Share

KARMA - 07

'Duh, mukanya pak Alva seram banget.'

Zetta sesekali melirik Alva yang mengendarai mobilnya dalam diam sejak mareka keluar dari rumah Opa. Mungkin masih terbawa suasana yang tidak enak karena membicarakan masa lalu atau merasa malu karena rahasianya terbongkar kalau dia pernah dikhianati.

Zetta tidak berani buka suara, bahkan hingga Alva menghentikan mobilnya di depan lobi hotel setelah melaju dengan kecepatan di atas rata-rata membelah padatnya jalan raya kota. 

"Hmm,Pak--"

"Langsung saja ke kamar dan jangan ke mana-mana. Aku harus pergi dulu," selanya.

Zetta hanya bisa mengangguk, melepas seat beltnya dengan sedikit tergesa. Saat dia akan membuka pintu mobil, lengannya di tahan oleh Alva yang menatapnya intens. "Jangan dengarkan apa pun yang di katakan, Opa. Jangan pernah menatap kasihan pada ku seperti yang kamu perlihatkan sepanjang perjalanan tadi, Arzetta. Aku tidak suka!!"

"Tidak. Aku tidak—"

"Keluar!" Alva melepaskan cekalannya.

Zetta mengigit bibirnya melihat Alva yang menatap ke depan saat perlahan dia keluar dan menutup pintu mobil dengan pelan. Belum sempat Zetta bernapas, Alva sudah melajukan mobilnya seperti kesetanan keluar dari area hotel. Zetta memeluk tubuhnya dengan kedua lengannya setelah mobil Alva tidak lagi terlihat. Padahal dia melihatnya karena takut bukan karena kasihan.

Zetta menghela napas dan merapikan anak rambutnya lalu masuk ke dalam lobi yang lumayan ramai. Belum sampai di depan lift, langkah kakinya terhenti. Secepat kilat dia bergerak minggir mendekat ke  vas bunga cantik yang ada di sudut lain hotel memperhatikan pasangan mesra yang baru saja keluar dari lift mengarah ke lobi menghampiri mobil mewah yang telah menunggu di sana.

"Astaga, bagaimana mereka bisa bersama di sini?" Gumam Zetta, menggigiti ujung kukunya.

Setelah mobil mereka berlalu, Zetta langsung ambil langkah seribu mengikuti dengan taksi yang kebetulan sedang menurunkan penumpang mengikuti mobil hitam itu. Pikirannya kacau dan apa yang dilihatnya tadi tidak bisa di percaya. 

Zetta menangkup wajahnya dengan kedua tangan merasa pusing seketika selama dalam perjalanan mengikuti keduanya.

"Jadi, dia alasan Eliana pergi diam-diam."

Zetta tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat keintiman Eliana dengan laki-laki yang digandengnya itu saat masuk ke dalam restoran di daerah pinggiran Vancouver. Benar-benar sesuatu yang tidak terduga. Zetta mengenal dengan baik kedua orang itu tapi dia tidak pernah tahu kalau keduanya menjalin kasih bahkan di saat laki-laki itu sudah memiliki istri. 

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan,El?" Gumam Zetta, mengigiti ujung kukunya, masih berdiri di tempatnya meski pasangan yang nampak sedang kasmaran itu sudah masuk ke dalam dan tidak terlihat.

'Ah, bagaimana dia bisa memberitahukan Jason tentang hal ini.'

Zetta menepuk kepalanya,pusing. Diedarkannya pandangan dan melihat daerah di sekitarnya cukup sepi.  Bodoh sekali dia yang membiarkan taksi yang membawanya tadi malah berlalu pergi.

Zetta memilih berjalan sendirian di daerah yang nampak sepi saat malam berniat mencari taksi tapi tidak ada satupun yang lewat. Namun di sudut belokan ada beberapa orang laki-laki yang nampak sedang berbincang di samping mobil dan menegak sesuatu. Zetta mencoba tenang meski tangannya gemetaran. Dia menekan satu nomor di ponselnya dan menelepon Alva Alexander.

