Share

Dibully

Part 5

Aku meremas dada dengan tangan yang mengepal kuat. Sesak rasanya. kalau bukan karena Aura, mungkin aku sudah gila menghadapi mertua dan ipar setengah siluman seperti mereka.

Bik Asih mengejar Aura yang berlari menghampiriku. putriku memeluk, wajahnya kemudian mendongak.

"Mama, baik-baik aja, kan Ma?"

Aku mengangguk, ikutan mendongak agar air mata tidak jatuh di hadapan Aura. Dia pasti tahu kalau ibunya sedang bersedih saat ini.

Aku berjongkok, kemudian membingkai wajah kuyu putriku.

Kasihan sekali kamu, Nak, harus selalu mendengarkan pertengkaran dari orang-orang dewasa yang seharusnya memberimu kebahagiaan.

"Sayang, kamu pasti nguping lagi ya?" tanyaku yang disambut dengan anggukan. Ya Allah.

"Mafkan Mama ya, Sayang. Seharusnya kami bisa jaga sikap di depan kamu. Ayo, kita masuk, anginnya kencang, gak bagus buat kesehatan kamu," ajakku, kemudian menggendong tubuh kurusnya.

Sejak lahir, daya tahan tubuh Aura memang lemah. Dia sering sakit-sakitan, dan Mas Romi serta keluarganya selalu menyalahkan aku. Mereka bilang, aku gak becus ngurus anaklah, atau rahimku bermasalahlah sehingga melahirkan Aura yang pesakitan. Namun, ketika masih ada Ayah, mereka tidak berani melakukannya secara terang-terangan, mereka lebih ke menyindirku. Meski begitu, aku paham betul kalau mereka selalu menyalahkan aku. Mereka menbicarakan aku di belakang. Menghina Aura, mencibirnya karena tak bisa diajak bersenang-senang layaknya anak-anak lain yang seumuran Aura begitu aktif.

Terkadang aku tak sengaja juga menguping pembicaraan mereka. Aku bertahan karena Mas Romi selalu bersikap baik dan menbesarkan hati untuk menerima ketetapan Allah. Namun, setelah Ayah meninggal dunia, ternyata dia sama aja.

Aura memang tidak seperti anak-anak sebayanya yang aktif bermain. Dia sering sakit-sakitan sejak bayi, dan itu membuatnya tidak bisa banyak berkativitas di luar rumah. Namun, bukan berart mereka harus menyudutkannya kan? Memangnya siapa sih, yang mau terlahir dalam kondisi seperti dia. Andai bisa meminta, aku juga ingin punya anak yang sehat.

Seandainya Ayah, dan Ibu masih ada, aku mungkin tak akan serapuh ini. Kemana lagi aku harus mengadu? Ingin rasanya sekedar menyandarkan kepala, lalu dipeluk untuk mendapatkan kekuatan.

Tidak, Mitha! Kamu pasti bisa.

Aku harus kuat demi Aura. Hanya dialah yang aku punya sekarang. Aku harus menjaganya dengan baik. Kalau bukan aku, lalu siapa lagi?

"Nyonya, yang sabar ya," ucap Bik Asih menatapku kasihan.

"Iya, Bik. Bibik tenang aja, aku kuat kok."

Tapi aku capek! Capek dengan sikap mereka yang makin seenaknya, capek merasa sendiri dalam merawat Aura. Sosok yang seharusnya menyemangati, justru malah melakukan kebalikannya. Namun, kata-kata itu hanya mampu aku keluarkan di dalam hati.

"Mereka memang keterlaluan!" gerutu Bik Asih. Dialah saksi betapa seringnya hal ini terjadi. Bik Asih yang sudah merawatku sejak bayi. sampai aku punya anak, dia masih setia di sini. Dia paham betul bagaimana sikap keluarga suamiku.

Baru saja mau melangkah masuk, tiba-tiba ponselku berdering nyaring.

Aku berhenti sejenak lalu merogoh ponsel. Ku lihat nama Delin tertera di layar.

"Halo Mbak," ujarnya begitu panggilan aku terima.

"Iya, Del, ada apa?" tanyaku setelah menempelkan ponsel ke telinga.

"Kamu di mana? Kok mobilmu juga gak keliatan?!" tanyanya.

"Mbak di rumah. Biasa Del, ada masalah sedikit," sahutku.

"Kenapa sama Aura, Mbak?

Dia kolaps lagi?" imbuhnya terdengar cemas.

"Alhamdulillah nggak, Del, ini masalah yang satunya."

