Pada malam harinya, Dewo memutuskan kembali ke Busan. Ia merasa tugasnya sudah selesai di tempat ini dan ia yakin bahwa Mellisa tidak akan mengganggunya lagi. Adapun Archi yang tak diizinkan Mellisa untuk dirawatnya, maka secara diam-diam ia meminta anak buahnya menjaga Archi dari jarak jauh. Ia juga akan memantau tumbuh kembang Archi. Bagaimana pun rasa sayang masih melekat pada putranya itu
Dewo menyandarkan punggungnya ketika menduduki kursi jet pribadinya. Ia cukup lelah. Selama dua hari ini, ia belum tidur dan makannya juga sangat sedikit. Dewo teringat bagaimana lahapnya ia makan ketika bersama Rina di restoran waktu itu.
“Berikan ponselku!” Dewo mengulurkan tangannya pada sang asisten. Sejak keberangkatannya ke Singapore, ia menitipkan ponselnya kepada asistennya. Ia juga meminta agar ponselnya dimatikan. Itu dikarenakan ia ingin fokus menyelesaikan permasalahan dengan Mellisa.
Nama Rina dan Byanca langsung memenuhi tampilan layar
“Rams, bantu aku!” Mellisa menjelaskan semuanya termasuk Dewo yang sudah mengetahui kebohongan mereka.“Dasar ceroboh!”Emosi Mellisa memuncak. Pria ini sangat lancang mengatainya. Jika bukan karena ia maka Mellisa tak akan jatuh ke titik ini. Mellisa menendang kursi dengan keras hingga suaranya terdengar oleh Rams.“Aku akan ke sana membantumu tetapi jangan beri tahu Rentina.”Meski Mellisa tak mengerti arti peringatan tersebut. Ia tak terlalu memikirkan. Baginya, kini sudah saatnya Rams mengambil tanggung jawab untuk Archi. Rams belum pernah sekali pun melihat Archi. Wajah mereka mirip. Tak akan ada yang tak percaya bila dikatakan mereka sepasang ayah dan anak.***Dewo menggulir layar ponselnya dengan malas. Sudah lebih dari 5 jam pesannya tak kunjung dibalas oleh Byanca. Apakah anaknya itu terlalu sibuk
Rina merasa diawasi. Mata Byanca setajam mata elang. Mata itu menembus organ dalam Rina. Meski mulutnya tak bersuara tetapi Rina mengerti jika Byanca ingin melayangkan protes.Rina tampak tak mempedulikan. Ia masuk ke dalam kamar tidur di sebelah ruangan Ken. Jadi, tempat Ken dirawat rumah sakit ini merupakan ruangan VIP. Ada sebuah kamar tidur, pantry, dua buah toilet hingga perabotan lainnya. Bisa dikatakan mirip seperti apartemen.Byanca hendak mendatangi Rina karena tega mengusir papinya. Byanca tahu bahwa Dewo telah mengecewakan mereka tetapi mengusir secara langsung seperti itu juga terlalu berlebihan. Tadinya Byanca ingin mengajak Dewo berbicara di kantin rumah sakit. Bukan Rina namanya jika mengizinkan. Ia menarik tangan Byanca ke dalam ruangan Ken.“Mi…” suara parau Ken membuyarkan lamunan Byanca.“Iya, Sayang.” Byanca mengambil segelas
Suasana dingin menyelimuti ruangan inap Bian. Hembusan angin terdengar lirih bersanding dengan suara jarum jam.Perbedaan karakter memang merupakan salah satu alasan perpisahan. David tak bisa mengelak, ia memang tak pernah menyukai sikap ketus Rentina. Ia yang lembut akan sangat berbanding terbalik dengan Rentina.“Aku ke sini bukan untuk berdebat,” putusnya. Bagaimanapun ia sangat menyukai kedamaian. Hidup damai itu menyenangkan, meski ketinggalan tetapi tak merusak kejernihan hati.Dia duduk di sebelah Bian. Melihat putranya terbaring juga kesedihan baginya.Rentina juga merasakan kesal jika berlama-lama di ruangan ini bersama mantan suaminya. Ia mengambil tas kemudian pamit pergi.David menghela napas ketika menyaksikan pemandangan itu. Dulu, mereka adalah korban perjodohan kedua orang tua sehingga tak ada cara untuk saling menolak. S
Rentina tak langsung pulang. Ia memilih pergi ke suatu tempat. Pemikirannya terlihat runyam. Ia sama sekali tak yakin atas ucapan Max. Bian bukan anak yang sejahat itu. Dia yang melahirkan Bian. Jadi, dia mengetahui karakter Bian dengan jelas.“Apa yang membuatmu datang ke sini?”Dia menuangkan minuman ke dalam gelas Rentina. Dari tutur katanya bahwa sangat jelas jika mereka memiliki hubungan yang akrab.“Ada yang sedang bermain-main denganku.” Rentina mengatakan dengan mata terbakar, tangannya terkepal. Orang di hadapannya dapat merasakan emosi Rentina.Dia masih belum mengerti permasalahan yang menyulitkan Rentina. Ia hanya diam, menunggu Rentina akan menyampaikan sendiri permasalahannya.Jika seorang anak akan menangis ketika terserang permasalahan kepada ibunya, maka tidak dengan Rentina. Dia akan menangis, mengeluh dan meminta perlindungan kepada wanita di hadapannya ini. Rentina merasa nyaman bila berada di dekatnya.
