Akhirnya kuputuskan untuk tidak membahas perihal perceraian. Ingin rasanya mencoba untuk menjadi istri sesungguhnya. Mungkinkah akan ada perubahan besar dalam hubungan kami ke depannya? Apalagi kemarin aku lihat ulet keket yang bergelayut manja di lengan suamiku. Tapi darimana aku harus memulainya? Ayolah berpikir Maudy.
Aha aku ada ide!
"Hallo mama,apa kabar?"
[Baik. Kamu apa kabar cantik?]
"Baik juga ma. Oya boleh Maudy bertanya sesuatu?"
[Tentu sayang. Tanyalah apapun gratis kok]
"Terimakasih ma. Sebenernya apa makanan atau minuman kesukaan Kak Erland?"
[Tunggu! Kamu masih manggil suamimu Kakak?]
Astaga naga mati aku.
"Maaf ma. Maksud Maudy..."
[Hahaha mama hanya bercanda sayang. Panggil dia sesukamu. Makanan kesukaan suamimu ya? Sebenarnya mama ga terlalu tahu makanan kesukaan dia saat ini. Karena hampir 5 tahun Erland di Aussie. Tapi seingat mama waktu kecil Erland suka garang asem. Nanti mama kirimkan resepnya ya.]
"Wah makasih mama. Maudy sayang mama."
[Mama juga nak. Jangan lupa teh camomile tanpa gula. Dia suka sekali.]
"Sekali lagi terimakasih mama."
Setelah berbasa-basi sebentar kututup panggilan lalu segera ke dapur melihat bahan makanan. Beberapa saat kemudian suara pesan teks masuk. Resep garang asem buatan mama. Rupanya tak begitu sulit. Hanya memotong lalu mengukus. Gampanglah.
Kusiapkan ayam,bumbu,tomat hijau dan belimbing wuluh untuk menambah sensasi asam. Kupotong-potong sayuran juga ayam. Jangan lupa daun pisang. Setelah mencampurnya. Rasanya sudah pas menurutku. Manis,asem,asin dan gurih. Tinggal mengukusnya sampe matang. Tidak lupa kubuat camilan dan teh camomile.
"Akhirnya siap juga." Ucapku senang karena berhasil menelesaikan menu kesukaan Erland.
Tak terasa sudah waktunya jam makan siang. Aku akan mengantarkan makanan ini ke kantornya. Menaiki taksi menuju daerah perkantoran di pusat kota. Laju kendaraan cukup padat. Panas dan macet. Tapi tak apa. Ini perjuanganku untuk memperbaiki sebuah hubungan. Memutus mata ratai dan menyambungnya dengan rantai yang baru.
Di kantor seperti biasa aku di sambut dengan tatapan ramah yang terasa membunuh. Ya entah kenapa tatapan mereka selalu mengintimidasi. Kusapa setiap orang yang berpapasan di lobby kantor. Hingga tiba di depan lift yang terbuka. Beberapa karyawan menundukan kepala. Kebalas senyuman ramah.
"Ish sok ramah. Kenapa dia masih bertahan aja sih." Bisik wanita bergincu tebal itu pada temannya.
"Iya. Walaupun semakin cantik. Tapi tetap aja kampungan." Si menor pun menanggapi dengan suara yang sedikit ketus.
"Meski kampungan. Akulah yang terpilih menjadi istrinya. Bukan kalian. Ini kantor bukan infotaiment. Kalau ingin bergosip silahkan di luar." Ucapku tegas sambil menatap mereka bergantian.
Mereka membelalakan matanya lalu menunduk.
"Dan sedikitlah berpakaian sopan. Disini bukan PUB. Yang dibutuhkan kantor itu otak kalian bukan belahan rok. Permisi." Kulangkahkan kaki yang tertunda. Menyebalkan sekali. Kenapa harus meladeni mulut mereka?
Bodoh. Bodoh. Bodoh kugetok kepalaku tiga kali.
Hingga akhirnya aku tiba di sebuah ruangan yang dulu kudatangi. Kulihat meja Antony kosong. Mungkin dia sedang pergi tugas luar. Saat mengetuk pintu kudengar suara Erland berbicara dengan seseorang. Sepertinya sangat serius. Kuurungkan masuk ke dalam. Kutunggu orang yang ada di dalam keluar.
TRAKK.
Pintu di buka dengan sangat kasar. Perempuan cantik dan seksi yang kulihat di cafe keluar dari ruangan suamiku dengan mata sembab seperti menangis. Ulat keket itu menatapku sangat tajam lalu bergegas pergi. Aku berbalik menatapnya.
