Share

BAB 6

Apa yang sebenarnya aku lakukan? Kenapa aku harus marah melihat Erland dengan wanita itu. Bisa saja kan dia rekan bisnisnya. Bodoh. Aku merutuki diri sendiri. Mondar-mandir di kamar tidak jelas. Menunggu kepulangan suamiku. Kenapa aku begitu peduli padanya? 

 

"Ini gila. Aku benar-benar gila." Gumamku merutuki diri sendiri.

 

Untuk mengenyahkan pikiranku pada dua orang itu aku melakukan apapun. Membersihkan kamar mandi,dapur,halaman rumah. Bahkan aku yang sangat malas ngepel akhirnya mengepel seluruh lantai. Menyetrika seluruh pakaian. Namun bayangan mereka tetap saja tertinggal di pikiranku.

 

"Sebenarnya apa yang terjadi? Ini pertama kalinya aku begitu memikirkannya." Gumamku pada diri sendiri

 

Sudah hampir tengah malam. Tapi tidak ada tanda-tanda kepulangannya. Aku menunggunya di teras lalu masuk ke kamar. Ke teras lagi lalu ke kamar lagi. Begitu seterusnya.  Rasa kantuk yang mulai menyerang membuatku hampir menyerah. Namun harus kutahan. Terantuk-antuk di kursi bahkan gigitan nyamuk kutetap bergeming. Dinginnya angin malam tak begitu mengusikku.

 

Kupandangi layar handphone. Ingin menelpon pun percuma. Dia jarang mengangkat telpon kecuali darurat. Biasanya hanya dia yang menghubungiku. Aku hanya memandangi layar handphone. Baru kusadari betapa flat-nya hubungan ini. 

 

TAK

 

Suara pintu terbuka. Aku menolehkan wajah ke arah pintu. Kulihat sosoknya disana. Seketika hatiku merasa lega. Ada raut terkejut yang kentara di wajahna saat melihatku yang belum tidur. Karena biasanya aku begitu masa bodo. Dia pulang kapanpun dan bersama siapapun. Aku tak peduli. 

 

"Kamu belum tidur?" Tanyanya lirih. 

 

"Nggak,aku baru bangun kok." Sahutku sambil pura-pura menguap. "Kakak baru pulang?" 

 

"Ya,tadi mama memintaku mampir ke rumah." Jawabnya tangannya sibuk menuangkan air dari kulkas lalu menenggaknya.

 

"Kok tumben. Apa mama sehat?" 

 

"Mama baik-baik saja. Tadi mama sempat pingsan."

 

"Pingsan?" Aku bertanya penasaran. Tak biasanya mama sampai pingsan kecuali benar-benar shock.

 

"Terlalu banyak pikiran." Jawabnya santai seraya melepas dasi.

 

"Oh. Apa mama masih membahas hal itu?" Tanyaku sendu. 

 

"Ya,apalagi Vanya sedang hamil." Jawabnya lugas seraya menatapku. Aku begitu sensitif padahal apa yang di harapkan dari pernikahan aneh ini.

 

"Begitu ya." Ucapku tenang. Aku sangat memahami perasaan mertuaku. Apalagi setelah Kak Hilma mengalami kecelakaan dan terpaksa mengangkat rahimnya.

 

"Kamu tidak perlu khawatir. Aku sudah menyiapkan jawaban kalau kamu ingin melanjutkan kuliah."

 

"Syukurlah. Tapi mau sampai kapan kita menyembunyikan fakta?"

 

"Aku pun tak tahu. Jangan terlalu di pikirkan. Biar aku yang akan mengurusnya."

 

"Yasudah. Kalau begitu aku mau istirahat. Selamat malam."

 

"Ya. Selamat malam."

 

Sesampainya dikamar kurebahkan tubuh dikasur empukku. Tak sedikitpun mata ini terpejam. Lintasan memori berkelebat dalam bayanganku. Dia yang tiba-tiba mengajakku menikah. Lalu kami tinggal bersama sebagai suami istri yang aneh. Tak ada kamar bersama. Tak ada makan bersama. Kewajibanku hanya membersihkan rumah ini. Aku yang bebas layaknya gadis yang tidak memiliki suami. Dia yang tak pernah kutahu dunianya sama sekali. Pernikahan macam apa yang kujalani. Air mataku merebak. Ini seperti dilema. 

 

"Apa mungkin aku harus secepatnya bicara?" Gumamku sambil membolak-balikkan tubuh di pembaringan.

 

Aku bebas namun merasa terkekang selama ini. Karena harus terus mendengar banyak cibiran semua orang yang mengenal kami. Bahkan sandiwara-sandiwara memuakkan yang harus kulakukan di depan keluarganya. Sebenarnya apa yang harus ku pertahankan dari pernikahan ini. Jika benar karena uang,lantas apakah selamanya akan seperti ini? 

