Aku meringkuk diatas ranjang. Perutku terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum. Sakit dan perih. Kuraih obat pereda nyeri lambung dan mengunyahnya. Kutarik selimut semakin rapat. Mataku terpejam namun tak bisa tidur.
TOK
TOK
TOK
Suara ketukan pintu membuat mataku terbuka. Aku bangkit dari ranjang dengan terhuyung kugapai gagang pintu dan membukanya. Wajah tampan itu tersenyum tangannya menenteng segelas teh manis dan semangkuk bubur. Dia segera masuk dan menuntunku. Mendudukanku diatas ranjang. Sikapnya yang lembut membuatku nyaman.
"Kubuatkan bubur putih. Tadi kuhaluskan dengan foodprocesor dulu. Kemarin dokter bilang magh-mu kambuh. Harus makan yang halus." Kuperhatikan gerak bibirnya dan mengangguk.
"Taruh saja diatas meja nanti kumakan." Ujarku merebahkan diri.
"Kau harus banyak makan. Kusuapi ya." Bujuknya menyendokkan bubur.
"Aku bisa makan sendiri." Ucapku merebut sendok dan mangkuk. Menyuapkan sedikit bubur kedalam mulut.
"Biar kusuapi." Bujuknya sekali lagi.
"Perutku mual." Aku bergegas ke kamar mandi. Lalu mengeluarkan semua isi dalam perutku.
HUEK. HUEK. HUEK. Keluar sudah semua isi perutku. Aku terkulai lemas. Tangan hangat dan besar itu memijat tengkukku lembut. Lalu menggendongku kembali ke ranjang. Meminumkan teh hangat. Lambungku terasa nyaman.
"Jangan terlalu dipaksakan. Nanti kuhubungi dokter Rey untuk memeriksamu atau kita kerumah sakit saja?" Sarannya sambil membenarkan selimut.
"Tak perlu. Aku hanya butuh istirahat sebentar." Tolakku halus. Aku hanya ingin tidur.
"Istirahatlah. Kalau butuh sesuatu panggil saja. Aku ada diruang kerja."
"Kakak ga masuk kantor?"
"Ada banyak orang di kantor. Sedangkan kamu sendirian. Ijin sehari tak masalah." Ucapnya tersenyum mengelus rambutku. Lalu beranjak pergi.
Hanya senyuman itu yang kulihat selama 2 tahun ini. Dan senyuman itu pula yang sering mengganggu tidurku akhir-akhir ini. Saat seperti ini aku rindu ayah dan ibu. Air mata mengalir tak terbendung lagi. Ingin rasanya memeluk mereka. Namun hanya sebingkai foto ini yang bisa menggantikan mereka untuk kupeluk erat.
Kurasakan usapan lembut di pipi dan jemariku. Aku tak bisa membuka mata. Namun sentuhannya bisa kurasakan. Hembusan napasnya yang hangat terasa begitu dekat. Sangat dekat. Hingga kemudian aku membuka mata.
Pupilku melebar melihat wajahnya yang tertidur tepat berhadapan denganku. Tangan kanannya dijadikan bantal sedangkan yang kiri memeluk tubuhku erat. Entah kenapa aku begitu merasa nyaman dan tenang menatap wajah yang begitu lelapnya. Bahkan dia tersenyum manis. Entah mimpi apa yang dia lihat dalam tidurnya.
Kuukir wajah tenangnya dalam sanubariku. Aku tak ingin mengganggu tidurnya. Hingga yang kulakukan hanya memandanginya dan menghidu aroma tubuhnya. Aroma yang menenangkan jiwa.
"Kita tidak pernah sedekat ini." Batinku.
Matanya sedikit terbuka. Kututup mata berpura-pura tidur. Dia memindahkan kepalaku dan menarik tangannya.
"Aku tahu kau sudah bangun." Ucapnya sambil mencubit pipiku. Lalu segera duduk.
"Auh." Aku mengaduh sambil mengusap pelan pipiku.
"Kamu kangen sama keluargamu? Semalam kamu mengigau memanggil ayah dan ibu. Mau kuantar pulang?"
"Ti-tidak perlu. Aku sudah lumayan baikkan. Lagian aku gak mau bikin mereka khawatir karena pulang tiba-tiba." Jujurku
"Yasudah. Kalau ingin pulang bilang saja. Aku akan mengantarmu. Hari ini aku harus pergi ke kantor. Ada rapat pemegang saham dan dewan direksi." Ucapnya sambil merenggangkan otot-otot tubuhnya.
"Baik. Sepertinya aku juga akan berangkat ke sekolah." Ujarku menyibak selimut. Hendak menuju kamar mandi.
