Share

BAB 7

Akhirnya kuputuskan untuk tidak membahas perihal perceraian. Ingin rasanya mencoba untuk menjadi istri sesungguhnya. Mungkinkah akan ada perubahan besar dalam hubungan kami ke depannya? Apalagi kemarin aku lihat ulet keket yang bergelayut manja di lengan suamiku. Tapi darimana aku harus memulainya? Ayolah berpikir Maudy.

Aha aku ada ide!

"Hallo mama,apa kabar?" 

[Baik. Kamu apa kabar cantik?]

"Baik juga ma. Oya boleh Maudy bertanya sesuatu?"

[Tentu sayang. Tanyalah apapun gratis kok]

"Terimakasih ma. Sebenernya apa makanan atau minuman kesukaan Kak Erland?"

[Tunggu! Kamu masih manggil suamimu Kakak?]

Astaga naga mati aku. 

"Maaf ma. Maksud Maudy..."

[Hahaha mama hanya bercanda sayang. Panggil dia sesukamu. Makanan kesukaan suamimu ya? Sebenarnya mama ga terlalu tahu makanan kesukaan dia saat ini. Karena hampir 5 tahun Erland di Aussie. Tapi seingat mama waktu kecil Erland suka garang asem. Nanti mama kirimkan resepnya ya.]

"Wah makasih mama. Maudy sayang mama."

[Mama juga nak. Jangan lupa teh camomile tanpa gula. Dia suka sekali.]

"Sekali lagi terimakasih mama."

Setelah berbasa-basi sebentar kututup panggilan lalu segera ke dapur melihat bahan makanan. Beberapa saat kemudian suara pesan teks masuk. Resep garang asem buatan mama. Rupanya tak begitu sulit. Hanya memotong lalu mengukus. Gampanglah.

Kusiapkan ayam,bumbu,tomat hijau dan belimbing wuluh untuk menambah sensasi asam. Kupotong-potong sayuran juga ayam. Jangan lupa daun pisang. Setelah mencampurnya. Rasanya sudah pas menurutku. Manis,asem,asin dan gurih. Tinggal mengukusnya sampe matang. Tidak lupa kubuat camilan dan teh camomile.

"Akhirnya siap juga." Ucapku senang karena berhasil menelesaikan menu kesukaan Erland. 

Tak terasa sudah waktunya jam makan siang. Aku akan mengantarkan makanan ini ke kantornya. Menaiki taksi menuju daerah perkantoran di pusat kota. Laju kendaraan cukup padat. Panas dan macet. Tapi tak apa. Ini perjuanganku untuk memperbaiki sebuah hubungan. Memutus mata ratai dan menyambungnya dengan rantai yang baru.

Di kantor seperti biasa aku di sambut dengan tatapan ramah yang terasa membunuh. Ya entah kenapa tatapan mereka selalu mengintimidasi. Kusapa setiap orang yang berpapasan di lobby kantor. Hingga tiba di depan lift yang terbuka. Beberapa karyawan menundukan kepala. Kebalas senyuman ramah. 

"Ish sok ramah. Kenapa dia masih bertahan aja sih." Bisik wanita bergincu tebal itu pada temannya.

"Iya. Walaupun semakin cantik. Tapi tetap aja kampungan." Si menor pun menanggapi dengan suara yang sedikit ketus.

"Meski kampungan. Akulah yang terpilih menjadi istrinya. Bukan kalian. Ini kantor bukan infotaiment. Kalau ingin bergosip silahkan di luar." Ucapku tegas sambil menatap mereka bergantian. 

Mereka membelalakan matanya lalu menunduk.

"Dan sedikitlah berpakaian sopan. Disini bukan PUB. Yang dibutuhkan kantor itu otak kalian bukan belahan rok. Permisi." Kulangkahkan kaki yang tertunda. Menyebalkan sekali. Kenapa harus meladeni mulut mereka? 

Bodoh. Bodoh. Bodoh kugetok kepalaku tiga kali. 

Hingga akhirnya aku tiba di sebuah ruangan yang dulu kudatangi. Kulihat meja Antony kosong. Mungkin dia sedang pergi tugas luar. Saat mengetuk pintu kudengar suara Erland berbicara dengan seseorang. Sepertinya sangat serius. Kuurungkan masuk ke dalam. Kutunggu orang yang ada di dalam keluar. 

TRAKK.

Pintu di buka dengan sangat kasar. Perempuan cantik dan seksi yang kulihat di cafe keluar dari ruangan suamiku dengan mata sembab seperti menangis. Ulat keket itu menatapku sangat tajam lalu bergegas pergi. Aku berbalik menatapnya. 