Wajah tampan itu terlihat sangat lelah. Dia menyandarkan kepalanya di sofa. Apa bebanmu begitu sangat berat? Lalu siapa perempuan itu? Kau selalu diam saja. Dan aku selalu pura-pura tidak tau apa-apa. Suami istri macam apa sebenernya kita berdua ini? Gumamku dalam hati. Tak mungkin kutanyakan hal seperti itu. Hanya akan membuatku terlihat konyol.
Kututup pintu dan berjalan ke arahnya.
"Kenapa balik lagi? Kurang jelaskah apa yang tadi kukatakan?" Ujarnya tanpa melihat ke arahku.
"Aku datang mengantar makanan." Ucapku yang seketika membuatnya menoleh. Dia terlihat sangat terkejut.
"Maudy..."
Kuletakkan kotak makanan diatas meja. Setelah itu kuseduh teh camomile dan menuangkannya dalam cangkir.
"Minumlah. Mungkin ini bisa merilekskan pikiranmu." Kuangsurkan cangkir teh dia langsung menyeruputnya.
"Terima kasih. Ini enak."
Kami diam dalam pikiran masing-masing.
"Oya ada apa sampe kamu datang ke kantor?" Tanyanya memecahkan keheningan.
"Kan tadi sudah kubilang. Aku mengantarkan makan siang."
"Ah ya. Kamu yang masak?"
"Iya. Garang asem kesukaan kakak."
"Ka-kamu tau kesukaanku?"
"Lebih tepatnya tanya sama mama."
Dia segera saja membuka kotak makan dan tersenyum melihat isinya.
"Sudah lama aku tidak makan ini. Biasanya mama yangmembuatkannya untukku. Hampir 2 tahun aku tak memakannya."
"Kalau begitu. Selamat makan." Ucapku sambil menyuapkan makanan padanya.
"Gimana rasanya. Enak?"
"Mirip buatan mama."
"Iyalah. Kan resepnya dari mama."
"Aaa." Ucapnya menyuruhku membuka mulut. Aku pun menurut dengan membuka mulutku.
"Gimana enak kan?"
"I-ya." Ucapku tersipu malu. Kami tak pernah sedekat ini.
"Terima kasih. Makan siang kali ini sangat lezat." Ujarnya tersenyum dan mengacungkan ibu jari.
Kami berbincang sebentar. Lalu dia mengantarkanku pulang ke rumah. Sepanjang jalan dia fokus pada kemudi. Namun sesekali dia mengarahkan pandangannya ke arahku sambil tersenyum.
"Sering-seringlah ke kantor. Dan masak makanan untukku. Aku akan dengan senang hati menyambutmu." Ucapnya seraya mengusap kepalaku lembut.
"Lihat saja nanti. Soalnya tatapan karyawanmu itu sangat menyeramkan." Ungkapku sambil tertawa.
"Tenang saja. Tidak ada yang berani macam-macam pada istri direktur."
"Tidak ada yang berani macam-macam di depanmu. Tapi tidak di depanku." Batinku.
"Akan ku usahakan." Sahutku seraya tersenyum.
Mungkin ini bisa menjadi awal yang baik untuk kami. Aku tak boleh menyerah. Kutatap wajah tampan yang tengah menyetir. Dia terlihat berbeda. Aura bahagia menyelimutinya. Atau mungkin akulah yang bahagia. Aku sedikit lega sekarang. Setidaknya masih ada harapan. Dia mulai sedikit melunak. Semoga dia akan selalu begini. Aku percaya akan ada hal baik di depan sana.
"Sudah sampai. Berhati-hatilah dirumah. Mungkin aku pulang sedikit telat." Dia berkata sambil melepas belt yang terpasang padaku. Wajah kami begitu dekat membuatku gugup.
"Ah iya tentu saja."
"Aku menyukai parfummu." Pujinya.
"Benarkah?" Tanyaku memastikan.
"Ya,wangi plum. Aku jadi ingin makan buah plum."
Pipiku bersemu merah. Dia membuatku tersipu.
"Aku akan belikan nanti di pasar." Ujarku riang.
"Hahaha. Tidak perlu. Aku hanya suka menggodamu. Jika tersipu Wajahmu memerah."
"Ngeselin."
"Yasudah nanti ku telpon. Hati-hati dirumah."
Aku mengangguk. Lantas segera turun. Namun tangannya menarikku yang hendak keluar mobil.
CUP
Bibirnya menyentuh pipiku kilat. Membuatku bergeming. Kutatap wajahnya lekat. Senyuman itu menghipnotisku. Hingga tubuhku diam membeku. Namun suara klakson mengagetkan kami. Segera aku turun dan menutup pintu.
"Sampai jumpa nanti malam." Ucapnya sambil melambaikan tangan.
"Sa-sampai jumpa." Balasku melambaikan tangan.
Mungkinkah dia mulai membuka hatinya? Kuelus pipiku. Ciumannya masih terasa. Membuat hatiku menghangat.
