Share

2

Elang melangkah masuk ke ballroom sebuah hotel berbintang lima. Di sana acara resepsi pernikahan tetangganya berlangsung. Ia datang tak sendirian. Ia menggandeng seorang wanita yang terlihat anggun mengenakan baju kurung brokat warna emerald berpadu dengan kain batik sebagai bawahan. Tak lupa selembar kerudung menutupi kepalanya. Wanita berparas kebarat-baratan itu tak lain adalah Rahma, sang mama.

Banyak mata yang melirik pasangan ibu dan anak tersebut, beberapa bahkan saling berbisik memberikan komentar. Entah komentar apa, tapi Elang berharap semoga saja komentar baik. Bukan komentar yang menyangka bahwa ia dan Rahma adalah sepasang berondong dan tante genit, seperti yang pernah ia dengar sebelumnya.

Elang sudah terbiasa pada hal itu. Sudah tak aneh lagi baginya saat banyak orang memperhatikan bagaimana ia tanpa sungkan dan ragu menggandeng tangan wanita yang telah melahirkannya seperti menggandeng tangan sang kekasih. Ia melakukannya sebagai salah satu tanda bukti rasa sayang dan hormat pada sang mama. Apalagi sampai saat ini ia belum memiliki gadis pujaan hati. Jadilah Rahma masih menjadi satu-satunya wanita yang selalu ia utamakan, belum ada saingan. Ia memperlakukan Rahma layaknya seorang ratu, meskipun dulu wanita itulah yang memisahkannya dari Sarah, gadis yang teramat dicintainya bahkan hingga kini.

Sejak orang tuanya bercerai sekitar lima belas tahun silam, Elang sudah bertekad akan selalu membahagiakan dan menjaga Rahma. Bagaimana tidak, ia tahu betul betapa menderita dan nelangsa Rahma saat mengetahui kenyataan pahit bahwa sang suami berselingkuh dan telah menikah lagi dengan perempuan lain.

Elang sempat marah karena Rahma-lah otak dari perpisahannya dengan Sarah. Namun, mengingat suara tangisan pilu yang ia dengar hampir tiap malam dulu membuat amarahnya tak bertahan lama menghinggapi dirinya. Ia memang sangat mencintai Sarah, tapi juga tak mau memendam amarah terlalu lama pada Rahma. Bagaimanapun wanita itu adalah mamanya. Ia tak ingin Rahma bersedih lagi. Ia berusaha untuk selalu ada saat Rahma membutuhkannya, bahkan ia tidak keberatan sama sekali untuk mengantar dan menemani mamanya ke mana pergi.

"Lang, kamu kesusul aja sama si Adam. Dulu dia adik kelas kamu, 'kan?"

Adam adalah nama si mempelai pria, teman bermain Elang saat masih kecil dulu dan juga adik kelasnya saat duduk di sekolah dasar. Ia tidak suka mendengar sindiran yang keluar dari mulut mamanya. Memangnya jika usia seseorang lebih tua, maka secara otomatis ia akan mendapatkan jodoh lebih dulu? Tentu saja tidak. Jodoh itu bagian dari takdir dan takdir itu urusan Tuhan.

"Kalo dulu Mama nggak misahin aku dari Sarah, mungkin Adam yang nyusul aku sekarang."

Rahma hanya bisa terdiam. Balasan Elang atas sindirannya begitu menohok. Kadang rasa bersalah masih menghantuinya karena telah memisahkan Elang dari Sarah. Apalagi ditambah dengan mengingat kenangan buruk sang anak yang hampir depresi. Itu membuatnya semakin merasa bersalah. Ia menyesal telah melakukan hal tersebut yang membuat anak lelakinya memilih tetap menyendiri hingga kini.

Nasi sudah menjadi bubur. Ia tak bisa mengembalikan Sarah pada Elang karena perempun itu sekarang sudah hidup bahagia dengan suami dan anaknya. Namun, itu bukan berarti ia menyerah untuk membuat Elang bisa kembali membuka hati untuk perempuan lain. Ia tak ingin Elang terus menerus terperangkap dalam bayang-bayang Sarah. Elang harus melupakan Sarah. Apalagi usia Elang sudah mendekati kepala tiga dan sudah matang untuk menikah. Ia pun ingin segera menimang cucu. Jadi tak salah jika malam ini ia akan mengenalkan seorang perempuan pada Elang. Semoga saja mereka cocok satu sama lain dan bisa berlanjut ke hubungan yang lebih serius. Begitu harapan Rahma.

Selama ini yang Rahma tahu, Elang tidak sedang dekat dengan seorang perempuan semenjak putus dari Sarah. Hanya Arinda perempuan yang dekat dan sering diajak pergi berdua bersama Elang. Sejak kecil hubungan Elang dan Arinda hanyalah sebatas hubungan kakak-adik, tak lebih. Elang sangat menyayangi Arinda sebagai adiknya, bahkan rasa sayang Elang pada gadis itu melebihi rasa sayangnya pada adik-adik sepupunya. Itu karena rumah Arinda berdekatan dan bisa setiap hari bertemu, juga bertegur sapa. Berbeda dengan sepupu-sepupunya yang tinggal berjauhan, bahkan ada yang tinggal di luar negeri.

