"Pak, satu jam lagi ada rapat manajemen."
Setelah tragedi menendang tumit bosnya, Zetta tetap berusaha bersikap professional. Sebagai seorang sekretaris, sudah sewajibnya dia mengingatkan Alva mengenai jadwal kerja. Dia pun mulai membacakan agenda Alva."Siang nanti ada undangan makan siang dengan perwakilan Ratser Corp., bertemu dengan Ibu Diana Raster.""Diana?"Alva menatap Zetta yang mengangguk. "Iya, Pak. Bapak kenal?" tanya Zetta sok ingin tahu.Alva tersenyum miring, "Dia salah satu wanita paling liar di ranjang yang pernah aku taklukan."Zetta langsung mencelos dan ingin muntah mendengarnya, tapi cepat-cepat dia ganti ekspresinya dengan lebih ceria. "Wah bagus itu Pak, bisa sekalian reunian atau mau saya sewakan hotel sekalian?"Alva menatap tajam dengan tangan mengambil black coffee lalu menyeruput pelan. ‘Sok ganteng!’ Zetta jengah. "Tentu saja tidak. kita hanya makan siang.""Syukurlah kalau hari ini Pak Alva lagi sehat. Pasti tadi malam habis dapat belaian ya, Pak?""Apa kau penasaran dengan siapa aku tidur tadi malam?" ucapnya seraya mengedip. "Atau kau mau menemaniku tidur malam ini?""Mimpi aja terus, Pak!" desis Zetta membuat Alva tertawa."Manis banget wajahmu kalau merengut begitu." Zetta membuang muka. "Jadi Arzetta, saya sudah putuskan untuk tidak lagi bermain-main dengan wanita di luaran sana."Zetta sontak menoleh kaget, "Demi apa, Pak?”Alva berdiri dan tersenyum menawan, "Sampai kau mengaku kalah di dalam pelukanku, aku tidak akan berhenti. Jadi, demi semua itu aku akan membuatmu terpesona dengan caraku sendiri." Alva melangkah mendekati Zetta yang tertegun, "Mungkin selama ini kau melihatku sebagai lelaki brengsek karena tidur dengan banyak wanita dan aku akui itu benar, tapi kau belum melihat siapa aku sebenarnya. Jadi—"Zetta menepis tangan Alva yang mencoba mengelus pipinya, membuat Alva semakin lebar tersenyum."Siap-siap menyerahkan diri."Zetta ternganga. ‘OH, NO!’**"Zetta, apa kau sedang sibuk?”Zetta mengernyit heran, duduk di sisi lain restoran yang memiliki area taman sejuk mencoba mendengarkan dengan seksama setiap kalimat Eliana."Tidak. Apa ada hal mendesak yang sedang terjadi?”"Apa kau sedang bersama Alva?”Zetta memainkan sapu tangan di atas meja dan memandangi satu pintu tidak jauh dari tempatnya duduk yang tertulis privat room.Di sana, bos gilanya sedang berbincang dengan mantan liarnya.Setengah jam yang lalu, mereka selesai membahas segala hal terkait pekerjaan dan Zetta perhatikan sikap Alva sangat profesional meskipun si wanita nampak mencuri-curi kedipan manja untuknya. Sialnya, Alva mengusirnya setelah mereka selesai dengan urusan pekerjaan. Sehingga dia tidak tahu lagi apa yang sedang dilakukan oleh mantan pasangan ranjang itu sekarang."Kami baru selesai meeting di restoran. Aku terusir keluar karena kebetulan relasinya itu salah satu wanita terindah Alva di ranjang," jawab Zetta jujur.Eliana mendengus, "Dasar lelaki gila!” Tetapi sesaat kemudian suara Eliana kembali terdengar semringah. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya merindukannya dan tidak sabar menunggu bertemu dengannya nanti malam."Zetta memutar bola matanya,"Kenapa kau harus mengangguku yang sedang bekerja?!"Eliama terkekeh membuat Zetta kesal, "Aku hanya ingin tahu dia sedang apa.""Gila! Kalau tidak ada yang penting lebih baik aku matikan!""Eh, jangan!" teriak Eliana membuatnya mengeryit bingung."Apalagi sih?""Hmm, coba kau intip sedikit, sana. Lihat mereka lagi ngapain di dalam."Eliana memberikan usul yang membuat Zetta membelalakkan matanya, "Tidak mau!!!”"Sebentar saja. Coba dengerin, ada suara-suara mendesah tidak?""Tidak mungkin mereka melakukannya di dalam sana!!” Zetta mencoba membuang jauh-jauh pikiran kotor Eliana."Siapa