"Sayangnya tadi sudah bilang cuti ke kepsek. Istirahatlah. Jangan terus memaksakan diri." Matanya menatapku tajam. Kuurungkan niatku untuk mandi dan menghempaskan kembali tubuhku di ranjang.
"Tapi aku bosan kalau terus menerus dirumah." Ucapku sendu
"Aku sudah memasang wifi di kamarmu."
"Hah? Benarkah?" Teriakku girang.
"Ya tentu saja."
"Baiklah aku pasti akan betah di kamar."
"Baik-baik dirumah. Aku akan pulang lebih cepat."
"Ya ya segeralah pergi nanti terlambat." Usirku padanya dengan mendorong tubuhnya keluar kamar.
"Berani sekali mengusir tuan rumah." Gumamnya menggerutu.
Tak kupedulikan ocehannya. Langsung kusambar laptop putih yang teronggok diatas nakas. Menonton film live-action kesayanganku. Tak lupa kusiapkan camilan dan minuman. Lupa sudah segala penderitaanku yang selalu kesepian dirumah ini. Kenapa tidak dari dulu saja. Dia teramat pelit untuk hal-hal seperti ini. Bukan karena tak mampu hanya saja dia selalu melakukan sesuatu yang tidak terduga dan tak terbaca sama sekali.
Entah jam berapa sekarang? Efek datang bulan membuatku malas ngapa-ngapain. Dan lihatlah seharian ini hanya di kamar. Ya mau bagaimana lagi. Meskipun satu rumah kami seperti memiliki wilayah masing-masing. Dan semalam dia seenaknya naik ke ranjangku. Sementara aku? Tak selangkahpun boleh menginjakkan kaki di kamarnya. Menyebalkan. Kamarnya selalu terkunci. Sebenarnya ada apa di kamarmya. Sungguh aku penasaran.
Dorongan rasa bosan dan penasaran. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi kamarnya. Selama ini dia tak mau seorang pun memasuki kamarnya bahkan hanya untuk membersihkannya. Saat sakitpun dia hanya mengunci pintu. Dan akan terbuka saat dia keluar atau masuk kamar.
"Jangan-jangan dia menyembunyikan sesuatu yang membahayakan." Ucapku bersenandika.
Kulewati batasan yang kami sepakati. Sedikit maju mundur. Namun rasa penasaran membuatku memantapkan langkah. Aku mengendap-endap bagaikan pencuri dirumah sendiri. Ah tidak,lebih tepatnya di rumah suamiku sendiri. Menengok ke segala arah. Terutama pintu depan. Siapa tahu dia pulang secara tiba-tiba. Dan akhirnya aku sampai di depan kamarnya. Walaupun dekat namun terasa sangatlah jauh. Gugup, kucoba membuka pintunya dengan sedikit ragu. Dan..
KLAK
WOW dia tak mengunci pintunya. Kemungkinanan dia lupa menguncinya karena terburu-buru. Semerbak wangi khas tubuhnya menguar di segala penjuru kamar. Inikah kamar laki-laki? Mengejutkan. Kamar ini lebih rapih dari yang kuduga. Dia memang sangat perfect dalam hal apapun. Bahkan penataan ruang ini teramat rapih dan elegan. Aku jadi malu. Sedetik kemudian ada rasa bersalah yang muncul namun kutepis. Apa salahnya seorang istri memasuki kamar suaminya? Itu pembelaan yang klise.
Kuamati sekeliling ruangan. Dan mataku tertumbuk pada rak buku yang tersusun sangat rapih. Kusentuh satu persatu buku yang ada. Hingga mataku tertuju pada satu buku aneh. Diantara semua buku hanya buku itu yang membuatku tertarik karena sampulnya merah merona. Akhirnya tergerak untuk mengambilnya. Namun kutersentak kaget saat tiba-tiba rak bergetar.
KREK
Rak bergerak menampilkan sebuah ruang rahasia. Ruangan dalam ruangan. Mataku mengerjap bebarapa kali. Mengumpulkan cahaya dalam keremangan. Hingga beberapa detik kemudian mataku mulai beradaptasi. Aku tertegun melihat ruangan tersebut. Ada banyak foto di dinding ruangan yang lumayan luas itu.Foto-foto itu bagaikan susunan puzle. Dan membentuk siluet wajah seseorang. Seperti laki-laki. Aku seperti melihat wajah suamiku versi tua. Aku tak bisa melohat dengan jelas satu persatu foto yang entah berjumlah berapa. Mungkin ratusan ataupun ribuan. Saat kitelisik lebih dalam. Disana tertulis ETRAMA RASENDRIA.
