Share

3

Arinda menahan napas saat tangan Elang memeluk erat pinggangnya. Ia kaget, tapi juga senang. Apalagi Elang mengakuinya sebagai pacar. Seketika tubuhnya menegang dan jantungnya pun berdetak cepat. Ini pertama kali baginya mendapat sentuhan intim dari Elang dan ia masih belum tahu maksud lelaki itu melakukan hal tersebut.

"Elang, apa benar yang kamu bilang barusan? Kamu dan Arinda pacaran?"

"Iya, Ma, aku dan Arinda pacaran. Jadi Mama nggak usah repot-repot nyari jodoh buat aku."

Elang menjawab pertanyaan Rahma yang sudah berdiri di hadapan, tapi tatapannya tajam mengarah ke Ayara. Ia kesal dan tidak terima dituduh sebagai penyuka sesama jenis. Baginya itu tuduhan yang amat keji.

Dari jawaban Elang, Arinda tahu mengapa lelaki itu mengakuinya sebagai pacar.

"Mama aja ya, yang nemenin Ayara. Aku mau ke sana dulu sama Arinda."

Elang menunjuk photo booth di sisi lain ruangan, lalu tanpa menunggu jawaban Rahma, ia bergegas pergi bersama Arinda. Sebenarnya ia ingin menghindari sang mama yang pasti bakal banyak mengajukan pertanyaan mengenai hubungannya dengan Arinda. Tentu ia tak bisa menjawab dengan lancar karena hubungan itu hanyalah rekayasa semata.

"Hasilnya bagus."

Arinda memuji gambar dirinya dan Elang dalam selembar foto yang baru saja diberikan dari si fotografer. Ia terlihat tengah duduk bersebelahan dengan Elang di sebuah kursi panjang yang dilatarbelakangi dinding penuh bunga. Tak lupa seulas senyum merekah dari bibir pasangan kekasih palsu itu. Mereka terlihat serasi dengan dominasi warna hitam pada pakaian yang dikenakan.

"Jadi Kakak ngakuin aku sebagai pacar karena Kakak nggak mau dijodohin sama perempuan itu?"

Pertanyaan itu terlontar dari mulut Arinda usai difoto, tapi mereka masih duduk di sana. Jujur, ia merasa senang menjadi pacar Elang walau hanya sandiwara. Dalam hati ia berharap kelak ini bisa berubah menjadi kenyataan.

"Iya. Diam-diam Mama mau ngejodohin Kakak sama dia."

"Mungkin itu karena Mama nggak betah ngeliat anaknya kelamaan ngejomblo," ujar Arinda diiringi tawa ringan. "Lagian Kakak betah banget sih, ngejomblo? Masih belum bisa move on dari Kak Sarah?"

"Iya, emang. Malahan Kakak lagi nunggu jandanya Sarah." Elang menjawab lantas tertawa.

Elang setengah berkelakar, tapi juga setengah serius. Dari dulu, sejak mengetahui Sarah menikah dengan laki-laki lain, ia berharap suatu saat nanti mereka akan berpisah lalu Sarah bisa kembali lagi padanya. Sampai sekarang harapan itu masih tersimpan di hatinya walau tidak banyak. Ia tahu itu jahat karena secara tidak langsung mendo'akan agar Sarah bercerai dari suaminya baik cerai hidup atau mati. Namun, ia memang sungguh-sungguh mencintai perempuan itu.

"Ih, ngapain ngarepin janda sementara perawan masih banyak?"

Arinda tidak tahu apa yang dikatakan Elang itu serius atau hanya candaan semata, tapi ia jadi punya pemikiran, jangan-jangan Elang bertahan menjomlo karena memang sangat mengharapkan Sarah meski berstatus janda. Jika benar begitu, maka itu sungguh gila.

"Karena janda lebih menggoda. Apalagi kalo jandanya Sarah."

