Share

5

Seorang lelaki berusia empat puluhan masuk ke ruang kerja Elang. Lelaki bernama Fadli yang menjabat sebagai HRD Manager di perusahaan itu membawa sebuah amplop coklat besar yang berisi berkas lamaran pekerjaan dari seseorang.

"Selamat siang, Pak," sapanya pada Elang.

"Siang." Elang mengalihkan pandangan dari layar laptop ke arah Pak Fadli yang sudah berdiri di depan mejanya. "Duduk."

"Terima kasih," ucap Pak Fadli sambil menarik sebuah kursi, kemudian mendudukinya.

"Jadi, gimana? Apa Bapak sudah mendapatkan pengganti Bonita?"

Sekretaris Elang akan mengundurkan diri karena akan menikah. Jadi ia membutuhkan sekretaris baru sebagai pengganti Bonita.

"Sebenarnya saya sudah mendapatkan dua kandidat sebagai pengganti Bonita, jadi nanti Bapak tinggal pilih saja." Pak Fadli behenti sebentar lalu melanjutkan, "tapi barusan datang lagi satu surat untuk melamar sebagai sekretaris Bapak yang membuat saya tertarik juga terkejut."

Elang menyipitkan matanya. "Tertarik dan terkejut?"

Pak Fadli mengangguk. "Iya, saya tertarik dan terkejut karena si pelamar adalah seorang laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan wajah Bapak."

"Yang benar, Pak?"

Elang terlihat antusias. Ia tahu itu adalah Arya. Setelah semalam saudara kembarnya itu datang meski hanya di luar rumah, dan sekarang melamar untuk menjadi sekretarisnya. Saat harapan itu hampir pupus, tanpa diduga akhirnya Arya datang sendiri tanpa dicari. Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan.

Menurut Elang, sepertinya Arya sudah mengetahui semuanya. Tentang siapa dirinya dan keluarga kandungnya. Soal melamar pekerjaan sebagai sekretaris, itu sudah pasti sengaja dilakukan Arya. Mungkin cara itulah yang Arya pilih untuk bertemu dengan keluarganya.

"Bapak bawa surat lamarannya?"

"Ini."

Tangan Elang agak gemetar saat menerima sebuah amplop coklat yang disodorkan Pak Fadli. Dengan tergesa-gesa dan jantung berdebar-debar, ia membuka tali lalu mengeluarkan isi di dalamnya. Ia terkesima saat melihat foto ukuran empat kali empat yang terlampir di ujung kanan surat. Ia seperti melihat fotonya sendiri. Tak ada yang berbeda, semuanya sama. Mata, hidung, bibir ... Tak terasa matanya berkaca-kaca. Sebagian dari dirinya yang hilang selama dua puluh empat tahun telah kembali.

"Pak Erlangga, apa Bapak baik-baik saja?"

Elang sedang dikuasai rasa bahagia dan haru yang luar biasa sampai-sampai ia tak kuasa untuk berkata-kata. Ia hanya bisa mengangguk.

"Ya sudah, saya permisi." Pak Fadli tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Elang. Ia merasa tidak enak diri dan tak tahu harus berbuat apa. Jadi sebaiknya ia keluar saja dari ruangan Elang.

"Dia ... kakak kembar saya."

Pak Fadli baru saja bangkit dari kursi saat Elang mengucapkan kalimat itu. Ia jadi mengurungkan niat untuk keluar, lalu memilih untuk duduk kembali. "Jadi Bapak punya kembaran?"

"Iya, punya," jawab Elang seraya menyeka air mata yang hampir saja jatuh dengan punggung tangan. "Dia menghilang waktu umur lima tahun dan sekarang ... alhamdulillah, dia datang sendiri. Padahal dulu keluarga udah maksimal buat cari dia, tapi hasilnya selalu kekecewaan yang didapat."

"Mungkin ini sudah takdir Allah, Pak."

