Share

Bab 2

“Salmah … maaf kalau aku ganggu. Aku mau ikut tinggal di sini. Bagaimanapun ini rumah Mas Heru juga. Aku dan bayi laki-laki yang aku kandung, ada hak tinggal di rumah ini.”

Aku dan Adrian berdiri, menatap Ibu. Tante Reta dengan perut besarnya, kini berdiri bersisian dengan Bapak yang menarik beberapa koper. Ada juga Vira di sana.

Ibu masih diam belum bicara. Mungkin kaget karena aku juga sama kaget. Tapi, Tante Reta tiba-tiba mendorong pundak Ibu. Gak sopan. Dia masuk dan mau ikut duduk di sofa. Hanya saja, aku tak mengira tiba-tiba Adrian berdiri menghalanginya.

“Aku gak mau Tante tinggal di sini! Ini bukan rumah Tante!”

Tante Reta tersenyum. Dia melihat Adrian sambil sedikit melotot.

“Hmmm, kamu cuma anak pungut Mas Heru. Jadi, ini juga bukan rumah kamu. Paham?”

“Reta! Berhenti menghina anakku. Silakan kalian pergi! Ini rumahku dan anak-anak!”

Aku tahu, hati Ibu lembut. Dia tak pernah marahin kami. Tapi, dia pasti marah dan galak kalau ada orang yang marahin kami. Apalagi Tante Reta, gak sopan banget. Vira pun ikut masuk dan langsung saja duduk. Wajahnya tampak masih cemberut dan melirik kesal ke arahku. Kenapa ya dia jadi gitu?

“Mas! Tolong, bawa dia keluar dari rumahku!” Ibu melirik pada Bapak. Namun Bapak yang sibuk menarik-narik koper masuk balas menatap Ibu.

“Salmah, ingat … ini bukan hanya rumah kamu. Ini rumahku juga. Lagian rumah ini cukup luas. Kalian bisa tinggal sama-sama.”

Kulihat Ibu memejamkan mata. Dia tak banyak bicara lagi dan langsung pergi ke kamar. Aku dan Adrian saling tukar pandang, lalu mengangguk bersamaan. Setelah itu, kami berlari mengejar Ibu.

“Ibu!” Aku dan Adiran memeluk kaki Ibu setibanya di kamar. Dia sedang sibuk berada di depan lemari dan mengeluarkan barang-barang dari dalam laci.

“Apa kita akan pergi, Bu?” Aku bertanya. Hati takut kalau Ibu akan jawab iya.

“Pergi?” tanya Ibu. Doa menoleh padaku dan Adrian dan menautkan alis. Tapi kemudian menggeleng, “Tidak, Sayang! Kita akan tetap tinggal di rumah ini.”

Setelah itu dia bergumam sendirian seperti menemukan sesuatu, “Ah ketemu.” Lalu Ibu pergi meninggalkan kami begitu saja. Aku dan Adrian kompak membuntutinya. Aku takut, tiba-tiba Bapak mengusir Ibu dan maksa aku tinggal sama Tante Reta.

Di ruang tangah, Bapak tengah memijit betis Tante Reta. Vira lagi duduk di tempat aku dan Adrian tadi nonton tivi.

Ibu meletakkan berkas yang tadi diambilnya dan setengah dilemparnya ke atas meja. Bapak dan Tante Reta menoleh bersamaan.

“Gak usah marah-marah kayak gitu, dong, Salmah. Aku juga gak bakal minta kamu pergi, kok. Kita bisa berbagi di sini. Rumah ini cukup luas lah, Salmah.”

Ibu tersenyum miring. Dia lalu berjalan mengambil air ke dispenser. Tampak dia memilih air panas. Aku dan Adrian, duduk lagi di karpet yang tadi kami duduki, bareng Vira kali ini.

“Ya, kamu benar. Aku tak akan pergi, karena yang harus pergi itu kamu dan Mas Heru. Silakan kalian baca surat-surat itu, barangkali Mas Heru juga lupa. Pergilah segeras sebelum aku khilap dan menuang air panas ini ke wajah cantikmu.” Ibu tersenyum manis sekali, lalu duduk pada sofa yang lainnya sambil menumpang kaki. Cangkir dengan air yang mengepul itu masih di pegangnya.