Elang tertawa lagi, sedangkan Arinda hanya mendengkus sambil memutar bola mata menanggapi entah itu lelucon atau memang curahan hati sebenanrnya dari kakaknya itu. Sarah terooooos ... gerutu Arinda dalam hati. Ah, sepertinya hati dan cinta Elang memang sudah berhenti di Sarah. Mungkin pintu hati lelaki itu tidak bisa terbuka lagi untuk bisa menerima cinta dari perempuan lain. Jika sudah begini, apakah Arinda harus tetap memendam perasaan pada Elang atau malah nekad mengatakannya?

"Kak, aku mau bilang sesuatu sama Kakak."

Akhirnya Arinda memutuskan untuk mengeluarkan apa yang selama ini dipendam dan membuatnya tidak tenang. Masa bodoh dengan Elang yang masih mencintai Sarah. Pokoknya ia hanya ingin Elang tahu bahwa ia mencintainya. Itu saja.

"Apa? Mau bilang Kakak ganteng?"

"Dih, pede banget."

"Mau bilang apa dong?"

"Aku mau bilang kalo aku ...."

"Mas, Mbak. Maaf, itu ada yang mau foto lagi."

Arinda dan Elang serempak menoleh ke arah fotografer. Mereka juga melihat ada sepasang suami istri beserta anaknya yang masih kecil yang ingin berfoto. Arinda mengembuskan napas berat. Kali ini ia gagal mengutarakan cintanya. Namun, tak dipungkiri ada perasaan lega sebab ia tak harus merasa deg-degan dan gugup. Mungkin lain kali bisa dicoba lagi, pikirnya.

"Oh, iya. Maaf, kita jadi malah asyik ngobrol di sini," kata Elang pada si fotografer.

"Ini, Mbak, HP-nya."

Arinda menerima ponsel yang diberikan fotografer padanya saat mulai melangkah meninggalkan photo booth. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih. Sebenarnya ia ingin langsung melihat hasil foto tadi, tapi tiba-tiba saja mengurungkan niatnya saat melihat para tamu yang lain beramai-ramai menuju ke depan pelaminan dan berkerumun di sana. Mereka ingin berebut mendapatkan buket bunga yang akan dilempar si mempelai wanita. Konon, yang mendapat buket bunga akan segera menyusul si pengantin, yaitu menikah. Tentu saja Arinda tertarik ikut. Tak lupa ia mengajak Elang yang meski menolak, tapi tetap memaksanya dengan menarik lengan lelaki itu.

"Ayo, Kak, ikutan. Siapa tau Kakak yang dapet. 'Kan, nanti bisa cepet nikah." Arinda nyengir.

"Kamu percaya gituan?"

"Enggak juga, sih. Buat have fun aja, apa salahnya?"

Elang menurut saja. Kini ia dan Arinda sudah berada dalam kerumunan orang-orang yang berdiri di depan pelaminan menanti si mempelai wanita melemparkan buket bunga. Ia merasa aneh dan malu karena kebanyakan yang berdiri di sini adalah perempuan, sedangkan laki-laki hanya beberapa. Tak apa, ini akan menjadi pengalaman pertama, juga terakhirnya mengikuti tradisi lempar buket bunga pengantin seperti ini.

"Udah siap semua? Aku lempar sekarang, ya," kata si mempelai wanita yang terlihat cantik dengan gaun berwarna pink pucat.

Sang pengantin lalu membalikkan tubuh membelakangi para tamu. Arinda bersiap-siap dengan mengangkat kedua tangan, sedangkan Elang hanya berdiri, tak tertarik untuk mendapatkan buket bunga itu.

"Satu, dua, tiga."

Rangkaian mawar putih dihiasi pita pengikat berwarna senada dengan gaun sang pengantin melayang di udara. Elang yang sadar buket bunga itu akan mengenai kepalanya spontan mengangkat tangan untuk menghalau. Saat tangannya ingin menyentuh buket, ternyata ada tangan lain yang melakukan hal serupa. Ia tahu itu adalah tangan Arinda yang berdiri tepat di samping kanannya.