yang tau? Dia kan, tidak bisa lihat yang semok-semok sedikit."Zetta berdiri dari duduknya antara ragu tapi juga ingin tahu. Beruntung, privat room mengarah ke taman dan tidak banyak orang yang berseliweran di sana, tapi tetap saja mencoba mencuri dengar sangat-sangat tidak anggun.Eliana mendesak, "Sebentar aja!”Zetta menghela napas dan beranjak mendekati pintu hitam itu. Setelah celingukan memastikan tidak ada yang lewat di sekitarnya Zetta memajukan telinganya dan mendengar suara samar orang tertawa. Ponselnya dia genggam erat dan semakin menyandar pada pintu.“Mereka hanya mengobrol biasa aja kok.”“Oh, ya sudah kalau begitu. Aku harus pergi. Sampai Nanti Zetta.”“Oke.” Klik.Zetta bengong. Dia menurunkan ponsel di tangannya tepat saat pintu private room tersebut terbuka. Dia memekik kaget. "Astaga!"Zetta terjerembab ke depan langsung terperangkap dalam pelukan Alva yang sigap menahan bobot tubuhnya. Ironisnya, bibirnya yang seksi sepertinya tidak tahu diri dan mendarat seenaknya di bibir sang playboy. Zetta terdiam, begitu pula Alva, tapi tidak juga saling melepaskan diri sampai Zetta tersentak mendapati Alva mengambil kesempatan dengan melumat bibirnya. SIALAN!Zetta langsung menendang kaki Alva dengan keras hingga dia mengaduh dan mengumpat."Sial! Arzetta!!"Lolongan Alva terdengar memekikkan telinga. Zetta tertawa puas dan langsung keluar dari sana secepat kilat untuk meredakan tubuhnya yang gemetaran.‘Sialan Eliana! Ini semua gara-gara kau!’Zetta duduk di sofa lobi dengan desahan panjang terdengar keluar dari mulutnya. Setelah insiden itu, Zetta berusaha untuk tetap bekerja sebagaimana mestinya meskipun bayangan bibir Alva yang sempat mengecup bibirnya masih terekam jelas di otaknya yang kusut.Dia langsung menggelengkan kepala dan merutuki kebodohannya. Mau-maunya dia menuruti kemauan Eliana. Alva memang sempat marah-marah, tapi setelahnya sikapnya berubah biasa saja. Zetta menoleh ke arah hujan yang turun semakin deras di luar. Hari ini dia tidak membawa mobil dan meminta Jason menjemputnya.Jason adalah satu-satunya pria yang bisa lebih leluasa dekat dan menyentuhnya dalam batas wajar. Hal ini dikarenakan Jason tidak melihat Zetta menarik, sebab dia sudah tertarik pada sesama. Entah sejak kapan, Jason memiliki kelainan seksual seperti itu.Zetta tersenyum saat melihat siluet laki-laki yang dikenalnya masuk ke lobi dengan setelan santai dan tatapan mata yang memindai seluruh ruangan. Jason tersenyum lebar saat menemukan tatapannya dan berjalan mendekat. "Hai, Sweetheart. Maaf lama, ya." "Pasti jalanan ramai ya?""Tidak juga sih, tadi aku mampir ke restoran sebentar ada yang perlu diambil."Zetta mengangguk dan tersenyum. Jason menggenggam tangannya, "Kita pulang sekarang atau mau singgah makan dulu?"Zetta nampak berfikir, "Hmm, bagaimana kalau masakin aku spaghetti tuna aja di rumah?"Jason tersenyum lebar, "Siap, Princess."Zetta tertawa dan mencubit lengan Jason. Perangai mereka berdua memang bisa saja membuat siapa pun yang tidak mengenal mereka salah sangka. Terbukti, tidak jauh dari posisi Zetta dan Jason sekarang, seorang pria berseru menghentikan langkah mereka."Berhenti kalian berdua!"***
"Berhenti kalian berdua!"Zetta dan Jason berhenti dan berbalik lalu kaget melihat Alva Alexander."Kenapa, Pak? Saya mau pulang."Alva mendekat dan berhenti tepat di depan Jason. Tinggi dan postur tubuh mereka hampir sama."Jadi, kau pacarnya Arzetta seperti yang dikatakan Jeremy?"Zetta tersentak kaget, sementara Jason mengerutkan kening lalu kembali menatap Alva ."Kalau iya memangnya kenapa?"Alva nampak mengamati tautan tangan mereka lalu menggertakkan giginya kesal, membuat Zetta bingung."Aku hanya mau memastikan saja. Kenalkan, Aku Alva Alexander bos—""Yeah, aku tahu. Kau yang ketahuan mesum sama mantan sekretarismu di restoranku."Alva menatap tajam Jason, "Restoranmu?""Ya. Terus maumu apa? Kalau tidak ada kami mau pulang!"Alva berdecak, "Ada satu hal yang mau aku minta dari kalian berdua supaya aku yakin. Dan kalian tidak boleh pulang sebelum melakukannya."Zetta mengerjapkan matanya, "Pak, jangan aneh-aneh deh. Saya capek mau pulang. Besok aja ya dramanya."Zetta kesal sa
