"Biar kutebak, pasti dari laki-laki playboy itu!"
Zetta yang baru saja keluar dari kamar setelah bersiap untuk hari pertamanya bekerja melihat sahabatnya, Elliana, duduk di sofa sembari memeluk sebuket bunga mawar merah. "Siapa yang kau sebut playboy?" tanyanya balik sembari cemberut."Siapa lagi kalau bukan Alva Alexander," jawabnya seraya memutar bola mata. Berjalan mengarah ke dapur melewati Eliana yang terus menciumi bunga mawar itu dengan mata berbinar. "Bayangkan, sudah berapa banyak wanita yang dia berikan bunga seperti itu!""Yang penting saat ini dia sedang fokus denganku."Zetta berdecak, mengambil sebotol susu dan menuangkannya ke gelas. Kemudian mengambil roti tawar dan mengoleskan selai coklat untuk sarapannya pagi ini. "Jadi, kalian akhirnya bertemu tadi malam?" tanya Zetta seraya duduk di samping Eliana sembari menghabiskan sarapannya."Ya, dia menggodaku. Tentu saja aku menyambut godaannya itu.” Mata Eliana semakin berbinar, seolah begitu terpana oleh pesona Alva. “Tenyata benar yang dibicarakan oleh teman-temanku. Alva Alexander memang semenawan itu."Zetta berdecak. "Ternyata hanya aku yang bisa melihat wajah bajingannya." Dia masih ingat betul bagaimana seringai yang dikeluarkan Alva di hari pertama mereka bertemu sebagai bos dan bawahannya."Kalau kau, jangan sampai tergoda dengannya karena dia berbahaya."Zetta memutar bola matanya. Sudah tahu Alva spesies berbahaya, kenapa Eliana masih nekad menyambut godaaannya? "Lalu kenapa kau malah menggodanya?"Eliana mengedipkan matanya,"Karena aku akan menjinakkannya."Tidak tahan dengan segala puja-puji dan khayalan Eliana tentang Alva, Zetta menghabiskan sarapannya dengan segera."Apa kau seyakin itu bisa melakukannya?"Eliana menggidikan bahu,"Tidak ada salahnya di coba."Zetta tertawa, "Ya terserah kau saja.""Alva itu memang berbeda. Terlihat dari bagaimana dia menggodaku. Lelaki brengsek yang lain biasanya akan bertindak agresif untuk mengajakku bersenang-senang, tapi Alva membuktikan kalau dia berkelas. Dia memberikanku hadiah minuman yang harga satu gelasnya bernilai jutaan dollar dan aku bisa merasakan betapa nikmat rasa minuman itu menjalar di dalam mulutku," cerita Eliana panjang lebar yang hanya ditanggapi seadanya oleh Zetta."Itu karena dia punya banyak uang."Eliana terlihat mengeluarkan sebuah amlop, membukanya dan mengeluarkan selembar kertas dari sana dengan kedua jarinya lalu melambaikannya di depan Zetta."Dia mengajakku kencan yang lebih intim lagi malam ini dan memberiku hadiah perkenalan."Zetta mengambil alih kertas di tangan Eliana dan terbelalak saat melihat nilai yang tertulis di sana."Cek jutaan dollar." Eliana tersenyum penuh kemanangan. "Gila!""Yah, dia memang si gila yang tampan dan kaya raya," lalu tertawa keras membuat Zetta hanya bisa menggelengkan kepala. "Haaah, aku harus segera berangkat bekerja agar bos gila yang tampan dan kaya raya itu tidak mengamuk." Zetta berdiri dari duduknya setelah mengembalikan cek itu, mengembalikan gelas ke dapur dan berjalan kembali melewati Eliana yang memeluk erat buket bunganya dengan wajah berseri."Tolong jaga lelaki tampan dan kaya raya itu untukku ya, adik kecil."Zetta menggidikan bahu, "Laki-laki seperti dia harus punya tali kekang yang kuat agar tidak lari. Sebaiknya kau memasangnya lebih dulu."Zetta masuk ke kamar untuk mengambil tasnya mengabaikan tawa keras Eliana. Sejenak, dia berhenti sebentar di depan kaca dan melihat penampilannya yang terlihat biasa. Seharusnya Alva tidak akan memedulikan sekretarisnya jika ada wanita secantik dan sesexy Eliana di sekitarnya, kan?Zetta tersenyum. Dengan pemikirannya itu dia merasa lebih lega. **Zetta sudah duduk cantik di balik meja kerjanya. Dengan tangan yang cekatan, dia menekan sederet angka pada ponselnya tapi matanya terfokus di layar iPad, memastikan satu persatu sederet jadwal Alva Alexander. Di catatan yang ditinggalkan sekretaris yang lama, melakukan morning call untuk Alva Alexander wajib hukumnya. Zetta sih tidak heran karena pasti kegiatan malam lelaki itu membuatnya susah bangun pagi.