"Yeay. Aku yang dapet buketnya."

Arinda berteriak kegirangan sambil berusaha mengangkat tinggi kumpulan mawar putih itu. Namun, seperti ada yang menahannya. Ia baru sadar jika ada tangan lain yang memegang buket itu. Pandangan matanya yang semula terfokus pada pergelangan tangan dilingkari arloji itu perlahan-lahan terus menurun sampai akhirnya bertemu dengan seraut wajah perpaduan oriental dan kebarat-baratan milik Elang.

"Kakak," ucap Arinda dengan senyuman kecil. "Kita yang dapet buketnya."

Arinda tak menyangka ia dan Elang bisa bersamaan menangkap buket bunga itu. Apakah ini merupakan sebuah pertanda bahwa ia dan Elang akan segera menikah? Ia tahu itu konyol, tapi siapa tahu? Ya, semoga saja begitu. Harapan akan selalu ada meski lelaki yang dicintainya masih mencintai perempuan lain.

"Ya ampun! Bisa barengan gitu sih, nangkepnya. So sweet. Emang kayaknya kalian pasangan yang kompak, ya. By the way, selamat, deh. Semoga kalian segera nyusul Adam."

Arinda mengamini do'a dari seorang perempuan yang berdiri di sebelah kanannya. Perempuan itu mengira dirinya dan Elang adalah sepasang kekasih. Mereka tidak saling kenal, tapi ia merasa senang dido'akan seperti itu. Baginya itu adalah do'a yang indah.

Arinda meminta Elang untuk mengamini do'a dari perempuan tak dikenal itu. Namun sayang, Elang menolak dan itu membuat Arinda sedih.

"Nanti kalo Kakak bilang 'amin' dan do'anya dikabulin, berarti Kakak nikah sama kamu dong?"

"Emang kenapa kalo Kakak nikah sama aku? Aku juga perempuan. Cantik, lagi."

"Dasar narsis, kamu," balas Elang sambil mencubit kedua pipi Arinda hingga gadis itu meringis kesakitan.

"Ih, Kakak. Sakit, tau?" keluh Arinda seraya melepaskan tangan Elang dari pipinya. "Ayo, Kak, jawab. Kenapa Kakak nggak mau nikah sama aku?"

"Karena kamu itu adik Kakak."

Kedua bahu Arinda terkulai lemas mendengar alasan yang diucapkan oleh Elang. Alasan yang tidak masuk akal karena semua orang juga tahu jika ia dan lelaki itu bukanlah sepasang adik-kakak kandung.

"Ya udah, kalo gitu aku nggak mau jadi adik Kakak lagi," gumam Arinda tapi Elang bisa mendengarnya.

"Apa? Kamu bilang apa?"

"Aku bilang kalo bunganya bagus. Bagus 'kan, Kak?" jawab Arinda sambil menunjukkan buket bunga mawar putih itu pada Elang.

"Masak sih, kamu bilang gitu? Perasaan tadi Kakak dengar kamu nyebut-nyebut kata 'Kakak' gitu, deh."

"Kakak salah dengar. Ya udahlah, aku mau pulang. Papa Mama udah nungguin, tuh. Dah, Sayang."

"Hei, kamu bilang apa barusan?" Elang menghentikan langkah Arinda yang akan bergegas meninggalkannya.

"Sayang," jawab Arinda santai. "Emang kenapa? Tadi Kakak juga manggil aku 'Sayang'. Sekarang kan, kita pacaran. Dadah, Sayang."

Arinda mengucapkannya lagi. Ini memang hanya sandiwara, tapi ia sangat senang bisa memanggil Elang dengan sebutan 'Sayang'. Ia tertawa, lantas segera berlalu dari hadapan Elang sebelum lelaki itu berkomentar.