"Iya, itu sudah pasti."

"Kalau begitu, saya ucapkan selamat karena Bapak telah menemukan saudara kembar Bapak. Saya ikut senang," ucap Pak Fadli lantas tersenyum.

"Terima kasih." Elang juga tersenyum. "O iya, Bapak jangan bilang ke siapa-siapa ya, kalo kembaran saya udah ketemu. Soalnya saya mau bikin kejutan buat orang tua juga keluarga."

"Baik, Pak."

"Satu lagi. Saya minta Bapak hubungi kembaran saya, suruh dia besok datang ke sini untuk bertemu dengan saya jam sembilan pagi."

"Tapi, Pak, besok hari Sabtu."

"Oh. Astaga, saking bahagia saya jadi lupa." Elang tertawa sejenak lalu melanjutkan, "Ya sudah, hari Senin saja."

"Baik, Pak, akan saya lakukan."

Setelah Pak Fadli keluar, Elang membaca daftar riwayat hidup Arya. Dari sana ia tahu bahwa saudara kembarnya selama ini tinggal di luar negeri. Mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas Arya menempuhnya di Jerman, tepatnya di Stuttgart. Kemudian dilanjutkan dengan kuliah strata satu dan dua di University of Manchester, Inggris.

Hmm, pantas saja kakak kembarnya itu sulit sekali ditemukan.

Elang meraih ponsel. Ia harus menghubungi seseorang untuk membatalkan rencananya. Pada dering ketiga panggilannya mendapat jawaban.

"Halo. Yo, rencana tadi batal. Nggak usah, soalnya kembaran gue udah nyerahin diri. Jadi nggak usah dicari. Maaf, ya."

Elang sempat meminta bantuan pada salah seorang temannya yang berprofesi sebagai intel untuk mencari tahu keberadaan Arya.

Baru saja Elang mengakhiri percakapan dengan temannya, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Dari Arinda.

[Sayang, jangan lupa shalat Jum'at biar tambah ganteng]

Elang tersenyum-senyum sendiri membaca pesan dari pacar palsunya itu.

***

'[Jangan lupa sarapan]

[Lagi ngapain?Sama siapa?]

[Lagi di mana?]

[Jangan lupa makan siang]

[Jangan lupa shalat]

[Jangan lupain aku]

Semua pesan itu dari Arinda. Elang jadi heran pada gadis itu, mengapa bertingkah seolah menjadi pacar sungguhan?Benar-benar aneh. Dulu Sarah tidak sampai begitu, maksudnya, meneror dengan pesan-pesan yang tidak penting seperti yang seharian ini dilakukan Arinda.

Aneh dan menggelikan. Itulah yang dirasakan Elang saat membaca pesan-pesan dari Arinda. Meski demikian, ia tetap membalas pesan-pesan tersebut. Arinda benar-benar memainkan peran sebagai pacar palsunya dengan baik, bahkan sangat baik sehingga sudah seperti pacar sungguhan. Elang jadi tersenyum dibuatnya. Bisa dibilang ini merupakan sebuah hiburan bagi Elang yang telah lama menjomlo.

Kini saat Elang tengah asyik menyaksikan pertandingan sepak bola di televisi, ponselnya berdering. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar kaca, ia meraba-raba permukaan meja yang terletak di depan sofa yang sedang ditidurinya untuk mencari benda pipih berwarna hitam itu.

Elang melihat tulisan My Little Girl terpampang di layar ponsel saat benda berbentuk persegi panjang itu sudah berada di genggamannya.

"Ya, Arinda. Ada apa?"

"Bukan Arinda."

Elang menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu kembali melihat nama si penelepon di layar. Benar, di sana tertulis My Little Girl yang berarti si penelepon adalah Arinda. Matanya masih sehat belum mengalami minus, silinder, apalagi rabun. Namun, mengapa suara perempuan di seberang sana mengatakan yang sebaliknya? Ia juga hafal bahwa suara yang dibuat-buat agar terdengar lembut itu adalah suara Arinda.

