Share

3

last update Huling Na-update: 2021-09-10 15:07:56

Arinda menahan napas saat tangan Elang memeluk erat pinggangnya. Ia kaget, tapi juga senang. Apalagi Elang mengakuinya sebagai pacar. Seketika tubuhnya menegang dan jantungnya pun berdetak cepat. Ini pertama kali baginya mendapat sentuhan intim dari Elang dan ia masih belum tahu maksud lelaki itu melakukan hal tersebut.

"Elang, apa benar yang kamu bilang barusan? Kamu dan Arinda pacaran?"

"Iya, Ma, aku dan Arinda pacaran. Jadi Mama nggak usah repot-repot nyari jodoh buat aku."

Elang menjawab pertanyaan Rahma yang sudah berdiri di hadapan, tapi tatapannya tajam mengarah ke Ayara. Ia kesal dan tidak terima dituduh sebagai penyuka sesama jenis. Baginya itu tuduhan yang amat keji.

Dari jawaban Elang, Arinda tahu mengapa lelaki itu mengakuinya sebagai pacar.

"Mama aja ya, yang nemenin Ayara. Aku mau ke sana dulu sama Arinda."

Elang menunjuk photo booth di sisi lain ruangan, lalu tanpa menunggu jawaban Rahma, ia bergegas pergi bersama Arinda. Sebenarnya ia ingin menghindari sang mama yang pasti bakal banyak mengajukan pertanyaan mengenai hubungannya dengan Arinda. Tentu ia tak bisa menjawab dengan lancar karena hubungan itu hanyalah rekayasa semata.

"Hasilnya bagus."

Arinda memuji gambar dirinya dan Elang dalam selembar foto yang baru saja diberikan dari si fotografer. Ia terlihat tengah duduk bersebelahan dengan Elang di sebuah kursi panjang yang dilatarbelakangi dinding penuh bunga. Tak lupa seulas senyum merekah dari bibir pasangan kekasih palsu itu. Mereka terlihat serasi dengan dominasi warna hitam pada pakaian yang dikenakan.

"Jadi Kakak ngakuin aku sebagai pacar karena Kakak nggak mau dijodohin sama perempuan itu?"

Pertanyaan itu terlontar dari mulut Arinda usai difoto, tapi mereka masih duduk di sana. Jujur, ia merasa senang menjadi pacar Elang walau hanya sandiwara. Dalam hati ia berharap kelak ini bisa berubah menjadi kenyataan.

"Iya. Diam-diam Mama mau ngejodohin Kakak sama dia."

"Mungkin itu karena Mama nggak betah ngeliat anaknya kelamaan ngejomblo," ujar Arinda diiringi tawa ringan. "Lagian Kakak betah banget sih, ngejomblo? Masih belum bisa move on dari Kak Sarah?"

"Iya, emang. Malahan Kakak lagi nunggu jandanya Sarah." Elang menjawab lantas tertawa.

Elang setengah berkelakar, tapi juga setengah serius. Dari dulu, sejak mengetahui Sarah menikah dengan laki-laki lain, ia berharap suatu saat nanti mereka akan berpisah lalu Sarah bisa kembali lagi padanya. Sampai sekarang harapan itu masih tersimpan di hatinya walau tidak banyak. Ia tahu itu jahat karena secara tidak langsung mendo'akan agar Sarah bercerai dari suaminya baik cerai hidup atau mati. Namun, ia memang sungguh-sungguh mencintai perempuan itu.

"Ih, ngapain ngarepin janda sementara perawan masih banyak?"

Arinda tidak tahu apa yang dikatakan Elang itu serius atau hanya candaan semata, tapi ia jadi punya pemikiran, jangan-jangan Elang bertahan menjomlo karena memang sangat mengharapkan Sarah meski berstatus janda. Jika benar begitu, maka itu sungguh gila.

"Karena janda lebih menggoda. Apalagi kalo jandanya Sarah."

Elang tertawa lagi, sedangkan Arinda hanya mendengkus sambil memutar bola mata menanggapi entah itu lelucon atau memang curahan hati sebenanrnya dari kakaknya itu. Sarah terooooos ... gerutu Arinda dalam hati. Ah, sepertinya hati dan cinta Elang memang sudah berhenti di Sarah. Mungkin pintu hati lelaki itu tidak bisa terbuka lagi untuk bisa menerima cinta dari perempuan lain. Jika sudah begini, apakah Arinda harus tetap memendam perasaan pada Elang atau malah nekad mengatakannya?