‘Dasar bodoh kau, Zetta!’Hubungannya dengan Jason memasuki fase canggung. Bukan hanya karena sikap Jason malam itu, tapi karena Zetta telah meyakini kalau Jason bukanlah gay. Beberapa tahun ini Zetta hidup dengan bayangan Austin dan Jason yang selalu berada di dalam kamar berdua walaupun dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka berdua lakukan. Jika selama ini dia berbohong, Zetta sangat tidak bisa menerima hal itu.Zetta duduk di balik meja kerjanya menunggu Alva Alexander yang sedang rapat. Keadaan laki-laki itu cukup kacau beberapa hari ini. Paparazi sepertinya mengikuti Alva diam-diam sejak skandal dengan sekretarisnya terungkap, ditambah skandal terbaru di mana Alva terlihat masuk ke kamar bersama Eliana.Zetta memijit pelipisnya dengan kedua tangan di kepala sembari memejamkan mata. Setelah foto skandal itu terungkap, Eliana malah menghilang entah ke mana hingga saat ini, membuatnya gila.‘Bisa-bisanya dia—’"Kau sakit?" Zetta membuka mata dan bertemu tatap dengan mat
"Jason, aku sedang berada di Vancouver. Ada beberapa kunjungan bisnis dan urusan pribadi Alva." Zetta mengigit ujung kukunya mendengarkan setiap kalimat yang dilontarkan Jason di ujung sana."Kau pergi begitu saja tanpa memberitahuku?!" Nada suara Jason meninggi.Zetta memijit pelipisnya, "Maaf. Aku pikir tidak ada masalah jika memberitahumu belakangan dan juga—""Jadi, sekarang aku bukan lagi orang pertama yang penting bagimu, Arzetta?!""Bukan. Bukan seperti itu maksudku, Jason." Zetta mulai panik. Ini salahnya karena tidak memberitahukan kepergiannya lebih awal ke Jason. Laki-laki itu pasti mencemaskannya."Lalu, kenapa kau tidak meminta izin lebih dulu padaku? Apa kau lupa, selain Jeremy segala hal terkait urusanmu di New York menjadi tanggung jawabku. Setidaknya hargai aku dengan memberitahuku bukannya asal pergi. Apa kau menghindar?"Zetta menatap laut di kejauhan yang berwarna biru sempurna seraya merapikan riak anak rambutnya yang tertiup angin, "Ada yang harus kita bicarakan
'Duh, mukanya pak Alva seram banget.'Zetta sesekali melirik Alva yang mengendarai mobilnya dalam diam sejak mareka keluar dari rumah Opa. Mungkin masih terbawa suasana yang tidak enak karena membicarakan masa lalu atau merasa malu karena rahasianya terbongkar kalau dia pernah dikhianati.Zetta tidak berani buka suara, bahkan hingga Alva menghentikan mobilnya di depan lobi hotel setelah melaju dengan kecepatan di atas rata-rata membelah padatnya jalan raya kota. "Hmm,Pak--""Langsung saja ke kamar dan jangan ke mana-mana. Aku harus pergi dulu," selanya.Zetta hanya bisa mengangguk, melepas seat beltnya dengan sedikit tergesa. Saat dia akan membuka pintu mobil, lengannya di tahan oleh Alva yang menatapnya intens. "Jangan dengarkan apa pun yang di katakan, Opa. Jangan pernah menatap kasihan pada ku seperti yang kamu perlihatkan sepanjang perjalanan tadi, Arzetta. Aku tidak suka!!""Tidak. Aku tidak—""Keluar!" Alva melepaskan cekalannya.Zetta mengigit bibirnya melihat Alva yang menata