‘Untung bos besar!’Lamunannya buyar ketika suara berat dan maskulin itu menyapa pendengarannya saat akhirnya panggilannya diangkat. Zetta mengangkat alis, jelas kalau Alva sudah bangun duluan."Pak—""Hmm. Morning Call, Arzetta.""Iya, Pak. Saya akan mengingatkan jadwal Bapak untuk hari ini.""Hold it. Aku ingin sarapanku."Zetta mengernyit heran, "Apa Pak? Sarapan?""Yes, breakfast. Pastikan tersedia dalam setengah jam karena aku sudah akan pergi ke kantor. Aku mau black coffee dan double burger extra cheese. Kau harus membelinya di restoran langgananku.""Astaga, Pak. Restoran itu jauh dan bukanya masih sekitar satu jam lagi.""Aku tidak peduli. Waktumu setengah jam. Aku datang harus sudah siap."Klik!‘Sial! Pagi-pagi tuh bast*rd sudah berulah.’Zetta buru-buru mengambil ponsel dan tasnya lalu berlari ke arah lift. Setelah mendapatkannya, Zetta kembali ke kantor. Untung saja bosnya belum datang. Tidak sampai sepuluh menit, resepsionis lobi menelepon dan mengabari kalau Alva baru saja masuk ke dalam lift. Zetta buru-buru bersiap, berdiri cantik di depan meja kerjanya dengan kedua tangan yang memegang paper cup dan kotak cantik dengan ukiran nama restoran terkenal di setiap sisinya. Alva Alexander datang dengan alis terangkat naik melirik sarapannya yang sudah siap. "Kau mendapatkannya?" Zetta dalam hati tersenyum puas. Jika Alva berniat mengerjainya dengan pesanan absurd tadi, maka pria itu seharusnya memikirkan seribu cara lain lagi, sebab Zetta sudah bisa menebaknya.Zetta menyodorkannya ke Alva ketika lelaki itu berjalan mendekat. "Dengan usaha maksimal dilengkapi doa manjur pegawai yang teraniaya."Alva memutar bola mata dan melesat melewati Zetta begitu saja ke arah kantornya. Zetta melengos dan mengikuti bos besarnya dengan gerakan bibir yang mengumpat sumpah serapah mengabaikan betapa tampannya Alva pagi ini. Alva membuka pintu kantornya dan menutupnya tepat di depan wajah Zetta yang sontak berhenti sebelum tubuhnya membentur pintu dan melongo."Dasar bos gila!" umpatnya nyaring membuat pintu langsung terbuka kembali menampilkan wajah arogan Alva."Kau bilang apa tadi?" Zetta mundur dan menggeleng, "Yang mana ya, Pak?" Alva mencibir, "Dilarang mengumpat bos sendiri kalau tidak mau aku pecat sekarang juga!” Alva menjeda kalimatnya beberapa saat, sebelum melihat pada satu titik di tubuh Zetta dan kembali berbicara. “Dan juga, tolong kondisikan bibir seksimu itu sebelum aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melumatnya sekarang juga!"Zetta langsung menggigit bibirnya sensual, "Dikondisikan seperti ini, Pak Alva?"Dia justru sengaja membuat suara mendesah. Alva melongo dan langsung mendekatinya, tapi Zetta lebih cepat mundur dan menendang tumit Alva dengan sepatu heels lancipnya."Sial!" Zetta meringis melihat Alva mengumpat seraya membungkuk dan mengelus lututnya. Terdengar menggeram kesal malihat Zetta yang tersenyum menang hingga dia kembali menutup pintu kantornya dengan kasar dan keras."Dasar lelaki haus belaian!"***
