Share

Battrice Amora Letta

Battrice masih melirik Frans yang tampak membuang tatapan ke balik jendela. Raut wajah lelaki itu masih kusut. Battrice dapat menerka, Frans pasti tengah memikirkan Sean. Battrice pun tersenyum, setelah bertahun-tahun mencoba merebut hati Frans dan selalu terhalang oleh perempuan bernama Kamasean itu, kini Battrice justru muncul sebagai pemenang mutlak.

Battrice menghampiri Nyonya Richardson yang duduk di salah satu sofa yang memang disediakan untuk para tamu yang hendak berkunjung ke galeri itu. “Tante, sepertinya Frans masih sangat mencintai perempuan itu,” ucap Battrice dengan nada mengiba sembari duduk di sebelah Nyonya Richardson.

Nyonya Richardson tampak tersenyum saat menatap wajah Battrice, semata-mata untuk melegakan hati gadis itu. “Kau tidak perlu merasa insecure seperti itu, Cantik. Frans pasti akan melupakan perempuan jalang itu dengan mudah, lantas mencintaimu seutuhnya,” ujar Nyonya Richardson.

“Tapi, perempuan itu kan sedang mengandung anak Frans. Ia pasti akan menjadikan bayi itu sebagai magenet yang akan menarik Frans kembali padanya,” balas Battrice lagi.

“Tidakkah kau dengar tadi? Bahkan Frans sendiri tidak mengakui janin itu sebagai darah dagingnya,” terang Nyonya Richardson. “Kau tidak perlu khawatir, Battrice. Aku tahu bagaimana kelakuan perempuan jalang itu. Bahkan kalau benar janin yang ada dalam kandungannya adalah darah daging Frans, maka aku juga tidak akan mengakui janin itu sebagai cucuku. Hanya kaulah yang aku restui sebagai menantuku. Dan hanya dari kau jualah aku mengharapkan cucu-cucu yang lucu,” tutur Nyonya Richardson.

Battrice langsung tersenyum mendengar hal itu. Hidungnya mengembang. “Tante, tolong bujuk Frans untuk menikahiku sesegera mungkin. Aku takut jika Frans berpaling lagi pada wanita murahan itu!” pinta Battrice.

“Secepatnya akan kuatur pernikahanmu dengan Frans.” Nyonya Richardson langsung memastikan.

Battrice tersenyum licik untuk kesekian kalinya. Sepertinya rencananya akan berjalan mulus. Di kepala Battrice sudah terkembang layar imajinasi yang berisi pernikahan super megah bersama Frans, lantas setelah itu ia akan menjadi nyonya tunggal dari seorang Frans Geoff Richardson yang merupakan pewaris tunggal Richardson Group, sebuah perusahaan property terbesar.

Nyonya Richardson tampak mengedarkan pandangannya ke seisi galeri itu. “Aku tidak pernah mengerti dengan lukisan-lukisan Frans ini. Entah apalah yang bisa ia banggakan dari sini. Lihatlah, selama bertahun-tahun berkarya, dia belum menghasilkan apa-apa, palingan hanya membangun galeri yang itu pun sebagian besarnya masih menggunakan uangku,” cetus Nyonya Richardson sembari melipat tangannya di dada.

Battrice tampak mengangguk-angguk. Pandangannya turut menyapu seisi galeri. “Tante benar, aku juga tidak setuju Frans menghabiskan waktu dengan lukisan-lukisan dan galeri ini. Bukankah jauh lebih baik jika Frans melanjutkan perusahaan Om Richardson?” balas Battrice.

“Frans adalah pewaris tunggal Richardson Group. Tapi, ayahnya belum berani memberikan perusahaan itu padanya karena melihat kinerja Frans selama ini, apalagi Frans tampak tidak tertarik dengan perusahaan dan lebih tertarik dengan karya-karya seni yang absurd ini,” terang Nyonya Richardson dengan raut wajah gelisah. Ia sebenarnya sudah lama mendesak Frans untuk bekerja di Richardson Group, tapi Frans selalu menolak. Semenjak melihat Tuan Richardson berselingkuh dengan Kinara, Nyonya Richardson pun berpendapat bahwa Tuan Richardson punya selingkuhan lain di luar sana. Nyonya Richardson takut jika perusahaan dan harta kekayaan Tuan Richardson akan pindah ke orang lain.

Battrice yang sepertinya dapat membaca kegelisahan Nyonya Richardson pun langsung mengusap pundak wanita paruh baya itu. “Tante tenang saja, begitu aku sudah resmi menjadi istrinya Frans, aku pasti bisa membujuk Frans untuk bekerja di Richardson Group hingga mewarisi perusahaan itu.”

