Share

1

"Arinda, aku cinta kamu."

Dari gelagat dan perhatian lebih yang diberikan Ferdi, Arinda tahu bahwa teman sekelasnya itu memendam rasa cinta padanya. Jadi ia tidak terkejut saat mendengar ungkapan yang baru saja keluar dari mulut Ferdi. Namun, ia tetap menghargai keberanian Ferdi datang ke rumah malam ini untuk jujur mengakui perasaannya.

"Aku mau kamu jadi istriku."

Mata Arinda seketika terbelalak mendengar kalimat kedua yang diucapkan Ferdi. Apakah baru saja dirinya sedang dilamar? Bukankah kalimat itu terdengar seperti sebuah lamaran? Wow! Ferdi benar-benar seorang gentleman sejati. Sekali jatuh cinta pada seorang perempuan, ia langsung melamarnya. Mungkinkah pemuda seusianya itu terinspirasi dari sosok anak seorang ustaz ternama yang berani menikah di usia masih sangat muda?

Andaikan Arinda memiliki perasaan sama seperti Ferdi, ia pasti langsung menerima lamaran tersebut. Apalagi selain berwajah cukup tampan, berpenampilan keren, dan baik hati, Ferdi pun sudah memiliki bisnis sendiri meski belum lulus kuliah. Ia yang orang tuanya merupakan pengusaha restoran sudah memiliki dua buah outlet distro di kota ini. Arinda yakin di kemudian hari Ferdi akan menjadi seorang pengusaha sukses. Karena itulah ia berani untuk tak hanya sekadar menyatakan cinta, tapi juga melamar perempuan yang dicintainya.

"Kalau kamu setuju dan bersedia, sekarang juga aku akan ngomong langsung sama orang tua kamu."

Belum reda keterkejutan Arinda, Ferdi sudah menambahnya lagi. Kini ia tidak bisa santai saja seperti tadi, entah kenapa jantungnya mulai berdetak cepat. Itu wajar terjadi karena baru kali ini ia dilamar.

Ferdi sudah berkata jujur tentang perasaannya. Kini giliran Arinda yang harus berkata jujur pada pemuda itu. Bagian inilah yang tidak disukai Arinda jika ada seorang laki-laki yang menyatakan cinta padanya yaitu penolakan. Ferdi bukanlah laki-laki pertama yang menyatakan cinta padanya, tapi sudah tentu yang pertama melamarnya. Kali ini Ferdi dengan lapang dada harus menerima penolakan darinya seperti yang terjadi pada beberapa laki-laki terdahulu.

Arinda mencoba menenangkan diri dan menormalkan kembali detak jantungnya sebelum memberikan jawaban pada Ferdi. Sungguh, ia benar-benar tidak suka melakukan penolakan ini, tapi mau bagaimana lagi? Walaupun laki-laki yang datang melamarmu berhati baik dan berwajah tampan serta memiliki kelebihan-kelebihan lain, tapi jika hatimu tidak mencintainya, semua itu tidak bisa dengan mudah mengubah kata 'tidak' menjadi 'iya'.

Arinda menarik napas lalu mengembuskannya perlahan sebelum berkata, "Ferdi, terima kasih kamu udah mencintai aku dan berniat menjadikanku sebagai istri kamu. Jujur, aku sangat terkejut dan juga tersanjung."

Arinda tersenyum seraya menatap wajah Ferdi. Ia ingin tahu reaksi laki-laki itu setelah mendengar pembukaan dari pembicaraannya. Jika Ferdi adalah laki-laki yang cerdas dan peka, pasti dengan cepat memahami apa yang selanjutnya akan dikatakan oleh lawan bicara. Sepertinya Ferdi termasuk ke dalam tipe laki-laki yang seperti itu. Lihat saja, kekecewaan mulai terlukis di wajahnya.

"Kamu tahu? Kamu laki-laki pertama yang melamarku dan aku sangat menghargai keberanian kamu. Enggak banyak laki-laki yang berani ngelakuin hal yang sama kayak apa yang kamu lakuin barusan. Apalagi kamu terbilang masih muda banget. Aku salut sama kamu, Fer, tapi ...."

Ferdi terlihat lesu dan tak bersemangat saat mendengar kata 'tapi' yang diucapkan Arinda setelah gadis itu memujinya. Apalah arti dari sebuah pujian jika akhirnya kata penolakan yang harus didengar.