"Iya, kamu Arinda."

"Bukan Arinda, Kakak, tapi Sayang."

Astaga! Elang langsung terbangun, volume suara televisi pun ia kecilkan.

"Arinda, kamu kenapa, sih? Lagi kerasukan, ya?"

"Ih, amit-amit. Enggak."

"Kamu sih, ngomongnya ngelantur."

"Aku nggak ngelantur. Waktu itu 'kan, Kakak manggil aku 'Sayang'." Gadis itu cekikikan.

"Dasar kamu tuh, ya."

"Kak, ini malam Minggu, lho."

"Iya, tau.Terus?"

"Kakak nggak mau ngapelin aku atau ngajak jalan? Kita 'kan, sekarang pacaran walaupun palsu, sih."

"Hmmm."

"Aku takut nih, di rumah sendirian."

"Emang Om Dedi sama Tante Yulia ke mana?"

"Biasalah Mama-Papa lagi nge-date kalo malem Minggu gini, nonton di bioskop atau apa gitu tadi ngomongnya – aku lupa. Aku sih, diajak tapi aku males soalnya aku lagi pengen pergi sama Kakak."

"Kalo Kakak nggak mau, gimana? Ini bola lagi seru, nih. Persija lawan Arema."

"Ih, udahan dulu sih, nonton bolanya. Aku beneran takut sendirian di rumah."

"Emang Bi Titin juga lagi pergi?" Elang menanyakan asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Arinda.

"Iya. Dia juga lagi malem Mingguan sama pacarnya."

"Oh, dia udah punya pacar lagi? Bukannya baru putus ya, kemaren? Apa mereka balikan lagi?"

"Nggak penting banget sih, Kak, ngebahas itu."

Elang tergelak mendengar suara Arinda yang mulai bernada kesal. "Ya udah, kalo kamu takut, kamu ke sini aja."

"Nggak mau. Aku mau pergi malem Mingguan juga kayak Mama Papa dan Bi Titin."

Elang berdecak kesal. Arinda itu kalau sudah punya kemauan pasti harus dituruti. Jika tidak, ia akan terus merengek seperti anak kecil. Gadis itu memang terkadang bisa bertingkah menyebalkan.

"Ya udah, sepuluh menit lagi Kakak tunggu kamu di depan," jawab Elang pada akhirnya.

"Yes."

Suara bernada girang dari Arinda hanya dibalas gumaman malas oleh Elang. Bagaimana tidak, ia harus rela berhenti menyaksikan kedua tim sepak bola favoritnya yang sedang berlaga. Sebagai seorang anak dari ibu yang berasal dari Jakarta, juga ayah yang asli kota Malang membuat Elang memfavoritkan tim sepak bola Persija dan Arema.

"Mau pergi ke mana?" tanya Elang saat Arinda baru saja masuk ke mobil kemudian duduk di jok sebelah.

"Terserah Kakak."

"Lho, kok terserah Kakak? 'Kan, kamu yang ngajak pergi."

Arinda tertawa ringan. "Iya juga, sih."

"Jangan ketawa, ayo jawab! Atau Kakak pulang lagi nih, mau ngelanjutin nonton bola." Elang mengancam dengan raut wajah yang menandakan bahwa ia sedang kesal dan Arinda menyadari hal itu.

"Kakak jangan cemberut gitu, dong!Gantengnya hilang, tau." Arinda mencoba merayu Elang. "Ya udah, kita ke kafe Kak Andre aja. Sekalian aku juga mau ngomong sesuatu sama Kakak," putus Arinda kemudian.

Elang melirik sekilas ke arah Arinda. "Mau ngomong apa?"

"Ada, deh."

