arya. Mereka tidak sebodoh itu hingga mau menjadi saksi. Dokter Arya juga sangat selektif dalam memilih

pasien, ada perjanjian yang sudah mereka buat," ucap perawat Wiji.

"Apa benar sesempurna itu, tidak, pasti ada celah, ya, pasti dia akan melakukan kesalahan," ucapku.

Aku mulai meneteskan air mata, butiran bening ini meluncur dengan mudahnya, setetes demi setetes, lalu selayaknya air terjun, sangat sulit untuk dihentikan.

"Aku tidak bisa membunuh janin yang tidak berdosa, aku seperti dikejar dosa dan suara tangis mereka terngiang di telingaku," ucapku.

"Tenanglah, semua akan berlalu, jalankan saja, diagnosa yang diberikan dokter Arya adalah diagnosa yang akan melegakanmu," ucap perawat Wiji. 

"Ini tidak benar, dia memberikan diagnosa palsu seolah olah memang harus dilakukan, padahal mereka pasien sehat, bisa bertahan hingga melahirkan," ucapku.

"Ya, bertahanlah," ucap perawat Wiji.

 

Sejak hari itu, hari hariku seperti di neraka, dihujani dengan pasien pasien yang begitu teganya melakukan segala cara demi menyelamatkan nama baik mereka di dunia. Hanya demi nama baik, menyembunyikan kesalahan dan dosa, padahal kehamilan adalah sebuah anugrah yang begitu sempurna, tidak ada kesalahan di dalamnya.

Aku tidak lagi bisa tersenyum, bangga dengan profesi yang seharusnya mulia ini. Aku benar benar masuk ke dalam jurang kenestapaan dan berharap ada yang membantu, menarik tanganku dari jurang penuh lumpur yang bau ini.

Selesai.

***

Romansa menyimpan tulisan pertamanya, ke dalam folder dengan nama “Kenangan Menyakitkan”. Namun tiba tiba dia melihat sebuah iklan yang melintas di bagian bawah laptopnya yang tersambung dan internet. Di sana tertulis “Tuliskan kisahmu di sini dan beritahu dunia,” entah kenapa Romansa begitu penasaran, lalu mengklik iklan itu.

Dia akhirnya memposting cerita pertamanya di aplikasi itu, aplikasi yang berisi novel, jurnal dan berbagai kisah. Dia tidak lagi mengingat, atau sengaja tidak mengingat pesan dari dokter yang merawatnya untuk tidak mempublikasikan tulisannya. Entah kenapa, dia hanya ingin dunia tahu, bahwa tempat selayaknya neraka itu benar benar ada dan kita semua harus semakin erat merangkul anak anak, saudara juga teman teman, supaya tidak terjerumus dalam lembah kenestapaan, atau parahnya menjadi salah satu pasien dari tempat terkutuk itu. Romansa mempublikasikan jurnal tulisannya tanpa nama yang jelas dan hanya membubuhkan inisial R.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status