Aku meringkuk diatas ranjang. Perutku terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum. Sakit dan perih. Kuraih obat pereda nyeri lambung dan mengunyahnya. Kutarik selimut semakin rapat. Mataku terpejam namun tak bisa tidur.TOKTOKTOKSuara ketukan pintu membuat mataku terbuka. Aku bangkit dari ranjang dengan terhuyung kugapai gagang pintu dan membukanya. Wajah tampan itu tersenyum tangannya menenteng segelas teh manis dan semangkuk bubur. Dia segera masuk dan menuntunku. Mendudukanku diatas ranjang. Sikapnya yang lembut membuatku nyaman."Kubuatkan bubur putih. Tadi kuhaluskan dengan foodprocesor dulu. Kemarin dokter bilang magh-mu kambuh. Harus makan yang halus." Kuperhatikan gerak bibirnya dan mengangguk."Taruh saja diatas meja nanti kumakan." Ujarku merebahkan diri."Kau harus banyak makan. Kusuapi ya." Bujuknya menyendokkan bubur."Aku bisa makan sendiri." Ucapku merebut sendok dan mangkuk. Menyuapkan sedikit bubur kedalam mulut
Aku terpukau dan takjub dengan susunan foto tersebut. Mungkin jika di ikut sertakan dalam pameran akan menjadi menarik pikirku. Hingga akhirnya kututup pintu rahasia disebalik rak buku tersebut."Lancang!" Serunya ketus. Kutersentak kaget hingga buku merah itu jatuh dari tanganku.Aku tak berani membalikkan tubuhku. Suara tegas nan dingin di belakangku membuatku gemetar. Aku sudah tertangkap basah. Kupejamkan mata. Kudengar langkah kakinya mendekat. Bisa kurasakan emosi yang tertahan darinya. Aura di kamar ini mendadak engap dan sesak. Lalu tanpa di duga dia memegang erat lenganku kemudian menarikku keluar dari kamarnya."Pergi!" Sergahnya seraya menutupnya sangat keras bahkan hentakannya membuat seluruh ruangan bergetar.Kutekan dadaku. Tubuhku meluruh ke lantai. Sungguh aku sangat menyesal. Namun disatu sisi aku merasa takjub. Ada satu hal yang membuatku semakin tersadar. Dia bukan laki-laki sembarangan. Foto-foto tadi membuktikan segalanya. Aku t
Sebulan sudah dia menghilang bagai ditelan bumi. Tak sekalipun menghubungiku. Bahkan tak bisa di hubungi sama sekali. Mungkin ini kali ketiga dalam 2 tahun terakhir dia menghilang. Pernah kutanyakan pada mama ataupun Pak Bayu namun mereka hanya bungkam. Hingga akhirnya aku memilih pura-pura abai. Walaupun tak kupungkiri rasa khawatir selalu menyeruak mengusik ketenangan hari-hariku. "Sebenarnya dia menghilang kemana? Apa mungkin dia pergi ke Aussie?" Tanyaku dalam hati. Setiap kepulangannya dari bertapa. Ya aku menyebutnya bertapa karena dia seolah tak ingin seorang pun mengetahui apapun yang dia lakukan. Dia akan membawa oleh-oleh yang berbeda-beda. Entah itu memar di telapak tangan,memar di wajah sampai patah tulang. Kadang aku berpikir,apakah dia di begal dijalan ataukah dia digebukin perampok. Namun itu tidaklah mungkin. Karena yang kutahu. Erland bukan manusia bodoh yang mati-matian mempertahankan harta sedangkan nyawanya terancam. Dan setiap kutanya dia
Sudah 3 hari dia tak terlihat keluar kamar. Hanya Antony yang selalu terlihat keluar masuk kamarnya. Aku sendiri hanya bisa melihat betapa sibuknya Antony tanpa bisa membantu apapun. Beberapa kali bertanya bagaimana keaadan suamiku tanpa mendekatinya. Katanya tuan muda sudah lumayan pulih. Aku bersyukur dan sedikit lega. Setidaknya dia baik-baik saja. "Nona,apa anda sedang sibuk?" Tanya Antony pagi ini saat aku tengah menyiapkan bekal di dapur. "Bisa iya dan bisa juga tidak. Ada apa?" Jawabku balik bertanya. "Bisakah anda membujuk tuan muda agar memeriksakan diri di rumah sakit." "Antony, bukankah kamu tahu kalau tuan mudamu begitu membenciku?" "Aku mohon nona. Tuan muda sangat keras kepala. Sedangkan luka sabetannya cukup serius." "Luka sabetan? Maksud kamu luka sabetan pedang?" "Ah tidak. Aku kelepasan." Lirihnya menangkupkan tangan di wajah letihnya. "Antony,aku tidak akan membujuk tuanmu jika kamu tidak