***

Di sepanjang perjalanan pulang dari hotel menuju rumah, senyuman selalu menghiasi wajah Arinda. Hari ini banyak hal yang membuatnya merasa senang dan bahagia, termasuk Elang yang mengakuinya sebagai pacar dan diketahui oleh Rahma. Ia tidak tahu sampai kapan Elang akan menjadikannya sebagai pacar palsu untuk mengelabui sang mama.

"Sayang, kenapa kamu senyum-senyum?" tanya Yulia sambil melongok sang anak dari jok depan.

Arinda yang semula sedang menatap ke arah luar lewat jendela kini mengalihkan tatapannya pada Yulia.

"Aku lagi senang, Ma."

"Senang kenapa?"

Dedi, papa Arinda, yang sedang serius menyetir ikut angkat suara. "Mama kayak nggak tau aja. Anak kita, kan, baru dapat bunga dari pengantin. Itu berarti sebentar lagi dia nikah. Makanya dia senang dan senyum-senyum dari tadi."

"Nah, itu Papa tau."

"Dasar kamu tuh, ya. Kuliah aja belum beres, udah mikir nikah aja," timpal Yulia.

"Bentar lagi kali, Ma, kuliah beres."

"Terus kalo kuliah beres, kamu beneran mau nikah? Emang udah siap jadi istri? Lagian kamu belum punya calon juga, 'kan?"

"Udah punya, dong."

Yulia dan Dedi sejenak saling bertatapan. Anak semata wayangnya itu sudah punya pacar? Sejak kapan? Siapa pacarnya? Kok, mereka tidak tahu? Apakah si Ferdi itu, yang tempo hari datang ke rumah? Ah, sepertinya bukan, karena Arinda bilang menolak cinta dan lamaran teman sekelasnya itu.

"Sayang, beneran kamu udah punya pacar?Kamu lagi nggak halu, 'kan?"

"Mamaaaa," Arinda berteriak, "tega banget sih, ngatain anaknya halu." Lalu Arinda pura-pura menangis di luar, tapi menangis sungguhan di dalam hati. Mamanya benar, ia sedang berhalusinasi memiliki pacar seorang Elang.

Yulia tertawa. "Lagian kamu nggak ada tanda-tanda dekat sama cowok, tiba-tiba ngaku udah punya pacar. Itu perlu dipertanyakan kebenarannya. Iya 'kan, Pa?"

Dedi mengangguk setuju. "Siapa laki-laki itu, Arinda? Bawa dong, ke rumah. Kenalin sama Papa dan Mama."

"Identitasnya masih dirahasiakan, Pa. Kami sepakat nggak akan go public dulu," ujar Arinda dengan nada meyakinkan.

"Ya ampun. Udah kayak artis aja sih, kalian." Yulia berkomentar sambil tertawa. "Eh, tapi emang beneran kamu udah punya pacar, Sayang?"

"Udah, Ma," tegas Arinda. "Makanya waktu itu aku nolak Ferdi karna aku udah punya pacar," lanjutnya.

"Tapi kok, diem-diem aja?" Dedi ikut bersuara.

"Iya, nanti aja ribut-ributnya kalo dia mau ngelamar aku." Arinda tertawa.

"Tapi Mama kepo, nih. Kasih tau, dong."

"Kasih tau nggak, ya?"

Mulut Arinda tertawa, tapi hatinya masih menangis. Halusinansinya sudah terlalu jauh. Menyedihkan.

Arinda menunduk, melihat seikat mawar putih di pangkuan. Ia mengambilnya, lalu menghirup aroma lembutnya. Dalam benak ia masih mengingat saat tangannya dan tangan Elang sama-sama menggenggam buket itu. Kompak.

Tak berhenti di buket itu, Arinda pun mengambil ponsel dari dalam clutch. Layarnya ia nyalakan lalu meng-klik menu galeri. Dari sekian banyak foto di sana, ia memilih satu yang tadi diambil di acara resepsi. Ia tersenyum melihat foto itu. Dalam hati ia berharap bisa duduk bersisian lagi bersama Elang, tapi di kursi pelaminan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status