"Kak, aku mau bilang sesuatu sama Kakak."

Akhirnya Arinda memutuskan untuk mengeluarkan apa yang selama ini dipendam dan membuatnya tidak tenang. Masa bodoh dengan Elang yang masih mencintai Sarah. Pokoknya ia hanya ingin Elang tahu bahwa ia mencintainya. Itu saja.

"Apa? Mau bilang Kakak ganteng?"

"Dih, pede banget."

"Mau bilang apa dong?"

"Aku mau bilang kalo aku ...."

"Mas, Mbak. Maaf, itu ada yang mau foto lagi."

Arinda dan Elang serempak menoleh ke arah fotografer. Mereka juga melihat ada sepasang suami istri beserta anaknya yang masih kecil yang ingin berfoto. Arinda mengembuskan napas berat. Kali ini ia gagal mengutarakan cintanya. Namun, tak dipungkiri ada perasaan lega sebab ia tak harus merasa deg-degan dan gugup. Mungkin lain kali bisa dicoba lagi, pikirnya.

"Oh, iya. Maaf, kita jadi malah asyik ngobrol di sini," kata Elang pada si fotografer.

"Ini, Mbak, HP-nya."

Arinda menerima ponsel yang diberikan fotografer padanya saat mulai melangkah meninggalkan photo booth. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih. Sebenarnya ia ingin langsung melihat hasil foto tadi, tapi tiba-tiba saja mengurungkan niatnya saat melihat para tamu yang lain beramai-ramai menuju ke depan pelaminan dan berkerumun di sana. Mereka ingin berebut mendapatkan buket bunga yang akan dilempar si mempelai wanita. Konon, yang mendapat buket bunga akan segera menyusul si pengantin, yaitu menikah. Tentu saja Arinda tertarik ikut. Tak lupa ia mengajak Elang yang meski menolak, tapi tetap memaksanya dengan menarik lengan lelaki itu.

"Ayo, Kak, ikutan. Siapa tau Kakak yang dapet. 'Kan, nanti bisa cepet nikah." Arinda nyengir.

"Kamu percaya gituan?"

"Enggak juga, sih. Buat have fun aja, apa salahnya?"

Elang menurut saja. Kini ia dan Arinda sudah berada dalam kerumunan orang-orang yang berdiri di depan pelaminan menanti si mempelai wanita melemparkan buket bunga. Ia merasa aneh dan malu karena kebanyakan yang berdiri di sini adalah perempuan, sedangkan laki-laki hanya beberapa. Tak apa, ini akan menjadi pengalaman pertama, juga terakhirnya mengikuti tradisi lempar buket bunga pengantin seperti ini.

"Udah siap semua? Aku lempar sekarang, ya," kata si mempelai wanita yang terlihat cantik dengan gaun berwarna pink pucat.

Sang pengantin lalu membalikkan tubuh membelakangi para tamu. Arinda bersiap-siap dengan mengangkat kedua tangan, sedangkan Elang hanya berdiri, tak tertarik untuk mendapatkan buket bunga itu.

"Satu, dua, tiga."

Rangkaian mawar putih dihiasi pita pengikat berwarna senada dengan gaun sang pengantin melayang di udara. Elang yang sadar buket bunga itu akan mengenai kepalanya spontan mengangkat tangan untuk menghalau. Saat tangannya ingin menyentuh buket, ternyata ada tangan lain yang melakukan hal serupa. Ia tahu itu adalah tangan Arinda yang berdiri tepat di samping kanannya.

"Yeay. Aku yang dapet buketnya."

Arinda berteriak kegirangan sambil berusaha mengangkat tinggi kumpulan mawar putih itu. Namun, seperti ada yang menahannya. Ia baru sadar jika ada tangan lain yang memegang buket itu. Pandangan matanya yang semula terfokus pada pergelangan tangan dilingkari arloji itu perlahan-lahan terus menurun sampai akhirnya bertemu dengan seraut wajah perpaduan oriental dan kebarat-baratan milik Elang.

