“Salmah … maaf kalau aku ganggu. Aku mau ikut tinggal di sini. Bagaimanapun ini rumah Mas Heru juga. Aku dan bayi laki-laki yang aku kandung, ada hak tinggal di rumah ini.”
Aku dan Adrian berdiri, menatap Ibu. Tante Reta dengan perut besarnya, kini berdiri bersisian dengan Bapak yang menarik beberapa koper. Ada juga Vira di sana.Ibu masih diam belum bicara. Mungkin kaget karena aku juga sama kaget. Tapi, Tante Reta tiba-tiba mendorong pundak Ibu. Gak sopan. Dia masuk dan mau ikut duduk di sofa. Hanya saja, aku tak mengira tiba-tiba Adrian berdiri menghalanginya.“Aku gak mau Tante tinggal di sini! Ini bukan rumah Tante!”Tante Reta tersenyum. Dia melihat Adrian sambil sedikit melotot.“Hmmm, kamu cuma anak pungut Mas Heru. Jadi, ini juga bukan rumah kamu. Paham?”“Reta! Berhenti menghina anakku. Silakan kalian pergi! Ini rumahku dan anak-anak!”Aku tahu, hati Ibu lembut. Dia tak pernah marahin kami. Tapi, dia pasti marah dan galak kalau ada orang yang marahin kami. Apalagi Tante Reta, gak sopan banget. Vira pun ikut masuk dan langsung saja duduk. Wajahnya tampak masih cemberut dan melirik kesal ke arahku. Kenapa ya dia jadi gitu?“Mas! Tolong, bawa dia keluar dari rumahku!” Ibu melirik pada Bapak. Namun Bapak yang sibuk menarik-narik koper masuk balas menatap Ibu.“Salmah, ingat … ini bukan hanya rumah kamu. Ini rumahku juga. Lagian rumah ini cukup luas. Kalian bisa tinggal sama-sama.”Kulihat Ibu memejamkan mata. Dia tak banyak bicara lagi dan langsung pergi ke kamar. Aku dan Adrian saling tukar pandang, lalu mengangguk bersamaan. Setelah itu, kami berlari mengejar Ibu.“Ibu!” Aku dan Adiran memeluk kaki Ibu setibanya di kamar. Dia sedang sibuk berada di depan lemari dan mengeluarkan barang-barang dari dalam laci.“Apa kita akan pergi, Bu?” Aku bertanya. Hati takut kalau Ibu akan jawab iya.“Pergi?” tanya Ibu. Doa menoleh padaku dan Adrian dan menautkan alis. Tapi kemudian menggeleng, “Tidak, Sayang! Kita akan tetap tinggal di rumah ini.”Setelah itu dia bergumam sendirian seperti menemukan sesuatu, “Ah ketemu.” Lalu Ibu pergi meninggalkan kami begitu saja. Aku dan Adrian kompak membuntutinya. Aku takut, tiba-tiba Bapak mengusir Ibu dan maksa aku tinggal sama Tante Reta.Di ruang tangah, Bapak tengah memijit betis Tante Reta. Vira lagi duduk di tempat aku dan Adrian tadi nonton tivi.Ibu meletakkan berkas yang tadi diambilnya dan setengah dilemparnya ke atas meja. Bapak dan Tante Reta menoleh bersamaan.“Gak usah marah-marah kayak gitu, dong, Salmah. Aku juga gak bakal minta kamu pergi, kok. Kita bisa berbagi di sini. Rumah ini cukup luas lah, Salmah.”Ibu tersenyum miring. Dia lalu berjalan mengambil air ke dispenser. Tampak dia memilih air panas. Aku dan Adrian, duduk lagi di karpet yang tadi kami duduki, bareng Vira kali ini.“Ya, kamu benar. Aku tak akan pergi, karena yang harus pergi itu kamu dan Mas Heru. Silakan kalian baca surat-surat itu, barangkali Mas Heru juga lupa. Pergilah segeras sebelum aku khilap dan menuang air panas ini ke wajah cantikmu.” Ibu tersenyum manis sekali, lalu duduk pada sofa yang lainnya sambil menumpang kaki. Cangkir dengan air yang mengepul itu masih di pegangnya.Tante Reta tampak mendelik. Dia menepis lengan Bapak yang memijit kakinya. Sementara itu, tangannya terulur mengambil dokumen yang Ibu simpan.Aku memperhatikan raut muka Tante Reta yang dari mulainya terlihat tenang, terus mengernyit dan terakhir melirik pada Bapak.“Apaan ini, Mas?”Bapak menerima kertas itu, lalu mukanya tampak memerah. Entah malu atau marah. Namun beberapa lama, orang-orang dewasa itu hanya saling terdiam sampai suara Ibu memecah keheningan.