Seminggu semenjak kejadian itu. Aku memutuskan untuk keluar dari sekolah tempatku mengajar. Dan memilih untuk bekerja meneliti naskah di museum tengah kota. Para siswa menangis saat aku berpamitan. Bahkan ada yang mogok tak mau pulang. Hingga aku harus membujuknya supaya kembali ceria. Bahkan Ferra bilang dia yang merasa terzholimi karena aku tak pernah mengatakan apapun selama ini dan tiba-tiba memutuskan untuk resign."Maafkan aku." Ucapku tulus pada Ferra yang tak hentinya mengeluarkan airmata. Kami duduk di samping kelas. Hanya tinggal kami berdua yang berada di sekolah."Kamu tega banget deh. Ninggalin aku tiba-tiba." Ucapnya sambil mengguncang bahuku."Sebenarnya ini sudah kupikirkan sejak awal tahun. Hanya saja baru sekarang terlaksana. Karena aku ingin memperdalam passionku." Jelasku padanya agar dia tak berpikir yang aneh-aneh."Kamu yakin itu alasannya? Bukan karena hal lain?" Tanyaya curiga. Kuhembuskan napasku dengan berat."Ya te
Setalah mama,papa dan kak Hilma pamit. Aku segera membereskan rumah. Menyapu dan mengepel lantai. Sedangkan pria sedingin es membantu membersihkan dapur dan peralatan makan. Dia begitu cekatan membilas piring dan menaruhnya di rak. Aku menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri berusaha mengusir penat. Tanganku terasa kebas dan linu. PRAK Tanganku tak sengaja menyenggol Vas bunga. Serpihan kaca bening itu berserakan di lantai. Aku memungutnya namun tangan dan kakiku tanpa sengaja menginjak serpihan kecil yang tak terlihat. "Auh." Aku mengaduh. Rasa perih menjalar di jari serta telapak kaki. Hingga bercak darah menempel di lantai. "Astaga. Apa kau baik-baik saja?" Tanyanya pabik seraya memegang tanganku. "Iya biar kubereskan dulu." "Biar aku saja." Cegahnya. Ditangannya sudah ada sekop dan sapu. Aku berjinjit menuju sofa. Namun rasa perih semakin menjalar. Sakit sekali. Lalu kedua tangan kekar itu dengan sigap menggendongku. K
Aku mencuci pakaian dan bedcover yang telah terpakai. Agar dirumah baru nanti pekerjaanku tidak terlalu banyak. Ditempat menjemur pakaian kulihat Erland sibuk di dapur. Seperti biasa dia membuat sarapan sebelum ke kantor. Aku memandang wajahnya. Tangannya berkali-kali mengusap keringat. Tak kupungkiri wajah tampannya."Ketampanannya bertambah jika sedang memegang spatula begitu." Pujiku. "Namun sayang sebentar lagi akan menjadi mantan. Mantan terindah." Imbuhku lalu kugelengkan kepala. Bahaya jika diteruskan bisa diabetes.Masuk kedalam kamar. Aku mengepack pakaian,make up dan sepatu ke dalam koper sedangkan buku-buku sudah terlebih dulu di kirimkan kesana oleh Erland. Kutinggalkan gaun-gaun pesta. Aku sudah tidak begitu membutuhkannya nanti. Biarlah menjadi urusan Erland. Mau dibuang atau disumbangkan."Tinggalkan beberapa pakaianmu." Pintanya. Aku berbalik menatapnya heran."Kenapa?""Aku hanya memberitahu mama dan p
TOK TOK TOK Suara pintu di ketuk. Aku membereskan peralatan makan. Dan segera menuju pintu. Saat pintu terkuak. Seraut wajah laki-laki sebaya nan berwibawa itu muncul. Wajahnya sangat mirip dengan Vanya. Paman Andreas. Aku menundukkan kepala. "Paman?" Sapaku seraya menunduk menjabat tangannya. Namun dia mengibaskan tangan seperti jijik. Aku melihat ke belakangnya. "Aku hanya mampir sebentar. Jadi hanya sendiri." Beliau menjawab seolah tau apa yang ada di kepalaku. Aku pun mengangguk. Pertanda mengerti. "Silahkan duduk Paman." Kupersilan beliau duduk. Aku pun menyusul beliau duduk sedikit jauh. "Maaf,ada yang bisa Maudy bantu Paman?" Tanyaku hati-hati. Karena beliau hanya diam tanpa bicara. "Sebenarnya aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Karena tanpa kuminta kau mau melepaskan diri dari Erland." DEG. Jantungku berdetak lebih cepat. Apa maksud beliau. Apakah Erland sudah memberitahunya? Sedangkan