Share

4

"Lang, kamu nggak lagi bohongin Mama, 'kan?"

Dahi Elang mengernyit. Ia sedang mencerna pertanyaan yang dilontarkan Rahma. Ia belum tahu arah pertanyaan itu ke mana. "Maksud Mama apa?"

"Itu lho, soal kamu yang pacaran sama Arinda."

Elang berdeham alih-alih terbatuk karena mendengar ucapan Rahma. Ternyata Rahma masih meragukan tentang kebenaran hubungan asmaranya dengan Arinda. Namun, sebisa mungkin ia akan membuat mamanya yakin bahwa ia memang benar-benar sedang menjalin hubungan asmara dengan Arinda, bukan lagi hubungan kakak adik.

"Mama curiga itu cuma akal-akalan kamu biar bisa ngehindar dari Ayara. Iya, 'kan?"

Elang mulai dilanda rasa panik seperti seorang maling yang sedang mencuri, lalu tertangkap basah oleh si pemilik rumah. Tuduhan mamanya sangat tepat mengenai sasaran. Ia melirik sekilas Rahma yang duduk di sebelah, kemudian kembali mengarahkan pandangan lurus ke jalanan di depan sambil berusaha menenangkan diri. Saat ini ia memang sedang dalam keadaan menyetir dari hotel tempat resepsi pernikahan menuju rumah.

"Aku beneran pacaran kok, sama Arinda," ujar Elang setenang mungkin.

"Sejak kapan?"

Nah, Rahma mulai menginterogasi Elang dan itu membuat otak Elang harus berpikir cepat dan kreatif. Ia harus bisa mengarang jawaban yang masuk akal dan meyakinkan. Pokoknya jangan sampai Rahma tahu bahwa ia sedang berbohong. Ia memang sangat menyayangi dan menghormati mamanya, tapi juga tak ragu jika harus membohongi wanita itu demi kebaikan dirinya sendiri, demi tidak dijodohkan lagi dengan perempuan mana pun. Baginya perjodohan hanyalah untuk orang-orang tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak laku, sedangkan ia bukan tipe orang seperti itu.

Sejak kapan, ya? Elang terus berpikir.

Jangan kelamaan mikir, Elang! Nanti Mama bakal tambah curiga.

"Sejak beberapa bulan lalu."

"Tepatnya tanggal berapa dan bulan apa?"

Astaga! Tiba-tiba Elang ingin berteriak. Ia mulai merasa tertekan dengan pertanyaan lanjutan yang diajukan Rahma. Ia tidak habis pikir, mengapa bisa mamanya menanyakan hal yang tak penting seperti itu. Ia jadi curiga, sepertinya Rahma sedang menguji dirinya. Baiklah, ia siap untuk kebohongan selanjutnya.

"Sebenarnya aku suka Arinda udah lama, Ma. Tapi aku baru bisa ngungkapin perasaan aku ke dia dan resmi pacaran pas malam tahun baru kemarin. Mama ingat, 'kan, waktu itu aku ngajak Arinda ke hotel buat ngerayain tahun baru bareng orang-orang kantor?"

"Iya, Mama ingat."

Elang melanjutkan cerita karangannya. Sebenarnya tidak semua karangan, karena momen itu memang benar terjadi. Saat malam tahun baru sekitar tiga bulan lalu, ia mengajak para pegawainya untuk merayakan malam pergantian tahun dengan menginap di sebuah hotel mewah dan menikmati sajian yang ada, seperti makan malam juga live music performance. Tak lupa pertunjukan kembang api. Ia memang dikenal sebagai seorang atasan baik, ramah, dan dermawan yang membuat para pegawai loyal, betah, dan tentu saja bekerja dengan sebaik mungkin.

Tak hanya menjadi bos yang baik, ia juga kakak yang baik bagi Arinda. Makanya ia mengajak Arinda untuk turut serta di acara tersebut, bahkan mengizinkan gadis itu membawa seorang teman. Tentu saja Arinda memilih Erika untuk menemaninya.

"Pas jam dua belas teng, diiringi bunyi kembang api yang dar der dor berisik gitu, aku nembak Arinda, Ma. Awalnya dia kelihatan kaget, tapi lama-lama dia senyum manis banget, terus bilang 'I love you too'."