“Kuharap kamu tak lupa, Mas! Dalam perjanjian perkawinan tertera jelas rumah ini milik siapa, tanah ini milik siapa? Kuharap kamu masih bisa membacanya dengan baik.” Ibu terlihat anggun dan tenang. Gak marah-marah lagi seperti ketika pertama tahu jika Bapak menikah lagi diam-diam.“Mas! Apa-apaan ini? Kamu kenapa kemarin gak bilang kalau kalian ada perjanjian perkawinan seperti ini?” Tante Reta tampak memberengut.“Jadi sekarang sudah jelas, siapa yang diperbolehkan pergi ya, Reta? Sebelum saya manggil pihak ke amanan, silakan bawa lagi koper-koper kalian ini. Apa rumah sewa kamu yang tahunan itu sudah habis masa sewanya dan gak mampu bayar?” Ibu bicara lagi. Nadanya tetap tenang. Ah, aku tahu sekarang … Ibu memang wanita pintar. Aku ingin pintar seperti Ibu nantinya.Bapak tampak mengusap wajah kasar. Dia tak bisa menjawab pertanyaan Tante Reta. Namun malah memberengut dan menarik lagi koper-koper yang tadi dijejerkan di dekat meja tivi.“Aku gak nyangka, kamu licik, Salmah!” Bapak menatap Ibu dengan kesal. Namun Ibu menimpalinya dengan tetap tenang.“Licik, licik apa, Mas? Perjanjian perkawinan kita kan disetujui bersama, di depan notaris juga dan atas persetujuan kamu juga. Jadi, jangan fitnah aku seperti itu. Aku ini bukan licik, Mas … hanya, ya, sedikit pintar.” Lagi-lagi, Ibu tersenyum tenang.“Mas! Jadi gimana? Kita pergi? Tapi ‘kan sewa rumahku sudah habis bulan ini.” Tante Reta tampak menekuk muka. Dia masih memindai rumah yang kami huni sekarang. Tak terlalu luas sebetulnya, hanya ada empat kamar dan satunya adalah ruang yang Ibu selalu kunci. Hanya Ibu yang boleh masuk ke sana sendirian. Aku pernah mengintip, di sana gak ada apa-apa. Cuma ada satu set komputer saja padahal. Entah apa yang Ibu lakukan.“Kamu diam dulu, Reta! Ikut saja dulu! Mas lupa ada perjanjian ini dulu,” tukas Bapak.“Yah, tapi ‘kan uangnya kemarin itu sudah kepakai, Mas.” Tante Reta tampak kecewa. Bahunya melorot dan kesombongannya yang pas datang ke sini hilang perlahan.“Kita tinggal di rumah orang tuaku dulu sampai dapat rumah sewa yang baru.” Bapak terus berjalan keluar sambil menarik koper satu-satu. Ada empat koper yang mereka bawa.“Apa, Mas? Aku gak mau! Aku gak mau tinggal seatap dengan Ibu kamu yang cerewet itu!” Masih kudengar Tante Reta ngdumel. Dia berjalan mengekori Bapak. Kurasa dia menahan malu. Begitupun Vira, tak sepatah kata pun dia lontarkan padaku.Aku beralih menatap Ibu. Ada iba lihat dia, tapi kagum dan penasaran. Semudah itu Ibu mengusir mereka? Memangnya tadi itu surat apa, ya?“Icha, Ian, besok kita belanja buku tulis, ya! Punya Icha sama Ian sudah mau habis ‘kan ya kemarin tuh?” Ibu menanyakan pada kami. Sementara itu, tangannya menyimpan piring berisi kentang goreng. Ibu biasa memasakkan camilan untuk menemani aku dan Adrian belajar. Aku saling bertukar pandang sama Adria, lalu menggeleng bersamaan. “Enggak kok, Bu. Bukunya masih ada. Sekarang seringnya ngerjain di buku paketan.” Aku menjawab sambil menyuapkan irisan kentang goreng dibalur tepung yang Ibu sajikan. Enak, gurih dan kriuk.“Oh, ya?” Ibu menautkan alis. Dia menatapku dan Adrian bergantian seperti tak percaya. “Iya, betul, Bu. Punya Ian juga masih ada.” Adrian mengangguk cepat. “Oh ya sudah kalau begitu. Kalian kalau butuh apa-apa, bilang sama Ibu, ya!” Ibu menatapku dan Adrian bergantian. “Iya, Bu.” Kompak kami menjawab.Ibu pun bangun lalu meninggalkan kami. Dia kembali masuk ke dalam ruangan yang biasanya lebih sering dia kunci. Ruangan yang ada satu set komputer di sana. Ibu tak perna