Rahma berencana akan menjodohkan Elang dengan seorang perempuan cantik bernama Ayara. Ayara termasuk salah satu pelanggan setia di klinik kecantikan miliknya. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Rencana Rahma diberi kemudahan jalan, karena ternyata Ayara adalah teman kuliah Adam dan tentu saja menjadi salah satu tamu yang hadir pada acara resepsi pernikahan malam ini.

Ayara sudah diberi tahu Rahma akan dikenalkan pada anak lelakinya. Perempuan itu setuju. Malam inilah waktu yang tepat untuk menjalankan rencana tersebut. Rahma berharap semoga rencananya berhasil. Ia sudah mengenal Ayara dengan cukup baik dan menyukainya karena memiliki kepribadian yang menurutnya menyenangkan.

Setelah menyalami dan memberi selamat pada kedua mempelai beserta orang tua masing-masing, Rahma dan Elang turun dari pelaminan. Setelah itu Elang memilih ikut mengantre mengambil jamuan makan yang telah disediakan di meja prasmanan, sementara Rahma pergi ke tempat kebab. Padahal setahu Elang, mamanya itu tidak menyukai daging kambing.

"Mama mau makan kebab?"

"Enggak."

"Terus, kenapa mau ke sana?"

"Mama ada urusan sebentar. Udah, ya," jawab Rahma singkat lalu melangkah pergi.

Elang membiarkan Rahma pergi dan enggan untuk bertanya lebih lanjut mengenai urusan yang disebutkan mamanya. Ia melanjutkan mengambil satu per satu makanan yang dihidangkan di atas meja, lalu memindahkannya ke atas piring yang ada di tangan.

"Kak Elang."

Elang menoleh, lalu melihat Arinda sudah berdiri di sebelah kursi yang didudukinya. Gadis itu membawa semangkuk bakso. Tanpa diminta, Arinda langsung masuk ke dalam barisan kursi, lalu duduk di sebelah Elang.

"Om Dedi sama Tante Yulia mana?" tanya Elang yang yakin Arinda datang ke sini bersama kedua orang tuanya.

"Tuh, di sana." Arinda menunjuk ke barisan kursi agak depan dan Elang hanya bisa melihat punggung orang tua gadis itu.

"Kakak sendirian aja?"

"Enggak. Kakak ke sini sama Mama."

"Oh. Terus Mama mana?"

Bukan hanya akrab dan menganggap Elang sebagai kakaknya, Arinda juga akrab dengan Rahma, bahkan memanggil wanita itu dengan sebutan 'mama'. Rahma yang menyuruh Arinda memanggilnya 'mama' karena gadis itu sudah dianggap sebagai anak perempuannya.

"Lagi ke tempat kebab."

Arinda mengangguk-angguk dengan mulut membulat.

"Istri Kak Adam cantik, ya? Dekorasi pelaminannya juga bagus. Aku jadi pengen nikah juga." Arinda menutup kalimat dengan tawa ringan.

Tapi aku pengen nikahnya sama kamu ...

Arinda melirik Elang yang sedang mengunyah makanan sambil matanya menatap ke depan, ke arah pelaminan di mana Adam dan sang istri duduk bersanding bagai raja dan ratu. Kemeja batik berlengan panjang dengan corak miring geometris dan didominasi warna hitam yang dikenakan Elang malam ini tak membuatnya terkesan kuno atau tua, justru sebaliknya, lelaki itu terlihat semakin menawan. Arinda jadi tak bosan menatapnya.

"Kalo kamu pengen nikah, kenapa lamaran cowok itu kamu tolak? Siapa itu namanya? Ferdi, ya?"

"Kan, aku udah bilang, aku nggak cinta sama dia. Aku cintanya sama ka-"

Arinda segera menutup mulut dengan satu tangan. Hampir saja ia keceplosan. Namun, ada baiknya juga jika ia keceplosan. Jadi Elang bisa tahu bahwa ia jatuh cinta padanya dan sudah sejak lama.

"Kamu cinta sama siapa?"

"Yah, baksonya abis. Aku ganti mau ngambil es krim, ah."

Arinda mengelak dari pertanyaan Elang dan mengalihkan pembicaraan. Tidak ingin Elang mengulangi lagi pertanyaannya, ia segera bangkit, lalu bergegas melangkah ke tempat es krim.

"Kakak mau es krim juga?"

"Boleh."

"Oke, nanti aku ambilin."

Baru beberapa detik Arinda pergi, kini Rahma datang menghampiri Elang dengan membawa seorang perempuan. Tanpa basa-basi, Rahma langsung memperkenalkan Elang pada Ayara.

"Lang, kenalin, ini Ayara. Ayara, ini anak ibu, namanya Erlangga tapi panggil aja Elang."

Elang yang masih merasa asing dengan perempuan bergaun panjang warna abu-abu muda itu mengulurkan tangan. Ayara membalasnya. Keduanya saling menjabat tangan sambil tersenyum ramah. Kini Elang jadi tahu tentang urusan yang tadi disebutkan mamanya tadi. Ternyata Rahma menemui seorang perempuan di sana dan membawanya ke hadapannya.