Elang mengangkat kedua bahu, lantas menyalakan mesin mobil. Ini bukan kali pertama ia dan Arinda pergi berdua di malam Minggu, mereka sudah sering melakukannya. Entah itu sekedar jalan-jalan ke mall, nonton film di bioskop, nongkrong di sebuah kafe, sampai makan nasi kucing di angkringan pinggir jalan. Biasanya ia yang terlebih dulu mengajak Arinda, kadang juga sebaliknya. Tentu saja Arinda merasa senang bisa jalan berdua di malam Minggu bersama lelaki yang dicintai. Jomlo tapi serasa punya pacar.

"Karna aku yang ngajak pergi duluan, jadi aku yang traktir Kakak," ucap Arinda sambil melepas seat belt. Mereka sudah sampai di tempat tujuan. Sang pemilik kafe merupakan sahabat baik Elang sejak SMA, Andre namanya.

"Emang kamu punya uang?" ledek Elang sambil senyum meremehkan.

"Punya, dong. Aku 'kan, baru dapet orderan seratus biji dompet kecil-kecil dari toko emas," balas Arinda dengan bangga.

Keahlian sang mama merancang dan menjahit baju menurun pada Arinda. Bedanya Arinda lebih senang merancang tas ataupun dompet. Awalnya ia iseng membuat tas sendiri, lalu memakainya ke kampus. Ternyata banyak temannya yang suka, lalu mereka ingin dibuatkan tas sesuai keinginan mereka. Dari situlah bisnis kecil-kecilan Arinda dimulai. Beberapa hari lalu ia mendapatkan orderan dari salah seorang teman yang orang tuanya memiliki toko emas. Tentu saja ia mengerjakannya dibantu pegawai mamanya.

"Wah, itu bagus. Kakak bangga sama kamu." Elang mengusap sayang kepala Arinda. "Semoga lancar terus deh, bisnisnya."

"Aamiiin."

Keduanya lalu keluar. Sesampainya di dalam kafe bergaya vintage dengan pajangan lampu-lampu unik itu, mereka memilih tempat duduk yang selama ini menjadi tempat favorit mereka. Di sisi ruangan, dekat jendela.

"Makasih," ucap Elang dan Arinda hampir bersamaan pada pelayan yang mengantarkan pesanan mereka.

Bukannya langsung menikmati mozarella cheese stick dan strawberry milkshake di hadapannya, Arinda malah menatap Elang yang sedang menyeruput espresso. Makanan dan minuman favoritnya itu seakan tak mampu menggugah napsu makannya. Ia memesannya hanya untuk formalitas saja. Sebenarnya ia tak merasa lapar. Entah mengapa demikian padahal di rumah pun ia belum makan. Apakah mungkin karena malam ini ia sudah membulatkan tekad untuk menyatakan cinta pada Elang? Ia tidak bisa menahan perasaan kepada Elang terlalu lama lagi, meski tahu akan sakit hati setelah mengatakannya karena lelaki itu tak mencintainya. Dalam hati dan pikiran Elang nama Sarah masih terpatri kuat seakan tak ada yang bisa menggantikan.

"Arinda, kenapa kamu malah ngeliatin Kakak?Itu nggak dimakan?" Elang menunjuk makanan yang dipesan Arinda.

Arinda gelagapan dan malu karena ketahuan sedang memperhatikan Elang. Ia segera menyedot minuman lewat pipa plastik untuk menutupi rasa malu. Lalu setelah itu ia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan perlahan. Ia bersiap untuk mengatakan tiga kata itu pada Elang.

"Nanti aja aku makan. Sekarang aku mau ngomong sesuatu sama Kakak."

"Ngomong apa?Jangan bilang kamu mau nembak Kakak," canda Elang disertai tawa.

Deg.

Kenapa candaan Elang bisa tepat begitu?

Jantung Arinda semakin berdetak cepat dan telapak tangannya kian dingin. Meski begitu keberaniannya tak meluntur.

"Iya, Kak, aku emang mau nembak Kakak."

"Ha?"