"Kakak," ucap Arinda dengan senyuman kecil. "Kita yang dapet buketnya."

Arinda tak menyangka ia dan Elang bisa bersamaan menangkap buket bunga itu. Apakah ini merupakan sebuah pertanda bahwa ia dan Elang akan segera menikah? Ia tahu itu konyol, tapi siapa tahu? Ya, semoga saja begitu. Harapan akan selalu ada meski lelaki yang dicintainya masih mencintai perempuan lain.

"Ya ampun! Bisa barengan gitu sih, nangkepnya. So sweet. Emang kayaknya kalian pasangan yang kompak, ya. By the way, selamat, deh. Semoga kalian segera nyusul Adam."

Arinda mengamini do'a dari seorang perempuan yang berdiri di sebelah kanannya. Perempuan itu mengira dirinya dan Elang adalah sepasang kekasih. Mereka tidak saling kenal, tapi ia merasa senang dido'akan seperti itu. Baginya itu adalah do'a yang indah.

Arinda meminta Elang untuk mengamini do'a dari perempuan tak dikenal itu. Namun sayang, Elang menolak dan itu membuat Arinda sedih.

"Nanti kalo Kakak bilang 'amin' dan do'anya dikabulin, berarti Kakak nikah sama kamu dong?"

"Emang kenapa kalo Kakak nikah sama aku? Aku juga perempuan. Cantik, lagi."

"Dasar narsis, kamu," balas Elang sambil mencubit kedua pipi Arinda hingga gadis itu meringis kesakitan.

"Ih, Kakak. Sakit, tau?" keluh Arinda seraya melepaskan tangan Elang dari pipinya. "Ayo, Kak, jawab. Kenapa Kakak nggak mau nikah sama aku?"

"Karena kamu itu adik Kakak."

Kedua bahu Arinda terkulai lemas mendengar alasan yang diucapkan oleh Elang. Alasan yang tidak masuk akal karena semua orang juga tahu jika ia dan lelaki itu bukanlah sepasang adik-kakak kandung.

"Ya udah, kalo gitu aku nggak mau jadi adik Kakak lagi," gumam Arinda tapi Elang bisa mendengarnya.

"Apa? Kamu bilang apa?"

"Aku bilang kalo bunganya bagus. Bagus 'kan, Kak?" jawab Arinda sambil menunjukkan buket bunga mawar putih itu pada Elang.

"Masak sih, kamu bilang gitu? Perasaan tadi Kakak dengar kamu nyebut-nyebut kata 'Kakak' gitu, deh."

"Kakak salah dengar. Ya udahlah, aku mau pulang. Papa Mama udah nungguin, tuh. Dah, Sayang."

"Hei, kamu bilang apa barusan?" Elang menghentikan langkah Arinda yang akan bergegas meninggalkannya.

"Sayang," jawab Arinda santai. "Emang kenapa? Tadi Kakak juga manggil aku 'Sayang'. Sekarang kan, kita pacaran. Dadah, Sayang."

Arinda mengucapkannya lagi. Ini memang hanya sandiwara, tapi ia sangat senang bisa memanggil Elang dengan sebutan 'Sayang'. Ia tertawa, lantas segera berlalu dari hadapan Elang sebelum lelaki itu berkomentar.

***

Di sepanjang perjalanan pulang dari hotel menuju rumah, senyuman selalu menghiasi wajah Arinda. Hari ini banyak hal yang membuatnya merasa senang dan bahagia, termasuk Elang yang mengakuinya sebagai pacar dan diketahui oleh Rahma. Ia tidak tahu sampai kapan Elang akan menjadikannya sebagai pacar palsu untuk mengelabui sang mama.

"Sayang, kenapa kamu senyum-senyum?" tanya Yulia sambil melongok sang anak dari jok depan.

Arinda yang semula sedang menatap ke arah luar lewat jendela kini mengalihkan tatapannya pada Yulia.

"Aku lagi senang, Ma."

"Senang kenapa?"

Dedi, papa Arinda, yang sedang serius menyetir ikut angkat suara. "Mama kayak nggak tau aja. Anak kita, kan, baru dapat bunga dari pengantin. Itu berarti sebentar lagi dia nikah. Makanya dia senang dan senyum-senyum dari tadi."