"Pak Alva,tolong saya,Pak." Zetta memantau laki-laki menakutkan itu. "Saya ada di..."

Setelah mengatakan alamatnya, Zetta menoleh dan kaget saat melihat salah satu dari mereka yang berbadan kekar dan berambut cepak berjalan mendekat. Zetta reflek langsung lari menghindar dan terjadilah aksi kejar-kejaran. Sampai dia akhirnya bersembunyi di dekat rumah kosong dan diam di sana sembari menutup mulutnya dengan tangan.

'Please, pergilah!"

Selama beberapa waktu tidak ada siapa-siapa di sekitarnya, Zetta mencoba mengintip dam tidak melihat seorangpun dari mereka membuatnya bernapas lega. Zetta bergerak dari tempat persembunyian, memeluk tas dan menggenggam erat ponselnya menunggu Alva.

Baru berjalan beberapa langkah, pundaknya di pegang seseorang membuatnya terkejut.

"Mau kemana, cantik?"

Zetta ternganga, gemetaran takut hingga akhirnya berteriak. "TOLONG!"

Laki-laki berbadan besar itu menggotongnya dan membawanya ke dalam sebuah bangunan usang. Zetta meronta. Tangan lelaki itu bergerak mengelus kaki telanjangnya. Gaun setengah lutut yang dipakainya sedikit tertarik ke atas dan lelaki itu mengusapkan tangan besarnya di sana. Zetta semakin meronta sampai dia di hempas ke atas tempat tidur buluk. Zetta melihat sekelilingnya remang-remang seperti sebuah rumah kosong. Tangannya terikat di atas kepalanya dan kedua kakinya di duduki si lelaki tengik yang menatap lapar Zetta.

Zetta menangis dan menggelengkan kepalanya. 

"Diamlah, Manis. Tidak akan sakit kok, nanti kau juga keenakan. Kita main-main sampai pagi ya?"

Lelaki itu merobek gaun peach motif bunganya di bagian dada yang seketika mengekspos belahan dadanya yang membusung. Zetta mengigit bibirnya ketika tangan itu mengelus pahanya. Zetta menangis kencang dan memberontak dengan tenaganya yang tersisa. Sedangkan kedua orang itu semakin beringas menjamahnya.

"Brengsek kalian!" Umpatan itu menggema, kedua orang itu ditarik menjauh, Zetta berusaja untuk duduk seraya menutupi area dadanya. Air matanya merebak dan tubuhnya bergetar hebat. Dilihatnya Alva menghajar mereka habis-habisan walaupun dia juga mendapatkan beberapa luka pukulan tapi bosnya itu nampak sedang dikuasai amarah. Sampai akhirnya keduanya tergeletak tak sadarkan diri. Mereka tidak mati, tapi cukup membuat mereka merasakan jera dan cacat seumur hidup.

"Zetta, jangan takut. Aku ada di sini."

Alva memeluknya dan Zetta yang masih bergetar langsung menangis dengan kencang.

****

"Dulu saat Alva sedang tidak enak badan, aku suka membuatkannya teh hijau. Mungkin rasanya tidak enak tetapi efeknya menenangkan." Zetta menoleh lalu tersenyum saat menemukan Oma Alena mendekat membawa secangkir teh hijau dan duduk di sebelahnya. 

"Terima kasih, Oma. Maaf kalau aku merepotkan." 

Zetta mengambil teh itu, menghirup aromanya dan meminumnya perlahan. Rasa hangat dan aroma teh membuat tubuhnya rileks seketika.

"Jangan bicara yang tidak-tidak. Aku sudah lama tidak menerima kunjungan Alva ke sini. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi dia tidak sendirian. Kenapa aku malah merasa direpotkan? tentu saja tidak, Sayang."

"Alva tidak pernah lagi datang ke sini? kenapa?"

"Terakhir dia ke sini saat akan pergi dan menetap di Indonesia beberapa tahun yang lalu."

"Apa karena Amira?" Zetta tiba-tiba ingin tahu.