“Ngomong-ngomong, Tuan. Ada berita baik untuk Anda. Ken besok pagi sudah diperbolehkan pulang,” beri tahu Frans.Hal itu membuat Dewo terlihat senang. Ia tersenyum setelah dari tadi menekukkan wajahnya. Ia membuka dompetnya dan melemparkan sebuah kartu pada Frans. “Pergilah berbelanja! Belikan Ken mainan, pakaian, sepatu atau apapun yang membuatnya bahagia.”Jika itu untukknya, maka Frans akan dengan suka rela menerima. Namun, ini untuk Ken. Dia bahkan belum memiliki anak, bagaimana ia bisa mengerti apa yang disukai anak kecil. Tak berani melawan, ia pun dengan patuh pergi. Pikirnya nanti ia akan bertanya pada petugas toko-toko yang ada. Bosnya tidak akan bangkrut bila ia membeli asal-asalan.***Keesokan pagi disambut dengan keceriaan Ken. Ia berceloteh tentang sekolah, mainan hingga film yang baru ditonton tadi malam. Byanca pun dengan senang hati merespon ucapan demi ucapan tersebut. Sembari Ken sarapan, Byanca mengambil kesempa
Bian terus menatap jendela. Di luar sedang hujan. Atensinya hanya berputar pada rintik yang jatuh dengan riak. Tak sedikit pun ia palingkan perhatiannya. Sejak semalam, dokter mengatakan bahwa ia sudah membaik. Anjuran untuk beristirahat di rumah pun sudah dokter tersebut sampaikan. Namun, Bian meminta waktu untuk berada di rumah sakit ini lagi setidaknya satu hari tambahan.Bukan karena ia menyukai sakit atau karena ingin mencium bau obat-obatan yang menyengat, melainkan hanya karena di tempat ini ia merasakan keheningan. Tidak ramai dan tidak banyak tuntutan.Baik Rentina maupun David ia pinta untuk pulang. Mereka cukup renta untuk mengurusi Bian siang dan malam. Bian sadar diri bahwa dia bukanlah anak satu-satunya mereka. Dalam arti kata, kedua adiknya juga membutuhkan kehadiran orang tua mereka. Bian tidak pernah semanja ini ketika ia sakit setelah kedua orang tuanya resmi bercerai. Biasanya ia akan merawat luka itu dengan sendiri dan setelah menikah, Byanca lah ya
Indira tak mau pulang. Ia menolak permintaan Bian yang menyuruhnya pulang, bahkan Rentina juga secara sengaja memujuk Bian agar menerima kehadiran Indira. Dia memang berada di rumah sakit. Namun, beberapa hal pribadi tidak bisa dibantu oleh suster. Begitu alasan Rentina.Dari pada berkepanjangan rebut, Bian hanya diam saja. Ia sama sekali tak mau meladeni Indira. “Terserah apapun yang akan kau lakukan!” tegasnya.Jika bukan karena tujuna, Indira juga tak mau repot berurusan dengan manusia batu seperti Bian. Karirnya sudah hancur setelah isu tentang perselingkuhan mereka. Tidak ada rumah produksi atau kliennya yang membutuhkan jasanya, padahal ia sudah susah payah membangun portofolio sebagai artis muda. Terkadang, ia juga merindukan ruang akting. Rentina menghibur Indira dengan menawarkan pengajaran vokal secara gratis.Siapa yang tak mau menjadi murid Rentina? Di luar sana sangat banyak orang yang berbondong-bondong ingin menjadi murid musisi legend
“Brian, jangan keterlaluan!” sekali lagi Rentina mengingatkan Brian. Indira masih tamu di rumah ini, sudah seharusnya ia diperlakukan dengan hormat.Brian tetaplah Brian. Ia tak terlalu menggubris kemarahan Rentina. Lagi pula ia tak berbohong ayam itu memang keras.Bian yang tak watak adik kandungnya ingin menyicipi ayam tersebut juga. Namun, Indira memagangi tangannya, “Jangan,” katanya sambil menggeleng bahkan matanya terlihat berkaca-kaca.“Ini tidak layak untuk dimakan.” Indira buru-buru mengambil piring ayam tersebut dan bergegas membuangnya ke dalam tong sampah. Ia merasa gagal dan malu sekaligus. Mengingat sikap Brian membuatnya kecewa pada diri sendiri.Rentina menginjak kaki Brian, “Tidak bisakah kamu lebih menghargai orang lain?” ucap Rentina dengan sedikit berbisik agar Indira tak mendengar.Brian mengadu kesakitan. “Bukannya Bunda bilang kalau kita harus selalu jujur?”Y