"Pak, satu jam lagi ada rapat manajemen."Setelah tragedi menendang tumit bosnya, Zetta tetap berusaha bersikap professional. Sebagai seorang sekretaris, sudah sewajibnya dia mengingatkan Alva mengenai jadwal kerja. Dia pun mulai membacakan agenda Alva."Siang nanti ada undangan makan siang dengan perwakilan Ratser Corp., bertemu dengan Ibu Diana Raster.""Diana?"Alva menatap Zetta yang mengangguk. "Iya, Pak. Bapak kenal?" tanya Zetta sok ingin tahu.Alva tersenyum miring, "Dia salah satu wanita paling liar di ranjang yang pernah aku taklukan."Zetta langsung mencelos dan ingin muntah mendengarnya, tapi cepat-cepat dia ganti ekspresinya dengan lebih ceria. "Wah bagus itu Pak, bisa sekalian reunian atau mau saya sewakan hotel sekalian?"Alva menatap tajam dengan tangan mengambil black coffee lalu menyeruput pelan. ‘Sok ganteng!’ Zetta jengah. "Tentu saja tidak. kita hanya makan siang.""Syukurlah kalau hari ini Pak Alva lagi sehat. Pasti tadi malam habis dapat belaian ya, Pak?""Apa
"Berhenti kalian berdua!"Zetta dan Jason berhenti dan berbalik lalu kaget melihat Alva Alexander."Kenapa, Pak? Saya mau pulang."Alva mendekat dan berhenti tepat di depan Jason. Tinggi dan postur tubuh mereka hampir sama."Jadi, kau pacarnya Arzetta seperti yang dikatakan Jeremy?"Zetta tersentak kaget, sementara Jason mengerutkan kening lalu kembali menatap Alva ."Kalau iya memangnya kenapa?"Alva nampak mengamati tautan tangan mereka lalu menggertakkan giginya kesal, membuat Zetta bingung."Aku hanya mau memastikan saja. Kenalkan, Aku Alva Alexander bos—""Yeah, aku tahu. Kau yang ketahuan mesum sama mantan sekretarismu di restoranku."Alva menatap tajam Jason, "Restoranmu?""Ya. Terus maumu apa? Kalau tidak ada kami mau pulang!"Alva berdecak, "Ada satu hal yang mau aku minta dari kalian berdua supaya aku yakin. Dan kalian tidak boleh pulang sebelum melakukannya."Zetta mengerjapkan matanya, "Pak, jangan aneh-aneh deh. Saya capek mau pulang. Besok aja ya dramanya."Zetta kesal sa
‘Dasar bodoh kau, Zetta!’Hubungannya dengan Jason memasuki fase canggung. Bukan hanya karena sikap Jason malam itu, tapi karena Zetta telah meyakini kalau Jason bukanlah gay. Beberapa tahun ini Zetta hidup dengan bayangan Austin dan Jason yang selalu berada di dalam kamar berdua walaupun dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka berdua lakukan. Jika selama ini dia berbohong, Zetta sangat tidak bisa menerima hal itu.Zetta duduk di balik meja kerjanya menunggu Alva Alexander yang sedang rapat. Keadaan laki-laki itu cukup kacau beberapa hari ini. Paparazi sepertinya mengikuti Alva diam-diam sejak skandal dengan sekretarisnya terungkap, ditambah skandal terbaru di mana Alva terlihat masuk ke kamar bersama Eliana.Zetta memijit pelipisnya dengan kedua tangan di kepala sembari memejamkan mata. Setelah foto skandal itu terungkap, Eliana malah menghilang entah ke mana hingga saat ini, membuatnya gila.‘Bisa-bisanya dia—’"Kau sakit?" Zetta membuka mata dan bertemu tatap dengan mat
"Jason, aku sedang berada di Vancouver. Ada beberapa kunjungan bisnis dan urusan pribadi Alva." Zetta mengigit ujung kukunya mendengarkan setiap kalimat yang dilontarkan Jason di ujung sana."Kau pergi begitu saja tanpa memberitahuku?!" Nada suara Jason meninggi.Zetta memijit pelipisnya, "Maaf. Aku pikir tidak ada masalah jika memberitahumu belakangan dan juga—""Jadi, sekarang aku bukan lagi orang pertama yang penting bagimu, Arzetta?!""Bukan. Bukan seperti itu maksudku, Jason." Zetta mulai panik. Ini salahnya karena tidak memberitahukan kepergiannya lebih awal ke Jason. Laki-laki itu pasti mencemaskannya."Lalu, kenapa kau tidak meminta izin lebih dulu padaku? Apa kau lupa, selain Jeremy segala hal terkait urusanmu di New York menjadi tanggung jawabku. Setidaknya hargai aku dengan memberitahuku bukannya asal pergi. Apa kau menghindar?"Zetta menatap laut di kejauhan yang berwarna biru sempurna seraya merapikan riak anak rambutnya yang tertiup angin, "Ada yang harus kita bicarakan