"Kakak, I ... I love you," ucap Arinda dengan terbata, "I love you as a woman loves a man. Kakak ngerti maksudku, 'kan?"

Arinda bernapas lega setelah mengatakan apa yang terpendam di hatinya sejak bertahun- tahun silam. Kini ia hanya bisa menunduk, tak berani menatap wajah Elang. Ia malu.

"Arinda, ini udah tanggal dua sembilan. April Mop udah lewat." Elang menganggap Arinda sedang mengerjainya.

"Kakak pikir tadi aku lagi nge-prank? Aku serius, Kak. Aku udah lama jatuh cinta sama Kakak, mungkin sejak aku masih SD."

Kedua mata Elang terbuka lebar. "Apa?"

"Aku tau itu cuma cinta monyet, tapi lama-lama cinta monyet itu berubah jadi cinta gorilla dan sampai sekarang aku masih cinta sama Kakak. Perasaan itu nggak berubah sedikit pun dari dulu."

Elang bengong dengan tatapan kosong seperti orang sedang kesambet, tapi ia sempat mengeluarkan suara tawa singkat saat mendengar Arinda mengucapkan kata 'cinta gorilla'. Ah, gadis itu memang ada-ada saja. Namun, ia masih tidak percaya dengan semua pengakuan adiknya itu.

"Arinda, jadi laki-laki itu Kakak?"

Arinda mengangguk. "Iya, Kak. Laki-laki itu adalah Kakak. Kakak-lah yang jadi alasan kenapa aku selalu nolak cowok yang mau jadi pacar bahkan suami aku."

"Enggak, Arinda. Kamu nggak boleh jatuh cinta sama Kakak. Kamu bakal sakit hati. Kamu tau, 'kan, Kakak masih cinta sama Sarah?"

Arinda mengangguk pelan. "Kalo rasa cinta boleh milih, tentu aku nggak milih Kakak buat jadi laki-laki yang aku cintai. Aku juga nggak mau patah hati."

"Maafin Kakak, Arinda."

"Kenapa Kakak harus minta maaf?"

"Karena Kakak nggak bisa terima cinta kamu."

Seperti ada silet, bukan, tapi sebilah katana milik seorang samurai yang menghujam ke hati Arinda. Sakit, teramat sakit kala ia mendengar kalimat itu keluar dari mulut lelaki yang dicintainya. Biasanya ia yang menolak, tapi kini ia yang ditolak. Karma memang berlaku. Menyedihkan.

Arinda masih mampu tersenyum meski di matanya terlihat jelas kesedihan yang mendalam. "Nggak papa, Kak. Aku cuma pengen Kakak tau kalo aku cinta sama Kakak. Itu aja," ucap Arinda dengan suara bergetar karena menahan suara tangis yang sudah sampai di tenggorokan.

Elang benar-benar jadi serba salah. Di satu sisi ia tidak mencintai Arinda, tapi di sisi lain juga tak ingin membuat hati Arinda patah dan sakit. Ia tak tega melihat kesedihan yang terlihat jelas di mata gadis dengan rambut ekor kuda itu. Ah, mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa Arinda harus ditakdirkan mencintainya? Ini benar-benar situasi yang amat sulit.

"Aku mau ke toilet dulu."

Arinda setengah berlari menuju bagian belakang kafe. Ia beralasan ingin buang air kecil, tapi yang sebenarnya adalah ia akan menumpahkan air yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya.

Arinda berjalan dengan cepat dan agak menunduk membuatnya menabrak seseorang. "Maaf," katanya sambil melihat sekilas seorang laki-laki yang berdiri tepat di hadapan. Ternyata laki-laki itu adalah Andre.

"Arinda?"

"Maaf, Kak. Aku buru-buru," jelas Arinda asal, lalu bergegas meninggalkan Andre.

"Kamu ke sini sama Elang?" tanya Andre sedikit berteriak karena Arinda sudah setengah berlari menjauh darinya.