Nyonya Richardson balas tersenyum tipis. Keduanya sama-sama menyusun rencana di kepala masing-masing. Keduanya seperti terikat atas asas mutualisme, dan Frans hanyalah objek untuk melancarkan rencana mereka.

***

Daniel membantu mendorong wanita itu hingga pintu ruang UGD. Ia terus memerhatikan paras perempuan yang sedang tidak sadarkan diri itu. Sekelebat ingatan masa lalu tentang kematian Leona kembali berputar di kepalanya. Ia tidak bisa membayangkan jika hal yang sama juga menimpa wanita itu. Jika hal itu terjadi, Daniel tentu tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.

Pintu ruang UGD ditutup oleh dokter. Daniel yang tidak diizinkan masuk, akhirnya pun memilih untuk menunggu di ruang tunggu. Laki-laki itu tampak mengusap dahi, lantas menggenggam kedua belah tangannya, mulutnya komat-kamit membacakan doa.

Sekitar setengah jam kemudian, pintu ruang UGD itu pun terbuka. Dokter dan beberapa orang perawat keluar dari sana.

“Bagaimana keadannya, Dok?” desak Daniel yang langsung bangkit berdiri begitu melihat kedatangan sang dokter.

“Pasien sudah sadarkan diri. Untungnya tidak ada benturan yang keras sehingga pasien pun tidak mengalami luka yang berarti. Beliau hanya pinsan karena kaget. Kamu juga sudah memeriksa kandungannya, dan hasilnya juga positif, baik-baik saja. Sekarang pasien hanya butuh istirahat untuk kembali pulih,” terang laki-laki berjas putih di hadapan Daniel.

“Terima kasih, Dok,” ucap Daniel sembari menundukkan kepala. Lantas sekawanan manusia berjas putih itu pun meninggalkan Daniel.

Daniel masih mematung di tempatnya berdiri. Ia cukup lega mendengar penjelasan dokter tersebut. Namun ada satu kata yang mengganjal di kepalanya. Janin? Apa perempuan itu sedang hamil?

Tanpa membuang waktu dengan memperbanyak asumsi, Daniel pun memilih memasuki ruangan itu, menghampiri wanita yang ia tabrak tadi, yang kini tengah berbaring dengan mengenakan infus. Melihat kedatangan Daniel wanita itu langsung memalingkan muka.

“Ehm, saya minta maaf. Saya benar-benar tidak sengaja. Saya akan bertanggung jawab dan akan membayar seluruh biaya rumah sakit. Kalaupun ada keluhan setelah itu, kamu bisa mengabari saya kembali,” ucap Daniel.

“Kenapa kamu tidak menabrakku saja?” balas perempuan itu tanpa menatap Daniel.

Jelas Daniel tersentak mendengar hal itu. Apa perempuan itu sengaja menyebrang secara tiba-tiba agar ditabrak oleh Daniel? Daniel memilih untuk mengabaikan hal itu dan mengalihkan topik pada hal lain.

“Boleh saya tahu kontak suamimu? Saya akan memberitahu keadaanmu sekarang sekaligus menyampaikan permintaan maaf padanya,” ucap Daniel.

Perempuan itu tampak menelan ludah. “Aku tidak punya suami,” jawab perempuan itu dengan nada ketus.

Napas Daniel seperti tertahan mendengar jawaban itu. Tidak punya suami? Apa maksudnya? Lantas bagaimana mungkin ia bisa hamil?

Daniel tampak menghela napas. “Kalau begitu, bolehkah saya mendapatkan kontak keluargamu yang lain?”

Perempuan itu tidak menjawab. Beberapa menit kemudian, ia bangun dari pembaringannya dan menatap Daniel sekilas. “Kau sudah mengurus administrasi rumah sakit?” tanyanya.

“Akan saya urus sebentar lagi,” jawab Daniel.

“Selesaikanlah segera, aku ingin secepatnya keluar dari tempat ini,” ucap perempuan itu.

“Kau mau kemana?” tanya Daniel yang berhasil membuat perempuan itu mendelik tajam padanya. “Maksud saya, karena kondisimu masih tidak baik, sebaiknya beristirahatlah di sini dulu. Biar saya yang menghubungi keluargamu,” terang Daniel. Sebenarnya Daniel khawatir perempuan itu akan melakukan hal gila lainnya setelah keluar dari itu. Daniel takut jika wanita itu kembali melanjutkan misi bunuh dirinya.

“Tidak perlu mencampuri urusanku. Cukup lakukan saja apa yang menjadi tanggung jawabmu,” ujar perempuan itu, lagi-lagi dengan nada ketus.

Daniel terpaksa menelan salivanya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status