Wajah tampan itu terlihat sangat lelah. Dia menyandarkan kepalanya di sofa. Apa bebanmu begitu sangat berat? Lalu siapa perempuan itu? Kau selalu diam saja. Dan aku selalu pura-pura tidak tau apa-apa. Suami istri macam apa sebenernya kita berdua ini? Gumamku dalam hati. Tak mungkin kutanyakan hal seperti itu. Hanya akan membuatku terlihat konyol.

Kututup pintu dan berjalan ke arahnya.

"Kenapa balik lagi? Kurang jelaskah apa yang tadi kukatakan?" Ujarnya tanpa melihat ke arahku.

"Aku datang mengantar makanan." Ucapku yang seketika membuatnya menoleh. Dia terlihat sangat terkejut.

"Maudy..."

Kuletakkan kotak makanan diatas meja. Setelah itu kuseduh teh camomile dan menuangkannya dalam cangkir. 

"Minumlah. Mungkin ini bisa merilekskan pikiranmu." Kuangsurkan cangkir teh dia langsung menyeruputnya.

"Terima kasih. Ini enak."

Kami diam dalam pikiran masing-masing. 

"Oya ada apa sampe kamu datang ke kantor?" Tanyanya memecahkan keheningan.

"Kan tadi sudah kubilang. Aku mengantarkan makan siang."

"Ah ya. Kamu yang masak?"

"Iya. Garang asem kesukaan kakak."

"Ka-kamu tau kesukaanku?"

"Lebih tepatnya tanya sama mama."

Dia segera saja membuka kotak makan dan tersenyum melihat isinya. 

"Sudah lama aku tidak makan ini. Biasanya mama yangmembuatkannya untukku. Hampir 2 tahun aku tak memakannya."

"Kalau begitu. Selamat makan." Ucapku sambil menyuapkan makanan padanya.

"Gimana rasanya. Enak?" 

"Mirip buatan mama."

"Iyalah. Kan resepnya dari mama."

"Aaa." Ucapnya menyuruhku membuka mulut. Aku pun menurut dengan membuka mulutku.

"Gimana enak kan?"

"I-ya." Ucapku tersipu malu. Kami tak pernah sedekat ini.

"Terima kasih. Makan siang kali ini sangat lezat." Ujarnya tersenyum dan mengacungkan ibu jari. 

Kami berbincang sebentar. Lalu dia mengantarkanku pulang ke rumah. Sepanjang jalan dia fokus pada kemudi. Namun sesekali dia mengarahkan pandangannya ke arahku sambil tersenyum.

"Sering-seringlah ke kantor. Dan masak makanan untukku. Aku akan dengan senang hati menyambutmu." Ucapnya seraya mengusap kepalaku lembut.

"Lihat saja nanti. Soalnya tatapan karyawanmu itu sangat menyeramkan." Ungkapku sambil tertawa.

"Tenang saja. Tidak ada yang berani macam-macam pada istri direktur."

"Tidak ada yang berani macam-macam di depanmu. Tapi tidak di depanku." Batinku.

"Akan ku usahakan." Sahutku seraya tersenyum.

Mungkin ini bisa menjadi awal yang baik untuk kami. Aku tak boleh menyerah. Kutatap wajah tampan yang tengah menyetir. Dia terlihat berbeda. Aura bahagia menyelimutinya. Atau mungkin akulah yang bahagia. Aku sedikit lega sekarang. Setidaknya masih ada harapan. Dia mulai sedikit melunak. Semoga dia akan selalu begini. Aku percaya akan ada hal baik di depan sana. 

"Sudah sampai. Berhati-hatilah dirumah. Mungkin aku pulang sedikit telat." Dia berkata sambil melepas belt yang terpasang padaku. Wajah kami begitu dekat membuatku gugup. 

"Ah iya tentu saja."

"Aku menyukai parfummu." Pujinya.

"Benarkah?" Tanyaku memastikan.

"Ya,wangi plum. Aku jadi ingin makan buah plum." 

Pipiku bersemu merah. Dia membuatku tersipu.

"Aku akan belikan nanti di pasar." Ujarku riang.

"Hahaha. Tidak perlu. Aku hanya suka menggodamu. Jika tersipu Wajahmu memerah."

"Ngeselin."

"Yasudah nanti ku telpon. Hati-hati dirumah."

Aku mengangguk. Lantas segera turun. Namun tangannya menarikku yang hendak keluar mobil.

CUP

Bibirnya menyentuh pipiku kilat. Membuatku bergeming. Kutatap wajahnya lekat. Senyuman itu menghipnotisku. Hingga tubuhku diam membeku. Namun suara klakson mengagetkan kami. Segera aku turun dan menutup pintu. 

"Sampai jumpa nanti malam." Ucapnya sambil melambaikan tangan. 

"Sa-sampai jumpa." Balasku melambaikan tangan.

Mungkinkah dia mulai membuka hatinya? Kuelus pipiku. Ciumannya masih terasa. Membuat hatiku menghangat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status