"Iya."

Andre mencari keberadaan Elang, ingin meminta bantuan pada sahabatnya itu untuk menyanyikan beberapa lagu. Penyanyi yang biasa manggung di sini tidak masuk dengan pemberitahuan yang sangat mendadak, sehingga ia belum sempat untuk mencari penggantinya.

Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Andre sedang membutuhkan penyanyi untuk menghibur pengunjung di kafenya dan kebetulan Elang sedang berada di sini. Sahabat yang pernah satu sekolah saat SMA dan satu jurusan saat kuliah itu memiliki suara yang merdu serta bisa menyanyi dengan baik. Bahkan ia yakin jika Elang mengikuti ajang pencarian bakat semacam Indonesian Idol, Elang pasti akan mendapatkan banyak vote dari pemirsa karena selain memiliki suara bagus, juga ditunjang dengan paras rupawan.

Andre menemukan Elang tengah duduk di tempat biasa. Dengan penuh harapan menghampiri sahabatnya yang terlihat sedang tidak bersemangat. Sepertinya Elang sedang ada masalah, pikirnya. Apakah ia harus mengurungkan niatnya? Ah, dicoba saja dulu.

"Lang," sapa Andre, "gue boleh minta tolong nggak?"

Tanpa basa-basi, Andre langsung to the point. Sebenarnya Elang juga sudah sering menyumbangkan satu atau dua buah lagu di panggung kafe ini, dan ternyata banyak pengunjung yang suka, terutama pengunjung perempuan. Makanya Andre optimis Elang akan menolongnya.

"Gue lagi males nyanyi, Ndre."

Dugaan Andre meleset, ternyata Elang menolaknya. Sahabatnya itu memang benar-benar sedang berada dalam masalah.

"Tolonglah, sekali ini aja, Lang." Andre memohon.

Elang berpikir sejenak lalu akhirnya menganggukkan. "Oke, deh."

"Nah, gitu dong. Gue bakal kasih diskon deh, buat lo sama Arinda."

"Masa suara merdu dan seksi gue dihargai diskonan?" canda Elang.

"Ya udah sih, nggak papa. Itung-itung nolong temen."

"Iya deh, iya."

Andre tersenyum lebar lalu menggiring Elang ke arah panggung.

Elang tak canggung lagi berada di panggung ini, sudah terbiasa. Ia duduk di sebuah bangku dengan tangan menggenggam mikrofon wireless. Ia memilih salah satu lagu dari penyanyi favoritnya, Raisa, yang mewakili situasi saat ini yang sedang dialaminya.

Arinda yang baru saja kembali dari toilet langsung mengenali suara yang menurutnya perpaduan antara suara milik Afgan dan Teza Sumendra itu. Suara Elang. Lelaki itu menyanyikan lagu yang membuat air matanya kembali jatuh.

Namun aku takkan pernah bisa

Ku takkan pernah merasa

Rasakan cinta yang kau beri

Kuterjebak di ruang nostalgia

Semua yang kurasa kini

Tak berubah sejak dia pergi

Maafkanlah ku hanya ingin sendiri

Ku di sini

Sofa yang diduduki Arinda berhadapan dengan panggung tempat Elang bernyanyi. Matanya memberanikan menatap wajah Elang di sana. Elang pun balik menatapnya sambil terus bernyanyi.

Arinda tak tahan lagi, hatinya sakit mendengar lagu itu. Akhirnya ia memilih pergi meninggalkan kafe sambil menghapus air mata yang terus saja mengalir seperti kucuran air yang sumpalannya terlepas.

Elang melihat Arinda pergi, lalu langsung turun dari panggung setelah menyelesaikan satu lagu. Ia tak mempedulikan tepuk tangan dan permintaan menyanyi lagi dari para pengunjung. Ia memilih berlari mengejar Arinda. Ia ingin menghapus air mata yang membasahi pipi gadis itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status