"Aku tahu, Arinda. Kamu menolak cinta dan lamaranku, 'kan?"

Dari pada mendengar langsung penolakan dari mulut orang yang dicintainya, lebih baik ia yang mengatakannya terlebih dahulu.

Arinda menunduk. Ferdi bisa melihat gadis itu mengangguk walau sangat samar. Tebakannya benar.

"Boleh aku tahu alasannya?"

Ferdi ingin tahu mengapa Arinda menolaknya sementara banyak gadis di luar sana yang menginginkan dirinya. Ia yakin Arinda juga mencintainya hanya karena gadis berambut panjang bergelombang itu selalu bersikap baik padanya. Ah, ia memang terlalu percaya diri dan juga bodoh. Masa hanya karena selalu bersikap baik, seseorang sedang mencintaimu? Yang benar saja.

"Aku udah mencintai laki-laki lain," jawab Arinda jujur.

"Oh, begitu."

Ferdi tersenyum kecut. Ia tahu Arinda mengatakan alasan yang sebenarnya, ia bisa melihatnya dari mata gadis itu. Ia tak menyangka Arinda akan berkata jujur mengenai alasan atas penolakannya. Ia kira fokus mengerjakan skripsi akan dijadikan alasan oleh Arinda. Ia semakin kagum pada Arinda. Lalu siapakah laki-laki yang beruntung mendapatkan cinta Arinda? Sebenarnya ia ingin tahu tapi, ya sudahlah. Lagipula untuk apa? Tak ada untungnya, yang ada malah hatinya semakin sakit nanti.

"Maaf ya, Fer."

"Iya, Arinda, nggak papa. Aku nggak mau maksa."

Ferdi berusaha untuk tetap tegar dengan menampilkan seulas senyum yang tentu saja berbeda dari senyum sebelumnya. Kali ini senyumnya terlihat lebih tulus walau masih ada semburat kecewa di dalamnya.

"Oke. Kalo gitu aku pulang, ya."

Setelah mengantarkan Ferdi sampai depan rumah, Arinda segera masuk kamar, mengunci pintu, lalu berlari menuju ranjang untuk mengambil ponsel yang tergeletak di sana. Ia tak sabar ingin menceritakan apa yang telah terjadi tadi pada Erika, sahabat baiknya.

"Erikaaaaa. Tadi Ferdi ke rumah dan kamu tau dia ngapain?"

"Pasti dia nembak kamu, 'kan? Keliatan banget kali, kalo dia tuh, suka sama kamu."

Dulu Arinda dan Erika bersekolah di SMA yang sama walau mereka tak pernah satu kelas. Mereka hanya sebatas tahu, tapi tak mengenal secara akrab satu sama lain. Kedekatan dan keakraban mereka justru baru tercipta saat mereka masuk di kampus dan mengambil jurusan yang sama. Tak heran jika Erika tahu bahwa Ferdi menaruh hati pada sahabatnya itu.

Arinda duduk di atas tempat tidur sambil memeluk bantal, lalu meremasnya gemas saat berkata, "Bukan cuma nembak, Ferdi juga ngelamar aku."

"What? Really? Yang bener kamu, Rin?"

"Sumpah. Beneran. Malah dia mau ngomong langsung sama Papa dan Mama."

"Gila Aku nggak nyangka si Ferdi seberani itu. Itu tuh, yang namanya laki-laki sejati, langsung ngajak nikah, bukannya ngajak pacaran. Aku salut sama dia. Terus, kamu terima dia, 'kan?"

"Ya enggaklah. Aku kan, nggak cinta sama dia."

Arinda mendengar Erika menghela napas berat di seberang sana.

"Kamu tuh, aneh, Rin. Kamu terus-terusan nolak cowok yang ngedeketin kamu, tapi kamu sendiri nggak bergerak maju buat nyatain cinta ke cowok yang kamu suka. Kalo begitu terus, kamu bakal jadi jomblo sampe waktu yang nggak bisa ditentuin, tau!"

