“Apa? Alasan kamu nikah lagi hanya karena ingin seorang anak lelaki. Kamu gila, Mas! Gila! Aku tak sudi berbagi, Mas! Aku tak sudi! Sekarang kamu silakan pilih? Aku atau Reta?”
Bapak menarik napas kasar. Dia menyugar rambutnya ke belakang. Ditatapnya wajah Ibu lekat-lekat.“Apa kita gak bisa menjalani ini bersama-sama. Bukankah kamu dan Reta sudah bersahabat lama?” Suara Bapak terdengar bergetar. Kulihat ada kilat risau dari tatapan matanya.Plak!Ibu menampar Bapak. Aku tertegun sambil mengelus dada. Air mata sudah meremang. Mereka sejak tadi bersitegang sampai tak sadar aku dan Adrian berdiri di ambang pintu sambil saling berpegangan. Kami baru pulang sekolah. Aku duduk di kelas enam sekolah dasar, sedangkan Adrian dia baru duduk di kelas lima. Adrian adalah adik angkatku. Ibu mengusulkan agar mengambil anak asuh dari panti, karena semenjak melahirkanku, Ibu terkena kista, Ibu takut susah hamil lagi. Dan benar saja, meskipun sudah operasi, sampai saat ini Ibu tak pernah hamil lagi.“Salmah! Kurang ajar kamu, ya? Gini adab kamu pada suami! Kalau kau tak bisa lagi menghargaiku, sebaiknya kita pisah! Mulai saat ini, aku jatuhkan talak padamu!”Bapak menatap penuh kemarahan. Aku mulai terisak. Sementara itu, kulirik Adrian menatap Ibu dengan pandangan berkaca-kaca.“Ibuuu!” Kami berteriak dan langsung berlari memburu Ibu.Ibu tampak terkejut. Begitupun dengan Bapak.“Adrian? Alisha?” Bapak tampak menyesal. Mungkin dia tak ingin kami tahu keburukannya. Dia hendak meraihku dan Adrian, tapi lengan kami menepisnya. Aku mau Ibu. Aku benci Bapak. Aku benci.Kami bertiga berpelukkan. Aku nangis sesenggukkan di dalam pelukan Ibu.“Maafkan Ibu, Icha, Ian … Maafin Ibu. Kalian tak semestinya lihat semua ini.” Ibu menciumi wajah kami. Air matanya luruh. Jujur, hatiku terasa ditusuk-tusuk melihat Ibu sesedih itu. Tak pernah aku melihatnya menangis seperti ini sebelumnya.Aku hanya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara apa-apa. Pelukanku pada Ibu kueratkan. Hari itu semuanya tumpah ruah dalam tangisan.Pantas saja, satu tahun terakhir ini, Bapak jarang pulang. Pantas saja beberapa kali aku pernah melihat Tante Reta membawa mobil Bapak dan mengantar Vira ke sekolah. Tante Reta itu janda anak satu yang dicerai suaminya. Setahuku, dulu Tante Reta sering main ke sini, mengajak Ibu rujakan, kadang hanya ke sini untuk mengajak ibu masak-masak sambil curhat. Aku kira dia tulus, tapi ternyata diam-diam dia menggoda Bapak.Semenjak hari itu, Bapak tak pulang. Ibu sudah bersikap seperti biasa lagi. Setiap pagi, membuatkan kami sarapan. Sepulang sekolah, memasak, masakan kesukaanku dan Adrian sudah dimasaknya seperti biasa. Di depan kami, senyum Ibu sudah kembali. Namun, kalau malam-malam pas aku bangun. Aku sering melihat dia menangis.Ibu bukan orang gaptek. Dia pandai dalam segala hal. Seingatku, Ibu lulusan sarjana. Hanya saja demi mengikuti keinginan Bapak, dia tak menggunakan ijazahnya untuk bekerja. Ketika aku tanya, dia bilang … rihdo suami yang paling utama.Satu bulan, dua bulan, Bapak sama sekali tak pulang. Aku dan Adrian pun tak banyak bertanya. Aku dan Adrian berinisiatif mencari uang jajan sendiri. Aku tahu diri, Bapak sudah menjatuhkan talak pada Ibu. Itu artinya, kami tak punya Bapak lagi.Kami diam-diam mengambil keripik