'Duh, mukanya pak Alva seram banget.'Zetta sesekali melirik Alva yang mengendarai mobilnya dalam diam sejak mareka keluar dari rumah Opa. Mungkin masih terbawa suasana yang tidak enak karena membicarakan masa lalu atau merasa malu karena rahasianya terbongkar kalau dia pernah dikhianati.Zetta tidak berani buka suara, bahkan hingga Alva menghentikan mobilnya di depan lobi hotel setelah melaju dengan kecepatan di atas rata-rata membelah padatnya jalan raya kota. "Hmm,Pak--""Langsung saja ke kamar dan jangan ke mana-mana. Aku harus pergi dulu," selanya.Zetta hanya bisa mengangguk, melepas seat beltnya dengan sedikit tergesa. Saat dia akan membuka pintu mobil, lengannya di tahan oleh Alva yang menatapnya intens. "Jangan dengarkan apa pun yang di katakan, Opa. Jangan pernah menatap kasihan pada ku seperti yang kamu perlihatkan sepanjang perjalanan tadi, Arzetta. Aku tidak suka!!""Tidak. Aku tidak—""Keluar!" Alva melepaskan cekalannya.Zetta mengigit bibirnya melihat Alva yang menata
'Astaga, bagaimana ini?'Demi apapun, Zetta tidak menyadari apa yang telah dilakukannya. Sesaat setelah melihat Alva, dia tanpa sadar memeluknya. Tapi tidak berlangsung lama karena saat Zetta merasakan Alva memeluk balik dia malah bereaksi berlebihan. Saat merasakan sentuhan Alva, Zetta langsung mundur dan menamparnya meskipun setelah itu dia langsung memekik dan menggeleng nampak kaget sendiri dengan gerakan tangannya."Ampun Pak. Tidak sengaja. Reflek, Pak. Saya kaget. Bapak sih pegang-pegang saya."Zetta meringis saat melihat Alva yang ternganga kaget meskipun tamparannya tidak terlalu keras."Apa salahku,Zetta?!" Ujarnya.Zetta meringis,"Maaf,Pak."Setelah itu, Zetta malah sok canggung dan nampak tidak enak hati saat melihatnya. Merasa malu karena bukannya berterima kasih malah kembali menamparnya.Sorenya, saat Zetta duduk di bangku kayu pinggir pantai Vancouver, Alva mendekat dan memperhatikannya seksama. Sekarang dia sudah tidak bisa menghindar lagi."Kenapa sih,Pak?" Decak Zet
Arzetta tidak pernah membayangkan akan melihat sisi lain Alva saat ini. Tadi saat dia masih menangis di bangku taman memikirkan Jason, Alva datang memberikan sapu tangan dan mengajaknya pergi tanpa sepatah katapun. Zetta hanya bisa diam dengan pikiran bertanya-tanya, bagaimana pertemuannya tadi dengan calon istrinya. Apa mereka sudah janjian menginap di hotel nanti malam merayakan kebersamaan. Meskipun Zetta tidak yakin kalau lelaki itu bersedia secara sukarela dijodohkan seperti ini.Zetta duduk diam memandangi Alva lekat. Ada perasaan hangat saat melihat bagaimana sikap lembut dan tatapan ceria yang menular itu. Senyuman lelaki itu menghinotis Zetta. Sebelumnya dia tidak pernah menyadari kalau senyuman Alva bisa membuatnya tertegun lama dengan terkesima.Tapi tahulah dia dengan jelas apa alasannya. Yang ada di hadapannya saat ini adalah sosok Alva Alexander sesungguhnya. Tanpa topeng. Tanpa kilatan jahil menggoda juga gombalannya. Alva Alexander yang lembut, baik dan hangat.Zetta l
Hal pertama yang Zetta lihat setelah berhasil membuka kedua matanya dan menyesuaikan retinanya dengan cahaya di sekitar adalah langit-langit tinggi berwarna putih bersih lalu aroma rumah sakit yang khas tercium indra penciumannya. Badannya rasanya pegal, wajahnya nyeri, telapak tangannya kaku.Tangan. Kaku.Zetta menoleh dan menemukan kepala seseorang dengan rambut hitamnya bersandar pada ranjang nampak tertidur sambil memeluk tangannya dan menggengam jemarinya.Alva.Zetta melarikan jemari tangan satunya dan menyeruakkannya disela-sela rambut halus itu dengan lembut sampai dirasakan lelaki itu menggeliat pelan dan perlahan mengangkat kepalanya membuat Zetta bisa menatap iris mata hijau itu yang masih nampak sayu.Ah ya, Jason.Bagaimana bisa tadi dia mengira kalau itu Alva Alexander."Zetta."Jason langsung menegakkan punggungnya dan berdiri mengusap wajah Zetta dengan kedua tangan nampak khawatir. Mata hijau itu terlihat gusar dan takut.Zetta menggengam telapak tangan Jason di waja