Elang tak tahan ingin tertawa mendengar cerita karangannya sendiri. Ia benar-benar tak menyangka bisa selancar itu menuturkan pada Rahma. Wajar saja, dulu semasa sekolah ia selalu mendapat nilai bagus pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.

"Kamu waktu itu teriak-teriak dong, bilang 'I love you' ke Arinda? Secara waktu itu pasti rame banget suara orang ditambah ada bunyi kembang api juga."

"Iya, Ma. Aku langsung teriak di telinganya."

Kali ini Elang benar-benar mengeluarkan suara tawa. Rahma mengira Elang tertawa karena teringat kembali pada peristiwa penembakan itu, tapi yang sebenarnya terjadi adalah Elang sedang menertawakan diri sendiri yang lancar sekali berbohong. Sebagian dirinya tertawa, tapi sebagian yang lain malah merutuki karena tega membohongi mamanya. Meski begitu, ia tak peduli, yang penting Rahma percaya ia tak lagi jomlo sehingga rencana perjodohan itu tak terulang.

Rahma ikut tertawa. "Kamu nembak cewek atau lagi manggil tukang sate? Pake teriak-teriak gitu, langsung di telinga Arinda lagi."

Elang menoleh ke arah Rahma. Ternyata kebohongannya mendapat respon positif. Itu bagus, berarti mamanya sudah percaya padanya.

"Ah, ternyata sifat romantis papa kamu nggak nurun ke kamu, Lang."

"Ehem. Cieee, ada yang lagi ingat mantan," celetuk Elang.

Rahma tak mempedulikan Elang yang meledeknya. Ia dan anaknya itu memang sudah seperti teman yang selalu tak canggung untuk berbagi cerita mengenai apa saja. Kadang mereka saling menggoda dan meledek. Itu sudah biasa bagi mereka. Makanya kali ini Rahma memilih untuk melanjutkan pembicarannya atau lebih tepatnya akan bercerita tentang mantan suaminya dulu daripada membalas ledekan dari Elang.

"Dulu waktu papa kamu mau nembak Mama, Mama dibawa ke atap gedung rumah sakit."

"Itu Papa mau nyatain cinta apa mau ngajak bunuh diri?"

"Diem dulu kenapa sih, Lang? Nyela aja kalo ada orang tua lagi ngomong."

"Maaf. Ok, Ma. Lanjut."

"Dia nyuruh Mama duduk di sana sambil natap pemandangan kota di malam hari. Bagus lho, Lang."

"Iya. Terus?"

"Awalnya kita ngobrol, eh, tiba-tiba Papa kamu megang tangan Mama sambil natap mata Mama gitu." Rahma dengan antusias dan mata berbinar-binar melanjutkan cerita masa mudanya dulu.

Singkat cerita, saat tangan Rahma dan Gunawan, mantan suaminya yang juga papa Elang, saling menggenggam, saat itu juga lelaki itu melamarnya bukan lagi menyatakan cinta disertai dengan pemberian sebuah cincin indah yang ia ambil dari saku jas putihnya. Tentu saja Rahma langsung menerimanya karena ia pun telah lama menaruh hati pada lelaki yang seprofesi dengannya itu. Mereka sama-sama berprofesi sebagai dokter.

"Wah, ternyata selain romantis, Papa juga gentleman," komentar Elang setelah Rahma selesai bercerita.

"Yah, begitulah papa kamu. Romantis, gentleman, tapi selingkuh. Huh, menyebalkan!"

Jika Rahma sudah menyinggung soal perselingkuhan yang dilakukan papanya, Elang tidak berani mengeluarkan komentar apapun. Ia tahu perselingkuhan itu bukan mutlak kesalahan papanya, mamanya juga bersalah dan justru menjadi penyebab utama. Rahma terus-terusan menyalahkan Gunawan atas kelalaiannya menjaga Arya, saudara kembar Elang, saat mereka mengunjungi tempat rekreasi dulu sehingga anak yang masih berusia lima tahun itu entah tersesat entah diculik. Intinya Arya menghilang begitu saja tanpa jejak dan tak dapat ditemukan hingga kini walau segala upaya pencarian sudah dilakukan.