dari warung Bi Manah. Kami bawa ke sekolah untuk dijual sebelum jam pelajaran dimulai. Dapatnya lumayan, kadang bisa ada lebihan. Aku dan Adrian punya satu celengan. Jika ada uang lebihan, kami masukkan ke sana. Aku dan Adrian ingin mengumpulkan uang untuk melanjutkan sekolah. Aku ingin membuat Ibu bahagia.Kehidupan kami seperti baik-baik saja. Sempat kakek dan nenek datang pada bulan ke berapa. Mereka ramai-ramai menanyakan kenapa ibu dan Bapak pisah. Kakek dan nenek pun membujuk agar Ibu dan Bapak rujuk. Namun, aku gak tahu pastinya sampai hari ini, kami tak pernah melihat Bapak datang.Ah, kadang ada rindu. Bagaimanapun biasanya dia ada. Namun, aku tak mau Ibu sedih. Aku pura-pura tak peduli pada Bapak.“Kalian sekolah yang benar! Ibu ingin kamu buktikan, Icha! Anak perempuan pun bisa sukses tak hanya anak laki-laki saja! Buktikan pada Bapak yang meragukan kamu! Kamu pasti bisa, Icha! Kamu bisa membuat Ibu bangga!”Aku dan Adrian yang tengah menonton televisi menoleh pada Ibu dan mengangguk sama-sama.“Ian, juga … jangan pernah berkecil hati karena tak lahir dari Rahim Ibu, tapi air susu Ibu mengalir dalam darah kamu, Ian. Ibu sudah milih Ian. Ibu juga ingin Ian sukses. Ian dan Teh Icha harus saling jaga. Kalian itu saudara! Kalian paham?”Lagi-lagi, aku dan Adrian hanya mengangguk saja.Kami tengah mengobrol di ruang tengah Ketika pintu diketuk dari luar. Ibu beranjak dan membukakan pintu. Kami sama-sama menoleh dan melihat siapa yang datang?"Reta?" Ibu menautkan alis menatap Tante Reta dengan perut besarnya.“Salmah … maaf kalau aku ganggu. Aku mau ikut tinggal di sini. Bagaimanapun ini rumah Mas Heru juga. Aku dan bayi laki-laki yang aku kandung, ada hak juga tinggal di rumah ini."Aku dan Adrian berdiri, menatap Ibu. Tante Reta dengan perut besarnya, kini berdiri bersisian dengan Bapak yang menarik beberapa koper. Ada juga Vira di sana.“Salmah … maaf kalau aku ganggu. Aku mau ikut tinggal di sini. Bagaimanapun ini rumah Mas Heru juga. Aku dan bayi laki-laki yang aku kandung, ada hak tinggal di rumah ini.” Aku dan Adrian berdiri, menatap Ibu. Tante Reta dengan perut besarnya, kini berdiri bersisian dengan Bapak yang menarik beberapa koper. Ada juga Vira di sana. Ibu masih diam belum bicara. Mungkin kaget karena aku juga sama kaget. Tapi, Tante Reta tiba-tiba mendorong pundak Ibu. Gak sopan. Dia masuk dan mau ikut duduk di sofa. Hanya saja, aku tak mengira tiba-tiba Adrian berdiri menghalanginya.“Aku gak mau Tante tinggal di sini! Ini bukan rumah Tante!” Tante Reta tersenyum. Dia melihat Adrian sambil sedikit melotot. “Hmmm, kamu cuma anak pungut Mas Heru. Jadi, ini juga bukan rumah kamu. Paham?” “Reta! Berhenti menghina anakku. Silakan kalian pergi! Ini rumahku dan anak-anak!” Aku tahu, hati Ibu lembut. Dia tak pernah marahin kami. Tapi, dia pasti marah dan galak kalau ada orang yang marahin kami. Apalagi Tant