"Dia pernah cerita tentang Amira?"

Zetta menggeleng, "Sebenarnya Zetta juga baru kenal sama Alva. Om Jeremy yang menjadikan Zetta sekretaris Alva setelah sekretarisnya yang lama harus mengundurkan diri."

"Ah, berita itu. Aku mendengarnya. Kau saudaranya Jeremy?"

"Hmm dia Om-nya Zetta." 

Alena nampak terkejut, "Kau anaknya Clara?"

Zetta mengerjapkan matanya, "Kok Oma tahu?"

Alena tertawa pelan, "Dia temannya anak Oma yang kedua. Dulu Mama mu sering berkunjung ke rumah lama Oma di Manhattan."

Zetta nampak kaget, "Benarkah?"

Alena tersenyum dan mengangguk lalu merapikan anak rambut Zetta. "Dunia ini sempit, bukan. Kau jangan kaget seperti itu karena dulu saat masih kecil, kau juga pernah datang ke rumah Oma dengan Mama mu. Oma baru ingat sekarang."

Zetta ternganga shock. Bagaimana bisa?

"Takdir itu lucu, kan?" Zetta mengangguk mengiyakan, Alena menghela napas, "Kita tidak pernah tahu bagaimana semua itu berputar di dalam hidup kita. Siapa yang akan kita cintai dan siapa yang mencintai kita. Butuh perjuangan panjang untuk bisa mencapai satu titik di mana kita yakin dengan apa yang kita inginkan. Aku juga dulu begitu sebelum benar-benar yakin kalau Raxen adalah satu-satunya lelaki yang aku inginkan. Kita perlu jatuh dan kecewa terlebih dahulu untuk tahu siapa yang memang menginginkan keberadaan kita."

Zetta tersenyum saat Oma mengelus lengannya, "Mungkin kau menganggap Alva itu brengsek. Aku tidak menyalahkanmu tapi sebenarnya dia sangat kesepian. Oma tidak pernah lagi melihat bara gairah di mata abu-abunya seperti dulu melihat Amira. Dia sepenuhnya berubah."

"Bisa Oma ceritakan kenapa mereka berpisah?"

Alena menggeleng kemudian berdiri, "Itu bukan hak ku, Sayang. Alva yang harus menceritakannya. Kau masih sama seperti dulu. Cuek tapi sebenarnya perhatian."

Zetta mengernyitkan dahi bingung. "Maksud Oma apa?"

"Kau mungkin lupa. Dulu sikapmu ke Alva juga seperti ini. Tidak berani mendekat tapi begitu perhatian di belakang. Alva tidak pernah tahu siapa gadis kecil yang sering memberinya permen dan coklat lewat Oma sebelum kalian pindah jauh ke Arizona juga anjing kecil bernama Bruno itu. Mungkin Alva lupa, tapi Oma tidak akan pernah lupa. Meski awalnya kau ingin merahasiakannya tapi entah bagaimana Alva bisa tahu kalau kau yang memberikannya.” Zetta tertegun. Alena mengelus puncak kepalanya mengerti. "Jangan terlalu kaget karena takdir masih banyak menyimpan kejutan lagi untuk kita."

Alena meninggalkan Zetta yang terdiam dengan sebuah fakta baru yang sama sekali dilupakannya.  Alva Alexander seharusnya asing tapi nyatanya dia sudah lama mengenalnya.

"Kau baik-baik saja Arzetta?"

Sapaan halus dan lembut itu mengagetkan Zetta. Matanya membulat melihat Alva berdiri dengan kerah kemeja yang terbuka, tanpa jas dan menggelung lengannya ke atas. Zetta mengerjapkan matanya. Alva tersenyum di sana. Tanpa benar-benar di sadari oleh Zetta, kakinya bergerak turun dan dia berlari memeluk Alva.

Refleks. Tanpa persiapan. Zetta melakukannya di luar kesadarannya. Alva terperangah lalu senyuman lebarnya nampak di wajah Alva Alexander. 

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status