Sejak saat itu keluarga Elang mulai tak harmonis. Rahma dan Gunawan jadi sering bertengkar karena Rahma yang selalu menyalahkan suaminya. Gunawan jadi merasa terpojokkan dan tidak betah lagi tinggal di rumah. Ia memilih mencari perempuan lagi lantas menikahinya. Itulah penyebab dari perceraian kedua orang tua Elang.

Tanpa terasa mobil yang Elang bawa sudah sampai di depan rumah megah berdesain kontemporer lalu terlihat seorang satpam langsung membukakan pintu gerbang.Elang memarkirkan mobil di depan garasi. Ia melepas seat belt, bersiap untuk keluar tapi mengurungkan niatnya setelah melihat sang mama masih duduk terdiam dengan tatapan kosong.

"Ma, udah sampe."

Rahma terlonjak dari lamunan lalu melihat ke sekeliling seperti orang yang sedang kebingungan. "Kalo ingat papa kamu, Mama jadi ingat Arya juga," ucap Rahma yang masih belum beranjak dari dalam mobil. "Kakak kembar kamu itu ... apa dia masih hidup?" sambungnya sementara setetes air mata jatuh membasahi pipi.

Elang membungkuk, lantas menggenggam kedua tangan Rahma untuk menenangkan. "Arya pasti masih hidup, Ma. Suatu hari nanti dia pasti ketemu. Mama tenang aja, jangan putus harapan dan do'a," ujarnya diakhiri dengan senyuman. "Ya udah, sekarang Mama istirahat. Yuk."

Rahma mengangguk. Dengan dibantu Elang, ia keluar dari mobil kemudian berjalan beriringan menuju pintu depan rumah.

***

Sudah hampir lima belas menit ia memarkirkan mobilnya di sana, di seberang rumah dengan dominasi warna putih dan memiliki jendela-jendela besar. Sudah beberapa kali pula matanya menangkap basah satpam penjaga rumah itu sedang menatap tajam ke arah mobilnya dari celah pintu pagar yang sengaja dibuka sedikit. Ia tahu pasti satpam itu mencurigainya tapi ia tak peduli, toh ia bukan seorang penjahat. Ia datang ke sini hanya ingin mengetahui rumah yang konon milik orang tuanya dan juga dulu pernah ia tinggali. Sayangnya ia tidak ingat sama sekali bahwa pernah tinggal di rumah besar yang dipagari dinding terbuat dari batu alam dengan pintu gerbang kayu itu. Ia tidak sedang terkena amnesia, bukan seperti itu. Hanya saja itu sudah terjadi lama sekali dan saat dirinya masih sangat kecil.

"Kamu bukan anak kandung Mama dan Papa ...."

Kalimat itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Kalimat yang diucapkan dari mulut mamanya sehari sebelum wanita itu meninggal akibat jatuh dari kamar mandi. Wanita yang selama ini ia panggil dengan sebutan mama itu tidak hanya mengatakan kebenaran tentang dirinya yang mampu membuat sekelilingnya menjadi gelap dan berputar, tapi juga mengatakan semuanya hingga cerita bagaimana ia bisa menjadi anak mereka.

Suara klakson mobil menyadarkannya dari lamunan. Segera ia menoleh ke seberang jalan lalu melihat sebuah mobil sedan berwarna putih memasuki pelataran rumah itu setelah satpam membukakan pintu gerbang. Dari informasi yang ia dapat, orang tuanya telah bercerai dan yang tinggal di rumah itu hanyalah ibu dan saudara kembarnya. Apakah mereka yang berada dalam mobil itu?

Tunggu sebentar. Saudara kembar? Astaga, bahkan ia pun lupa akan hal itu.

Ia tersenyum membayangkan ada orang lain yang memiliki wajah serupa dengannya. Kedua matanya terus saja mengawasi mobil berlambang bintang segitiga itu hingga tak terlihat lagi karena pintu gerbang kembali tertutup.

Sebenanrnya ia ingin langsung menghampiri rumah itu dan mengetuk pintunya, lalu setelah dipersilakan masuk, ia akan mengatakan bahwa ia adalah anak hilang yang selama ini mereka cari. Ya, ia ingin melakukannya, tapi tentu saja tidak sekarang. Ia harus mencari waktu yang tepat.

Matanya sekali lagi menatap rumah itu sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil, lalu pergi menuju apartemennya dengan membawa rasa bahagia.