Arinda tertawa mendengar ucapan Erika, tapi hatinya meringis. Sahabatnya itu benar. Selama ini ia memang hanya bisa menjadi seorang pecinta rahasia tanpa berani mengungkapkan perasaan pada lelaki yang dicintainya. Namun, jika dibilang tidak berani, sebenarnya ia berani dan tidak keberatan jika harus menyatakan cinta terlebih dahulu pada seorang lelaki. Emansipasi perempuan sudah berlaku, 'kan? Hanya saja ia tak ingin dan tak siap jika harus mendengar kata penolakan dari lelaki tersebut karena tahu lelaki pujaan hatinya masih mencintai perempuan lain. Maka dari itu ia lebih memilih memendam perasaan cinta dan menikmatinya sendiri. Entah sampai kapan.

"Mendingan kamu hilangin deh, perasaan cinta kamu buat dia. Jatuh cinta sama cowok yang belum bisa move on dari mantannya itu nggak baik buat kesehatan hati."

"Aku nggak bisa, Ka. Nggak semudah itu. Aku suka sama dia udah lama, dia cinta pertamaku."

"Sampe kapan kamu mau gini terus, sedangkan di luar sana masih banyak cowok yang lebih baik dari dia dan mau sama kamu?"

"Aku nggak tau."

"Hmm, terserah kamu aja, deh."

"Ya iyalah, terserah aku. Masa terserah Boy?"

Erika tertawa, Arinda juga. Lalu mereka melanjutkan obrolan, dari lamaran Ferdi yang ditolak mentah-mentah oleh Arinda hingga judul skripsi Erika yang ditolak mentah-mentah juga oleh dosen pembimbing.

Makhluk bernama perempuan jika sudah mengobrol memang tak kenal waktu. Tanpa terasa Arinda dan Erika sudah satu jam lebih berbicara ngalor-ngidul hingga baterai ponsel Arinda melemah, lalu obrolan seru mereka terpaksa harus dihentikan.

Arinda melihat ke arah jam berbentuk kepala Hello Kitty yang terpaku tepat di atas pintu kamar. Sudah pukul sembilan lebih empat puluh menit. Ia kemudian men-charge ponsel, turun dari ranjang, lalu melangkah ke arah jendela. Ia mengintip dari balik gorden berwarna peach yang ia kuak sedikit. Pandangannya tertuju pada rumah di seberang sana, tempat lelaki yang dicintainya tinggal.

***

Pagi ini Arinda akan berangkat ke kampus. Seperti biasa, ia menumpang mobil Elang untuk bisa sampai ke sana. Sebenarnya bisa saja ia ikut bersama papanya sambil berangkat ke kantor, atau bisa juga meminta tolong mamanya untuk mengantar karena ia tidak bisa berkendara, motor maupun mobil. Bukan apa-apa, ia hanya belum mempunyai keberanian untuk belajar berkendara. Namun, tentu saja hidup tak akan berhenti hanya karena dirimu tak bisa mengendarai motor atau mobil. Tenang saja, akan selalu ada alternatif lain. Hidup kini sudah semakin mudah. Bisa naik ojek, taksi, bus, atau transportasi umum lain. Arinda memilih untuk menumpang pada mobil tetangga yang sudah dianggapnya sebagai kakak, yaitu Elang.

Arinda mencintai Elang. Makanya ia selalu ingin berdekatan dengan lelaki itu. Salah satu caranya yaitu dengan meminta tumpangan sampai ke kampus. Elang sudah pasti tak akan menolak. Dengan senang hati Elang akan mengantarkan adik kesayangannya hingga ke tempat tujuan.

Sambil berlari-lari kecil Arinda menuju mobil berjenis SUV warna hitam yang terparkir tepat di luar pagar rumahnya. Tanpa ragu ia membuka pintunya, lalu masuk. Di balik kemudi terlihat Elang sedang berhadapan dengan ponsel. Entah apa yang dilakukan lelaki itu, tapi kelihatannya serius sekali.

"Lagi ngeliatin apa sih, Kak?"

Elang mengabaikan pertanyaan Arinda, tatapannya masih tertuju pada layar ponsel. Mungkin keberadaan Arinda di sampingnya pun tidak ia sadari.

"Sekarang dia udah pake jilbab. Makin cantik aja," gumam Elang yang hari ini memakai kemeja biru tua yang membuat kulitnya terlihat semakin cerah dan bersih. Ia tersenyum pada layar ponsel yang ada dalam genggaman.