"Mang Salim, ada apa,ya? Mari masuk!" Suara Ibu terdengar. Adrian menoleh. Aku yang ikutan ketar-ketir."Ahm ini Bu Salmah, terkait kiripik singkong home made. Alhamdulillah, penjualannya laku keras."Mang Salim yang ngomongin keripik laku, jantung aku yang lompat-lompatan. Jangan-jangan mau bilang kalau aku dan Adrian yang jualin. Ini gak bisa dibiarkan."Ibu, Mang Salimnya biar Icha buatin teh dulu, ya! Apa boleh?" "Ah iya, silakan masuk Mang Salim. Biar Icha buatin teh."Mang Salim mengangguk, lalu masuk. Aku melirik ke arah Adrian."Sssst!"Eh, gak noleh."Hussssh! Hussssh!"Kali ini yang noleh bukan hanya Adrian, tapi Ibu juga. "Ada apa, Cha?""Itu, Bu ... Ian." Aku menunjuk Adrian. Tanganku otomatis sekali mengusap ujung hidung, padahal tak gatal."Apa, Kak?" Adrian menautkan alisnya. Matanya menyipit ke arahku."Sini dulu!" Bibirku mengucap itu, tapi tanpa suara. Seolah ada hal yang rahasia. Padahal Ibu pun pasti melihatnya.Aku pun menggerakkan tangan juga untuk memanggilnya
Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, aku dan Adrian sudah makin terbiasa berjualan. Dari yang semula menawarkan barang dagangan malu-malu, sekarang sudah makin berani saja. Apalagi, ternyata pekerjaan Ibu, berdiam di ruangan itu hanya berjualan label keripik. Kemarin saja yang Mang Salim kasih ke Ibu, cuma dua puluh ribu. Berarti Ibu kerja seharian itu dapat uangnya tak seberapa. Setiap seminggu sekali, kami masih rutin berjualan di lampu merah. Uangnya lumayan dari pada hanya jualan di sekolah. Hari ini pun sama. Aku dan Adrian sudah berada di tempat mencari nafkah, lampu merah. Kuedarkan penglihatan. Rupanya pengemis yang biasanya mangkal di sana belum datang. Sepeda sudah kami titip di depan ruko-ruko, bayar dua ribu seperti biasa. Lantas kami berjalan beriringan dengan semangat. Aku selalu bersemangat ketika membayangkan bisa dapat uang sendiri untuk membantu Ibu. "Are you ready?" Adrian memasang topi warna hitam penutup kepalanya dan mengangkat kerdus miliknya. "Yess, I am
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (6)Di sebuah rumah sakit kini aku berada. Duduk di lorong sambil memainkan ujung-ujung kuku. Sesekali aku menoleh ke arah suster dan dokter yang tengah menangani Adrian. Tapi, perasaan kok lama banget. Adrian diperiksa bolak-balik gak kelar-kelar. Aku sudah duduk, bangun, duduk lagi, bangun lagi. Sesekali mengusap wajah, melihat jam di dinding yang berputarnya terasa lama. “Makanlah!” Aku menoleh. Om-om yang tadi membawa kami ke sini menyodorkan satu bungkus nasi dengan tulisan yang aku kenal sekali MkD. Dulu, setiap akhir pekan, Bapak pasti mengajak kami makan ayam goreng yang dilumuri tepung itu, lengkap dengan kentang goreng dan es krim. “Makasih, Om.” Aku menerima bungkusan itu. Wangi ayam goreng dan potongan kentang tercium menguar. Tapi, aku belum bisa makan. Aku sangat mencemaskan keadaan Adrian.“Makanlah! Setelah itu, biar Om anter kamu pulang.” Sontak aku menoleh ke arahnya. Apa? Di anter pulang? Bisa gawat kalau sampai
