Share

Frans Geoff Richardson

Duarr!

Giliran Frans yang merasakan dadanya bergemuruh. Ia seperti mendengar petir di siang bolong. “Kenapa kau bisa hamil?” tanya Frans. Wajahnya yang sedari tadi datar mulai memperlihatkan kerutan-kerutan, pertanda ia mulai panik.

Sean semakin melongo mendengar pertanyaan Frans. Kenapa laki-laki itu justru bertanya? Apakah Frans lupa berapa kali ia menghabiskan malam-malam panjang bersama Sean? Apa Frans lupa berapa banyak kali ia melempar benih di rahim wanita itu dengan segala bujuk rayu dan janji-janji manis yang berhasil membuat Sean menuruti kehendaknya?

“Kau tidak boleh hamil, Sean,” cetus Frans.

Sean masih melongo. Ia benar-benar tidak habis pikir. Ia seperti kehilangan Frans yang ia kenal selama ini. “Tapi kenyataannya aku sudah hamil, Frans. Aku hamil anakmu,” tegas Sean.

“Anak itu tidak boleh lahir. Aku tidak bisa menikahimu. Aku akan segera menikah dengan Batrice,” tandas Frans tanpa rasa bersalah.

Sean merasakan dadanya berguncang hebat. Wanita itu tak lagi dapat menahan air matanya. Praakkk! Sebuah tamparan keras, Sean layangkan di pipi Frans. “Seenaknya kau bicara seperti itu setelah kau rampas segala yang menjadi milikku, Frans? Kemana hilangnya janji-janji manismu selama ini? Kemana raibnya angan-anganmu untuk hidup bersamaku? Apakah kau lupa sudah berapa banyak waktu yang kita habiskan bersama? Lantas apa artinya kita menjalin hubungan ini selama lima tahun jika ujung-ujungnya kau justru menikahi perempuan lain?” cerca Sean.

Seiring dengan itu, seorang wanita berusia lima puluh tahun yang mengenakan riasan tebal hadir di tengah-tengah mereka. Prakkkk! Wanita itu melayangkan tamparan di pipi Sean. “Berani-beraninya kau menampar putraku, Perempuan Jalang!” maki Nyonya Richardson yang tidak lain adalah ibunda Frans.

Sean mengaduh sembari memegangi pipinya yang perih. Lantas ia memberanikan diri untuk menantang mata Nyonya Richardson yang masih membelalak. “Aku sedang mengandung cucumu, Nyonya. Apa aku salah jika aku meminta pertanggung jawaban?” rintih Sean dengan linangan air mata.

“Anakku tidak mungkin meniduri jalang sepertimu,” sanggah Nyonya Richardson dengan tampang bengis. Sementara Frans hanya bergeming, tidak berucap sepatah kata pun.

“Frans, katakan pada mamamu bahwa janin yang ada di dalam perutku adalah darah dagingmu! Katakan, Frans!” pinta Sean sambil menggenggam tangan Frans, memohon pembelaan atau belas kasihan dari laki-laki itu.

Frans mendelik pada Nyonya Richardson sejenak, mendapati ibunya itu yang sedang menatap tajam padanya, seolah hendak menerkam. Lantas, Frans bergegas kembali melempar tatapan datar pada Sean. “Janin itu bukan darah dagingku,” cetus Frans.

Nyonya Richardson langsung tersenyum puas mendengar hal itu sementara Sean semakin tersentak tidak percaya. Bagaimana mungkin Frans mengingkari apa yang telah mereka lakukan berdua?

“Ternyata anak dan ibu sama saja. Dari awal aku memang sudah tidak setuju anakku berhubungan dengan anak haram sepertimu. Pada akhirnya, kau benar-benar menunjukkan identitasmu yang sebenarnya. Kau dan ibumu tidak ada bedanya, sama-sama perempuan jalang,” cetus Nyonya Richardson dengan tatapan sinis pada Sean.

Prakkk!

Giliran Sean yang melayangkan lemparan keras itu pada Nyonya Richardson. Frans tersentak melihat itu. “Sean! Berani-beraninya kau menampar mamaku!” bentak Frans.

Sean tidak mengindahkan ucapan Frans, ia masih melemparkan tatapan tajam pada Nyonya Richardson. “Aku mungkin masih bisa sabar jika kau menghina aku, Nyonya. Tapi aku tidak akan tinggal diam saat kau coba-coba menghina ibuku!” ucap Sean, ia seperti hendak menerkam wanita paruh baya itu hidup-hidup.