Aku terpukau dan takjub dengan susunan foto tersebut. Mungkin jika di ikut sertakan dalam pameran akan menjadi menarik pikirku. Hingga akhirnya kututup pintu rahasia disebalik rak buku tersebut."Lancang!" Serunya ketus. Kutersentak kaget hingga buku merah itu jatuh dari tanganku.Aku tak berani membalikkan tubuhku. Suara tegas nan dingin di belakangku membuatku gemetar. Aku sudah tertangkap basah. Kupejamkan mata. Kudengar langkah kakinya mendekat. Bisa kurasakan emosi yang tertahan darinya. Aura di kamar ini mendadak engap dan sesak. Lalu tanpa di duga dia memegang erat lenganku kemudian menarikku keluar dari kamarnya."Pergi!" Sergahnya seraya menutupnya sangat keras bahkan hentakannya membuat seluruh ruangan bergetar.Kutekan dadaku. Tubuhku meluruh ke lantai. Sungguh aku sangat menyesal. Namun disatu sisi aku merasa takjub. Ada satu hal yang membuatku semakin tersadar. Dia bukan laki-laki sembarangan. Foto-foto tadi membuktikan segalanya. Aku t
Sebulan sudah dia menghilang bagai ditelan bumi. Tak sekalipun menghubungiku. Bahkan tak bisa di hubungi sama sekali. Mungkin ini kali ketiga dalam 2 tahun terakhir dia menghilang. Pernah kutanyakan pada mama ataupun Pak Bayu namun mereka hanya bungkam. Hingga akhirnya aku memilih pura-pura abai. Walaupun tak kupungkiri rasa khawatir selalu menyeruak mengusik ketenangan hari-hariku. "Sebenarnya dia menghilang kemana? Apa mungkin dia pergi ke Aussie?" Tanyaku dalam hati. Setiap kepulangannya dari bertapa. Ya aku menyebutnya bertapa karena dia seolah tak ingin seorang pun mengetahui apapun yang dia lakukan. Dia akan membawa oleh-oleh yang berbeda-beda. Entah itu memar di telapak tangan,memar di wajah sampai patah tulang. Kadang aku berpikir,apakah dia di begal dijalan ataukah dia digebukin perampok. Namun itu tidaklah mungkin. Karena yang kutahu. Erland bukan manusia bodoh yang mati-matian mempertahankan harta sedangkan nyawanya terancam. Dan setiap kutanya dia
Sudah 3 hari dia tak terlihat keluar kamar. Hanya Antony yang selalu terlihat keluar masuk kamarnya. Aku sendiri hanya bisa melihat betapa sibuknya Antony tanpa bisa membantu apapun. Beberapa kali bertanya bagaimana keaadan suamiku tanpa mendekatinya. Katanya tuan muda sudah lumayan pulih. Aku bersyukur dan sedikit lega. Setidaknya dia baik-baik saja. "Nona,apa anda sedang sibuk?" Tanya Antony pagi ini saat aku tengah menyiapkan bekal di dapur. "Bisa iya dan bisa juga tidak. Ada apa?" Jawabku balik bertanya. "Bisakah anda membujuk tuan muda agar memeriksakan diri di rumah sakit." "Antony, bukankah kamu tahu kalau tuan mudamu begitu membenciku?" "Aku mohon nona. Tuan muda sangat keras kepala. Sedangkan luka sabetannya cukup serius." "Luka sabetan? Maksud kamu luka sabetan pedang?" "Ah tidak. Aku kelepasan." Lirihnya menangkupkan tangan di wajah letihnya. "Antony,aku tidak akan membujuk tuanmu jika kamu tidak
Seminggu semenjak kejadian itu. Aku memutuskan untuk keluar dari sekolah tempatku mengajar. Dan memilih untuk bekerja meneliti naskah di museum tengah kota. Para siswa menangis saat aku berpamitan. Bahkan ada yang mogok tak mau pulang. Hingga aku harus membujuknya supaya kembali ceria. Bahkan Ferra bilang dia yang merasa terzholimi karena aku tak pernah mengatakan apapun selama ini dan tiba-tiba memutuskan untuk resign."Maafkan aku." Ucapku tulus pada Ferra yang tak hentinya mengeluarkan airmata. Kami duduk di samping kelas. Hanya tinggal kami berdua yang berada di sekolah."Kamu tega banget deh. Ninggalin aku tiba-tiba." Ucapnya sambil mengguncang bahuku."Sebenarnya ini sudah kupikirkan sejak awal tahun. Hanya saja baru sekarang terlaksana. Karena aku ingin memperdalam passionku." Jelasku padanya agar dia tak berpikir yang aneh-aneh."Kamu yakin itu alasannya? Bukan karena hal lain?" Tanyaya curiga. Kuhembuskan napasku dengan berat."Ya te