"Maksudmu, Mbak?! 

Keong racun ya?!" Delin selalu memanggil mereka dengan sebutan itu. Sebenarnya, Om dan Tante, kedua orang tuanya dia juga menyuruhku untuk berpisah dengan Mas Romi. Mereka tahu kami sering diperlakukan tak baik. Namun, tadinya aku memilih bertahan demi Aura. Asal bukan perselingkuhan, sikap mereka masih bisa kumaafkan.

Toh lagipula kami tak serumah, jadi aku tidak mau terlalu memusingkan sikap mereka.

Dan juga, yang namanya berumah tangga, pasti selalu ada aja ujiannya. Selagi Mas Romi setia dan tidak macam-macam, aku tak mempermasalahkan keluarganya yang mata duitan. Tapi, kini tidak lagi. Mas Romi sudah mendua, aku tidak bisa menerimanya. Aku tak mau dipoligami, meski aku tahu agama tidak melarangnya. Namun, agama juga membolehkan aku untuk mundur jika tak sanggup. Apalagi, mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Dalam islam,  tidak ada yang namanya perselingkuhan. Adanya menikah lagi, tapi tentu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

"Halo, Mbak, kamu denger aku gak?

Kok, diem aja?" cicitnya lagi.

"I--iya, Del, aku denger kok." jawabku.

"Ayo ke sini sekarang, pertunjukannya udah dimulai! 

Seru banget lho ini!" tuturnya kegirangan sambil tertawa riang. Terdengar juga suara riuh penuh tawa di sebarang sana.

"Iya, iya, aku ke sana sekarang ya," sahutku tak kalah senang. Mereka pasti sedang dibully habis-habisan.

"Hooh, cepetan! Jangan sampai ketinggalan!" ujarnya lagi.

"Iya, iya, gak bakal pokoknya."

"Ya udah, Mbak hati-hati di jalan. Jangan sampai gara-gara terlalu bersemangat menonton mereka, Mbak jadi kecelakaan!" ucapnya memperingatkan.

"Ihh, amit-amit! Jangan sampe deh!

Ya udah, Mbak, jalan dulu ya!"

Tut! Sambungan telpon aku matikan. 

Aku menurunkan Aura dari gendongan, kemudian menatapnya.

"Aura, Sayang, Mama perg dulu sebentar ya. Ada urusan penting yang hatus Mama selesaikan" ujarku meminta persetujuan.

Anakku tampak mengangguk, mengiyakan.

Aku tersenyum lega.

"Makasih ya, Sayang. Mama janji gak bakal lama kok."

"Bik jagain, Aura ya sebentar. Kalau ada apa-apa telpon aku ya, Bik!" 

"Iya Nyonya, baik," timpal Bik Asih, kemudian menggendong putriku.

"Mama jangan lama ya," pesan Aura lagi.

"Iya, Sayang, pasti. Pulangnya nanti Mama bawain chese cake kesukaan kamu, oke?"

"Yeeee, asiik." Putriku nampak senang sekali.

Dengan langkah cepat aku masuk ke mobil, menyalakan mesin, kemudian bergegas ke kampus Delin.

Susana terlihat ramai dari luar. Aku mengentikan mobil lalu melangkah dengan tergesa.

Benarkan, apa aku bilang.

Wanita itu tampak merajuk sambil menghentakkan kakinya. Ia menangis di pelukan kedua orang tuanya. Aku heran, kenapa mereka tidak marah sama Mas Romi ya?

Apa mereka tahu kalau Mas Romi sudah punya istri dan anak, tapi mereka sengaja bungkam? Luar biasa memang Mas Romi. Bisa menaklukan mereka. Apa sebenarnya yang mereka dapatkan? Aku yakin, pasti ada sesuatu. Aku harus cepat-cepat mencari tahu!

"Mas! lihat kerjaan istri kamu yang sialan itu!

Aku malu!" teriaknya menutup wajah dengan kedua tangan.

"Huuuuu!" Terdengar sorakan dari berbagai arah.

"Bikin malu nama baik kampus aja, kamu!"

"Pulang! pulang, kamu gak pantas ikut acara wisuda!"

"Hei sudah! hentikan!" teriak Mas  Romi dengan lantang.

Dia bahkan melarang orang-orang mengambil video. Dia mengamuk, tapi orang-orang malah makin mencemoohnya.

Sementara wanita itu berusaha merusak karangan bunganya.

"Rasain kamu! Abis ini, seantero jagad maya yang akan membullymu!"

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status