“Perempuan jalang!” geram Nyonya Richardson dengan sepasang matanya yang memerah. Ia seperti hendak membunuh Sean detik itu juga.

Namun, Frans langsung menarik tangan Sean dan menyeret wanita itu keluar dari galeri. “Pergi kau dari sini. Dan jangan coba-coba hadir lagi di hadapanku!” bentak Frans.

Sean kembali terhenyak mendengar bentakan itu. Sepanjang perkenalannya dengan Frans, tidak pernah ia melihat Frans sebuas itu. Sean menelan ludah sekaligus menelan segala kepahitan yang tengah ia rasakan. “Baik, Frans. Jika itu maumu, aku akan pergi. Tapi satu yang kau ingat, satu kali kau kehilangan aku, maka kau akan kehilangan aku selamanya,” balas Sean.

Usai berucap demikian, Sean membawa langkahnya secepat mungkin, meninggalkan pekarangan galeri Frans sejauh mungkin. Sean pergi membawa tangis dan segala luka hatinya.

Sementara Frans menatap punggung wanita itu dengan perasaan teraduk-aduk. Frans merasakan tubuhnya tengah terbelah dua. Sebagian dari dirinya begitu hendak mengejar langkah Sean, menciumi perut wanita itu yang sedang mengandung darah dagingnya, namun sebelah dari dirinya yang lain begitu ingin hormat dan patuh pada sang ibunda.

Frans mengayun langkah gontainya, kembali memasuki galeri.

“Kau sudah mengambil suatu keputusan yang paling tepat, Frans. Seharusnya kau melakukan ini dari dulu,” ujar Nyonya Richardson yang tampak bangga dengan apa yang telah dilakukan Frans barusan.

Frans mendelik tajam pada mamanya. “Apa mama bahagia?” lirihnya.

“Tentu saja. Mama bahagia kamu sudah membuang perempuan murahan itu. Sekarang, kamu hanya perlu fokus untuk mempersiapkan pernikahanmu dengan Batrice,” jawab Nyonya Richardson tanpa rasa bersalah.

Frans memalingkan mukanya, lantas memasuki ruangan pribadinya. Ia menepis jemari Batrice yang berusaha membelai pundaknya kembali. Frans berdiri di depan jendela, menatap lurus keluar dengan tatapan tajam. Tangannya tampak mengepal, ia begitu hendak memberontak, namun ia tidak mungkin melawan sang ibunda. Dada laki-laki itu turun naik menahan emosi, matanya memerah karena menyimpan amarah.

“Kenapa mama tidak pernah merestui hubungi Frans dengan Sean, Ma? Apa karena Sean bukan terlahir dari keluarga yang kaya?” protes Frans beberapa minggu yang lalu saat Nyonya Richardson bersikeras hendak menjodohkan Frans dengan Batrice.

“Karena perempuan itu telah lahir dari rahim Kinara, seorang perempuan jalang yang sudah merusak rumah tanggaku,” jawab Nyonya Richardson dengan berapi-api.

Frans terdiam kala itu, tak lagi dapat memberi sanggahan apa-apa. Kinara alias ibu dari Sean adalah seorang janda yang pernah bekerja sebagai pembantu di rumah mereka saat Frans masih kecil. Namun, tiga bulan bekerja, Nyonya Richardson mengusir Kinara dari rumah dengan menuduh Kinara berselingkuh dengan Tuan Richardson. Frans memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang jelas Nyonya Richardson sempat terbaring koma selama satu bulan setelah bertengkar hebat dengan Tuan Richardson perihal Kinara. Frans tentu tidak ingin hal itu terjadi lagi.

Kini, Frans justru dihadapkan dengan dilemma yang begitu besar. Pertemuannya dengan Sean kembali setelah sepuluh tahun tidak bertemu adalah sesuatu yang tidak ia rencanakan. Begitupun rasa cinta yang tumbuh di antara keduanya yang tidak akan dapat dicegah oleh siapapun. Frans mencintai Sean, begitupun sebaliknya. Lima tahun mereka berjuang sama-sama untuk mendapatkan restu dari Nyonya Richardson, namun akhirnya Frans dan Sean sama-sama kalah.

Mata Frans yang coklat itu tampak berkaca-kaca. Ia teringat perkataan Sean tadi. Ia teringat benih yang sudah ia tabur di rahim Sean. Dan betapa kejamnya ia yang telah memperlakukan wanita yang sedang mengandung anaknya seperti tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status