"Akhirnya mobil itu pergi juga," ujar Pak Catur, satpam rumah keluarga Elang pada dirinya sendiri sambil mengintip keluar dari celah pintu gerbang.

"Lagi ngintip apa, Pak?"

Pak Catur terlonjak kaget mendengar pertanyaan dan tepukan pelan di pundaknya dari sang majikan yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang. "Itu, Mas Elang, tadi ada mobil yang parkir di sana. Saya curiga, Mas." jawabnya seraya jarinya menunjuk ke arah rumah Arinda.

Elang baru saja mengambil ponsel yang tertinggal di dalam mobil, lalu mendapati Pak Catur sedang melihat ke arah luar dari balik celah pintu gerbang. Iseng, ia menghampiri penjaga rumahnya itu.

"Oh, mobil hitam itu?" Tadi Elang sempat melihatnya. "Kenapa Bapak harus curiga? Bisa jadi itu mobil tamunya Pak Dedi."

"Saya yakin bukan, Mas. Mobil itu datang sesudah Pak Dedi pulang dan orang yang ada di mobil itu nggak turun. Malah dia kayak lagi ngawasin rumah ini."

"Masa sih, Pak?" tanya Elang yang mulai tertarik dengan penuturan Pak Catur.

"Iya, Mas."

"Bapak lihat enggak, orangnya kayak gimana?"

"Sayangnya enggak, Mas. Dia ngebuka kaca jendelanya cuma sedikit. Jadi saya nggak bisa lihat jelas."

Elang mengangguk-angguk sementara otaknya mulai berpikir dan menebak-nebak siapakah gerangan orang itu. Apakah itu adalah perampok yang sedang mengintai rumah target sasaran operasi?

"Oke. Makasih Pak, buat infonya. Kalo ada yang mencurigakan lagi, segera kasih tau saya, ya. Bapak harus tetap waspada dan siaga."

"Siap, Mas."

Elang yang semula akan kembali masuk ke rumah mengurungkan niat. Ia penasaran dengan sosok di dalam mobil yang diceritakan Pak Catur. Ia merasa tak aman. Makanya ia berinisiatif untuk mencari tahu ke pihak keamanan komplek.

"Mau ke mana, Mas?" tanya Pak Catur saat Elang membuka pintu gerbang.

"Ke depan," jawab Elang singkat sebelum berlalu pergi.

Tiba di pos keamanan, Elang langsung menanyakan data orang yang diceritakan Pak Catur pada dua orang satpam yang sedang berjaga di sana. Biasanya jika selain penghuni komplek yang datang ke sini akan diambil kartu tanda pengenalnya sebagai jaminan. Setelah orang itu pulang, barulah dikembalikan lagi.

"Sebentar, Mas."

Satpam yang bernama Kris kemudian membuka sebuah buku panjang berukuran kecil, kemudian mencari-cari data nama seseorang yang datang pada jam seperti yang disebutkan Elang tadi.

"Ini, Mas. Namanya Aria Seta Wardhana."

Aria? Ariandra. Nama itu mirip saudara kembarnya yang hilang. Seketika jantung Elang berdekat cepat kemudian langsung ikut melongok ke arah lembaran buku tersebut. "Alamatnya di mana?"

Elang membaca alamat yang telah disalin Pak Satpam dari kartu pengenal seseorang bernama Aria itu. Ternyata alamatnya di Lembang, Bandung Barat.

"Apa Bapak inget wajah orang itu?"

"Wajahnya mirip Mas Elang, malah saya kira itu Mas. Dia juga ngakunya mau ke rumah Bu dokter Rahma. Makanya saya pikir dia saudara Mas," jelas satpam yang satu lagi.

Tiba-tiba rasa bahagia menghantam Elang. "Apa saya bisa lihat rekaman CCTV tadi?"

Kedua petugas keamanan itu mengangguk.

Setelah rekaman CCTV diputar pada waktu kedatangan sosok lelaki bernama Aria Seta Wardhana itu, Elang tahu lelaki tersebut adalah saudara kembarnya meskipun melihat dengan tidak terlalu jelas karena sosok itu tidak keluar dari dalam mobil. Hanya membuka kaca jendela saja saat memberikan kartu pengenal ke petugas keamanan.

Ya, itu Shahreza Ariandra. Saudara kembarnya yang telah lama hilang.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status