“Icha, Ian, besok kita belanja buku tulis, ya! Punya Icha sama Ian sudah mau habis ‘kan ya kemarin tuh?” Ibu menanyakan pada kami. Sementara itu, tangannya menyimpan piring berisi kentang goreng. Ibu biasa memasakkan camilan untuk menemani aku dan Adrian belajar. Aku saling bertukar pandang sama Adria, lalu menggeleng bersamaan. “Enggak kok, Bu. Bukunya masih ada. Sekarang seringnya ngerjain di buku paketan.” Aku menjawab sambil menyuapkan irisan kentang goreng dibalur tepung yang Ibu sajikan. Enak, gurih dan kriuk.“Oh, ya?” Ibu menautkan alis. Dia menatapku dan Adrian bergantian seperti tak percaya. “Iya, betul, Bu. Punya Ian juga masih ada.” Adrian mengangguk cepat. “Oh ya sudah kalau begitu. Kalian kalau butuh apa-apa, bilang sama Ibu, ya!” Ibu menatapku dan Adrian bergantian. “Iya, Bu.” Kompak kami menjawab.Ibu pun bangun lalu meninggalkan kami. Dia kembali masuk ke dalam ruangan yang biasanya lebih sering dia kunci. Ruangan yang ada satu set komputer di sana. Ibu tak perna
"Mang Salim, ada apa,ya? Mari masuk!" Suara Ibu terdengar. Adrian menoleh. Aku yang ikutan ketar-ketir."Ahm ini Bu Salmah, terkait kiripik singkong home made. Alhamdulillah, penjualannya laku keras."Mang Salim yang ngomongin keripik laku, jantung aku yang lompat-lompatan. Jangan-jangan mau bilang kalau aku dan Adrian yang jualin. Ini gak bisa dibiarkan."Ibu, Mang Salimnya biar Icha buatin teh dulu, ya! Apa boleh?" "Ah iya, silakan masuk Mang Salim. Biar Icha buatin teh."Mang Salim mengangguk, lalu masuk. Aku melirik ke arah Adrian."Sssst!"Eh, gak noleh."Hussssh! Hussssh!"Kali ini yang noleh bukan hanya Adrian, tapi Ibu juga. "Ada apa, Cha?""Itu, Bu ... Ian." Aku menunjuk Adrian. Tanganku otomatis sekali mengusap ujung hidung, padahal tak gatal."Apa, Kak?" Adrian menautkan alisnya. Matanya menyipit ke arahku."Sini dulu!" Bibirku mengucap itu, tapi tanpa suara. Seolah ada hal yang rahasia. Padahal Ibu pun pasti melihatnya.Aku pun menggerakkan tangan juga untuk memanggilnya
Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, aku dan Adrian sudah makin terbiasa berjualan. Dari yang semula menawarkan barang dagangan malu-malu, sekarang sudah makin berani saja. Apalagi, ternyata pekerjaan Ibu, berdiam di ruangan itu hanya berjualan label keripik. Kemarin saja yang Mang Salim kasih ke Ibu, cuma dua puluh ribu. Berarti Ibu kerja seharian itu dapat uangnya tak seberapa. Setiap seminggu sekali, kami masih rutin berjualan di lampu merah. Uangnya lumayan dari pada hanya jualan di sekolah. Hari ini pun sama. Aku dan Adrian sudah berada di tempat mencari nafkah, lampu merah. Kuedarkan penglihatan. Rupanya pengemis yang biasanya mangkal di sana belum datang. Sepeda sudah kami titip di depan ruko-ruko, bayar dua ribu seperti biasa. Lantas kami berjalan beriringan dengan semangat. Aku selalu bersemangat ketika membayangkan bisa dapat uang sendiri untuk membantu Ibu. "Are you ready?" Adrian memasang topi warna hitam penutup kepalanya dan mengangkat kerdus miliknya. "Yess, I am
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (6)Di sebuah rumah sakit kini aku berada. Duduk di lorong sambil memainkan ujung-ujung kuku. Sesekali aku menoleh ke arah suster dan dokter yang tengah menangani Adrian. Tapi, perasaan kok lama banget. Adrian diperiksa bolak-balik gak kelar-kelar. Aku sudah duduk, bangun, duduk lagi, bangun lagi. Sesekali mengusap wajah, melihat jam di dinding yang berputarnya terasa lama. “Makanlah!” Aku menoleh. Om-om yang tadi membawa kami ke sini menyodorkan satu bungkus nasi dengan tulisan yang aku kenal sekali MkD. Dulu, setiap akhir pekan, Bapak pasti mengajak kami makan ayam goreng yang dilumuri tepung itu, lengkap dengan kentang goreng dan es krim. “Makasih, Om.” Aku menerima bungkusan itu. Wangi ayam goreng dan potongan kentang tercium menguar. Tapi, aku belum bisa makan. Aku sangat mencemaskan keadaan Adrian.“Makanlah! Setelah itu, biar Om anter kamu pulang.” Sontak aku menoleh ke arahnya. Apa? Di anter pulang? Bisa gawat kalau sampai