'Astaga, bagaimana ini?'Demi apapun, Zetta tidak menyadari apa yang telah dilakukannya. Sesaat setelah melihat Alva, dia tanpa sadar memeluknya. Tapi tidak berlangsung lama karena saat Zetta merasakan Alva memeluk balik dia malah bereaksi berlebihan. Saat merasakan sentuhan Alva, Zetta langsung mundur dan menamparnya meskipun setelah itu dia langsung memekik dan menggeleng nampak kaget sendiri dengan gerakan tangannya."Ampun Pak. Tidak sengaja. Reflek, Pak. Saya kaget. Bapak sih pegang-pegang saya."Zetta meringis saat melihat Alva yang ternganga kaget meskipun tamparannya tidak terlalu keras."Apa salahku,Zetta?!" Ujarnya.Zetta meringis,"Maaf,Pak."Setelah itu, Zetta malah sok canggung dan nampak tidak enak hati saat melihatnya. Merasa malu karena bukannya berterima kasih malah kembali menamparnya.Sorenya, saat Zetta duduk di bangku kayu pinggir pantai Vancouver, Alva mendekat dan memperhatikannya seksama. Sekarang dia sudah tidak bisa menghindar lagi."Kenapa sih,Pak?" Decak Zet
Arzetta tidak pernah membayangkan akan melihat sisi lain Alva saat ini. Tadi saat dia masih menangis di bangku taman memikirkan Jason, Alva datang memberikan sapu tangan dan mengajaknya pergi tanpa sepatah katapun. Zetta hanya bisa diam dengan pikiran bertanya-tanya, bagaimana pertemuannya tadi dengan calon istrinya. Apa mereka sudah janjian menginap di hotel nanti malam merayakan kebersamaan. Meskipun Zetta tidak yakin kalau lelaki itu bersedia secara sukarela dijodohkan seperti ini.Zetta duduk diam memandangi Alva lekat. Ada perasaan hangat saat melihat bagaimana sikap lembut dan tatapan ceria yang menular itu. Senyuman lelaki itu menghinotis Zetta. Sebelumnya dia tidak pernah menyadari kalau senyuman Alva bisa membuatnya tertegun lama dengan terkesima.Tapi tahulah dia dengan jelas apa alasannya. Yang ada di hadapannya saat ini adalah sosok Alva Alexander sesungguhnya. Tanpa topeng. Tanpa kilatan jahil menggoda juga gombalannya. Alva Alexander yang lembut, baik dan hangat.Zetta l
Hal pertama yang Zetta lihat setelah berhasil membuka kedua matanya dan menyesuaikan retinanya dengan cahaya di sekitar adalah langit-langit tinggi berwarna putih bersih lalu aroma rumah sakit yang khas tercium indra penciumannya. Badannya rasanya pegal, wajahnya nyeri, telapak tangannya kaku.Tangan. Kaku.Zetta menoleh dan menemukan kepala seseorang dengan rambut hitamnya bersandar pada ranjang nampak tertidur sambil memeluk tangannya dan menggengam jemarinya.Alva.Zetta melarikan jemari tangan satunya dan menyeruakkannya disela-sela rambut halus itu dengan lembut sampai dirasakan lelaki itu menggeliat pelan dan perlahan mengangkat kepalanya membuat Zetta bisa menatap iris mata hijau itu yang masih nampak sayu.Ah ya, Jason.Bagaimana bisa tadi dia mengira kalau itu Alva Alexander."Zetta."Jason langsung menegakkan punggungnya dan berdiri mengusap wajah Zetta dengan kedua tangan nampak khawatir. Mata hijau itu terlihat gusar dan takut.Zetta menggengam telapak tangan Jason di waja
Ternyata malam itu Alva Alexander memang langsung pulang ke New York menggunakan pesawat pribadinya. Setelah sehat dan tidak mengalami luka serius, Zetta di perbolehkan pulang hari itu juga. Sempat berdebat dengan Jason yang bersikeras untuk menginap di Vancouver semalam lagi. Zetta beralasan kalau dia harus segera kembali bekerja. Sebelum bertolak ke bandara, Zetta menyempatkan pamit dengan Oma dan Opa untuk mengucapkan terima kasih. Kata Oma, malam itu Alva memang langsung mengemasi barangnya dan pulang ke New York.Zetta dihinggapi rasa kecewa."Alva tidak mengatakan apapun. Dia hanya mengemasi barangnya dan milikmu lalu menyuruh seseorang untuk mengantarkannya." Oma nampak sedih menatapnya saat itu seakan-akan ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran beliau. "Aku bersyukur bahwa kau tidak terluka Zetta. Beberapa hari di Vancouver, kau sudah mengalami hal yang tidak enak."Saat itu Zetta meyakinkan Oma untuk tidak mengkhawatirkannya. Saat Oma menatap sosok Jason yang sedang berbi