Share

Daniel Caldwell

Laki-laki yang memiliki alis tebal itu tampak berjongkok di sebuah nisan bertuliskan nama: Leona Valleryn, seorang perempuan yang jasadnya dimakamkan di sana semenjak tiga tahun yang lalu. Laki-laki itu meletakkan bunga di pinggir nisan tersebut, ia tampak mengusap tulisan yang mulai memudar itu, hal yang selalu dilakukannya setiap kali datang ke sana.

Tiga tahun berlalu, Daniel Caldwell, demikian nama lengkapnya, masih merasa kejadian itu hanyalah mimpi buruk belaka. Ia ingin kala terbangun pagi hari, Leona sudah berada di hadapannya, mengenakan gaun putih di hari pernikahan mereka. Namun, nyatanya, setiap kali laki-laki itu terbangun, ia hanya akan melihat gaun putih pengantin tanpa Leona yang mengenakannya.

Kejadiannya memang tiga tahun yang lalu, tatkala Daniel dan Leona hendak mencari baju pengantin yang akan mereka kenakan di hari bahagianya.

“Daniel, kau dimana? Aku sudah di butik ini semenjak dua jam yang lalu,” rengek Leona kala itu via ponsel.

“Iya, Sayang. Saya sudah di jalan, sedang menuju ke sana. Saya sudah dekat kok. Tapi sepertinya di depan sana ada kecelakaan, ini saya sedang terjebak macet,” jawab Daniel yang terus membunyikan klakson agar kendaraan yang di depannya bergerak.

Tapi percuma, deretan kendaraan itu sepertinya masih panjang.

“Kau sudah lihat gaun pengantinnya?” tanya Daniel beberapa detik berselang.

“Sudah,” sahut Leona.

“Apa ada yang kau suka?” tanya Daniel lagi.

“Ada. Aku suka gaun putih yang panjang. Aku pikir, aku akan jadi wanita tercantik sedunia jika mengenakan gaun itu,” jawab Leona dengan nada sumringah.

Daniel pun tersenyum mendengarnya. “Kau akan tetap terlihat cantik dengan gaun apapun, Sayang,” balas Daniel.

Panggilan itu terputus.

Daniel tersentak, ia sampai ketiduran karena terjebak macet sedari tadi. Antrian kendaraan di depannya pun masih panjang. Daniel memeriksa ponselnya. Tidak ada panggilan atau pesan masuk dari Leona. Bahkan pesan terakhir dari Daniel yang bertuliskan ‘Kau sudah di butik, Sayang?’ belum dibalas oleh Leona.

Daniel pun berinisiatif untuk menghubungi kekasihnya itu.

‘Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jang…’

Daniel mengerutkan dahi, tidak biasanya Leona susah dihubungi. Beberapa kali Daniel mencoba, tetap saja suara call center yang bak resepsionis itu yang ia terima, bukan suara Leona.

‘Tiitttt… Tiiiiiitttt….’

Terdengar pekikan klakson dari kendaraan di belakangnya. Ternyata antrian kendaraan itu sudah mulai melonggar. Mereka bisa kembali melanjutkan perjalanan. Daniel pun bergegas memacu kendarannya, ia ingin secepat mungkin tiba di butik itu untuk bertemu dengan Leona dan memilih pakaian yang akan dikenakannya di hari pernikahan mereka yang tinggal seminggu lagi.

Namun, tiba-tiba Daniel memberhentikan kendarannya. Tepat di depan butik itu, tampak sebuah mobil ambulance yang sudah terparkir. Daniel tersentak melihat tubuh Leona yang bersimbah darah tengah digotong ke dalam ambulance itu.

“Leona!” pekik Daniel sembari melompat dari mobilnya, bergegas menghampiri tubuh kekasihnya itu.

Tatapan Leona yang sayu tampak berubah cerah begitu melihat Daniel muncul di depan matanya. Darah bercucuran dari pelipis gadis itu, namun bibirnya tampak mengusahakan seutas senyum untuk kekasihnya.

“Bertahanlah, Sayang! Bertahanlah!” Daniel menyusup ke dalam ambulance itu, duduk di sebelah pembaringan Leona.

Di dalam mobil ambulance yang melaju dengan kecepatan tinggi, Leona hanya memandangi wajah Daniel yang tengah bercucuran air mata. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya, karena memang sudah tidak ada kata yang bisa dilafalkannya.

Daniel menggenggam jemari Leona erat-erat. “Saya di sini, Sayang. Bertahanlah. Kamu harus kuat!” tangis laki-laki itu.

Reaksi Leona masih sama, gadis itu hanya tersenyum menatap Daniel. Hingga perlahan senyum itu memudar, kelopak mata itu mengatup, dan…

“Leona!” jerit Daniel ketika merasakan jemari yang digenggamnya sudah teramat dingin dan terjatuh lunglai. Jasad Leona telah ditinggalkan oleh ruhnya.

Daniel menyusut air matanya tatkala kenangan pahit itu kembali berulang di kepalanya. Tiga tahun berlalu, semestinya ia dan Leona sudah hidup bahagia, menyaksikan bayi mungil yang akan lahir dari rahim Leona. Namun nyatanya, yang dapat disaksikan oleh Daniel hanyalah gundukan tanah itu dan sebuah nisan yang bertuliskan nama Leona.

Daniel memejamkan matanya. Semestinya ia sudah bisa mengikhlaskan Leona. Ia tidak boleh berlarut-larut meratapi kepergian Leona dari waktu ke waktu. Hidup harus tetap berjalan. Daniel harus memulai kehidupan baru tanpa Leona. Namun, Daniel merasakan separuh dari hidupnya pun telah terkubur bersama jasad kekasihnya itu.

Langit mulai gelap. Gumpalan awan hitam mulai berarak untuk mengantarkan hujan. Daniel bangkit berdiri. “Semoga tenang di sana, Sayang,” batinnya saat mengecup kepala nisan itu.

Beberapa menit berserang, Daniel meninggalkan area pemakaman itu. Ia mengendarai mobilnya dengan tatapan nanar.

‘Dzzz….! Dzzz…!’

Ponselnya bergetar. Daniel menekan tombol connecting yang akan menghubungkannya dengan Ardi, asistennya.

“Klien kita yang dari Bali sudah datang, Pak. Beliau sedang menunggu di ruangan bapak,” ujar Ardi.

“Iya, Ardi. Saya sudah dalam perjalanan, hendak menuju ke sana. Kabari saja beliau, saya akan datang dalam sepuluh menit lagi,” balas Daniel.

“Baik, Pak,” sahut Ardi.

Panggilan itu pun terputus. Daniel menurunkan ponsel itu dari telinganya. Tiba-tiba…

“Awaaaasss!” teriak Daniel ketika melihat seorang perempuan menyebrang di hadapannya. Dengan sigap Daniel membelokkan mobilnya, menghindari sosok itu.

Daniel bergegas turun dari mobil dan melihat perempuan itu sudah ambruk di jalanan. Wajah Daniel pun langsung pucat basi. Ia mendekati sosok itu dan meminta pertolongan warga sekitar untuk mengangkat wanita itu ke dalam mobilnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status