Tante Reta tampak mendelik. Dia menepis lengan Bapak yang memijit kakinya. Sementara itu, tangannya terulur mengambil dokumen yang Ibu simpan.

Aku memperhatikan raut muka Tante Reta yang dari mulainya terlihat tenang, terus mengernyit dan terakhir melirik pada Bapak.

“Apaan ini, Mas?”

Bapak menerima kertas itu, lalu mukanya tampak memerah. Entah malu atau marah. Namun beberapa lama, orang-orang dewasa itu hanya saling terdiam sampai suara Ibu memecah keheningan.

“Kuharap kamu tak lupa, Mas! Dalam perjanjian perkawinan tertera jelas rumah ini milik siapa, tanah ini milik siapa? Kuharap kamu masih bisa membacanya dengan baik.” Ibu terlihat anggun dan tenang. Gak marah-marah lagi seperti ketika pertama tahu jika Bapak menikah lagi diam-diam.

“Mas! Apa-apaan ini? Kamu kenapa kemarin gak bilang kalau kalian ada perjanjian perkawinan seperti ini?” Tante Reta tampak memberengut.

“Jadi sekarang sudah jelas, siapa yang diperbolehkan pergi ya, Reta? Sebelum saya manggil pihak ke amanan, silakan bawa lagi koper-koper kalian ini. Apa rumah sewa kamu yang tahunan itu sudah habis masa sewanya dan gak mampu bayar?” Ibu bicara lagi. Nadanya tetap tenang. Ah, aku tahu sekarang … Ibu memang wanita pintar. Aku ingin pintar seperti Ibu nantinya.

Bapak tampak mengusap wajah kasar. Dia tak bisa menjawab pertanyaan Tante Reta. Namun malah memberengut dan menarik lagi koper-koper yang tadi dijejerkan di dekat meja tivi.

“Aku gak nyangka, kamu licik, Salmah!” Bapak menatap Ibu dengan kesal. Namun Ibu menimpalinya dengan tetap tenang.

“Licik, licik apa, Mas? Perjanjian perkawinan kita kan disetujui bersama, di depan notaris juga dan atas persetujuan kamu juga. Jadi, jangan fitnah aku seperti itu. Aku ini bukan licik, Mas … hanya, ya, sedikit pintar.” Lagi-lagi, Ibu tersenyum tenang.

“Mas! Jadi gimana? Kita pergi? Tapi ‘kan sewa rumahku sudah habis bulan ini.” Tante Reta tampak menekuk muka. Dia masih memindai rumah yang kami huni sekarang. Tak terlalu luas sebetulnya, hanya ada empat kamar dan satunya adalah ruang yang Ibu selalu kunci. Hanya Ibu yang boleh masuk ke sana sendirian. Aku pernah mengintip, di sana gak ada apa-apa. Cuma ada satu set komputer saja padahal. Entah apa yang Ibu lakukan.

“Kamu diam dulu, Reta! Ikut saja dulu! Mas lupa ada perjanjian ini dulu,” tukas Bapak.

“Yah, tapi ‘kan uangnya kemarin itu sudah kepakai, Mas.” Tante Reta tampak kecewa. Bahunya melorot dan kesombongannya yang pas datang ke sini hilang perlahan.

“Kita tinggal di rumah orang tuaku dulu sampai dapat rumah sewa yang baru.” Bapak terus berjalan keluar sambil menarik koper satu-satu. Ada empat koper yang mereka bawa.

“Apa, Mas? Aku gak mau! Aku gak mau tinggal seatap dengan Ibu kamu yang cerewet itu!” Masih kudengar Tante Reta ngdumel. Dia berjalan mengekori Bapak. Kurasa dia menahan malu. Begitupun Vira, tak sepatah kata pun dia lontarkan padaku.

Aku beralih menatap Ibu. Ada iba lihat dia, tapi kagum dan penasaran. Semudah itu Ibu mengusir mereka? Memangnya tadi itu surat apa, ya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nurul Habibatul Rosaini
Mampus ja tuh suami sm pelakornya......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status