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (8)“Mau apa, Tante ke sini?” Adrian sudah berdiri duluan sebelum Tante Reta mencari tempat duduk. “Ibu kalian ada?” Dia tersenyum. Lalu duduk dan menumpang kakinya. “Bilang saja, Tante mau apa? Ibu lagi sibuk.” Adrian menjawab ketus. “Tante mau ambil baju-baju Papa Heru.” Tante Reta bicara lagi. Bersamaan dengan kalimatnya itu, pintu rumah terbuka. Ibu muncul sambil membawa singkong rebus. Beberapa detik, Ibu tertegun. Tante Reta berdiri dan tersenyum sambil mendekat. “Hay, Salmah … sehat?” tanyanya sambil hendak memeluk Ibu. Namun, Ibu tampak membuang muka. “Kalau mau ngambil baju-baju suami kamu, ambil saja.” Suara Ibu datar. “Ah iya, Salmah. Mas Heru ngomong mulu suruh aku ngambil ke sini. Padahal sudah kusuruh datang sendiri sekalian jenguk anaknya, eh gak mau.” Tante Reta memasang wajah sedih. “Gak usah banyak bicara. Ucapan kamu hanya akan menyakiti hati anak-anak. Tunggu di sini!” titah Ibu. Setelah meletakkan singkong
Pov Salmah“Nah, Salmah … jadi bisa ‘kan kamu ikut? Jujur, saya belum pernah menjaga anak-anak. Apalagi ini acara besar.” Pak Dirga menatapku. Aku memandang Icha dan Ian bergantian. Tampak sekali binar harapan dari sorot matanya bertaburan. Akhirnya sambil mengangguk pasrah, aku mengiyakkan. “Yeayyy! Jalan-jalan!” Kedua anakku melompat senang. Sepulangnya Pak Dirga. Aku disibukkan dengan kehebohan Icha dan Ian. Rasa bersalah menguar. Sudah cukup lama memang aku tak mengajaknya jalan-jalan. Sederet pekerjaan baru, benar-benar menyita waktuku. Apalagi saat ini, aku sudah bekerja dengan referensi Pak Dirga di salah satu perusahaan marketplace miliknya. Ya, karena itu juga … setelah kejadian tertabraknya Adrian, kami masih kerap komunikasi hingga berakhir dengan kedatangannya hari ini. “Bu baju renang Icha di mana, ya?” Icha sibuk mempacking baju-bajunya. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. Beberapa sudah masuk ke dalam ransel miliknya. “Ya ampuuun, Kakak! Kita itu cuma jalan-jalan s
Pov Salmah“Salmah … kamu di sini?” Suara itu. Aku menggeleng. Kenapa suara Mas Heru menjadi teramat sangat nyata kudengar. Namun, ingatanku yang tadi berhamburan kini terkumpul dan tertarik kembali. Aku menoleh pada sosok yang ternyata sudah berada tak jauh dariku. “Salmah, sehat?” Mas Heru, dia benar-benar ada. Dia datang mendekat. “Kamu, Mas?” Aku tak menjawab. Kuputar bola mata ke atas. Malas bertemu sebetulnya. Namun, tak enak juga mengusirnya. Apalagi ini adalah acaranya. “Kebetulan banget, kita bertemu di sini. Mungkin, kita ini masih … hmmm, jodoh," kekehnya. Glek!Aku mendadak kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan ini tiba-tiba bicara jodoh. Beberapa bulan lalu bahkan dia datang dengan angkuhnya untuk membawa istri barunya tinggal di rumah yang kami tempati. “Mas, tolong … kita ini sudah bukan mahram. Menjauhlah … aku tak mau jadi fitnah.” Aku mengatupkan tangan padanya. Tak mungkin aku pergi, saat ini sedang menunggui tas mil