 

"Pria bodoh itu Erland. Punya wajah rupawan dan mapan malahan milih tikus jalanan. Sepertinya dia di guna-guna oleh wajah sok polos itu"

 

"Iya betul. Gadis itu mungkin saja sudah one stand night dan menggoda banyak pria. Salah satunya Erland."

 

"Dia sangat mencoreng nama besar Rasendria. Padahal kakeknya amat sangat berharap padanya. Tapi sangat mengecewakan."

 

"Mengecewakan dan membuat malu. Mana kerjaannya hanya guru TK. Ga ada masa depan sama sekali." 

 

"Bahkan dia masih belum juga hamil setelah 2 tahun menikah. Jangan-jangan dia mandul."

 

Itulah penghinaan yang selalu kuterima sejak pertama kali dikenalkan pada keluarganya. Suara-suara sumbang itu selalu berdenging di telinga dan kepala. Namun dia tetap menikahiku. Dia selalu membelaku di depan keluarganya. Tapi apa bedanya jika dia memperlakukanku hanya untuk menyingkirkan stigma yang melekat padanya. Apalagi ditambah mama yang baik hati itu sampai pingsan karena memikirkan nasib pernikahan kami.

 

Keputusanku sudah bulat. Aku harus melepaskan diri dari pernikahan palsu ini. Ya benar. Pernikahan adalah ibadah terpanjang. Yang dijalani oleh dua orang untuk saling melengkapi. Namun jika kenyataannya hanya saling menyakiti seperti ini untuk apa dipertahankan? Mungkin aku sangat gegabah menerima tawarannya. 

 

Keesokan harinya aku sungguh terkejut. Pria nan gagah itu tengah mencuci pakaian milikku. Biasanya aku menaruhnya di keranjang di dalam kamar. Namun semalam aku kelupaan. Pakaian yang bekas kupakai tadi siang setelah membersihkan rumah kutaruh di kamar mandi begitu saja. Ah kenapa aku ceroboh sekali. Membiarkan pakaian kotorku tergeletak begitu saja? Mampuslah kau Maudy. Kuketuk kepalaku dengan kepalan tangan. Dan apa itu? Dia sedang memegang kain yang begitu kukenal.

 

"Jangaan...!!!" Teriakku sambil berlari kerahanya. Dia yang terkejut reflek melemparkan yang dipegangnya.

 

"Astaga. Kau membuatku terkejut."

 

"Kak biar aku yang mencucinya ya. Dan jangan sentuh apapun apalagi yang satu ini." Ucapku sambil menyembunyikan BH merah mudaku.

 

"Pft. Jujur aku geli. Ternyata cupnya lumayan juga ya."

 

"Dasar mesuuummm!!!" Ujarku sambil berlari meninggalkannya. Sedangkan dia tertawa terpingkal-pingkal. 

 

Aku tertegun. 2 tahun tinggal bersama baru kali ini aku melihatnya tertawa selepas itu. Tanpa sadar aku tersenyum. Apakah mungkin karena begitu tak dekatnya kami sehingga melewatkan banyak hal. Untuk saat ini aku begitu ingin mengenalnya. Ya ijinkan aku mengenalmu.

 

Kutatap potret pernikahan kami 2 tahun lalu. Dia tersenyum sangat tulus. Aku pun seperti itu. Tangan kokoh itu melingkar dipinggangku. Jika saja kita menjalani pernikahan ini selayaknya pasangan yang lain. Mungkin aku akan bahagia. Aku terenyuh. Ingat bagaimana dengan lantangnya dia mengucapkan ijab kabul. Lalu menyematkan cincin di jari manisku. Mengecup keningku untuk pertama kalinya. Rasanya debaran itu masih terasa sampai sekarang. 

 

Kusandarkan tubuhku di samping jendela sambil memandangi taman. Dan di taman sana kulihat pria itu tengah merapikan tanaman lalu menyiraminya dengan selang air. Wajahnya dihiasi senyuman seolah bunga-bunga itu temannya. Hingga aku membayangkan jika menjadi bunga-bunga itu. Betapa menyenangkannya. Disentuh,di perlakukan begitu istimewa. Dirawat dengan penuh kasih sayang seperti malika kedelai hitam. Ah apaan sih pikiran konyolku ini. 

 

Aku tertawa sendiri menyadari betapa konyolnya aku. Sampai kusadari sepasang mata setajam elang di bawah sana tengah menatapku tanpa kedip. Padahal jauh dibawah sana namun sukses membuatku salah tingkah. Aku membalikkan badan kemudian menutup jendela kamarku. Aku malu ketahuan mengintip.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status