"Nah, itu Papa tau."

"Dasar kamu tuh, ya. Kuliah aja belum beres, udah mikir nikah aja," timpal Yulia.

"Bentar lagi kali, Ma, kuliah beres."

"Terus kalo kuliah beres, kamu beneran mau nikah? Emang udah siap jadi istri? Lagian kamu belum punya calon juga, 'kan?"

"Udah punya, dong."

Yulia dan Dedi sejenak saling bertatapan. Anak semata wayangnya itu sudah punya pacar? Sejak kapan? Siapa pacarnya? Kok, mereka tidak tahu? Apakah si Ferdi itu, yang tempo hari datang ke rumah? Ah, sepertinya bukan, karena Arinda bilang menolak cinta dan lamaran teman sekelasnya itu.

"Sayang, beneran kamu udah punya pacar?Kamu lagi nggak halu, 'kan?"

"Mamaaaa," Arinda berteriak, "tega banget sih, ngatain anaknya halu." Lalu Arinda pura-pura menangis di luar, tapi menangis sungguhan di dalam hati. Mamanya benar, ia sedang berhalusinasi memiliki pacar seorang Elang.

Yulia tertawa. "Lagian kamu nggak ada tanda-tanda dekat sama cowok, tiba-tiba ngaku udah punya pacar. Itu perlu dipertanyakan kebenarannya. Iya 'kan, Pa?"

Dedi mengangguk setuju. "Siapa laki-laki itu, Arinda? Bawa dong, ke rumah. Kenalin sama Papa dan Mama."

"Identitasnya masih dirahasiakan, Pa. Kami sepakat nggak akan go public dulu," ujar Arinda dengan nada meyakinkan.

"Ya ampun. Udah kayak artis aja sih, kalian." Yulia berkomentar sambil tertawa. "Eh, tapi emang beneran kamu udah punya pacar, Sayang?"

"Udah, Ma," tegas Arinda. "Makanya waktu itu aku nolak Ferdi karna aku udah punya pacar," lanjutnya.

"Tapi kok, diem-diem aja?" Dedi ikut bersuara.

"Iya, nanti aja ribut-ributnya kalo dia mau ngelamar aku." Arinda tertawa.

"Tapi Mama kepo, nih. Kasih tau, dong."

"Kasih tau nggak, ya?"

Mulut Arinda tertawa, tapi hatinya masih menangis. Halusinansinya sudah terlalu jauh. Menyedihkan.

Arinda menunduk, melihat seikat mawar putih di pangkuan. Ia mengambilnya, lalu menghirup aroma lembutnya. Dalam benak ia masih mengingat saat tangannya dan tangan Elang sama-sama menggenggam buket itu. Kompak.

Tak berhenti di buket itu, Arinda pun mengambil ponsel dari dalam clutch. Layarnya ia nyalakan lalu meng-klik menu galeri. Dari sekian banyak foto di sana, ia memilih satu yang tadi diambil di acara resepsi. Ia tersenyum melihat foto itu. Dalam hati ia berharap bisa duduk bersisian lagi bersama Elang, tapi di kursi pelaminan.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • KAKAK, I LOVE YOU   EPILOG

    Semua mata tertuju pada Arinda yang baru saja tiba di halaman belakang rumahnya di mana acara lamaran digelar. Tak terkecuali sang calon mempelai pria yaitu Elang. Lelaki itu seakan tak bisa berkedip memandangi sang calon istri yang hari ini terlihat begitu cantik.Bisik-bisik pun mulai terdengar. Utamanya dari pihak keluarga calon mempelai pria. Mereka saling berbisik memuji kecantikan Arinda.Di hari istimewanya ini Arinda yang sudah cantik semakin terlihat cantik dengan riasan wajahflawless, rambut disanggul modern dan tubuh dibalut kebaya berwarnababyblueberpadu dengan bawahan berupa kain batik."Cantik ya...""Elang-nya ganteng, calon istrinya juga cantik. Cocok."