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (8)“Mau apa, Tante ke sini?” Adrian sudah berdiri duluan sebelum Tante Reta mencari tempat duduk. “Ibu kalian ada?” Dia tersenyum. Lalu duduk dan menumpang kakinya. “Bilang saja, Tante mau apa? Ibu lagi sibuk.” Adrian menjawab ketus. “Tante mau ambil baju-baju Papa Heru.” Tante Reta bicara lagi. Bersamaan dengan kalimatnya itu, pintu rumah terbuka. Ibu muncul sambil membawa singkong rebus. Beberapa detik, Ibu tertegun. Tante Reta berdiri dan tersenyum sambil mendekat. “Hay, Salmah … sehat?” tanyanya sambil hendak memeluk Ibu. Namun, Ibu tampak membuang muka. “Kalau mau ngambil baju-baju suami kamu, ambil saja.” Suara Ibu datar. “Ah iya, Salmah. Mas Heru ngomong mulu suruh aku ngambil ke sini. Padahal sudah kusuruh datang sendiri sekalian jenguk anaknya, eh gak mau.” Tante Reta memasang wajah sedih. “Gak usah banyak bicara. Ucapan kamu hanya akan menyakiti hati anak-anak. Tunggu di sini!” titah Ibu. Setelah meletakkan singkong
Pov Salmah“Nah, Salmah … jadi bisa ‘kan kamu ikut? Jujur, saya belum pernah menjaga anak-anak. Apalagi ini acara besar.” Pak Dirga menatapku. Aku memandang Icha dan Ian bergantian. Tampak sekali binar harapan dari sorot matanya bertaburan. Akhirnya sambil mengangguk pasrah, aku mengiyakkan. “Yeayyy! Jalan-jalan!” Kedua anakku melompat senang. Sepulangnya Pak Dirga. Aku disibukkan dengan kehebohan Icha dan Ian. Rasa bersalah menguar. Sudah cukup lama memang aku tak mengajaknya jalan-jalan. Sederet pekerjaan baru, benar-benar menyita waktuku. Apalagi saat ini, aku sudah bekerja dengan referensi Pak Dirga di salah satu perusahaan marketplace miliknya. Ya, karena itu juga … setelah kejadian tertabraknya Adrian, kami masih kerap komunikasi hingga berakhir dengan kedatangannya hari ini. “Bu baju renang Icha di mana, ya?” Icha sibuk mempacking baju-bajunya. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. Beberapa sudah masuk ke dalam ransel miliknya. “Ya ampuuun, Kakak! Kita itu cuma jalan-jalan s
Pov Salmah“Salmah … kamu di sini?” Suara itu. Aku menggeleng. Kenapa suara Mas Heru menjadi teramat sangat nyata kudengar. Namun, ingatanku yang tadi berhamburan kini terkumpul dan tertarik kembali. Aku menoleh pada sosok yang ternyata sudah berada tak jauh dariku. “Salmah, sehat?” Mas Heru, dia benar-benar ada. Dia datang mendekat. “Kamu, Mas?” Aku tak menjawab. Kuputar bola mata ke atas. Malas bertemu sebetulnya. Namun, tak enak juga mengusirnya. Apalagi ini adalah acaranya. “Kebetulan banget, kita bertemu di sini. Mungkin, kita ini masih … hmmm, jodoh," kekehnya. Glek!Aku mendadak kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan ini tiba-tiba bicara jodoh. Beberapa bulan lalu bahkan dia datang dengan angkuhnya untuk membawa istri barunya tinggal di rumah yang kami tempati. “Mas, tolong … kita ini sudah bukan mahram. Menjauhlah … aku tak mau jadi fitnah.” Aku mengatupkan tangan padanya. Tak mungkin aku pergi, saat ini sedang menunggui tas mil
Pov DirgaAku bukan manusia suci. Di usiaku yang sudah menjelang empat puluh tahunan ini aku memang belum menikah. Namun, aku bukan lagi seorang perjaka. Dikhianati seseorang yang begitu kucintai membuatku menganggap semua wanita itu sama. Mereka hanya menyukaiku karena harta yang kumiliki. Jadi, segampang itu juga aku mengikuti hidupku. Berpindah dari ranjang satu ke ranjang yang lainnya hanya untuk memuaskan diri. Minuman beralkohol kerap menjadi temanku kala sepi. Hingga malam itu, akibat benda laknat itu aku meniduri karyawan magangku sendiri. Fatima namanya. Dia berasal dari Bekasi. Dia magang di kantor marketplace yang kumiliki. Malam itu aku sedang benar-benar kesal setelah melihat berita tentang Irina. Dia pamer kebahagiaan dengan suami dan anak-anaknya. Lelaki yang tak lain adalah sahabatku sendiri.Irina---perempuan pertama yang sudah membuatku jatuh cinta. Irina, dialah yang menarikku untuk melanggar norma. Mengajakku bertualang meski tanpa ikatan. Irina yang membuatku pa