"Lang, kamu ajak ngobrol Ayara, ya. Mama mau ngambil makan dulu."

Elang mengangguk, lalu menyuruh Ayara duduk di sebelahnya, di kursi yang tadi sempat ditempati Arinda. Ia sama sekali tidak tahu tentang rencana perjodohan ini. Dalam hati ia masih bertanya-tanya mengenai identitas perempuan cantik yang kini sudah duduk di sebelahnya.

"Kamu anaknya teman Mama atau ...."

"Bukan. Aku salah satu pasien di klinik kecantikan Bu Rahma. Kebetulan aku juga teman kuliah Adam."

"Oh. Jadi Mama dan kamu nggak sengaja ketemu di sini, gitu?"

"Enggak juga, sih," sangkal Ayara sambil melirik Elang sekilas.

Ayara mengakui bahwa anak dari dokter kecantikannya itu memang memiliki tampilan fisik rupawan membuat betah berlama-lama menatapnya. Namun, yang menjadi pertanyaan Ayara adalah mengapa si tampan ini masih jomlo? Mustahil rasanya jika tidak ada perempuan yang mau padanya. Apalagi selain tampan, katanya lelaki itu juga menjabat sebagai direktur keuangan di perusaahan milik sang kakek. Begitulah sedikit informasi tentang Elang yang ia dengar dari Rahma.

Tampilan fisik menarik ditunjang isi dompet yang tebal memang tidak selalu membuat kaum Hawa tertarik pada seorang lelaki. Masih banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan, misalnya sifat dan karakter. Bisa saja Elang memiliki sifat dan karakter yang membuatnya tidak disukai banyak perempuan. Mungkin saja, 'kan?

"Emang Bu Rahma enggak bilang ke kamu kalo mau dikenalin sama aku?"

"Enggak. Mama nggak bilang apa-apa."

"Bu Rahma punya rencana mau ngejodohin kita."

Kedua mata Elang terbelalak mendengar ucapan dari mulut Ayara. Apa, dijodohkan? Yang benar saja! Memangnya ia lelaki yang tidak laku dan tidak bisa mencari sendiri pasangannya sehingga harus dijodohkan? Mama sudah putus asa rupanya, pikir Elang.

"Masak, sih? Terus kamu mau?" komentar Elang dengan nada suara biasa saja dan terkesan akrab. Sikap terbuka yang ditunjukkan Ayara membuatnya tidak canggung sama sekali walau baru pertama kali bertemu.

"Kalo aku enggak mau, aku nggak mungkin ada di samping kamu sekarang."

Jujur, terbuka, berkata apa adanya, dan bukan tipe perempuan pemalu. Begitulah yang Elang tangkap dari diri Ayara. Cukup menarik. Pantas saja mamanya memilih perempuan itu untuk dijodohkan dengannya.

Elang berdeham sebelum berkata, "Begitu, ya?"

"Ya, begitulah. Tapi kamu jangan ge-er dulu. Aku emang setuju buat dikenalin sama kamu, tapi belum tentu aku mau dijodohin sama kamu. Soalnya aku curiga sama kamu."

Kedua alis hitam dan tebal Elang bertaut. "Curiga?"

"Iya, aku curiga sama kamu. Kamu tampan, mapan, dan kayaknya kamu juga cowok baik-baik, tapi kenapa kamu masih jomblo? Jangan-jangan kamu gay, ya?"

Setelah mengatakan itu Ayara langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan, lalu memalingkan wajah dari Elang. Ia benar-benar lepas kendali. Ah, mulutnya memang benar-benar tidak bisa dijaga. Bagaimana bisa ia mengatakan hal itu? Elang sudah pasti marah mendapat tuduhan seperti itu dari orang yang baru beberapa menit dikenalnya.

Buset! Ini cewek cantik tapi mulutnya lemes banget, gerutu Elang dalam hati.

"Apa kamu bilang?"

"Maaf, aku nggak bermaksud ...."

"Kak, ini es krimnya."

Tiba-tiba Arinda datang dengan membawa dua buah cup berisi es krim coklat dan stroberi. Gadis itu berdiri di sebelah Elang dan ia memperhatikan Ayara. Siapa perempuan itu?

Elang mengambil es krim stroberi dari tangan Arinda lalu berucap, "Makasih, Sayang."

Sayang? Arinda benar-benar terkejut, tapi juga senang Elang memanggilnya dengan sebutan itu. Ada apa ini sebenanrnya dan siapa perempuan itu?

Belum reda keterkejutan Arinda, Elang berdiri. Lalu tanpa diduga-duga lelaki itu melingkarkan tangannya di pinggang Arinda.

"Kata siapa aku jomblo? Aku jeruk makan jeruk? Ini, buktinya aku punya pacar. Kenalkan, namanya Arinda," jelas Elang pada Ayara dengan sangat meyakinkan.

Arinda terperangah. Begitu juga Rahma yang berdiri tepat di belakang mereka berdua.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status