Setalah mama,papa dan kak Hilma pamit. Aku segera membereskan rumah. Menyapu dan mengepel lantai. Sedangkan pria sedingin es membantu membersihkan dapur dan peralatan makan. Dia begitu cekatan membilas piring dan menaruhnya di rak. Aku menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri berusaha mengusir penat. Tanganku terasa kebas dan linu. PRAK Tanganku tak sengaja menyenggol Vas bunga. Serpihan kaca bening itu berserakan di lantai. Aku memungutnya namun tangan dan kakiku tanpa sengaja menginjak serpihan kecil yang tak terlihat. "Auh." Aku mengaduh. Rasa perih menjalar di jari serta telapak kaki. Hingga bercak darah menempel di lantai. "Astaga. Apa kau baik-baik saja?" Tanyanya pabik seraya memegang tanganku. "Iya biar kubereskan dulu." "Biar aku saja." Cegahnya. Ditangannya sudah ada sekop dan sapu. Aku berjinjit menuju sofa. Namun rasa perih semakin menjalar. Sakit sekali. Lalu kedua tangan kekar itu dengan sigap menggendongku. K
Aku mencuci pakaian dan bedcover yang telah terpakai. Agar dirumah baru nanti pekerjaanku tidak terlalu banyak. Ditempat menjemur pakaian kulihat Erland sibuk di dapur. Seperti biasa dia membuat sarapan sebelum ke kantor. Aku memandang wajahnya. Tangannya berkali-kali mengusap keringat. Tak kupungkiri wajah tampannya."Ketampanannya bertambah jika sedang memegang spatula begitu." Pujiku. "Namun sayang sebentar lagi akan menjadi mantan. Mantan terindah." Imbuhku lalu kugelengkan kepala. Bahaya jika diteruskan bisa diabetes.Masuk kedalam kamar. Aku mengepack pakaian,make up dan sepatu ke dalam koper sedangkan buku-buku sudah terlebih dulu di kirimkan kesana oleh Erland. Kutinggalkan gaun-gaun pesta. Aku sudah tidak begitu membutuhkannya nanti. Biarlah menjadi urusan Erland. Mau dibuang atau disumbangkan."Tinggalkan beberapa pakaianmu." Pintanya. Aku berbalik menatapnya heran."Kenapa?""Aku hanya memberitahu mama dan p
TOK TOK TOK Suara pintu di ketuk. Aku membereskan peralatan makan. Dan segera menuju pintu. Saat pintu terkuak. Seraut wajah laki-laki sebaya nan berwibawa itu muncul. Wajahnya sangat mirip dengan Vanya. Paman Andreas. Aku menundukkan kepala. "Paman?" Sapaku seraya menunduk menjabat tangannya. Namun dia mengibaskan tangan seperti jijik. Aku melihat ke belakangnya. "Aku hanya mampir sebentar. Jadi hanya sendiri." Beliau menjawab seolah tau apa yang ada di kepalaku. Aku pun mengangguk. Pertanda mengerti. "Silahkan duduk Paman." Kupersilan beliau duduk. Aku pun menyusul beliau duduk sedikit jauh. "Maaf,ada yang bisa Maudy bantu Paman?" Tanyaku hati-hati. Karena beliau hanya diam tanpa bicara. "Sebenarnya aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Karena tanpa kuminta kau mau melepaskan diri dari Erland." DEG. Jantungku berdetak lebih cepat. Apa maksud beliau. Apakah Erland sudah memberitahunya? Sedangkan
"Dy...Maudy." Panggilan itu samar namun semakin jelas. Lalu kemudian samar lagi."Sadarlah!" Kurasakan dia menepuk pelan pipiku. Lalu menggendongnya ke kamar. Ingin kubuka mataku namun seperti di olesi lem. Sangat lengket.Sepertinya aku tidak sadarkan diri tadi. Tubuhku lemas dan tak bertenaga. Aku hanya bisa mendengar suara grasak grusuk tanpa bisa melihatnya. Hingga sebuah benda dingin menekan dadaku. Dan aroma minyak kayu putih semakin kuat menusuk indra penciumanku.Saat tersadar aku melihat ruangan serba putih. Hingga mataku menangkap sosok pria yang tengah tertidur dipinggir ranjang. Wajahnya yang tenang terlihat sangat lelah. Sedangkan di samping tanganku selang infus menjuntai hingga menancap di pergelangan tangan kiriku.Kuelus rambutnya yang hitam kecoklatan. Setelah beberapa bulan tak menyentuhnya. Kini aku bisa mengelus rambutnya bahkan pipinya."Maafkan aku sudah merepotkanmu. Harusnya aku pindah hari ini." Lirihku cairan