Arinda mendengkus kesal mendengar gumaman Elang. Ia tahu kakaknya itu sedang melakukan apa. Bukan kali ini saja Elang ketahuan, Arinda sudah menangkap basah lelaki itu berkali-kali dengan kasus yang sama, yaitu menguntit media sosial sang mantan. Biasa disebut dengan stalking.

"Kakak, cepet jalan! Aku udah telat, nih."

Suara lantang Arinda membuat Elang sedikit terkejut, lantas segera menghentikan kegiatan stalking-nya, kemudian menyalakan mesin mobil. Ia baru sadar ternyata sudah ada Arinda di jok sebelahnya. Maklum, tadi ia terlalu asyik melihat foto terbaru yang diunggah sang mantan di F******k.

"Arinda, sejak kapan kamu datang?"

"Sejak jaman Fir'aun masih puber."

Jawaban asal bernada sewot yang keluar dari mulut Arinda sontak membuat Elang terbahak. Sementara itu Arinda menggelembungkan pipi karena masih kesal dengan kelakuan Elang yang masih saja suka memata-matai Sarah di sosial media. Entah pelet apa yang digunakan perempuan itu sampai-sampai Elang belum bisa move on. Padahal sudah hampir tujuh tahun berlalu sejak mereka putus secara resmi. Arinda benar-benar cemburu.

"Kalo mau cepat jalan dan nggak mau telat ke kampus, kamu bawa kendaraan sendiri aja. Makanya kamu belajar bawa mobil, atau minimal motor, kek. Biar nggak selalu bergantung sama orang lain kalo mau pergi ke mana-mana."

"Oh, jadi Kakak mulai nggak ikhlas, nggak suka, dan keberatan ditumpangi aku? Ya udah, aku turun aja."

"Arinda, kamu kenapa, sih? Lagi PMS, ya? Dari tadi sewot aja."

Iya, emang. Aku mendadak PMS gara-gara ngelihat kamu lagi nge-stalk akun f******k si mantanmu itu. Euh, menyebalkan!

"Abisnya Kakak gitu, sih."

"Gitu gimana? Kakak kan, cuma kasih saran aja biar kamu mandiri."

Arinda memilih tak menanggapi ucapan Elang. Ia sedang meredakan emosinya dan sepertinya akan naik lagi setelah mendengar ucapan Elang selanjutnya.

"Jadi perempuan tuh, harus mandiri kayak Sarah. Dulu Kakak mau jemput dia buat berangkat bareng ke kampus, dia nggak mau karena bisa bawa kendaraan sendiri. Pokoknya Sarah beda sama perempuan lain yang suka manfaatin pacarnya buat antar-jemput kayak sopir atau tukang ojek pribadi."

Sarah lagi, Sarah lagi. Lagi-lagi Sarah. Sebagian hati Arinda menggerutu sebal. Sebagian lagi merasa sedih karena namanya mungkin tak akan pernah bisa mengganti nama Sarah di hati dan pikiran Elang.

"Kakak merasa aku manfaatin Kakak? Kalo gitu, kenapa aku nggak terima cinta Ferdi aja ya, semalam biar bisa gantiin Kakak antar-jemput aku ke kampus."

Elang menoleh ke arah Arinda. Hari ini ia merasa gadis itu sedang berada dalam suasana hati yang tidak bagus. Dari tadi ucapannya selalu terdengar bernada sewot dan ketus. Setiap apa yang diucapkannya selalu salah di telinga Arinda.

"Sama sekali enggak, Arinda. Lagian kamu bukan pacar Kakak. Kamu itu adik Kakak."

Aku nggak mau terus-terusan jadi adik kamu. Aku mau statusku berubah jadi pacar kamu, bahkan lebih dari itu, teriak batin Arinda.

"Oh, jadi kamu abis ditembak cowok?"

"Bukan sekedar ditembak, aku malah dilamar."

"Wow!" Elang terlihat antusias. "Terus kenapa kamu nolak dia?"

"Aku udah cinta sama cowok lain," jawab Arinda dengan suara lirih.

"Siapa? Cerita dong, sama Kakak."

"Ada, deh. Rahasia."

Arinda menoleh ke arah Elang sambil tersenyum lemah. Laki-laki itu kamu, Kak, katanya dalam hati.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status