  • KAKAK, I LOVE YOU   25

    Arinda menatap Elang dengan tatapan tak percaya sambil perlahan-lahan melepaskan kedua tangan yang mendekap tubuh lelaki itu.Tidak, tidak, tidak!Kepala Arinda menggeleng samar. Tidak mungkin Elang menyatakan cinta padanya karena memang lelaki itu tidak mencintainya. Yang ia tahu cinta dan hati Elang hanyalah untuk Sarah seorang, tidak untuk perempuan lain apalagi perempuan itu dirinya. Ia hanya dianggap sebagai adik, gadis kecil oleh Elang. Tak lebih."Ya, Arinda.I love you as a man loves a woman," ucap Elang sambil menyentuh kedua pundak Arinda seolah-olah ingin menepis ketidak percayaan gadis itu yang terpancar jelas dari sorot matanya."Nggak mungkin. Kakak pasti lagi becanda," balas Arinda dengan suara lirih semen

  • KAKAK, I LOVE YOU   24

    "Sayang, terima kasih ...," ucap Arya sambil tersenyum dan menatap sendu Arinda.Arinda tersipu malu. Tanpa direncanakan akhirnya ia menyatakan cinta pada Arya, calon suaminya. Mmm ... calon suami? Ia tersenyum sementara hatinya dipenuhi bunga-bunga indah bermekaran."... untuk sudah mencintai dan menerima Aa menjadi calon suami kamu," sambungnya berbisik membuat Arinda semakin tersipu."Aku juga berterima kasih sama Aa karna udah mencintaiku, memilihku sebagai calon istri Aa dan untuk cincin ini," balas Arinda sambil tersenyum manis dan mengangkat tangan kirinya menunjukkan cincin yang yang tersemat di jari manis."Kamu suka?"Arinda mengangguk sambil matanya memandangi cincin yang

  • KAKAK, I LOVE YOU   23

    Langit terlihat terang penuh dengan bintang. Air laut pun begitu tenang, memantulkan bayangan gedung-gedung di sekitar yang diterangi cahaya lampu warna-warni.Sungguh malam yang indah. Akan lebih indah jika Arinda ada bersamanya kini. Duduk berdua di atas bebatuan di tepi pantai.Elang menatap hamparan air laut di depannya sambil menikmati sebatang rokok. Sejak putus dari Arinda ia akrab lagi dengan barang yang dapat membunuhnya secara perlahan-lahan itu. Sama seperti dulu saat Sarah meninggalkannya dan memang karena frustrasi akibat ditinggalkan Sarah lah ia jadi mulai mengenal rokok dan mengkonsumsinya. Tapi itu tak berlangsung lama. Rahma memarahinya habis-habisan. Mamanya itu sangat benci pada rokok dengan alasan dapat merusak kesehatan.Setelah sekian lama akhirnya ia kembali men

  • KAKAK, I LOVE YOU   22

    Lagi meluk kamuO, ya! Tentu saja!Arinda merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia begitu bodoh. Mengapa hal tersebut harus ditanyakan? Sudah jelas Arya sedang memeluknya mesra dari belakang. Biasanya adegan seperti ini sering ia lihat di drama-drama Korea dan sekarang ia dan Arya beradegan seperti itu.Tidak! Ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Arya sudah melakukan pelanggaran. Bagaimana jika Bi Titin melihatnya lalu melaporkan pada kedua orang tuanya? Arinda bisa habis dimarahi. Lagipula ia tak menyangka Arya berani melakukannya di sini, di rumahnya. Apa karena lelaki itu tahu bahwa orang tuanya sedang tidak ada?"Aa ...""Ya, Sayang ..."

  • KAKAK, I LOVE YOU   21

    'Happy birthday, Aa ... Semoga makin cinta dan sayang sama aku :)'Arinda sengaja bangun pada jam dua belas malam dengan bantuan alarm hanya agar bisa menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untuk Arya, kekasihnya.Rasa cinta untuk Arya darinya memang belum ada tapi ia mulai nyaman menjalani hubungan dengan saudara kembar mantan pacarnya itu. Bagaimana tidak, lelaki itu sangat perhatian dan memahaminya. Ia yakin seiring berjalannya waktu rasa itu akan tumbuh untuk Arya dan ia tak akan menyia-nyiakan lelaki yang mencintainya dengan sepenuh hati.'Thanks,Sayang. Harapan kamu udah terkabul bahkan sebelum kamu mengharapkannya :)'Arinda tersenyum membaca balasan pesan dari Arya. Ia berniat membal

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status